Sabtu, 11 Juni 2011

Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 35 & 36

PREVIOUS PART

---

(Part 35)

Mereka masuk sekolah sambil gandengan tangan, tak memperdulikan 100 pasang mata yang memerhatikan mereka. Setelah menaruh tas di kelas mereka langsung mojok berdua. Teman-teman seangkatan Keke menghampiri mereka.

"Eh kak Deva, Ke, kalian berdua jadian ya?" tanya salah seorang teman mereka.

"Iya" jawab Deva singkat, matanya masih memandangi Keke. Tangannya menggenggam tangan Keke erat, tak mau dilepaskan.

"Gila ya, emang benci sama cinta tuh deket banget. Kan biasanya pada berantem, bisa-bisanya jadian sekarang" komentar ketua kelas 8D.

"Ya serah lah, yang jelas dapet cewek paling sempurna" tanggap Deva cuek.

"Wess mesranya... pajaknya pas istirahat ya" ujar teman yang lain.

"Serah deh. Deva ini yang bayar" sahut Keke. Deva hanya diam memandangi Keke.

"Kamu kenapa sih Dev? Kok ngeliatin aku mulu, emang ada yang aneh ya?" tanya Keke, melihat dirinya, berusaha menemukan apa yang aneh.

"Iya Ke, ada yang aneh sama kamu" jawab Deva.

"Hah? Apa Dev? Kok gak bilang dari tadi?" tanya Keke, makin heboh mencari apa yang ingin ditemukannya.

"Aku penasaran Ke, kok kamu tuh cantik banget ya? Muka kamu lebih cantik dari pada semua cewek yang pernah aku liat, aura kamu itu lebih terang dari pada bintang yang paling terang, aku bersyukur bisa milikin kamu dalam hidupku" jawab Deva ngegombal.

"Beuh, ngegombal ni anak. Ayo tinggalin mereka, gak baik gangguin pasangan kasmaran!" perintah ketua kelas 8C. Yang lainnya menurut karena keputusan anak tersebut selalu benar. Itulah kenapa dia bisa memecahkan rekor 8 kali berturut-turut jadi ketua kelas. Mereka langsung ke kelas masing-masing.

"Akhirnya kita bisa berduaan Ke" ujar Deva. Keke tersenyum manis, senyum yang membuat Deva jatuh cinta padanya.

"Oya Dev, kemarin aku nyobain cokelat kamu, enak banget. Kamu jago masak ya?" tanya Keke.

"Iya. Aku buat cokelat itu sambil mikirin kamu, senyum kamu, wajah cantik kamu, terus ngebandingin sama bulan dan bintang. Aku jadi penasaran, bintang sama bulan purnama itu indah. Semua orang bilang begitu. Tapi kenapa kamu lebih indah dari itu semua?" tanya Deva, memandang ke arah langit. Keke menunduk malu, menyembunyikan kesaltingannya dan mukanya yang memerah. Kriinngg!!! Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa seluruh siswa harus masuk ke kelas masing-masing.

"Yah, itu bel ganggu aja. Ya udah, aku ke kelasku dulu ya" pamit Deva. Keke mengangguk, wajahnya yang merah itu sudah menghilang.

"Belajar yang serius ya Dev. Inget, UN tinggal beberapa bulan lagi" ujar Keke.

"Iya Kekeku... kamu juga ya, walaupun kamu kelas 8. Siap-siap menerima serangan kelas 9 seperti aku sekarang" sahut Deva, mengecup pipi Keke. Pipi Keke memerah malu. Ia memeluk Deva, lalu mereka segera menuju kelas masing-masing, tak sabar menunggu saat istirahat.

***

Di kampus

"Halo semua" sapa Shilla dengan senyum manisnya. Yang di deket dia nengok semua.

"Shilla? Lo kenapa gak masuk? Gila gue kangen berat sama lo!" teriak Zahra, memeluk sahabatnya itu.

"Iya iya sori, gue lagi shock aja. Nih tanda maaf gue" ujar Shilla, mengeluarkan beberapa tempat makan bawaannya.

"Ini buat lo, ini buat lo, yang ini buat lo, kalo yang ini buat lo, yang terakhir buat lo. Pas deh" ujar Shilla, membagikan barang bawaannya itu, satu anak satu.

"Apa nih? Oh paella... enak nih Shill. Makasih" ujar Obiet.

"Iya sama-sama. Oya Yo, si Keke pelit abis! Masa gue minta cokelatnya dikit gak dikasih, alesannya itu buatan Deva" gerutu Shilla. Rio tertawa.

"Deva? Siapa tuh?" tanya Oik.

"Pacarnya adek gue, baru jadian kemaren di rumah gue. Gila, gue ditinggal adek gue sendiri" jawab Shilla.

"Iya tuh, bikin cemburu aja. Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah tau gimana caranya pacaran. Padahal baru umur 14 sama 13" timpal Rio.

"Hah? 14? Siapa yang umurnya segitu? Setau gue si Keke tuh umurnya 11, kalo Deva umurnya 13" jelas Shilla.

"Hah? Adek lo kelas 8 kan?" tanya Alvin.

"Iya, tapi jangan salah sangka tu anak tuh pinter banget. Nemnya aja 30. Nilai sempurna" jawab Shilla.

"Beda dong sama lo Shill" celetuk Rio. Shilla menatapnya tajam.

"Maksud lo apa?" tanya Shilla sambil membentak.

"Maksud gue, kan dia pinter, lo bego" jawab Rio santai.

"Heh kalo ngomong tuh ngaca dulu dong, siapa sih yang dapet nilai 50 tes kemaren?" tanya Shilla menyindir Rio.

"Itu kan gara-gara gue gak masuk 3 hari! Mana gue tau pelajarannya? Kan kimia gak kayak medis, gak diulang-ulang!" teriak Rio, tidak terima disindir Shilla. Shilla membuka mulut hendak membantah Rio.

"Udah yuk masuk, entar dimarahin dosen lagi" lerai Oik. Semua pun menurut.

***

Sesampainya di kelas, Shilla langsung disambut teman-temannya. Gara-gara terlalu ribut, mereka tak menyadari bahwa dosen galak sudah datang untuk mengajar kelas Shilla. Dosen tersebut menunggu. Sepuluh menit kemudian...

"Kalian ini mau belajar tidak, sih? Cepat duduk di tempat masing-masing!" teriak dosen galak, kesabarannya habis. Secepat kilat semua langsung menurut.

"Baiklah, karena kalian semua tidak menghormati, kalian harus membuat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal memiliki 50 lembar. Semua itu harus dikumpulkan besok" ujar dosen lantang. Gila, galak amet ni dosen! Sumpah ya, baru masuk langsung dapet hadiah kayak gini, gak bakalan gue lupain! batin Shilla.

***

Jam istirahat sekolah Keke dan Deva

"Ke, mana pajaknya?" tagih salah seorang teman Keke.

"Kok nagih gituan ke gue? Ke Deva aja, orang dia yang bayarin ini" ujar Keke santai.

"Ya kan kak Deva kakak kelas kita, masa iya sih kita samperin gitu aja trus nagih. Siapa kita?" tanya seorang temen yang lain.

"Bilang aja pesan dari gue" Keke memberi saran.

"Tuh kak Deva!" teriak salah seorang sahabat Keke sambil menunjuk Deva yang sedang lewat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Keke langsung melihat ke arah yang ditunjuk Irva, sahabatnya tadi. Deva menengok ke arah suara. Ia pun tersenyum, sukses membuat jantung Keke berdebar tak karuan. Deva menghampiri rombongan Keke, lalu menerobos kerumunan sampai bertemu dengan Keke. Ia pun langsung merangkul Keke.

"Halo Ke, akhirnya kita ketemu juga. Aku sampai gak konsen ke pelajaran loh gara-gara mikirin kamu" sapanya sambil mengecup pipi Keke. Keke pun memeluknya.

"Jangan gitu dong, entar kamu gak lulus UN loh" ujarnya. Deva tertawa.

"Oya Dev, pajaknya kapan? Temen-temenku udah pada nagih nih" tanya Keke.

"Sekarang. Tapi yang keciprat cuma sahabat kamu doang. Kalau semua temen kamu bisa bangkrut akunya" ungkap Deva, balas memeluk Keke.

"Oh. Irva, lo ikut ya" ujar Keke.

"Iya, yes ditraktir!" sorak Irva senang.

"Yah... kita gak ditraktir deh" keluh teman-teman Keke yang lain.

"Woi Dev! Sini lo! Jemput cewek lo lama amet!" teriak salah satu dari 3 sahabat Deva.

"Berisik lo! Ini juga mau ke sana!" Deva balas berteriak.

"Yuk Ke, sama lo... namanya siapa?" tanya Deva.

"Irva" jawab Irva.

"Iya, elo. Yuk ah, ntar sobat gue ngamuk" ujar Deva, menggandeng tangan Keke dan menuju ke tempat sahabat-sahabatnya berada. Irva ngekor.

"Oh, jadi ini si Keke. Orang yang lo bilang cantik banget, senyumannya tuh senyuman yang paling manis sedunia," komentar salah satu sahabat Deva.

"Matanya lebih bagus dari batu topaz, rambutnya bagus banget kayak orang di iklan shampoo," sambung sahabat Deva yang satunya lagi.

"Orangnya item manis dan pinter banget, jago olahraga, jago akting dan nyanyi... Hmmff, hmmmff!" sambung sahabat Deva yang terakhir, yang bakal ngebocorin rahasia Deva lebih banyak kalau saja mulutnya gak disumpel sama Deva pake tisu satu bungkus. Keke terkikik, Deva tertunduk malu. Deva pun memandang sahabat-sahabatnya itu dengan tatapan Ngapain-Lo-Bocorin-Jelek-Banget-Sih-Lo. Ketiga sahabatnya ngakak, sahabat Deva yang mulutnya disumpel lupa kalau mulutnya lagi disumpel, akibatnya ditelanlah beberapa lembar tisu secara tak sengaja olehnya.

"Uhuk! Uhuk!" ujarnya, menyemburkan tisu-tisu yang ada di mulutnya. Kini Deva yang ngakak.

"Puuuhhh! Kurang asem lo Dev! Keselek gue!" teriak sahabat Deva yang mulutnya disumpel tadi. Deva masih aja ngakak. Tiba-tiba Keke pun memeluknya lalu mengecup pipinya. Pipi Deva memerah, ia kaget.

"Makasih ya pujiannya" ujar Keke sambil tersenyum manis. Deva serasa terbang ke langit. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kantin, Irva ngekor. Mereka meninggalkan ketiga sahabat Deva yang sibuk mengurusi korban 'insiden keselek tisu'. Setelah selesai ketiga sahabat Deva langsung menyusul.

***

Di kantin

Mereka semua duduk dalam satu meja. Keke duduk di sebelah kanan Deva, Irva duduk di sebelah kanan Keke, dan ketiga sahabat Deva duduk di depan mereka. Deva memeluk Keke, menyandarkan kepala Keke di dadanya. Yang duduk semeja sama mereka berdua langsung pasang tampang mual.

"Pesen apa?" tanya Deva. Mereka pun menyebutkan pesanan masing-masing. Setelah pesanan mereka datang, mereka pun makan.

"Amm..." ujar Deva ketika disuapi oleh Keke.

"Ih, kak Deva manja deh. Masa udah gede masih aja disuapin sama ceweknya? Ckckck.." komentar Irva, menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Biarin, yang jelas enak disuapin sama cewek. Apalagi yang nyuapin Keke" tanggap Deva cuek, di kalimat terakhir ia memandangi Keke dengan senyum nakal, bukan senyum manis seperti biasanya. Keke tertunduk malu. Deva merangkulnya. Mereka berenam pun melanjutkan makan.

***

Sepulang sekolah, Keke diantar Deva ke rumahnya. Sesampainya di rumah Keke, Keke langsung turun dari mobil Deva dan tersenyum manis.

"Makasih Dev, mau mampir bentar?" tanya Keke. Deva meleleh melihat senyum Keke. Ia pun mengangguk.

"Yuk Dev" ajak Keke, mengisyaratkan Deva untuk mengikutinya. Deva turun dari mobilnya dan mengikuti Keke masuk ke rumahnya. Seperti biasa, Deva duduk di sofa ruang tamu. Keke ke dapur, membuat minuman untuk Deva. Setelah selesai ia membawakan minuman buatannya itu ke ruang tamu tempat Deva berada. Ia pun menaruh dua gelas bawaannya yang berisi sirup jeruk di meja, lalu duduk di samping Deva. Deva merangkulnya.

"Kak Shilla mana Ke? Katanya pulang cepet" tanya Deva.

"Kok nyariin kak Shilla?" tanya Keke.

"Kan aku mau makan, dan uangku diabisin sahabat aku gara-gara insiden keselek tisu itu, gitu doang kok ampe mesen berapa piring makanan sih?" gerutu Deva kesal.

"Sabar Dev, bentar ya aku panggilin kak Shilla dulu" pamit Keke, lalu ia berjalan ke arah kamar kakaknya. Sesampainya di sana, ia mencari-cari kakaknya yang tidak ada di sana.

"Kak? Kak Shilla Keke pulang! Ada Deva loh" teriak Keke di dalam kamar kakaknya sambil mencari-cari Shilla.

"Kak? Kakak di mana? Katanya mau pulang cepet buat masakin Keke?" tanya Keke sambil teriak-teriak.

"Kak? Keluar dong!" teriak Keke memaksa.

"Kak!" teriak Keke, lalu terhenti ketika melihat secarik kertas yang dilipat, di atasnya tertulis 'Untuk Keke'. Keke memasang tampang bingung, lalu mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan membaca tulisan di dalamnya. Keke membelalak tak percaya, lalu mematung. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar dan membuat Deva khawatir. Tapi tetap saja, air matanya pun jatuh. Keke jatuh terduduk, ia menempelkan wajahnya di tangannya. Deva yang mendengar suara tangisan Keke spontan berlari ke arah kamar Shilla. Ditemukannya Keke yang sedang menangis di dalam kamar Shilla. Ia pun menghampiri Keke dan memeluknya.

"Ke? Ke kamu kenapa?" tanya Deva khawatir, membelai rambut pacarnya. Keke terisak, memeluk Deva dan menangis di pelukannya.

"Ke, kasih tau aku dong kamu kenapa" ujar Deva.

"Kkk... kak Shilla..." ucap Keke, menurut pada Deva.

"Kak Shilla? Kak Shilla kenapa Ke?" tanya Deva lembut. Tangisan Keke semakin menjadi-jadi, lalu ia menyerahkan surat dari Shilla.

"Eh?" tanya Deva, menerima surat itu. Deva membacanya secepat kilat.

"Eh Ke? Kamu serius? Gak bercanda kan?" tanya Deva. Keke mengangguk, lalu menangis lagi. Deva mematung, dan terjadi keheningan di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara tangisan Keke.

"Halo? Kok sepi?" tanya sebuah suara di ruang tamu. Keke dan Deva tersentak kaget.

"Woi siapa di sana?" tanya Deva sambil membentak. Pemilik suara tersebut menghampiri kamar Shilla. Ia membuka pintu.

"Lah, kenapa ini? Kok Keke nangis?" tanyanya bingung.

"Kak Rio? Kok bisa masuk?" tanya Deva.

"Abis gak ada siapa-siapa, ya udah gue masuk aja. Mau nganterin makalahnya Shilla, ketinggalan di kampus" ujar Rio. Keke menangis semakin keras.

"Keke kenapa Dev?" tanya Rio panik.

"Kak Shilla..." jawab Deva memulai.

"Shilla? Shilla kenapa?" tanya Rio semakin panik.

"Kak Shilla pergi, kabur gak tau ke mana" jawab Deva.

"Hah? gak mungkin, tau dari mana lo?" tanya Rio membentak.

"Santai kak, nih buktinya" ujar Deva, memberikan surat dari Shilla. Rio membacanya.

"Gak mungkin, gak mungkin" gumamnya berkali-kali.

"Mungkin kak, ini udah terjadi. Deva yakin, kak Shilla gak mungkin nyiptain lelucon kayak gini, pasti ini serius kak" ujar Deva. Rio menatapnya, sorot matanya meminta belas kasihan. Deva mengangkat bahu, ia lalu kembali menenangkan Keke. Surat tersebut tertiup angin, terbang keluar jendela.

Keke,

Maafin kakak Ke, kakak harus ngelakuin ini. Kakak mau pergi, gak tau ke mana. Yang jelas pergi jauh dari sini. Oke, kakak punya tujuan. Tapi kamu gak boleh tau, ini rahasia kakak.

Paman Jo memberi surat kepada kakak, isinya bakal ngincar kakak. Kakak gak mau kamu jadi korban seperti ayah dan Iyel, kakak gak mau kamu ninggalin kakak seperti mereka.

Maafin kakak, tapi kakak gak sanggup lagi melihat orang-orang yang kakak sayang pergi ke dunia lain karena kakak.

Maafin kakak sekali lagi. Kakak yakin, Deva dan sahabat-sahabat kakak bisa jagain kamu.

NB : jangan cari kakak. Kakak gak bakal balik ke rumah kecuali kalau sudah aman.

-Shilla-


+++

(Part 36)

Shilla berjalan menuju tempat tujuannya sambil menyeret koper di belakangnya. Ia celingak-celinguk, mencari bangunan yang akan ia tinggali. Akhirnya ia menemukannya, apartemen beralamat Jl. Munako blok FB 13 nomor 60. Apartemen yang sudah disewanya jauh-jauh hari, in case ada kejadian kayak gini.

Setelah sampai ia pun menaruh tasnya dan meringkuk di pojokan, memikirkan apa yang telah ia tinggalkan. Alvin, Zahra, Keke, dan... Rio.

Rio. entah kenapa, nama itu mampu membuat jantungnya seolah tertusuk oleh belati perak. Mengapa ia tidak menyadari hal ini sebelumnya? ia menyayangi Rio. Dan bukan hanya sekedar rasa sayang sahabat, melainkan rasa sayang dari seorang cewek ke cowok. Yah, namun apalah artinya penyadaran itu kalau ia tidak akan menemuinya lagi? Pedih memang.

Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Ia merogoh kantungnya dan membaca layarnya.

Rio is Calling...

Senyum kecil tersungging di bibirnya. Panjang umur banget ni anak, baru aja dipikirin langsung menelepon saja, pikirnya. Masih tersenyum, ia menaruh benda itu di sampingnya, lalu membiarkannya berbunyi. Sedang ia hanya membenamkan mukanya ke lutut, menangis.

3 hari berlalu dengan sangat cepat tanpa ada yang berubah. Shilla masih saja membenamkan kepala dalam lututnya, dan telepon genggamnya berkali-kali berbunyi tanpa ia angkat.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Shilla mengangkat wajahnya, lalu memerhatikan pintu. Tidak ada apa-apa. Terdengar suara ketukan lagi. Shilla pun berdiri lalu menyisir rambutnya dengan tangan sembari berjalan ke arah pintu. Ia membukanya, dan wajah Rio langsung muncul. Mata Shilla membelalak. Ia memerhatikan pemuda yang berdiri di depannya dari atas sampai bawah. Rio berantakan. Bajunya masih sama dengan yang dipakainya di kampus tempo hari, hanya saja jauh lebih kotor. Rambutnya acak-acakan. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung celana jeansnya, dan ekspresinya marah. Itu jelas.

"Boleh masuk?" tanyanya dengan nada amarah tertahan. Spontan Shilla mengangguk dan mempersilahkan ia masuk. Rio pun berjalan masuk. Shilla menutup pintu.

"Apa maksud lo?" tanya Rio marah. Shilla terkejut bercampur bingung.

"Maksud?" tanya Shilla dengan suara serak.

"Apa maksud lo ninggalin kehidupan lo gitu aja?! Ninggalin kuliah lo, gue, Alvin Zahra, Oik Obiet, Deva, KEKE! Keke Shill, lo tau gimana hancurnya dia?? Dia tuh masih kecil Shill, masih 11 tahun! Lo kira dia bisa nyari uang buat hidup? Lo kira dia bisa masak?? Gue tau lo takut sama Paman Jo, tapi at least lo mikirin hal-hal dasar kayak gitu dong! Lo seharusnya diskusi dulu sama temen-temen lo, jangan ngambil keputusan tiba-tiba kayak gini..." bentak Rio. Shilla tersentak kaget.

"Gu, gue gak mikir sejauh itu..." sahut Shilla dengan suara kecil. Rio , lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan stress.

"Halaaahhh!!" teriaknya. Shilla menunduk.

"Terus kenapa lo gak ngangkat telepon dari kita semua? Kita semua tuhnelpon lo berkali-kali, SMS berkali-kali, lonya gak jawab-jawab. Kenapa?" tanyanya. Shilla mengangkat bahu.

"I guess i want to stay hidden" ucapnya serak. Rio menoleh ke arahnya.

"Gue tau lo lagi hancur. Tapi tolong, jangan pernah kabur kayak gini lagi. Kita semua takut elo kenapa-napa. Kalau lo cemas atau apa, lo bisa kok diskusi ama kita semua. Kita bakal selalu ada buat lo" ucapnya sembari memeluk Shilla. Shilla balas memeluknya, lalu menangis. Rio hanya diam.

"Nah. Pulang yuk?" ajaknya setelah Shilla agak tenang. Shilla pun mengangguk, lalu mengambil tas-tasnya.

"Omong-omong kenapa lo bisa nemuin gue?" tanya Shilla. Rio tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita yang sangat dicintainya itu.

"Anggep aja gue jago nyari orang" jawabnya. Shilla tersenyum kecil.

"Kalau udah lulus kuliah jadi detektif aja" usul Shilla. Rio tertawa.

"Iya deh, gue pertimbangin" ucap Rio. Shilla hanya tersenyum kepadanya.

***

Rumah Shilla

Rio membunyikan bel rumah Shilla. Tak ada jawaban dan tindakan dari dalam rumah. Rio membunyikan bel lagi. Ia semakin jengkel gara-gara gak ada jawaban atau tindakan lagi. Ia pun membunyikan bel lagi. Dan lagi, dan lagi, dan lagi...

"Udahlah Yo, masuk aja. Rumah gue juga" ujar Shilla tak sabaran. Rio membuka pintu pagar.

"Sialan, dikunci" keluh Rio. Shilla mendorong Rio menjauhi pagarnya, lalu ia mengambil kunci rumahnya dan membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya. Rio memutar-mutar bola matanya secara dramatis lalu mengikuti Shilla.

***

Di dalam rumah Shilla

"Yo, si Keke mana?" tanya Shilla bingung, padahal tadi Rio bilang kalau Deva mampir. Harusnya ada di ruang tamu, soalnya gak mungkin kalau di kamar Keke. Keke kan kukuh pada pendiriannya, cowok gak boleh masuk kamarnya.

"Sini, ikut gue" ujar Rio, menuju kamar Shilla.

"Kok kamar gue?" tanya Shilla. Rio tak menjawab, ia membuka pintu kamar. Shilla membelalak kaget melihat Deva memeluk Keke. Keke tidak menangis lagi, air matanya sudah kering.

"Woi ngapain mesra-mesraan di kamar kakak?" tanya Shilla sambil berteriak.

"Kak Shilla? Kak Shilla!" teriak Keke girang, melepaskan pelukan Deva lalu berlari memeluk kakaknya.

"Makasih kak Rio" ujarnya.

"Sama-sama" sahut Rio. Shilla megap-megap gak bisa nafas.

"Kkk... Ke.. kakak gak bisa nafas" ucap Shilla.

"Sori kak" ujar Keke, melepaskan pelukannya. Lalu ia menatap tajam kakaknya.

"Kakak, kakak tuh konyol banget, sih! Kakak mikir dong, kalau kakak pergi Keke tinggal sama siapa? Masa Keke tinggal sendiri? Papa kan udah gak ada!" bentak Keke.

"Sori Ke, kakak gak mikir sampe ke situ" ujar Shilla. Keke ngambek. Deva merangkulnya. Wajah Keke menjadi biasa lagi.

"Ya udah kak, Keke sama Deva laper. Masakin sesuatu gih" perintah Keke.

"Iya deh... mau dimasakkin apa?" tanya Shilla.

"Mmm..." ucap Keke, memasang pose berfikir.

"Spaghetti neopolitan" jawab Deva, memegang bahu Keke. Keke tersenyum melihat Deva. Deva tersenyum balik.

"Hoek..." ujar Shilla dan Rio bersamaan, memasang pose muntah. Keke dan Deva tertawa.

"Ya udah sana kak, hus hus sana ke dapur!" usir Keke.

"Gimana sih, gue yang punya kamar gue yang diusir" gerutu Shilla sambil pergi.

"Yah Shill, ntar gue muntah nih ngeliat pasangan satu ini!" teriak Rio manja. Keke dan Deva menatapnya tajam.

"Ya udah kalo gak mau muntah sana temenin kak Shilla! Sekalian cari kesempatan. Sana pergi hus-hus!" usir Keke. "Iya deh..." ujar Rio pasrah, membuka pintu kamar Shilla dan menyusul Shilla ke dapur. Keke sama Deva gombal-gombalan di kamar Shilla.

***

Dapur

Shilla sedang menyiapkan bahan-bahan ketika Rio masuk.

"Ngapain di sini?" tanya Shilla.

"Lo tega bener ninggalin gue sama pasangan satu itu, yang ada gue muntah kali" ujar Rio. Shilla tertawa, membuat jantung Rio berdetak tak karuan.

"Sori deh Yo... mau bantuin gue?" tanya Shilla. Rio mengangguk.

"Dari pada gue gak ada kerjaan?" ujarnya.

"Nih, lo potong jadi dua, terus lo iris" perintah Shilla, menyiapkan talenan dan pisau di depan Rio, lalu menaruh bawang bombay di atas talenan.

"Kalo udah selesai, lo potong ini jadi dua, bersiin dalemnya, trus lo iris" perintah Shilla, meletakkan paprika di samping bawang bombay. Rio mengangguk, lalu berusaha mengikuti Shilla. Sedang Shilla memanaskan air untuk merebus spaghetti, setelah mendidih barulah ia memasukkan spaghetti. Ia pun menghampiri Rio untuk mengawasi pekerjaan Rio.

"Bisa Yo?" tanya Shilla. Rio kaget.

"Eh, bisa kok" ujarnya, jantungnya berdegup kencang.

"Mmm, lumayan buat amatir" komentar Shilla, melihat hasil potongan Rio. Rio hanya mengangguk, hatinya senang sekali dipuji Shilla. Walaupun itu hanya sebuah pujian kecil. Rio semakin bersemangat memotong paprika, sehingga ia pun tidak hati-hati.

"Au!" ujarnya, meletakkan pisau dan memegang tangannya.

"Kenapa Yo?" tanya Shilla, menengok ke arah Rio.

"Eh, gak apa-apa kok" ujarnya, menyembunyikan sebelah tangannya.

"Lo kenapa?" tanya Shilla lagi.

"Gak apa-apa" jawab Rio. Shilla memerhatikan Rio dari atas sampai bawah. Ia menganggukan dagunya ke arah tangan Rio yang disembunyikan.

"Tangan lo kenapa?" tanya Shilla.

"Eh, gak kenapa-napa kok, udah lanjutin aja masaknya" ujar Rio. Shilla menghampiri Rio, lalu menarik tangan Rio yang disembunyikan Rio di balik punggungnya. Rio pasrah.

"Tangan lo kok luka Yo?" tanya Shilla, menatap mata Rio.

"Kepotong tadi" jawab Rio, mengalihkan pandangan.

"Beuh, hati-hati dong makanya" ujar Shilla lalu pergi. Tak lama kemudian Shilla masuk lagi ke dapur membawa kotak P3K.

"Sini gue obatin" perintah Shilla, memberikan isyarat agar Rio menjulurkan tangannya. Rio pasrah, ia pun menuruti Shilla. Shilla memegang tangan Rio dan mengobati lukanya.

"Yo" panggil Shilla.

"Hmm?" sahut Rio.

"Tau gak, gue dulu juga sering luka kayak gini" ungkap Shilla.

"Eh?" tanya Rio.

"Iya. Nyokap gue yang ngajarin gue masak, dan pas gue pertama kali dapet tugas kayak gini gue luka" jawab Shilla, memejamkan mata untuk mengenang masa lalunya.

"Tapi gue gak bakal nyerah, dan alhasil gue bisa masak seperti sekarang. Beda sama Keke, pas dia luka dia langsung ngeluh dan gak mau nerusin" sambung Shilla. Rio menatapnya.

"Dan gue bersyukur gue gak nyerah, soalnya gue jadi bisa masakin Keke, Deva, sahabat-sahabat kita, dan lo" ujar Shilla membuka mata dan menatap Rio. Rio diam saja, tak tau harus merasa apa atau bilang apa.

"Udah selese nih. Kita tukeran kerja ya, gue motong paprika sama bawang, lo ngurus spaghetti. Inget ya, bungkusannya bilang 5 menit, tapi harus dikurangin 1 menit jadi 4 menit. Tinggal semenit lagi, udah 3 menit ngerebusnya" jelas Shilla. Rio mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia pun segera melakukan pekerjaannya. Shilla juga, dengan cepat ia melakukan tugasnya. 30 detik kemudian ia selesai.

"Gimana Yo?" tanya Shilla.

"Setengah menit lagi" jawab Rio, melihat ke arah jam tangannya lalu melihat Shilla.

"Udah selesai?" tanya Rio. Shilla mengangguk.

"Cepet amet" komentar Rio.

"Iya dong, kan gue udah biasa" ujar Shilla. Rio tersenyum. Lalu ia melirik jamnya, dan ia segera mengangkat spaghetti rebusannya.

"Taro di mana?" tanya Rio.

"Di sini" jawab Shilla, mengangkat sebuah mangkuk. Setelah itu, mereka mulai memasak lagi, sampai akhirnya selesai.

"Akhirnya jadi juga... yuk Yo, bantuin gue nganterin ini ke Deva sama Keke" ajak Shilla, mengangkat 2 piring. Rio mengangguk lalu mengangkat 2 piring lainnya, lalu pergi mengikuti Shilla ke kamarnya. Sesampainya di sana, mereka menemukan Keke sama Deva yang lagi gombal-gombalan.

"Cinta itu seperti matahari, saat awal sangat indah seperti matahari saat fajar. Di saat tengah kita menikmati, matahari itu tepat berada di atas kita, menyinari kita dengan cahayanya. Ketika mulai menghilang, matahari itu terbenam dan memancarkan cahayanya yang sangat indah, dan hari pun berubah menjadi malam yang sangat gelap. Tetapi, aku harap matahari kita tidak akan terbenam, melainkan terus berada di puncak, menyinari kita dengan cahayanya, dan kau akan menjadi milikku selamanya" ujar Deva panjang lebar. Keke tersenyum.

"Aku harap juga begitu, karena cintaku hanya kepadamu dan tak akan kulepaskan ikatan kita kecuali terpaksa" tanggap Keke. Deva tersenyum.

"Kalau begitu, pakailah ini sebagai tanda ikatan kita berdua" ujar Deva, mengulurkan liontin dengan tali perak dan bandul hati merah. Keke memasang tampang terkejut bercampur senang. Keke pun mengambil liontin tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya, ada foto Keke dan Deva yang diambil pas jalan-jalan di Chillate Cafe kemarin. Juga tulisan 'K+D = <3 selamanya'. Keke membelalak senang.

"Makasih Dev, aku seneng banget. Setelah dapet beruang lucu yang nyimpen suara kamu, bunga-bunga indah, sama cokelat asli buatan kamu, aku juga dapet liontin ini. Makasih ya, aku seneng banget" ucap Keke, memeluk Deva dan menggenggam liontinnya erat-erat.

"Woi, berdua ngegombal aja. Eh, tapi gombalan lo bagus banget Dev, dapet dari mana?" tanya Rio yang penasaran.

"Dari hati, lah... kan Deva gak ngegombal doang, tapi ngungkapin pikiran Deva tadi malem" jawab Deva.

"Ye elah lo Yo, mau ngebentak apa nanya? Nih spaghettinya, makannya harus di luar, gak boleh di kamar kakak" perintah Shilla. Keke dan Deva pun menurut, mereka membawa piringnya keluar, ke ruang tamu.

"Kita makan di teras yuk" ajak Rio. Shilla mengangguk

***

Di teras

"Ternyata udah malem ya" gumam Shilla. Rio mengangguk, lalu duduk di kursi teras dan memakan spaghettinya. Enak, batin Rio. Rasa khas Shilla, sambungnya, masih di dalam hati. Shilla duduk di sebelahnya, lalu memakan spaghetti bagiannya. Mereka makan dalam diam. Tak lama kemudian mereka pun selesai makan. Shilla bergetar, memeluk tubuhnya.

"Dingin ya Yo" ujarnya.

"Eh? Gak kerasa tuh" ujar Rio.

"Ya... lo kan pake jaket, gue enggak" ucap Shilla sambil manatap tajam ke arah Rio. Rio melepas jaketnya, lalu memakaikan jaketnya pada Shilla. Shilla tersentak kaget.

"Eh? Lo gak kedinginan Yo?" tanya Shilla.

"Enggak lah. Gue kan kebal kayak ginian. Lagian lo kan lebih butuh dari pada gue" jawab Rio lalu tersenyum. Shilla membalas senyumannya.

"Trus kenapa lo pake jaket tadi?" tanya Shilla.

"Au deh, lagi mood aja" jawab Rio sambil memandangi bintang di langit malam. Shilla menggenggam erat kedua lengannya, tak mau melepaskan jaket tersebut. Entah kenapa, jaket yang tak begitu tebal mampu membuatnya merasa hangat, padahal di situ dingin sekali. Memakai jaket tebal baru bisa merasa lumayan hangat. Shilla melirik ke arah Rio yang memandangi bintang. Shilla memandangi Rio, bermaksud mengajaknya masuk ke rumahnya. Tetapi, yang terjadi ia malah terdiam melihat Rio yang begitu serius mengamati rasi bintang. Rio melihat ke arahnya lalu tersenyum manis yang membuat jantung Shilla berdebar-debar tak karuan.

"Yuk masuk" ajaknya, yang sukses membuat Shilla salting.

"E.. eh.. i, iya" sahutnya, terbata-bata karena gugup. Wajahnya memerah.

"Shill? Lo gak pa pa kan?" tanya Rio, menempelkan punggung tangannya di kening Shilla. Shilla melihat wajah Rio yang, untuk pertama kalinya, ia akui sangat ganteng. Jantung Shilla serasa berhenti. Rio melihat ke arahnya, tepat di matanya. Mereka tak berani bergerak, detakan jantung mereka tak terkontrol.

Apa... batin Shilla. Apa mungkin gue suka sama Rio? tanya Shilla dalam hati.

---

LAST PART

Tidak ada komentar:

Posting Komentar