PREVIOUS PART
---
(Part 37)
"Kak, Deva mau pulang..." ucap Deva sambil membuka pintu teras. Kata-katanya terhenti melihat Shilla dan Rio. Ia mematung, memegang gagang pintu. Keke menghampirinya dari belakang.
"Kenapa Dev..." baru saja Keke ingin bertanya, ia melihat Rio dan Shilla. Keke tertawa kecil.
"Selamat ya kak Rio, makin maju aja" ucap Keke.
"Ngawur! Ya udah Shill, Ke, gue ama Deva pulang dulu" pamit Rio lalu pergi begitu saja.
"Dah Ke, ketemu besok lagi ya" pamit Deva sambil mengecup kening Keke. Keke tersenyum senang. Deva pun keluar dari rumah Keke dan Shilla, menuju mobilnya, menaikinya, lalu pergi.
"Romantis amet sih lo berdua" komentar Shilla.
"Iyalah. Oya, Keke dikasih ini loh" ucap Keke, lalu memamerkan liontin pemberian Deva. Dibukanya, dan Shilla manyun melihatnya.
"Panasin kakak ya?!" tanya Shilla sambil berteriak.
"100 buat kakak, 1000 buat Keke!" sorak Keke.
"Arrgghh!!" gerutu Shilla lalu memasuk ke kamarnya. Keke tertawa melihat kakaknya, mengingat kejadian tadi, lalu masuk ke dalam rumahnya dan memasuki kamarnya. Ia pun tidur dan bermimpi indah.
***
Keesokan harinya di kampus Shilla
"Halo Shill... kemaren-kemaren lo kabur dari rumah ya?" tanya Zahra. Shilla nyengir.
"Iya" jawabnya singkat.
"Kenapa? Kita semua khawatir banget loh..." tanya Oik.
"Mmm... tau deh kenapa" jawab Shilla.
"Halo semuanya" sapa sebuah suara dari belakang Shilla. Shilla berbalik badan, dan menemukan Rio di belakangnya.
"E.. e.. eh... Rio" ucapnya, wajahnya memerah. Shilla menunduk untuk menyembunyikannya. Zahra menatap Shilla lalu nyengir. Oik menatapnya, lalu menatap Shilla, dan ikutan nyengir.
"Kenapa sih? Ih pada gila, gue kabur deh daripada ketuleran!" ucap Rio lalu pergi. Oik dan Zahra memandangi Rio, ketika mereka sudah yakin mereka pun menghadap Shilla.
"Jadi?" tanya Oik. Shilla memasang pandangan bingung.
"Lo suka sama Rio?" tanya Zahra, sukses membuat muka Shilla memerah kembali.
"E.. eh.. itu.. emh, eh.." ucap Shilla, berusaha mencari alasan yang tepat. Matanya melirik-lirik ke segala arah, takut melihat mata Zahra dan Oik.
"Ketauan tuh dari muka lo..." goda Oik.
"Haha iya bener tuh" tanggap Zahra. Shilla menghela nafas panjang.
"Iya. Awas, jangan bilang siapa-siapa, termasuk cowok lo!" ancam Shilla. Zahra dan Oik bertos ria, lalu menatap Shilla lagi.
"Iya... oya, kasih tau Via ya" Zahra mengingatkan Shilla. Wajah Shilla berubah menjadi sedih dan murung. Zahra jadi merasa bersalah.
"Iyalah" tanggap Shilla, tersenyum paksa.
"Gimana kabar adek lo sama... em. Siapa namanya?" tanya Oik, mengalihkan pembicaraan.
"Keke?" tanya Shilla.
"Bukan, yang satu lagi, yang lo ceritain tempo hari" ujar Oik.
"Oh, Deva? Baik aja, kemaren mereka gombal-gombalan di kamar gue. Makin nakal aja" ucap Shilla, menggelengkan kepalanya.
"Oh" tanggap Oik.
"Udah yuk masuk kelas, ntar dosen galak marah lagi kayak kemaren. Lo udah selesai makalahnya?" tanya Zahra sambil berjalan, diikuti oleh Shilla di sampingnya. Oik pergi ke kelasnya.
"Iyalah, gue kerja 4 jam tuh!" jawab Shilla.
"Buset dah, 4 jam? Gue aja 10 jam ada kali!" komentar Zahra.
"Ya itulah bedanya, gue anak pinter dan lo enggak terlalu" tanggap Shilla.
"Kejam lo! Lo apa aja?" tanya Zahra.
"Ya gitu deh. Penyakit..." jawab Shilla. Mereka pun berbincang-bincang, dan masih terus begitu di kelas mereka. Mereka baru diam saat dosen galak masuk. Pelajaran hari itu pun dimulai.
***
Pulang kampus
"Zah, Ik, mau ikut gue ke makamnya Via?" tanya Shilla. Zahra dan Oik mengangguk.
"Kita ikut dong, udah lama gak kunjungin makamnya Via, ntar dia marah lagi gak pernah dikunjungin" ucap Alvin, membawa Rio dan Obiet di belakangnya.
"Serah lu deh" tanggap Shilla, membuang muka agar tak melihat Rio. Ia takut mukanya akan memerah.
"Ya udah, yuk jalan!" perintah Obiet, dan semua menurut. Shilla memakai mobilnya sendiri, Rio memakai motornya, Oik nebeng di motor Obiet dan Zahra nebeng di motornya Alvin. Melajulah mereka ke makam Sivia, yang tempatnya di sebelah makam Gabriel.
***
Makam Sivia
"Halo Siv... kita dateng buat jenguk lo. Maaf ya kita gak dateng, soalnya banyak masalah. Sori ya" ucap Shilla.
"Iya, maafin kita" timpal Rio. Yang lain hanya tersenyum. Mereka pun segera duduk dan berdoa. Setelah sesi berdoa selesai, mereka pun diam.
"Eh, itu apa?" tanya Oik.
"Apaan Ik?" tanya Obiet. Oik mengambil dua buah surat dari dalam vas bunga. Ia pun membacakannya.
"Shilla, ini gue Sivia. Sori kalau ngagetin, tapi Iel juga gini ke gue kok. Dan gue sama sekali gak takut. Itu sebabnya gue ceria, soalnya tiap gue ke sini terus ngomong ini-itu, pasti dibales sama dia pake surat seperti ini. Nah, kalau lo ada masalah lo curhat aja ke gue, besok ke sini lagi buat baca surat dari gue. Gimana kabar temen-temen semua?" ucap Oik, membacakan surat tersebut. Shilla memucat, Rio membelalak, Alvin dan Zahra penasaran, Oik dan Obiet kaget. Semuanya memandang Shilla.
"Eh, ehm. Kabar temen-temen semua baik kok, pada kangen doang. Oke, kalau ada masalah gue bakal curhat kok ke lo" ucap Shilla. Semua sahabatnya tersenyum, lalu memandang ke arah Oik. Shilla menghembuskan nafas lega. Oik sibuk lagi membaca surat yang kedua.
"Shilla, lo jahat banget sih. Kan lo udah janji, abis pemakaman gue lo ke makam gue terus ngambil surat... udah gue bilang kan? Jahat lo Shill, udah gue tungguin juga! Baca surat dari Iel" ujar Oik, membacakan surat Sivia yang kedua. Semuanya segera menatap Shilla lagi. Shilla nyengir.
"Sori Siv, gue lupa. Kan udah gue bilang, banyak masalah. Surat dari Iel? Bentar" ucap Shilla, bangkit dan mengambil surat yang ada di dalam vas bunga makam Iel.
"Untuk Shilla dan Rio, halo aja deh. Oya, gue mesti bilangin ke kalian, sumpah kalian nyebelin abis. Shill, lo udah bolos kampus cuma pengen ngebentak gue doang? Bener-bener lo. Itu sih gue maafin, orang stress gak usah dimarahin. Maklumin aja... yang gue sebelin, kurang asem ya lo berdua sama Keke kabur begitu liat gue! Via aja ngeliat gue juga gak kabur... malah curhat dia. Awas lo berdua, gue gentayangin lo!" ucap Shilla, membacakan surat dari Iel.
"Hiaa... sori Yel, jangan gentayangin gue, yang ada gue ketakutan nih, sori banget Yel..." ucap Shilla dengan nada ketakutan.
"Iya Yel, gue minta ampun sama lo... maafin gue! Plis jangan gentayangin gue, sumpah gue takut Yel!" ucap Rio sambil gemetaran. Oik, Zahra, Obiet, dan Alvin spontan ngakak.
"Kok cowok takut hantu?" tanya Zahra, lalu ngakak lagi. Rio menatap mereka berempat tajam. Akhirnya mereka berempat berhenti tertawa.
"Oya Siv, Yel, si Oik sama Obiet jadian loh! Si Alvin sama Zahra balikan, Zevanna udah ngakuin semuanya. Keke sama Deva, kakak kelasnya, udah jadian, sumpah romantis abis si Deva. Udah ngasih boneka yang kalau dipencet perutnya bunyi 'I love you Keke', trus ngasih bunga, ngasih cokelat bikinannya lagi! Trus kemarin, si Keke dikasih liontin bagus banget, isinya foto Keke sama Deva, trus gombalannya itu hebat loh, tentang matahari-matahari gitu. Bagus deh" ungkap Shilla panjang lebar.
"Trus, kemaren si Shilla kabur dengan konyolnya, katanya takut sama paman Jo" timpal Rio. Shilla menginjaknya.
"Au!" erang Rio.
"Mereka udah tau!" bisik Shilla.
"Iya, trus dosen galak makin galak. Masa gara-gara sekelas ribut dan gak meratiin pas dia masuk nyuruh kita buat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal 50 lembar!" ucap Zahra ikut-ikutan.
"Terus, si Rio dapet nilai 50 loh" timpal Alvin.
"Itu gak usah disinggung-singgung!" teriak Rio. Mereka pun berbincang-bincang, tak terasa sudah 2 jam mereka di situ.
"Woi, udah 2 jam nih, pulang yuk" ajak Obiet. Semua cewek memandanginya.
"Yuk" ucap Oik setuju, tersenyum manis. Shilla memandangi mereka semua.
"Belum kasih tau?" tanya Zahra. Shilla menggeleng.
"Mana mungkin. Kan masalah cewek" jelas Shilla. Alvin, Rio, dan Obiet mengangguk tanda mengerti, lalu pergi.
"Kita tinggalin dulu ya" ujar Oik, menepuk pundak Shilla lalu pergi, diikuti oleh Zahra. Shilla menunggu sampai mereka cukup jauh, lalu menghela nafas.
"Siv, Yel, gue pengen ngaku sama lo" ucap Shilla memulai, lalu menghela nafas panjang.
"Gue... gue suka sama Rio, baru mulai semalem" ungkap Shilla. Ia pun berdiri terpaku di tempat. Tiba-tiba ada surat yang jatuh menimpa kepalanya.
"Kalau Rio, gue gak apa-apa. Mulai saat ini berbahagialah, Shilla. Gabriel" ucap Shilla, membaca surat tersebut. ia tersenyum kecil. tiba-tiba satu amplop lain jatuh di atas kepalanya.
"Dia pasti bakal jagain lo, dan selalu ada di sisi lo saat lo butuh. Gue yakin, dia gak bakal ngecewain lo" ucap Shilla, membaca surat yang kedua. Ia pun menengok ke kanan dan melihat pohon bersejarah tersebut. Ia melihat Gabriel dan Sivia sedang berpegangan tangan, dan melambaikan tangan ke arahnya. Gabriel mengacungkan jempolnya, lalu angin mengelilingi mereka, terlihat beberapa daun yang mengelilingi mereka, dan angin itu pun berhenti. Seketika itu Sivia dan Gabriel menghilang dari pandangan. Shilla tersenyum. Ia pun bergabung dengan teman-temannya yang berkumpul di mobil. Setelah itu Mereka semua pulang.
+++
(Part 38)
Sesampainya di rumah, Shilla terkejut melihat sepucuk surat yang tergeletak di depan kamarnya. Spontan ia mengambil surat itu dan membacanya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Isi surat itu memang singkat, jelas dan padat. Tetapi itu cukup untuk membuat Shilla ketakutan. Ia membaca surat itu lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tetapi surat itu tidak berubah, kata-katanya tetap sama. Ia bersandar di dinding, shock, nafasnya tersenggal-senggal. ia melirik surat itu dan membacanya sekali lagi.
Keke berada di tangan kami. Kalau ingin dia kembali ambillah dia di tempat rekonstruksi bangunan
di jalan suara indah.
-Paman Jo, Om Dave-
Shilla memejamkan mata dan membukanya, berharap semua ini hanyalah mimpi. Tetapi ini nyata. Ia pun menyambar kunci mobil dan langsung pergi menuju rekonstruksi bangunan di Jl. Suara Indah.
***
Rekonstruksi bangunan, Jl. Suara Indah
Shilla turun dari mobil dan memasuki rekonstruksi bangunan yang kosong itu. Ia celingak-celinguk, berharap bisa menemukan Keke.
"Datang juga kau, Shilla" ucap sebuah suara. Shilla berbalik untuk melihat siapa yang mengucapkannya.
"Paman Jo?" tanya Shilla sambil berbisik.
"Ikat dia!" perintah paman Jo. 3 orang yang berbaju hitam-hitam pun menurut. Mereka menggenggam sebuah tambang dan mengikat tangan Shilla dengan itu.
"Lepasin gue! Lepasin!" teriak Shilla sambil meronta-ronta.
"Mana Keke?" tanya Shilla, pasrah dengan tangannya yang diikat. Paman Jo tertawa lepas.
"Kau percaya saja dengan surat itu?! Tidak bisa dipercaya!" seru paman Jo sambil tertawa. Segerombolan orang yang memakai baju hitam-hitam pun tertawa. Paman Jo bahkan mengeluarkan air mata. Akhirnya sesi tertawa pun selesai.
"Kenapa paman melakukan hal ini?!" tanya Shilla sambil berteriak.
"Kenapa?! Kau masih tanya kenapa?! Karena kamu, Ashilla Zahrantiara, telah membunuh anakku!" teriak paman Jo emosi.
"Aku gak membunuh dia! Dia yang bunuh diri karena ditolak!" seru Shilla, membela diri.
"Itu sama saja! Kau membunuhnya! Dasar pembunuh!" teriak paman Jo.
"Enggak! Bukannya paman yang pembunuh?! Paman telah membunuh ayah dan sahabatku!" teriak Shilla, air matanya tumpah.
"Diam! Diam atau kau kubunuh?!" tanya paman Jo.
"Bunuh aku. Bunuh! Biar aku bisa mengakhiri seluruh penderitaanku di sini, dan bertemu dengan ayah dan sahabatku!" jawab Shilla. Paman Jo tertawa kecil.
"Berubah pikiran. Aku tidak akan pernah membunuhmu!" ucap paman Jo. Shilla menatapnya.
"Siksa dia!" perintah paman Jo. Segerombolan laki-laki berbaju hitam pun menurut. Mereka menjambak, memukul, menendang, dan sebagainya.
"KYAAAA!!!!" teriak Shilla kesakitan. Bajunya juga robek-robek. Paman Jo melihatnya dengan pandangan sinis, masih belum puas.
"Harus lebih sakit lagi! Apa ini?! Ini bukan menyiksa! Yang bener dong!" teriak paman Jo. Segerombolan laki-laki yang sedang menyiksa Shilla pun menurut. Salah satu dari mereka mengambil sebuah cambuk berduri. Yang lain memegangi tangan dan kaki Shilla agar tidak kabur. Lalu orang yang mengambil cambuk tersebut mulai mencambuki Shilla.
"AHHHH!!! KYAAA!! SAKIT! HENTIKAN!!" teriak Shilla berulang kali. Namun orang tersebut tak berhenti mencambuk, malah ia mencambuk Shilla makin keras. Shilla meneteskan air mata. Tak lama kemudian cambukkan itu berhenti. Shilla menangis, kaki dan tangannya di lepaskan. Lalu dua orang laki-laki mengambil dua ekor kuda, satu diikat di tangan kanan Shilla dan satu diikat di tangan kirinya. Shilla kaget.
"Eh?" tanyanya. Lalu kuda tersebut mulai berlari bersamaan. Shilla berteriak meraung-raung, kesakitan. Seseorang yang lewat mendengar teriakannya. Orang tersebut langsung memasuki konstruksi bangunan tersebut dan memotong tali yang menghubungkan Shilla dengan kuda. Kedua kuda itu lari.
"Siapa kau...?" tanya paman Jo, tetapi omongannya terpotong. Orang tersebut memukulinya. Tak lama kemudian paman Jo jatuh terkapar tak berdaya. Shilla tak dapat melihat dengan jelas, ia masih pusing. Lalu segerombolan laki-laki pun menghampiri orang yang telah menolong Shilla dan memukulinya. Orang tersebut menghindar dengan cepat, lalu memukuli mereka satu-persatu. Tak lama kemudian mereka semua telah tergeletak tak berdaya di atas tanah. Tetapi orang yang paling besar dan kekar diantara mereka menaiki konstruksi tersebut, yang hanya berupa kerangka besi yang tersambung. Ia pun mengangkat salah satu kerangka besi, bersiap menjatuhkannya. Dibawahnya ada Shilla yang sedang berusaha berdiri.
"Shill? Lo gak apa-apa?" tanya orang yang menolongnya itu. Shilla kenal betul dengan suara tersebut.
"Rio?" bisiknya. Rio menghampirinya, jaraknya sekitar 20 meter. Tiba-tiba Rio melihat ada orang yang menjatuhkan kerangka besi yang siap menghantam Shilla di kepala, dengan kecepatan jatuhnya kerangka itu bisa membunuh Shilla dalam sekejap. Rio pun berlari secepat yang ia mampu untuk menyelamatkan Shilla. Shilla masih pusing, ia tidak menyadarinya. Dan semua ini berlalu dengan sangat cepat baginya : Rio tak bisa berlari untuk menyelamatkan Shilla di waktu yang tepat, maka ia pun melompat. Shilla jatuh karena terdorong oleh Rio yang juga jatuh dalam keadaan tengkurap. Shilla jatuh cukup jauh dari tempatnya semula, tangannya lecet karena bergesekkan dengan aspal. Dilihatnya Rio, dan kerangka besi itu pun jatuh, tepat di atas kaki Rio.
"ARRGGHHHH!!" jerit Rio, darah dari kakinya keluar banyak sekali. (coba deh ini jadi film, pasti adegan ini bakal dijadiin slow motion. Jadi banyanginnya slow motion ya) Shilla tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia bangkit dan menghampiri Rio, duduk di samping kepala Rio. Ia terduduk lemas, mengelus rambut Rio. Air matanya menitik.
"Rio kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Shilla. Rio menggenggam tangan Shilla erat.
"Karena gue gak mau lo pergi ninggalin gue" jawab Rio.
"Tapi gak gini dong sebagai gantinya" ucap Shilla.
"Buat lo, apa aja bakal gue lakuin. Walaupun gue harus lompat dari atas gunung berapi ke dalemnya yang ada lavanya, gue bakal lakuin. Asal itu bisa buat lo seneng atau selamat, gue rela. Gue... gue sayang sama lo Shill, udah sejak lama" ungkap Rio. Air mata Shilla mengalir semakin deras.
"Argh!" ucap Rio kesakitan.
"Akhirnya gue bisa ungkapin itu ke lo Shill, di akhir hidup gue" sambungnya, menutup matanya.
"Rio, Rio jangan pergi!!" teriak Shilla.
"Gue sayang sama lo Yo, gue gak mau kehilangan lo! Jangan pergi!" teriak Shilla lagi, air matanya mengalir sangat deras. Tiba-tiba terdengar suara pistol yang disiapkan untuk menembak di belakang kepala Shilla. Terasa oleh Shilla sesuatu ditempelkan di belakang kepalanya. Pasti pistol.
"Kau sudah terpojok" ucap sebuah suara.
"Shilla" sambung suara tersebut.
"Kata-kata terakhir?" tanya suara tersebut. Shilla tak peduli. Ia hanya ingin bersama Rio sekarang, dan memberi tau dia tentang betapa Shilla sangat mencintainya.
"Om Dave" ucap Shilla, pikirannya melayang ke Rio.
"Dulu kita selalu bersama dan akrab. Sekarang aku mempunyai permintaan terakhir, bunuh aku" sambungnya. Tangan om Dave bergetar, Shilla mengetahuinya karena pistol yang ditempelkan di belakang kepalanya bergetar.
"Kenapa? Takut? Pasti masih terkenang masa-masa indah kita, sebagai ponakan dan paman" ucap Shilla. Tangan om Dave bergetar semakin hebat.
"Aku tau om pasti gak bisa bunuh aku" ucap Shilla. Om Dave pun menjatuhkan pistolnya.
"Berhenti! Ini polisi!" teriak sebuah suara. Shilla menoleh. Terlihat sekelompok polisi mengacungkan pistol. Shilla tau, mulai saat itu ia akan terbebas dari siksaan yang ia terima selama ini.
***
Akhirnya semuanya jelas. Paman Jo yang tidak sudi ditangkap pun bunuh diri dengan meminum racun yang tersimpan di giginya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia tertangkap. Sekelompok laki-laki itu divonis penjara 12 tahun. Om Dave divonis penjara 5 tahun. Shilla pun bebas dari cengkraman paman Jo. Tetapi ia tak peduli, ia hanya ingin Rio. Setelah penjahat-penjahat keji itu ditangkap Rio dan Shilla dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ternyata Rio masih hidup, hanya saja ia mengalami kelumpuhan di kaki. Shilla juga tidak apa-apa, ia hanya luka-luka. Hari itu Shilla datang menjenguk Rio, ia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Sedang Rio belum karena kakinya masih dalam perawatan. Rio tersenyum.
"Halo Yo, udah baikan?" tanya Shilla dengan senyum di wajahnya. Rio hanya mengangguk.
"Mau jalan-jalan?" tanya Shilla. Rio tersenyum, lalu mengangguk. Shilla pun mendorong kursi roda milik Rio ke samping tempat tidur Rio dan membantu Rio. Ia pun mendorong kursi roda Rio keluar kamar, menuju taman rumah sakit. Sesampainya di sana mereka hanya diam, keheningan menyelimuti mereka.
"Yo" panggil Shilla, memecah keheningan. Rio menatapnya.
"Makasih ya udah nyelamatin gue" ucap Shilla. Rio hanya mengangguk. Terjadi keheningan di antara mereka lagi.
"Mmm... jadi bener Yo?" tanya Shilla.
"Apaan?" tanya Rio balik.
"Yang lo bilang ke gue" jawab Shilla.
"Yang mana?" tanya Rio.
"Yang... lo sayang sama gue" jawab Shilla. Rio diam.
"Lo gak denger apa kata gue pas lo pingsan?" tanya Shilla. Rio menggeleng.
"Kan gue pingsan, masa iya sih gue denger" ucapnya. Shilla tersenyum kecil.
"Gue bilang, gue gak mau lo pergi. Gue... gue juga sayang sama lo" ungkap Shilla, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Rio menatapnya.
"Bener?!" tanya Rio kegirangan. Shilla mengangguk. Rio memeluknya erat.
"Ri... o... gu... e... gak... bisa... na... fas!!" ucap Shilla terbata-bata. Rio melepaskan pelukannya.
"Ehm. Lo masih sayang sama gue?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Bener?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi.
"Walaupun lo tau keadaan gue sekarang?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi.
"Walaupun gue sekarang lumpuh dan gak bisa jagain lo lagi?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Gue gak peduli, mau lo lumpuh, buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik, atau kutilan, gue gak peduli. Hati gue ada di lo dan gue gak mau ngubah kenyataan itu" jelas Shilla.
"Tapi gue gak buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik dan kutilan. Gue cuma lumpuh" protes Rio.
"Kan perumpamaan" ucap Shilla. Rio tertawa.
"Jadi?" tanya Rio.
"Apa?" tanya Shilla.
"Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Rio.
"Banget" jawab Shilla.
"Jadi udah resmi?" tanya Rio.
"Resmi apaan?" tanya Shilla.
"Kita pacaran" jawab Rio.
"Iya. Dengan cara yang tidak romantis dan sangat polos sekali" jawab Shilla.
"Sori Shill..." ucap Rio. Shilla memeluknya dari belakang.
"Gak apa-apa. Yang jelas aku punya kamu sekarang" ujar Shilla.
"Makasih Shill" ucap Rio. Shilla tersenyum, menikmati hangatnya pelukannya pada Rio.
***
Keesokan harinya
Rio boleh pulang hari itu. Shilla menjemputnya. Ketika memasuki kamar rawat inap Rio, betapa kagetnya ia melihat kamar itu disulap menjadi indah. Kasur tempat tidur Rio di tutupi dengan seprai merah, dengan mawar-mawar yang membentuk hati di atasnya. Seluruh lantai ditutupi oleh kelopak-kelopak bunga, didominasi oleh warna merah. Meja-meja diletakkan vas-vas bunga berisi bunga mawar merah dan hitam, tapi lebih banyakan bunga mawar merah. Di mana-mana terlihat lilin kecil nan gemuk dinyalakan, dan ruangan di sana gelap. Hanya terlihat cahaya remang-remang dari lilin. Di sofa merah tergeletak sebuah gaun berwarna hitam dengan pita merah terang di pinggangnya sebagai ikat pinggang. Tersedia bando dan sepatu high heels warna merah, dan surat bertuliskan 'Pakai'. Shilla terpesona, lalu mengambil gaun dan ke toilet untuk memakainya. Suasana hatinya senang, firasatnya baik. Setelah ia memakai semuanya, ia pun menunggu di tengah-tengah ruangan. Tiba-tiba matanya ditutup oleh sebuah kain. Shilla membukanya, dan tampaklah Rio di hadapannya. Ia memakai jas hitam dan duduk di atas kursi roda, tersenyum.
"Rio? Ada apa ini?" tanya Shilla, memandang sekelilingnya.
"Emm... kemarin kan kamu minta yang romantis, nah aku kasih" jawab Rio.
"Tapi kan kita udah resmi pacaran? Gak bisa diulang lagi dong" ucap Shilla. Rio tertawa kecil, lalu menggeleng.
"Bukan peresmian kita jadian kayak kemarin, bukan, bukan itu" ucapnya.
"Terus apa?" tanya Shilla. Rio mendesah.
"Kalau aja aku bisa berlutut... hhh. Udahlah" keluh Rio. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.
"Ashilla Zahrantiara, maukah kamu... menjadi istriku?" tanya Rio, membuka kotak yang ia keluarkan dari kantungnya tadi. Terlihat sebuah cincin indah di dalamnya. Shilla terperanjat.
"Maafin aku, aku tau ini terlalu cepet. Tapi... aku mau mencintai kamu seumur hidupku, aku pingin menghabiskan seluruh sisa hidup aku sama kamu. Lagian kan kita udah umur 22 tahun, udah gede" ucap Rio. Shilla pun memulihkan diri dari kekagetannya, lalu mengangguk.
"Iya, aku mau" ucapnya. Rio kegirangan, hampir saja ia melompat. Lalu ia mengambil cincin dan memakaikannya di jari Shilla. Lalu ia mengecup tangan Shilla. Shilla hanya tertawa kecil.
"Mau kuantar?" tawar Rio. Shilla tersenyum lalu duduk di pangkuan Rio, menyamping (kayak tanda plus... + yang horizontal Rio yang vertikal Shilla), tangannya dikalungkan ke leher Rio. Rio pun tersenyum dan menggerakkan kursi rodanya keluar kamar, mengantar Shilla ke lobby. Mereka pun mengabarkan kabar gembira ini, dan mendapat kabar bahwa Alvin dan Zahra serta Oik dan Obiet juga akan menikah. Mereka pun menikah pada tanggal, waktu dan tempat yang sama, alias tiga sekaligus.
***
Sebulan setelah mereka menikah
Rio, Shilla, Alvin, Zahra, Oik dan Obiet janjian mau ketemuan, mau foto-foto bareng. Sekalian, nyalurin bakat narsis mereka. Gak ada yang narsis sih. Paling cuma Obiet. Gak penting banget deh. Mereka pun sampai di lokasi, lalu segera menyiapkan alat-alat foto dan lain-lain. Setelah siap, mereka makan dulu, habis itu foto. Setelah itu mereka tinggal menunggu hasil foto deh. Trus pulang ke rumah masing-masing. Dua hari kemudian, mereka cetak foto. Setelah selesai, yang cewek ribut pada mau liat hasil. Biasalah, cewek kan gak mau kelau gak keliatan cantik. Shilla pun membuka amplop foto tersebut, lalu mengeluarkan selembar foto. Ada 6 lembar foto di situ, dan itu semua sama. Satu orang satu. Shilla memerhatikan foto itu sambil senyam-senyum sendiri melihat ia dan Rio. Lalu pandangannya beralih ke semua peserta foto lainnya. Kemudian, matanya menangkap satu pemandangan aneh. Ia berkali-kali menggosok matanya, tetapi tetap saja, gambar itu masih sama. Wajahnya pun pucat, ia menggenggam erat foto tersebut. Ia menatap Rio.
"Kenapa Shill?" tanya Rio, mendorong kursi rodanya untuk menghampiri Shilla. Shilla menunjukkan foto itu dengan tangan bergetar.
"Kenapa Shill? Bagus kok hasilnya" ucap Rio, memandangi foto Rio dan Shilla. Shilla menggeleng, lalu menunjuk ke sebuah tempat yang membuatnya pucat.
"Eh?" tanya Rio saat melihatnya.
"Kenapa sih?" tanya yang lain penasaran. Shilla menunjukkan foto itu, menunjuk pojok yang menyeramkan itu. Seketika wajah yang lain pucat melihatnya.
"Ada apa sih?" tanya petugas cetak foto yang ikut-ikutan. Shilla menunjukkan foto itu. Menurut petugas tersebut, tidak ada yang aneh sama sekali. Menurut penglihatannya, di sebelah kanan ada Rio dan Shilla, Shilla sedang memeluk Rio dari belakang. Di sebelah kiri ada Alvin dan Zahra, Alvin sedang bersandar ke sebuah pohon yang agak besar, memeluk Zahra dan menyandarkan kepala Zahra di dadanya. Di tengah, tepatnya sebuah pohon yang besar, terlihat sebuah ayunan yang tergantung di dahan. Oik duduk di sana, Obiet berdiri di belakangnya. Dan... di tengah-tengah, terlihat Sivia dan Gabriel, sepertinya dalam posisi berdansa. Mereka berdiri dekat sekali, Gabriel memegang pinggang Sivia dan mengecup kening Sivia. Sivia hanya tersipu malu dan menunduk. Di sekeliling mereka bercahaya, dan seperti ada angin yang menerbangkan daun yang berguguran di sekeliling mereka.
"Kenapa? Ini kan bagus banget" ucap petugas itu. Alvin menggeleng kuat-kuat.
"Mereka.... mereka berdua, yang ditengah ini, udah meninggal dunia" ucap Alvin, menunjuk Sivia dan Gabriel. Petugas tersebut membelalak.
"Kapan?" tanya petugas tersebut.
"Udah lama, kira-kira 2 bulan yang lalu" jawab Alvin.
"Ambil foto ini kapan?" tanya petugas cetak foto itu lagi.
"Kemarin lusa" jawab Rio. Petugas itu diam.
"Ya udah, kita pamit dulu deh" ujar Oik. Yang lainnya mengangguk. Mereka pun membayar harga cetak foto dan pergi dari toko tersebut.
"Eh, kita kasih fotonya ke Iel sama Via yuk" ajak Oik.
"Yuk" tanggap yang lain. Mereka pun pergi ke makam Sivia dan Gabriel. Sesampainya di sana mereka langsung menuju makam sahabat mereka itu.
"Via! Iel! Udah tau, kan? Kita udah nikah semua?" tanya Obiet bersemangat.
"Udah!! Kita berkali-kali ngulang, sampai ngasih undangan pernikahan kita segala!" teriak Zahra yang bosan.
"Nyantai bu..." ucap Rio.
"Oya, kita mau ngasih ini" ucap Oik, memberikan foto itu, lalu memasukkannya di pot bunga makam Gabriel dan Sivia.
"Nah. Ada lagi?" tanya Obiet.
"Iya" jawab Rio. Semua menatapnya.
"Apaan?" tanya Oik.
"Gue lupa bilang, gue benciiii... sama elo, Shill!" ucap Rio.
"Kok?" tanya Shilla.
"Gue bener-bener cinta sama elo, Shill" jelas Rio sambil tertawa.
"Nah, kalau begitu aku juga benci sama kamu Zah" ucap Alvin ikut-ikutan.
"Copycat lo semua, kan paling pertama gue. Aku benci sama kamu Ik" ucap Obiet.
"Ucapinnya yang bener, dong! Gak enak kalau dibilang gue benci sama lo" ujar Shilla. Rio, Alvin dan Obiet nyengir.
"Aku bener-bener cinta sama kamu!" teriak mereka keras-keras, saat itu juga ada angin lembut yang lewat, dan meneriakkan hal yang sama. Suara Gabriel. Yang cewek tertawa.
"Nah, ada lagi?" tanya Rio. Yang lain menggeleng. Mereka pun pulang, dengan hati yang bahagia dan tenang. Mereka penasaran, seperti apa mereka yang akan datang, dan seperti apa anak-anak mereka nanti...
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar