Selasa, 12 Juli 2011

Memories (Past)

“Don’t run away from your past…”

***

Gadis cantik berbalut rok merah muda bercorak bunga-bunga dan baju merah marun itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia berhenti melangkah dan dengan kesal melipat tangan di depan dada. Rambut hitam bergelombangnya berkibar diterpa angin, namun ia tidak peduli. Ia melirik jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya. Sudah 2 jam ia menunggu di sini, bahkan mencari orang yang memintanya untuk menjemput dirinya di sini. Membenarkan bando pink yang dipakainya, ia mendecakkan lidah. Hatinya kesal.

“Viinn!! Lo di mana sih? Jangan ngerepotin gue deh. Gak lucu” teriaknya putus asa, tidak memedulikan tatapan orang-orang yang mengarah padanya.

“Alvin Jonathan Sindhunataa!! Gue nyerah. Keluar dong. Gue udah nunggu 2 jam…” pintanya kepada pria berkulit putih yang terus menghantui pikirannya selama 2 jam terakhir. Yah, walaupun ia sendiri tidak tau pria tersebut hilang ke mana…

Shilla—nama gadis itu—menghela nafas. Ia paham akan sifat adik tirinya yang suka terlambat. Tapi terlambat 2 jam? Itu sama sekali di luar kebiasaan. Mendecak kesal, ia pun kembali mencari adik tirinya yang berandalan itu.

***

BUGH!!

Shilla terkejut mendengar suara keras yang berasal dari gang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Memberanikan diri, ia pun mengintip ke dalam gang tersebut. Matanya membelalak seiring ia melihat adik tirinya di sana, sedang dipukuli oleh pria berjas putih. Bahkan, dalam jarak sekitar 3 meter dari tempat Alvin jatuh terduduk, ia dapat melihat pipi putih pria tersebut dihiasi oleh lebam biru.

Rasa kesal pun menghampiri Shilla. Ia pun segera masuk ke dalam gang tersebut dan mendorong pria berjas putih itu agar menjauh dari adik tirinya. Ia berjongkok, lalu memeriksa luka yang diderita Alvin.

“Hmm. Mampus lo, memar-memar gini. Ngebuat gue nunggu 2 jam sih” ucap Shilla. Alvin meliriknya kesal, lalu menatap pria berjas putih yang terpaku melihat Shilla.

“Udah. Berdiri gih. Kita pulang” perintah Shilla, menarik Alvin untuk berdiri. Alvin pun berdiri dengan lemah, tenaganya terkuras habis. Shilla pun memapahnya perlahan. Ia menoleh ke arah pria berjas putih yang ingin memukul Alvin lagi.

“Udah cukup. Gak liat lo dia udah lemes gini. Jalan aja mesti dipapah. Pengecut, beraninya sama yang lebih muda. Next time, deal with your own size” ucap Shilla tajam. Pria itu mendengus.

“Cewek gak usah ikut campur” balasnya. Shilla melirik ke arahnya.

“Gue bukan sembarang cewek. Gue kakaknya” sahut Shilla, menekankan setiap kata. Pria itu membuang muka.

“Kakak? Gue kira ceweknya. Pantesan, gue juga heran kenapa cewek secantik lo bisa jalan sama cowok sebrengsek dia” sindir pria itu halus.

“Oh ya? Gue juga heran kenapa cowok yang lebih brengsek daripada adek gue bisa ngehajar adek gue” balas Shilla.

“Kak…” panggil Alvin pelan. Shilla menoleh ke arahnya.

“Ya?” tanyanya. Alvin menggeleng.

“It’s not worth it” ucapnya. Shilla mengangkat bahu, lalu berjalan memapah Alvin.

“Eh, tunggu dulu. Mau ke mana lo?” tanya pria berjas putih itu.

“Pulang” jawab Alvin dan Shilla berbarengan.

“Gak bisa. Urusan gue sama lo belom selesai, Nyet” larang pria itu.

“Menurut gue udah” ucap Alvin. Pria itu diliputi rasa kesal kembali. Ia pun mengacungkan tinjunya.

“Udah cukup, Mas Adil!!” seru Shilla. Alvin menoleh ke arah kakaknya, memberi tatapan pertanyaan. Shilla mengacuhkannya. Pria tersebut diam, terkejut. Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Matanya memerhatikan Shilla. Lalu matanya membelalak.

“Gak mungkin. Miss Alphabet?” tanya pria itu dengan terkejut. Shilla membuang muka dengan marah. Sedangkan Alvin hanya bisa menatap mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya.

“Kita bicara di rumah” ucap Shilla, lalu memapah Alvin ke dalam mobil. Pria tersebut hanya mengikuti dari belakang dengan sepeda bututnya.

***

Shilla menyesap tehnya, tidak memedulikan kedua pria yang ada di hadapannya. Ia melirik Alvin, lalu melirik pria yang tadi memukul adik tirinya. Ia menaruh cangkir teh porselennya. Tangannya mulai mengambil kue scone yang terhidang di meja. Kedua pria di hadapannya hanya terdiam melihatnya memakan kue tersebut.

“Kak” panggil Alvin. Shilla menoleh ke arah Alvin.

“Dia siapanya kakak?” tanyanya sembari menunjuk ke arah pria berjas putih. Shilla mengunyah scone-nya dan menelannya.

“Justru kakak yang harusnya nanya, dia siapanya kamu? Ngapain coba dia mukulin kamu?” tanya Shilla setengah membentak. Alvin menatap pria berjas putih tersebut, menandakan bahwa ia yang harus menjawab. Pria tersebut mengangkat bahu.

“Dia nyakitin adek gue” ucapnya singkat. Alvin langsung meliriknya tajam selama sedetik.

“Nyakitin?! Nyakitin gimana? Orang gue sayang setengah mati sama dia! Gak mungkinlah gue nyakitin dia!!” teriak Alvin mulai emosi. Pria tersebut melirik tajam ke arahnya.

“Terus apa yang dia liat, hah? Dia tuh ngeliat lo lagi jalan-jalan ketawa berduaan sama cewek lain! Mana itu sahabatnya, lagi!” teriak pria tersebut, mulai berdiri.

“Bentar lagi dia tuh ulang tahun!! Gue pengen nyari hadiah yang pas buat dia, karena gue gak tau selera cewek ya gue minta bantuan sahabatnya!” teriak Alvin emosi. Shilla pun berdiri dan mendudukkan mereka berdua kembali.

“Jangan berantem di sini. Ini rumah, bukan ring tinju” ucapnya, menekankan setiap kata. Kedua pria tersebut pun diam dan saling membuang muka. Shilla melihat jam tangannya.

“Oke. Gue udah ada janji sama temen gue. Pergi dulu ya” pamit Shilla. Ia berdiri dan merapikan roknya. Ia berjalan dan berteriak memanggil pelayannya.

“Ya, nona?” tanya pelayannya. Shilla menunjuk ke arah pria berjas putih tersebut.

“Panggil supir. Anterin dia pulang. Pake Accord aja” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk.

“Baik, nona” sahutnya penuh hormat.

“Terus siapin mobil mercy silver. Saya mau nyetir. Cepet ya” tambah Shilla. Pelayan tersebut mengangguk kembali.

“Oke. Itu aja. Cepet ya” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk dan membungkuk hormat.

“Baik, nona” ucapnya. Shilla mengangguk. Pelayan tersebut pun pergi.

“Vin” panggil Shilla. Alvin menoleh.

“Baik-baik ya. Jangan berantem lagi” ucap Shilla. Alvin mengangguk. Shilla menoleh ke arah pria berjas putih.

“Lo juga, jangan berantem sama dia. Minta maaf gih, kan lo yang salah” ucap Shilla dingin.

“Iya, Miss Alphabet” sahut pria itu. Shilla menatapnya tajam.

“Nama gue Shilla. Panggil gue dengan nama gue yang sesungguhnya” ucap Shilla. Pria itu menggeleng.

“Dulu gue manggil lo gitu. Dan sekarang gue juga bakal manggil lo gitu” kata pria tersebut, tersenyum menantang. Shilla memutar bola matanya.

“Terserahlah” ucapnya, lalu melangkahkan flat shoes merahnya ke arah pintu keluar. Pria tersebut bersandar ke sofa yang didudukinya, tersenyum senang. Ia menoleh ke arah Alvin yang duduk di sampingnya.

“Sori ya” ucapnya. Alvin menoleh.

“Hah?” tanyanya. Pria itu mengangkat bahu.

“Gue udah salah paham” jelasnya. Alvin mengangguk pelan.

“Gak papa. Cuma salah paham ini” ucapnya. Pria itu tersenyum.

“Nanti gue jelasin ke Ify” katanya. Alvin menatapnya, lalu mengangguk.

“Thanks” ucapnya. Pria di sampingnya mengangguk.

“No problem” balasnya.

“Oya kak” panggil Alvin.

“Hmm?” tanya pria tersebut.

“Kenapa lo manggil kakak gue ‘Miss Alphabet’? Perasaan kakak gue malah gak bisa bahasa deh. Dapet 5 mulu” ucap Alvin. Pria itu tersenyum miring, lalu duduk tegak.

“Alfabet itu kan dimulai dari huruf A dan diakhiri dengan huruf Z, dan namanya kan Ashilla Zahrantiara. Inisialnya AZ. Miss Alphabet” jelasnya. Alvin mengangkat alis.

“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.

“Konyol, ya?” tanyanya. Alvin mengangkat bahu.

“Entahlah” ucapnya. Pria tersebut tersenyum.

“Kalau Mas Adil?” tanya Alvin. Pra tersebut mengangkat alis, lalu merogoh kantungnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pulpen, lalu menulisinya. Ia memberikannya kepada Alvin. Alvin membacanya, lalu mengangkat alis.

“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.

“Oke. Udah waktunya gue pulang” ucap pria tersebut sembari bangkit berdiri. Alvin mengangguk.

“Daahh kak, sampein salam gue ke Ify” ucap Alvin. Pria itu tersenyum kecil.

“Iyaa. Gue pulang dulu ya. Dadah” ucapnya. Alvin mengangguk.

“Daahh” ucapnya. Matanya melihat punggung pria tersebut, yang langsung menghilang seiring dengan pintu keluar yang barusan dilewatinya ditutup. Alvin menghela nafas, lalu melihat kertas yang tadi diberikan oleh pria itu. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca kata per kata yang ada di sana. Heran karena pria yang notabene adalah kakak dari pacarnya bisa membuat kode-kode konyol seperti ini. Ia menghela nafas sembari tersenyum kecil.

“Kak Rio, kak Rio…” ucapnya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membaca deretan huruf-huruf yang terukir di kertas itu.

‘MArio Stevano ADItya haLing’

***

“Miss Alphabeetttt!!” teriak Rio kepada Shilla yang sedang berjalan memeluk buku di koridor. Shilla menoleh, lalu segera membuang muka. Berpura-pura tidak mengenal Rio dan tidak merasa terpanggil.

“Miss Alphabet! Duuhh, miss! Miss Alphabet!!” teriak Rio, mengejar Shilla. Shilla mempercepat langkahnya. Rio mengikutinya, lalu menarik tangannya.

“Hei, miss Alphabet!” ucapnya. Shilla memutar bola matanya lalu menatap Rio.

“Mau apa lo?” tanyanya sinis. Rio mengangkat alis.

“Pengen jalan bareng” jawab Rio. Shilla mendesah malas lalu melepaskan tangannya dan memeluk bukunya kembali setelah membenarkan bando kuningnya.

“Ya udah, jalan aja. Gak usah narik tangan gue” ucap Shilla. Rio mengangguk lalu mulai berjalan di sebelah Shilla. Hening beberapa saat.

“Shill, gak nyangka ya ternyata lo juga kuliah di sini” ucap Rio. Shilla meliriknya, lalu mengangguk.

“Hmm” gumamnya. Rio tersenyum, melihat sebuah poster bergambar sepeda.

“Inget gak yang waktu kita naik sepeda bareng-bareng?” tanya Rio. Shilla menghentikan langkahnya, lalu menatap Rio tajam.

“Gak usah ingetin gue” ucapnya sinis. Rio mengernyitkan kening.

“Lo tuh kenapa sih? Emang gue salah apa?” tanya Rio.

“Gue gak mau inget” ucap Shilla singkat.

“Kenapa?” tanya Rio.

“Kenapa apanya?”

“Kenapa lo gak mau inget kenangan-kenangan kita?” tanya Rio, lebih jelas.

“Karena itu cuma bisa ngingetin gue ke kenangan yang jauh lebih buruk” ucap Shilla, lalu segera berjalan meninggalkan Rio yang hanya menatap bagian belakang sweater merah dan rok kuning yang dipakai oleh Shilla. Rio menghela nafas. Shilla benar-benar sudah berubah…

***

Hari demi hari berlalu. Seluruh murid dan guru di universitas yang Shilla dan Rio tempati sudah terbiasa akan pertunjukan kecil yang Shilla dan Rio lakukan. Rio akan berteriak-teriak memanggil Shilla, Shilla menanggapi dengan dingin, mereka mengobrol sebentar, dan saat Rio menyinggung satu hal saja tentang masa lalu mereka, Shilla pergi. Siklus itu terjadi setiap hari sampai yang lain bosan melihatnya.

“Miss Alphabet” panggil Rio di ambang pintu kelas Ekonomi. Shilla menoleh, lalu mempercepat merapikan buku. Ia pun berjalan ke arah Rio sembari memeluk beberapa buku tebal.

“Rio” ucapnya. Rio tersenyum manis, yang dibalas oleh Shilla dengan senyuman tipis.

“Jadi ke Blue Coal Café?” tanya Rio. Shilla mengangguk. Rio pun merangkulnya pelan dan membimbingnya menuju sebuah mobil silver yang terparkir di parkiran kampus.

***

Shilla membuka sebuah pintu kaca, membuat sebuah lonceng kecil yang dipasang di atas pintu tersebut berbunyi. Rok panjang bermotif polkadot yang dipakainya pun bergerak-gerak sesuai langkah kaki yang diambilnya untuk menuju sebuah meja bulat putih, diikuti oleh dentuman sepatu sneakers hitam yang dilengkapi dengan tali sepatu putih dibelakangnya.

Mereka berdua berjalan menyusuri lantai kaca yang memperlihatkan keindahan aquarium di bawahnya, merasakan waktu yang seolah melambat. Entah karena apa, rasa sesak mendominasi saluran pernafasan mereka, menandakan firasat-akan-terjadi-sesuatu-yang-buruk mendatangi mereka. Shilla menarik nafas dalam-dalam. Ia datang ke sini dengan satu tujuan, dan ia akan melakukannya. Apa pun yang terjadi. Rio tidak tau apa yang telah ia lakukan, dan ia harus mengakhirinya. Harus.

Beberapa menit kemudian—yang terasa seperti satu jam—mereka berdua sampai di meja putih tersebut. Rio—yang memang sudah terbiasa—menarik kursi untuk Shilla. Shilla hanya mengehela nafas dan duduk. Terbayang di benaknya seorang anak lelaki berumur 7 tahun menarik kursi mungil untuk seorang perempuan cantik yang sebaya dengannya. Sebuah flashback kecil bagi masa lalu indah mereka berdua. Shilla menutup matanya dan menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya. Berusaha menahan air matanya agar tidak turun dan menelusuri pipinya.

“Miss Alphabet…” panggil Rio pelan, yang tak diacuhkan Shilla. Gadis itu hanya mengambil buku menu dan mulai membolak-balik halamannya, memilah sesuatu untuk dipesan. Rio mendesah dan mengikuti Shilla.

Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiri mereka berdua.

“Selamat siang, saya Sivia Azizah dan saya akan menjadi pelayan kalian hari ini. Anda mau pesan apa?” tanya pelayan tersebut dengan ramah, dilengkapi dengan senyum manisnya. Rio membalas senyumnya. Shilla hanya tersenyum tipis.

“Saya pesan hot cappuchinno dan strawberry cheese cake” ucap Shilla.

“Saya hot chocolate dan oreo cheese cake” timpal Rio.

“Baik, saya ulangi pesanannya, ya? Untuk makanannya ada satu strawberry cheese cake dan oreo cheese cake, dan untuk minumannya satu hot cappuchinno dan satu hot chocolate” ulang pelayan tersebut. Shilla dan Rio kompak mengangguk.

“Baiklah, ada tambahan lain? Appetizer, mungkin?” tanya pelayan itu. Shilla dan Rio menggeleng. Pelayan tersebut mengucapkan beberapa kata lagi dan meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.

“Miss Alphabet…” panggil Rio sekali lagi. Shilla menoleh.

“Permisi, pesanannya” ucap Sivia sembari memegang sebuah baki berisi pesanan mereka. Shilla pun mengalihkan pandangannya kepada Sivia.

“Ya” ucapnya. Sivia pun meletakkan 2 buah piring dan 2 buah cangkir di hadapan mereka dan pergi melayani meja lain. Tanpa basa-basi Shilla langsung mengambil garpu kecil dan memakan sebuah kue yang berada di hadapannya. Rio lebih memilih untuk meminum hot chocolatenya terlebih dahulu. Mereka makan dalam diam, tidak ada yang berbicara. Suara-suara seperti dentuman sepatu, dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring atau cangkir, dan percakapan orang lain terdengar samar di telinga mereka, tertutup oleh suara pikiran masing-masing dari mereka.

Jantung mereka berdebar kencang. Tidak ada kontak mata sama sekali di antara mereka, hanya wajah Shilla yang terus menunduk dan wajah Rio yang terus menatap pemandangan di sekelilingnya kecuali wajah yang ada di hadapannya. Firasat buruk itu terus menghantui mereka, seolah memperingati bahwa waktu mereka akan segera berakhir…

***

Shilla meletakkan garpunya di atas piring hitam kecil yang kosong di hadapannya. Ia mengangkat cangkir hitam berisi cappuchinno pesanannya dan mulai meminumnya. Dengan ragu, Rio yang menunduk mulai menegakkan kepalanya dan menatap Shilla tepat di matanya.

“Miss Alphabet…” panggilnya.

“Panggil gue Shilla” ucap Shilla cepat, memotong ucapan Rio. Rio menatap cangkir hitam di hadapannya, menata kata-kata yang akan di ucapkannya.

“Shill…” panggil Rio. Shilla menoleh ke arahnya. Nafasnya semakin sesak, sehingga ia harus memusatkan tenaga hanya untuk bernafas. Rio menelan ludah.

“Lo… ngapain ngajak gue ke sini? Katanya mau bicara?” tanya Rio. Shilla meniupi permukaan cairan cappuchino di dalam cangkir yang dipegangnya seolah itu masih panas dan mengeluarkan asap seperti yang terjadi 10 menit lalu. Pikirannya sibuk menata kata-kata yang akan dikeluarkannya. Ia meniup semakin keras. Lidahnya kelu. Ia membuka mulut, seakan ingin berbicara, namun ia kembali meniupi permukaan cappuchino-nya. Jantungnya berdebar semakin keras, seolah tidak ingin mengatakan apa yang ingin ia katakan. Keringatnya bercucuran, bibir dan tangannya bergetar.

“Shill…” panggil Rio lagi. Shilla mengangkat kepalanya pelan-pelan, menatap pria di depannya. Ia menutup mata, menarik nafas dalam-dalam, lalu membuka matanya sembari menghembuskan nafasnya lewat mulut. Ia menaruh cangkirnya.

“Yo…” panggil Shilla dengan suara tercekat. Rio menoleh ke arahnya.

“Gue minta lo jauhin gue dan bersikap seolah lo gak kenal gue” ucap Shilla dengan cepat sembari menutup mata, takut akan reaksi Rio.

Hening beberapa saat.

Shilla—yang masih menutup mata—membuka matanya pelan-pelan, penasaran karena tidak ada jawaban. Rasa terkejut menyelimutinya ketika ia melihat Rio juga menutup matanya, menahan amarahnya keluar seperti gunung merapi yang siap meletus.

“Kenapa?” tanya Rio dengan nada amarah tertahan. Shilla membuang muka, tiba-tiba saja keberanian untuk melawan muncul dalam dirinya yang sedari tadi ketakutan.

“Karena lo ingetin gue sama masa lalu gue. Masa lalu yang pengen gue hancurin” ucap Shilla. Rio membuka matanya.

“Oh ya? Jadi karena itu lo bersikap judes sama gue?” tanya Rio. Shilla meliriknya tajam.

“Ngaca dulu kalau ngomong” ucap Shilla pedas. Rio menatapnya tajam.

“Lo udah berubah” kata Rio. Shilla tersenyum sinis.

“Nyadar juga lo. Ternyata lo gak sebodoh yang gue kira” Shilla berucap tajam dengan nada sinis. Rio diam, menunggu Shilla melanjutkan.

“Gue emang udah banyak berubah. Gue udah bukan gadis kecil pemimpi yang pengen jadi princess lagi, gue udah jadi cewek dewasa yang pengen jadi pengusaha sukses. Gue udah gak pernah ngekhayal jadi tokoh utama dalam sebuah dongeng di setiap langkah yang gue ambil, sekarang yang terjadi gue malah tenggelam dalam logika dan matematik. Gue udah berubah banyak Yo, gue udah bukan cewek yang suka dipanggil Miss Alphabet dan suka manggil lo Mas Adil lagi. Gue bukan gue yang dulu lagi” ucap Shilla. Rio tersenyum geli.

“Lucu banget Shill, lucu banget. Bukannya lo yang berharap gue gak bakalan berubah dan pengen kita terus kayak gitu? Kenapa malah lo yang berubah?” desak Rio. Shilla melipat tangan di depan dada.

“You have to stop living in the past” ucap Shilla.

“Lo juga gak bisa terus-terusan lari dari masa lalu lo dan berubah total, Shill! Lo nyadar gak sih, dengan begitu lo tuh udah berubah jadi pribadi yang dingin, pribadi yang gue tau lo gak mau!” seru Rio, berdiri dari kursinya. Shilla pun berdiri dengan kasar.

“Lo yang mesti nerima kenyataan kalau gue udah berubah! And as I said before, you have to stop living in the past” balas Shilla tak kalah keras, menarik perhatian beberapa pengunjung dan petugas di Blue Coal Café.

“Shill, gue bisa terima kalau soal lo berubah, yang gue gak bisa terima adalah kenyataan kalau elo tuh udah gak mau sahabatan sama gue karena alasan yang gak jelas, lo gak mau inget-inget masa lalu lo lagi. Itu yang gue gak bisa terima”

“Alesan aja lo” teriak Shilla.

“Oya? Lo pikir siapa sih yang alesan doang? Lo kali! Gue tau, lo itu tuh berubah karena lo gak mau inget satu kenangan buruk di otak lo. Satu Shill, satu! Dan lo tau berapa banyak kenangan kita? Ribuan. Beribu-ribu kenangan dan lo malah inget satu kenangan sialan itu. Lo harus lupain itu!” Rio balas berteriak, tidak sadar tubuhnya berdiri dan tangannya sibuk menunjuk-nunjuk Shilla, membuat Shilla makin merasa bersalah. Shilla menggigit bibir. Hal terakhir yang diinginkannya adalah membiarkan Rio melihatnya menangis. Rio, yang merasa telah menjadi monster yang menyakiti hati seorang perempuan tak bersalah, terdiam dan memandangi pemandangan di depannya. Shilla yang ketakutan. Satu lagi ekspresi yang mengejutkannya karena ia memang tidak pernah melihatnya.

“Shill, bibir lo berdarah…” ujar Rio sembari mengulurkan tangan untuk memegang wajah gadis di depannya dan melihat luka itu lebih dekat. Melihat aksi Rio, wajah Shilla memucat. Ekspresi ketakutan yang sedari tadi keluar kini makin terlihat jelas di wajahnya. Ia bahkan sempat bergeser menjauh. Rio yang tak kalah kaget pun menarik kembali tangannya dan menatap Shilla dengan ekspresi shock. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia bisa menjadi seorang monster bagi gadis cantik di depannya.

“Maaf Shill, aku gak bermaksud…”

“A, aku mau pulang” ucap Shilla, memotong ucapan Rio lalu bergegas mengambil tasnya dan buru-buru berjalan, tidak mempedulikan belasan pasang mata yang memperhatikannya dengan sorot penasaran. Tiba-tiba langkahnya berhenti, lalu ia berbalik. Menimbulkan secercah harapan dalam hati Rio. Harapan bahwa Shilla akan memaafkannya…

Namun nyatanya Shilla hanya meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan pergi. Rio merosot di kursinya. Ternyata Shilla hanya kembali untuk membayar pesanannya. Dengan lemas ia pun kembali duduk tegak dan memanggil pelayan untuk meminta bon. Setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas lembaran-lembaran uang Shilla, ia pun beranjak pergi. Meninggalkan tempat yang, ternyata, menambah satu kenangan buruk di pikirannya. Kenangan yang akan sangat ia benci.

***

Rio melirik spidometer mobil yang sedang ia kendarai. Jarumnya tengah bergerak menuju angka 100, walaupun ia sendiri tau bahwa jalan yang sedang ia lewati bukanlah jalan tol, melainkan jalan kecil yang terbuat dari tanah menuju sebuah bukit. Karena radio dimatikan, telinga Rio pun dapat mendengar suara percikan tanah yang menyembur seiring ban mobilnya melewati tempat itu. Meski ia tau mobilnya kotor, ia tidak mau ambil pusing. Lagipula, bukit inilah yang akan menjadi penenangnya, bukan begitu?

Setelah memarkir mobilnya di tempat yang aman, Rio keluar dari mobil dan menutup pintu, lalu mengunci mobilnya. Ia pun mulai berjalan ke arah puncak bukit itu, bukit yang menjadi bagian kenangan antara dirinya dan Shilla. Bukit dimana mereka bermain saat mereka tengah menghabiskan liburan bersama di Jakarta, meninggalkan rumah mereka di Bandung selama seminggu.

Sesampainya di puncak bukit, yang pertama kali dilakukan Rio hanyalah menghela nafas sambil duduk di kursi kayu panjang yang dulu ayahnya dan ayah Shilla buat. Rio mengusap-usap kursi itu. Sepertinya itu salah satu kenangan terindahnya,mengganggu mereka berdua membuat kursi kokoh yang kini berdiri dengan megahnya di tengah-tengah rumput hijau nan gemuk dan semak-semak rimbun. Juga pepohonan indah yang selalu dijadikan pengganti tembok untuk menjalankan permainan favoritnya dan Shilla, petak umpet. Rio hanya tersenyum miris mengenangnya.

Tiba-tiba Rio mendengar suara tangis. Suara tangis yang sudah familier di telinganya, walaupun samar-samar Rio agak melupakan tangisan itu. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja… dulu, sewaktu ia dan Shilla masih bersahabat, Shilla hanya menangis sebanyak 2 kali di depannya. Ini yang ketiga… kalau tebakannya bener.

“Shilla?” panggil Rio memastikan. Suara tangis yang berasal di balik pohon oak itu berhenti, walaupun hanya tinggal beberapa segukkan yang sangat mirip cegukan. Rio tersenyum geli. Kalau dulu, Rio pasti sudah tertawa terbahak-bahak dan meledek cegukan Shilla. Sekarang situasinya berbeda. Shilla tidak lagi menangis karena boneka yang rusak atau kakinya yang sakit karena jatuh terluka. Alasan yang paling masuk akal adalah karena dirinya. Lagipula, Rio tidak yakin itu Shilla. Yah, 49-51 persen lah…

“Shill?” panggil Rio lagi sembari berjalan mendekat ke arah balik pohon oak. Ia menjulurkan kepala untuk mengintip siapa yang menimbulkan suara tangisan itu. Dan ia menemukannya. Seorang gadis yang sedang membenamkan wajah ke lutut yang sedang di peluknya. Rio memang tidak bisa mengenali wajahnya, namun bando, rambut, sweater dan rok yang dipakai gadis itu sudah cukup untuk meyakinkan Rio bahwa gadis tersebut adalah Shilla. Rio pun memilih untuk duduk bersila di sebelah Shilla, membiarkan angin sejuk mengibarkan rambut hitamnya itu.

“Masih inget bukit ini?” tanya Rio tiba-tiba. Ia melirik Shilla yang masih berada di posisi semula, berlagak tidak mendengar. Rio menarik nafas.

“Kita sering main petak umpet di sini, remember? Yah, walau cuma seminggu sih… tapi tetep aja kehitung” sambung Rio, terus menceloteh tanpa memerhatikan Shilla yang sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tau.

“Dulu kita suka main petak umpet di sini, yang jadi ngitung di sini”—Rio menepuk pohon oak yang besar namun tua itu pelan. “Terus kita duduk di sana, berduaan. Ngenang masa lalu dan menebak masa depan. Masih samakah? Ternyata tidak” ucap Rio, matanya memandang sayu kursi kayu yang dibuat oleh ayahnya dan ayah Shilla di masa lalu.

“Kamu tau? Aku tau kamu udah berubah, tetapi aku tetap mengejarmu dan mengingatkanmu karena aku tau kamu belum berubah sebanyak itu” ucap Rio lagi, mulai memakai aku-kamu seperti saat ia dan Shilla kecil bersahabat dulu.

“Belum berubah sebanyak itu seperti apa?” tanya suara lembut nan serak di sebelah Rio. Rio terkejut dan menoleh, lalu menemukan wajah skeptis Shilla yang sedang menatap kosong ke depan. Rio tersenyum kepadanya, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Shilla.

“Memangnya aku belum berubah banyak?” tanya Shilla lagi setelah hening beberapa saat. Rio menghela nafas.

“Kamu udah berubah banyak. Tapi kamu belum berubah total” jawab Rio. Shilla tersenyum miring, masih menatap rerumputan di depan kakinya.

“Kamu tau? Semenjak aku melihatmu, aku tau ada yang berubah. Tapi kamu masih menyimpan kenangan-kenangan kita. Seperti… pakaianmu” ucap Rio, membuat Shilla langsung melihat ke arah kain yang membalut dirinya. Rio tertawa.

“Kamu selalu mau jadi princess, dan inget gak waktu aku nanya kenapa kamu selalu pake rok dulu? Kamu jawab, ‘karena princess selalu pakai rok’ dengan lugu” urai Rio, menimbulkan semburat merah di pipi Shilla karena malu. “Dan bando itu. Dulu kamu sempet janji sama aku kalau kamu bakalan pake bando terus, hanya karena aku bilang kamu cantik pake bando. Yah, emang dasarnya dulu aku sering ngeledek kamu jelek sih ya…”

“Terus cara belajar kamu. Kamu masih tetep tekun seperti dulu. Seperti gadis kelas 1 SD yang ingin mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran” ujar Rio, menimbulkan senyum di wajah manis Shilla.

“Kamu juga masih mau ke sini, ke bukit ini. Bukannya ini justru malah mengingatkan kamu ke kenangan-kenangan masa lalu kamu?” tanya Rio.

“Dan yang bikin aku yakin kalau kamu gak mau ngelupain masa lalu kamu adalah… cita-cita barumu yang kaukatakan sendiri” ucap Rio. Shilla menatapnya bingung.

“Kamu sendiri kan yang bilang, kamu mau jadi pengusaha sukses? Bukannya itu pekerjaan ayahmu?” tanya Rio. DEG, jantung Shilla terasa seperti berhenti berdegup selama beberapa saat. Ia kembali menunduk, menatap rerumputan. Berusaha membendung air matanya agar tidak mengalir. Kenangan itu datang lagi. Rio menghela nafas.

“Cepat atau lambat, kamu juga harus berani mengakui bahwa papa-mamamu sudah bercerai…” desah Rio pelan, tetapi cukup keras untuk didengar Shilla. Dan bayangan itu muncul lagi. Bayangan ketika orang tuanya bertengkar di hadapan dirinya yang masih berumur 7 tahun. Bayangan ketika Shilla kecil memakai pakaian rapi dan duduk di kursi pengadilan, menghadiri acara perceraian orang tuanya sendiri. Shilla kecil yang harus berpisah dari ibunya. Shilla yang sampai sekarang masih tidak percaya semuanya. Dulu, semuanya begitu indah. Ia, papa, mama. Bertiga. Membentuk sebuah harmoni yang manis. Harmoni yang sekarang rusak dan tidak bisa diperbaiki. Harmoni yang bagitu penting bagi Shilla. Dan ia kehilangan harmoni itu. Di saat ia masih berumur 7 tahun.

“Shill…” panggil Rio, kaget karena butir demi butir air mata jatuh dari mata Shilla, perlahan-lahan turun dan membuat sebuah jejak panjang di pipinya. Rio mengulurkan tangan, menghapus jejak itu.

“Rioooo…” teriak Shilla lalu memeluk Rio, menjadikannya sandaran untuk menangis. Rio yang semula kaget pun membalas pelukan Shilla dan mengelus-elus kepalanya. Ia baru tau, ternyata di balik wajah manis Shilla terdapat seseorang yang menangis dengan begitu menyedihkan. Tidak seperti gadis-gadis cantik di sinetron yang menangis dengan akting menyedihkan dan diam, Shilla malah meraung-raung sembari berteriak-teriak. Untuk di sini bukit sepi, coba kalau mall? Rio mungkin sudah ditangkap satpam karena dikiran macam-macam sama anak perempuan. Huh.

Beberapa menit kemudian, tangis Shilla pun mereda, diganti dengan cegukan khas Shilla sejak kecil. Rio tertawa terbahak-bahak.

“Cegukan tuh bu…” godanya. Shilla merenggut kesal dan menoyol kepala Rio. Rio tertawa. Shilla memilih untuk bangkit dan memetik bunga daisy yang mekar dengan indahnya beberapa meter dekat tempatnya duduk tadi.

“Shill…” panggil Rio setelah sesi tawanya berhenti.

“Hm?” tanya Shilla yang kini mencium aroma bunga daisy yang baru saja di petiknya.

“Masih inget janji kita yang di sana kan?” tanya Rio, menunjuk ke arah bangku kayu antik buatan ayahnya dan ayah Shilla. Shilla yang sedang memetik 2 tangkai bunga dandelion pun menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Rio. Wajahnya tersenyum.

“Masih” ucapnya, berjalan ke arah Rio. Rio balas tersenyum.

“Kamu gak bakal ngelanggar itu, kan?” tanya Rio, yang disambut anggukan mantap dari gadis manis itu. Rio tersenyum lega, lalu bersandar ke pohon oak besar di belakangnya.

“Makasih” ucap Shilla tiba-tiba. Rio menoleh dan mengernyitkan dahi tanda bingung.

“Buat apa?” tanyanya.

“Buat mau jadi sandaranku. Buat semuanya” jawab Shilla. Rio tertawa.

“For you, I’ll do anything, my best friend…” ucap Rio. Kini gantian Shilla yang tertawa.

“Tapi…” ucap Shilla, “aku masih takut nangis inget itu” ungkap Shilla jujur. Rio tersenyum.

“Tenang aja. Kalau kamu inget kenangan burukmu itu, lawan dengan sejuta kenangan manis. Mungkin kenangan buruk kamu emang bisa ngalahin kenangan manis, karena emang kamu ngadepinnya satu-satu. One on one. Coba kamu satuin kenangan manis kamu, terus lawan satu kenangan buruk kamu itu. Pasti menang deh. Bersatu kita menang, bercerai kita kalah!” nasihat Rio, menyertakan semangat tinggi ketika menyerukan kalimat terakhir. Shilla tertawa.

“Main keroyokan itu kan tidak baik…” komentar Shilla, menimbulkan tawa dari pria yang memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans itu. Dan dari dirinya juga.

“Keroyokan atau bukan sih masalah sudut pandang Shill, anggep aja itu bersatu. Lagian kan kadang-kadang keroyokan itu perlu, asal gak berlebihan sampe bikin babak belur orang yang emang udah babak belur” ucap Rio. Shilla tertawa. Rio hanya tersenyum kecil, lalu melirik bunga daisy yang dipegang Shilla. Menyadari kalau bunga itu ada di genggaman Shilla.

“Sini” ucap Rio, mengambil bunga tersebut dari tangan Shilla dan menyelipkannya ke telinga Shilla, membuat senyum gadis tersebut merekah. Setelah puas dengan hasil selipannya, Rio mengambil salah satu bunga dandelion dan tersenyum nakal.

“Lomba niup dandelion yuk, mana yang paling cepet nerbangin semua anak-anak dandelionnya” ajak Rio. Shilla nyengir. Salah satu permainan favoritnya dulu.

“Yuk” sahutnya. Mereka pun memegang dandelion itu dan memposisikannya di depan mulut.

“1… 2… 3!” hitung mereka, lalu meniup bunga itu sekencang-kencangnya, lalu tertawa karena sejujurnya mereka tidak tau siapa pemenangnya. Mereka terlalu sibuk untuk meniup. Tapi tidak apalah. Karena bagi mereka berdua, mendapatkan sahabat mereka kembali sudah membuat mereka merasa seperti seorang pemenang…

***

“Mas Adiillll!!” jerit seorang gadis kecil, mengejar seorang laki-laki yang sudah berlari duluan. Laki-laki cilik itu tertawa, puas karena niat isengnya merebut boneka kesayangan gadis itu berhasil membuat gadis itu terganggu. Mereka akhirnya berkejar-kejaran sampai capek dan beristirahat di sebuah bangku kayu. Bangku yang dibuat oleh ayah mereka.

“Mas Adil maaahhh!! Balikin bonekakuuuu!!” teriak gadis itu menggema ke seluruh bukit.Laki-laki cilik itu tertawa dan melempar boneka kelinci putih itu ke sang gadis cilik, yang menangkapnya dengan tangkas. Senyum menghiasi wajahnya seraya ia memeluk boneka tersebut. Rio tertawa lagi, walau masih penasaran mengapa gadis masih bisa menjerti sekeras itu padahal kejar-kejaran mereka yang menguras tenaga luar dalam itu baru selesai sekitar semenit yang lalu.

“Mas adil…” panggil gadis cilik itu perlahan. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum ramah.

“Hmm?” tanyanya. Gadis itu menunduk sebentar, mengelus-elus boneka kelinci putihnya dengan gugup.

“Kita… kita bakalan sahabatan selamanya, kan?” tanya gadis itu, kekhawatiran mendominasi sinar matanya. Laki-laki yang duduk di sampingnya bisa melihatnya. Tersenyum, laki-laki itu mengacak-acak rambut sahabatnya itu.

“Pasti. Aku gak akan maafin diri aku kalau sampe enggak” jawab laki-laki cilik dengan mantap, menimbulkan senyum bahagia di wajah gadis itu.

“Janji?” tanya gadis itu, mengulurkan jari kelingkingnya. Setengah mati berharap akan ada jari kelingking yang mengait dengan jari kelingking tersebut.

“Janji” jawab laki-laki cilik, dengan semangat berkobar ia kaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking yang terulur padanya. Gadis itu tersenyum lebar, yang dibalas dengan senyuman hangat dari sang laki-laki.


+++

Sip deh. Akhirnya selesai juga-_-“

gimana? Bagus gak? Aneh ya? Emang nih…

Omong-omong ini cerpen panjang banget ya? Sampe pengen saya bagi 2… he-eh. Gak penting bye.

Eh eh, saya kan mau bikin cerpen nih, tapi couplenya agak-agak aneh gitu. Oke aneh banget. Couplenya Shilla-Daud. Ada yang mau baca gak? Kalau mau sabar dulu ya, soalnya saya kebelet pengen bikin cerita Siviel. He-eh. Saya emang plin-plan… -_-V

Makasih yaaa yang udah mau baca dan nyempetin diri buat komen, saya seneeeennnggg banget kalau ada. Aaaaa makasih bangeeettt!!

Any critics?

-Penulis-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar