PREVIOUS PART
---
(Part 31)
Suara lembut Obiet menenangkan Oik. Oik pun tersenyum dan memejamkan mata, menikmati pelukan Obiet. Tak peduli berapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Biet, lo kabur dari rumah ya?" tanya Oik, melepas pelukan Obiet dan menatap mata Obiet.
"Iya, tau dari mana?" tanya Obiet bingung.
"Tadi si Zahra nelfon, katanya nyokap lo pingsan" jawab Oik. Obiet membelalak.
"Yang bener lo? Jangan bercanda deh!" tanya Obiet kaget.
"Ngapain gue bercanda coba? Yuk ah ke rumah lo, siapa tau nyokap lo bisa siuman pas denger lo pulang" jawab Oik.
"Yuk" tanggap Obiet setuju. Oik pun bangkit dan mengangkat tas-tasnya.
"Sini gue bantuin" ujar Obiet, merebut salah satu dari dua tas Oik. Ketika ia menyentuh tangan Oik, hal yang tak pernah dilakukannya sebelumnya, jantungnya berdebar-debar. Lebih kencang dari yang dirasanya selama ini ke Zahra. Apalagi saat ia menatap mata Oik, jantungnya serasa ingin berhenti. Ia tak pernah menyadari, bahwa Oik yang selalu ada di sampingnya dan memberi dukungan padanya adalah gadis yang sangat cantik, lebih cantik dari yang pernah bisa ia sadari. Jangan bilang kalau selama ini gue suka sama dia, bukan ke Zahra. Bisa kacau tuh, apalagi gue udah pake cara kotor buat ngerebut si Zahra. Waduh... melayang sia-sia deh uang gue! pikir Obiet.
"Eh gak usah!" sahut Oik, membuyarkan lamunan Obiet.
"Udah ah, berat kan? Gue bawain satu doang kok, jadi lo masih bisa usaha" paksa Obiet, berusaha mengendalikan jantungnya dan suaranya yang bergetar.
"Ya udah deh... kita ke sana naik apa?" tanya Oik.
"Taksi aja. Yuk cepet, entar nyokap gue kenapa-napa lagi!" jawab Obiet. Oik mengangguk. Mereka pun segera menyetop taksi dan berangkat ke rumah Obiet.
***
Rumah Obiet
Obiet pun membuka pintu rumahnya lalu bergegas mencari ibunya. Ia pun menemukannya, pingsan di sofa ruang tamu, ditemani oleh Zahra.
"Obiet! Lo dateng! Dari mana aja lo?" tanya Zahra panik.
"Entar aja gue ceritain. Ma? Ma? Ini Obiet, ma... bangun!" jawab Obiet lalu mengguncang-guncangkan ibunya. Tak lama kemudian ibunya sadar.
"Obiet? Obiet! Obiet kamu jangan gituin mama lagi nak..." ujar ibunya Obiet sambil memeluk anak semata wayangnya itu.
"Maafin Obiet ma, Obiet janji gak bakal ngulangin lagi" ucap Obiet, meminta maaf ke ibunya. Ibunya pun mengangguk, matanya berlinang air mata. Kejadian itu sungguh mengharukan. Akan tetapi, Oik dan Zahra yang seharusnya terharu melihatnya malah duduk di sofa, makan brownies lezat dan ngegosip. Akhirnya ibu dan anak itu melepaskan pelukannya.
"Gila ya lo berdua, lagi ada momen indah di sini lo berdua malah asyik aja!" komentar Obiet.
"Serah deh. Kan kita punya waktu sendiri" tanggap Zahra cuek. Obiet merasa aneh, kenapa getaran yang selalu dirasakannya ketika Zahra berbicara tidak ada?
"Lagian, lo sendiri kan yang bikin masalah? Kabur dari rumah gara-gara gituan doang. Childest banget sih" komentar Oik, memakan browniesnya. Obiet semakin kaget, getaran yang hilang tadi ditemukannya ketika Oik berbicara. Ia pun cepat-cepat menghilangkan getaran dan pertanyaan-pertanyaan yang melintas di kepalanya.
"Iya iya sori deh, eh browniesnya enak ya?" tanya Obiet, berusaha mengalihkan pikiran.
"Iya, enak banget loh!" jawab Oik, mengambil potongan brownies yang terakhir.
"Ammm... enak banget! Masakan nyokap lo emang top Biet!" goda Oik, memakan browniesnya dengan gaya lebay.
"Sini gue cobain" ujar Obiet, mengambil tangan Oik yang sedang memegang brownies lalu memakan browniesnya.
"Eh?" tanya Oik, mukanya memerah.
"Mmm... bener lo Ik, enak banget!" komentar Obiet sambil mengunyah brownies tersebut. Oik diam saja, salting. Ia menunduk untuk menyembunyikannya.
"Biet, tanggung jawab tuh... si Oik jadi salting!" goda Zahra. Obiet tertawa, tawa yang disukai Oik. Oik semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang malu dan salting itu. Obiet duduk di samping Oik, lalu merangkulnya. Oik semakin salting, ia memejamkan mata, berusaha mengambalikan detak jantungnya yang serasa berhenti. Wajah Obiet pucat. Ia merasakan getaran yang sungguh-sungguh hebat, dan jantungnya berhenti. Jadi dugaannya benar. Yang ia sukai bukan Zahra, melainkan Oik. Dipikir-pikir, saat Zahra ada di deket gue Oik ada. Pas gue deg-degan samping Oik gue kira gue deg-degan mikirin Zahra. Emang gue beneran suka sama Oik ya? Oik yang cantik, yang selalu ngasih gue nasehat, selalu ngasih gue dukungan penuh... Ik ternyata gue emang sayang sama lo, bukan Zahra. Lagian, si Oik selalu ada di samping gue setiap gue ketemu Zahra. Jadi bener apa yang gue rasain? Arrgghh!! Cinta tuh rumit banget sih!! Gue ngerasa bersalah udah nyakitin lo Ik, batin Obiet sedih. Kayak mimpi aja... gue dirangkul Obiet! pikir Oik berulang-ulang.
"Woi woi lo berdua jangan ngelamun! Entar kerasukan aja baru deh nyesel!" ujar Zahra, menjentikkan jarinya, membuat Oik dan Obiet tersadar dari lamunan mereka.
"Nyokap lo bikinin makanan Biet, enak banget. Makan gih lo berdua!" perintah Zahra. Oik dan Obiet menurut. Mereka mengambil makanan lalu duduk. Mereka makan dalam diam, tak tau harus bicara apa. Mereka berusaha mengendalikan detak jantung mereka yang meloncat-loncat ingin terbang ke langit. Tanpa sadar makanan mereka habis.
"Ik..." panggil Obiet ragu-ragu.
"Hmm?" sahut Oik yang sedang minum.
"Gue selama ini salah, ternyata yang gue suka tuh bukan Zahra, gue baru nyadar. Gue ternyata suka sama orang lain, dan orang ini selalu ada buat ngehibur gue, dukung gue, nasehatin gue, dan rela ngorbanin apa pun biar gue bahagia" ungkap Obiet, masih ada nada ragu-ragu dalam suaranya.
"Hmm?" tanya Oik, masih minum. Dia gak mau natap Obiet, makanya dia pura-pura minum. Bukan maksud gue GR Biet, tapi itu gue ya? tanya Oik dalam hati. Obiet diam sebentar.
"Dan orang itu ada di depan gue sekarang, lagi minum, namanya Oik Cahya Ramadlani" ungkap Obiet. Oik membelalak dan menyemburkan minumannya. Zahra yang kena.
"Eh sori Zah, gak sengaja!! Kaget banget gue!" seru Oik panik. Zahra senyum maksa.
"Gak pa pa kok" ujarnya.
"Sori banget Zah, sori..." ujar Oik. Obiet ngakak. Oik menatapnya tajam. Obiet langsung berhenti.
"Jadi intinya apa?" tanya Oik sinis.
"Lo... lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Obiet terbata-bata karena gugup. Muka Oik langsung merah semerah kepiting rebus. Nafasnya serasa berhenti. Jantungnya juga. Ia serasa melayang ke langit ke tujuh...
"Ik, lo terima gak?" tanya Obiet. Oik kembali ke dunia nyata, lalu ia tersenyum manis. Jantung Obiet serasa berhenti melihatnya.
"Iya, gue terima kok" jawab Oik.
"Yes!" teriak Obiet senang. Obiet pun memeluk Oik erat, sampai-sampai Oik gak bisa nafas.
"Ehem..." ujar ibunya Obiet. Obiet pun segera melepas pelukannya. Oik lega, nafasnya tersenggal-senggal.
"Ma, aku benci ma sama dia..." ujar Obiet, merangkul Oik. Oik menatapnya bingung. Obiet tertawa kecil.
"Aku BENCI sama Oik... aku BENER-BENER CINTA sama dia..." sambungnya. Oik tersenyum lagi, lalu memeluk Obiet.
"Aku mau jadi pacarnya, mama restuin Obiet kan?" tanya Obiet.
"Gimana ya? Obiet mau pacaran sama anak yang sopan, ramah, baik, cantik, pinter, gimana mama mau nolak?" tanya ibunya Obiet. Obiet dan Oik pun tersenyum senang, dan mereka berpelukan. Sedang Zahra udah cabut, dijemput sama Alvin yang marah gara-gara dia udah nyari Obiet selama 4 jam, padahal Obiet udah ketemu.
***
Sementara itu, Shilla
Shilla kebanjiran kado dan kue, serta ucapan selamat ulang tahun. Memang, hari itu tanggal 25 Februari, hari ulang tahun Shilla. Bahkan, baju dan badannya sudah penuh dengan noda tepung, kecap, telur, dan susu, gara-gara 'surprise' dari teman-temannya itu. Untung dia sudah siap siaga, bawa baju ganti. Jadi tinggal ganti baju trus ciprat-cipratan sama air, pulang kampus mandi deh. Selesai dengan semua itu, ia ke tempat parkiran mobil dan menaiki mobilnya, lalu mengendarai mobilnya ke sekolah Keke. Hari ini Keke gak ada yang jemput, jadi dia dijemput sama Shilla. Sesampainya di sekolah Keke, ia pun celingak-celinguk mencari Keke.
"Kak Shilla!" teriak sebuah suara yang dikenalnya. Itu suara Keke. Spontan ia menengok ke sumber suara, lalu menemukan Keke yang sedang menghampirinya.
"Kakak akhirnya dateng juga... yuk ke rumah, udah laper nih. Masakin Keke yang enak-enak ya" ujarnya.
"Iya iya... yuk. Kamu kenapa lama pulangnya?" tanya Shilla.
"Latihan drama. Kan Keke jadi peran utama, jadi harus banyak latihan" jawab Keke. Shilla manggut-manggut.
"Ini kakak lo Ke?" tanya seorang cowok.
"Iya" jawab Keke singkat.
"Cantik banget... beda sama lo Ke" komentar Deva, salah seorang temannya.
"Jadi intinya gue jelek, gitu?" tanya Keke.
"Iya. Udah gitu pemarah, kasar, jagonya main basket, gak pantes deh jadi cewek!" jawab Deva santai. Keke langsung menjitak kepalanya. Deva tertawa digituin. Keke pun memukul punggung Deva.
"Au! Au sakit Ke!!" teriak Deva dengan nada pura-pura kesakitan. Keke malah memukulnya lebih kenceng.
"Au! Sakit beneran Ke! Stop dong!!" teriak Deva. Keke masih terus memukulinya.
"Eh udah udah! Yuk Ke, pulang!" lerai Shilla, menarik tangan Keke agar berhenti. Keke mengangguk.
"Tuh Ke, jadi orang tuh yang baik kayak kakak lo! Gila ya, kakak lo tuh udah cantik, ramah, suaranya lembut, kebalikan dari lo deh Ke!" teriak Deva, masih saja meledek. Keke mengepalkan tangannya, lalu berjalan ke arah Deva tapi ditahan sama Shilla.
"Udah, biarin aja. Yuk pulang, kakak udah laper nih, mau makan! Kamu juga mau makan kan?" tanya Shilla. Keke mengangguk. Mereka pun pulang.
***
Rumah Shilla
"Pa!! Shilla sama Keke pulang!!" teriak Shilla di dalem rumahnya kayak orang stress.
"Paa!!" teriak Keke. Aneh, biasanya kan papa nyaut, kok sekarang enggak? tanya Shilla dan Keke dalam hati, bingung. Ia pun memeriksa kamar papanya. Keke ngekor. Sesampainya di sana, ia terbelalak kaget. Wajah cantiknya pucat.
"Ppp.... papa?" tanya Shilla, air mata keluar dari matanya.
"Gak mungkin kan kak? Ini gak terjadi kan kak?" tanya Keke, air matanya juga keluar. Mereka segera menghampiri papa mereka yang berbaring di kasurnya. Shilla terkenang masa lalunya, saat Gabriel meninggal dibunuh. Ia menemukan secarik kertas. Shilla membaca tulisan yang ada di atas kertas tersebut.
Happy Birthday Shilla!
-Paman Jo-
Shilla paham. Paman Jo memberinya kado, kado yang tak akan dilupakannya. Kado yang paling pahit. Shilla jatuh terduduk, menangis. Keke menahan air matanya, berusaha menghibur kakaknya itu, walaupun ia sendiri juga sangat sedih, sesedih kakaknya.
"Kak, jangan nangis kak, ini udah takdir Tuhan..." hibur Keke terbata-bata karena menahan tangis. Kakaknya masih saja terus menangis.
"Kak, jangan sedih kak, kita harus mengikhlaskan kepergian papa" ujarnya. Shilla masih saja menangis, walau ia sendiri tak mau. Terbalik, batinnya. Harusnya gue yang ngehibur dia, harusnya gue yang gak nangis. Harusnya gue bisa ngendaliin air mata ini, sama kayak adek gue, pikirnya. Tapi apa daya, air matanya terus saja mengucur deras. Keke terus saja menghiburnya. Keke pun tak tahan lagi. Ia menangis seperti Shilla, menangisi ayahnya yang dibunuh. Shilla menangis tambah deras, mengingat ayahnya dibunuh dengan cara yang sama seperti Gabriel, yaitu memberi lubang di paru-parunya. Kado dari paman Jo tersebut benar-benar menyakitkan.
+++
(Part 32)
Keesokan harinya, baik Shilla maupun Keke tidak masuk kampus atau sekolah mereka. Semua teman-temannya sih biasa aja, paling-paling juga bolos. Kan udah biasa. Tapi Rio kelihatannya khawatir, hatinya gundah. Tak biasanya ia merasa seperti ini. Di kampus pikirannya melayang ke Shilla, khawatir. Temen-temennya dikacangin semua sama dia. Ia pun berusah mengalihkan pikirannya, dan sepulang kampus usahanya berhasil.
"Lo kenapa sih Yo?" tanya Obiet.
"Gak kenapa-napa. Khawatir aja sama Shilla, kok dia gak masuk ya? Kan dia yang paling cerewet kalo kita gak masuk atau telat" tanya Rio.
"Bener juga lo Yo!" tanggap Alvin.
"Tapi kan Shilla juga manusia, paling-paling dia sakit atau ada urusan" tanggap Zahra. Rio manggut-manggut.
"Bener juga lo Zah... eh Biet, Ik, lo berdua ngapain gandengan tangan?" tanya Rio yang baru nyadar. Obiet merangkul Oik.
"Kemaren kita resmi jadian" jawabnya. Rio cengo.
"Hah? Lo resmi jadian? Kok gak dikasih tau? Eh, pajaknya mana nih?" tanya Rio.
"Makanya, jangan ngelamunin Shilla terus! Mentang-mentang suka!" celetuk Oik. Obiet tertawa.
"Gue udah ngasih tau lo pas jam kosong, tapi dikacangin. Ya udah, gue diem" jawab Obiet.
"PJ-nya ntar, maunya sih jam kosong hari ini, tapi si Rionya ngelamun mulu ya udah. Daripada ditagih satu-satu kan mending sekalian. Shilla juga gak masuk" sambung Oik. Rio manggut-manggut lagi. Lalu ia menunduk, melihat ke arah bawah lama sekali.
"Woi Yo, jangan ngelamun lagi!" tegur Zahra. Rio tersadar dari lamunannya.
"Gila ya lo, sebesar apa sih cinta lo ke Shilla? Dari tadi yang lo lamunin Shilla... aja. Kita yang dikacangin!" tanya Alvin. Rio menatapnya sinis.
"Yang jelas sebesar atau lebih dari cinta lo ke Zahra" jawab Rio.
"Udah ya, gue cabut" pamit Rio.
"Kita juga. Biet, bawa motor kan?" tanya Oik.
"Iya. Yuk pulang" ajak Obiet. Oik pun menggandeng tangannya dan mereka pun pulang.
"Zah, mau makan dulu?" tanya Alvin.
"Mmm... ntar aja kalau udah malem Vin" jawab Zahra.
"Yah, kalau gitu besok-besok aja deh. Ntar malem aku ada acara" keluh Alvin. Zahra prihatin dan merangkul Alvin.
"Pulang yuk" ajak Alvin dengan nada sedih. Zahra menjadi merasa bersalah.
"Yuk" ujar Zahra lemas. Alvin pun menggandeng tangan Zahra dan membawanya ke tempat motornya di parkir, lalu mengantarnya pulang.
***
2 hari kemudian
Shilla masih belum masuk ke sekolahnya, sudah genap 3 hari. Teman-temannya spontan khawatir, jangan-jangan Shilla kenapa-napa. Telefon sama SMS percuma, toh gak diangkat dan dibales sama dia. Tetapi, hari ini Keke masuk ke sekolahnya. Temen-temennya udah pada khawatir semua, apalagi Deva.
"Ke! Lo ke mana aja? Kok gak masuk gak ada kabar? Latihan drama lo bolos, pada gak jadi tau!" sambut teman-temannya. Keke tersenyum paksa. Wajahnya pucat. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya, menandakan ia kurang tidur.
"Ke? Muka lo kok pucet gitu? Lo kebanyakan nangis, ya? Lo kurang tidur, ya?" tanya Deva.
"Wess... Deva... perhatian aja lo ama Keke" komentar yang lain. Deva tak menghiraukannya. Keke tersenyum paksa, lalu ia menggeleng.
"Gak mungkin, lo aja senyum gak bisa, dipaksain! Udah sarapan?" tanya Deva lagi. Keke menggeleng lagi, lalu menyunggingkan senyum paksa selebar mungkin.
"Hah? Lo harus sarapan dong, Ke... yuk ke kantin, gue beliin roti" ajak Deva. Keke tersenyum dan menggeleng. Ia pun berjalan terhuyung-huyung ke kelasnya. Deva semakin khawatir.
***
Pulang sekolah
Keke berjalan terhuyung-huyung keluar kelas, menuju perpustakaan sekolah. Ia menyebrangi lapangan basket, dan dunia serasa melayang, ia pusing... dan semuanya menjadi gelap. Ia ambruk. Untung saja kapten tim basket sekolahnya menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Semua orang yang ada di sana pun menggotong Keke ke UKS.
***
UKS
Tak lama kemudian Keke membuka matanya, lalu ia menyapu matanya ke sekeliling ruangan. Di mana gue sekarang? tanya Keke dalam hati. Ia memasang tampang bingung.
"Lo ada di UKS. Pasti lo gak pernah ke sini, soalnya lo selalu jaga kesehatan lo" ujar sebuah suara, seperti bisa membaca pikiran Keke. Keke langsung menengok ke arah sumber suara. Lalu ia menemukan Deva diambang pintu UKS.
"Kenapa..?" tanya Keke.
"Lo pingsan tadi. Udah gue bilang, sarapan dulu. Lo gak makan berapa hari sih?" tanya Deva, bermaksud bercanda. Keke mengacungkan tangannya, membentuk angka tiga.
"Lo gak makan 3 hari? Pantesan lo pucet kayak gitu! Nih, gue bawa roti sama air putih. Makan!" perintah Deva kaget, memberi sepotong roti dan aqua pada Keke. Keke menerimanya ia memakannya dengan lahap.
"Laper kan lo? Makanya, tiap hari tuh makan, minimal sarapan sama 3 sendok nasi!" ujar Deva.
"Cerewet lu" komentar Keke.
"Biarin!" tanggap Deva.
"Eh, bisa beliin gue lagi gak? Gue laper nih" tanya Keke.
"Makanya, makan dong! 3 hari gak makan... gue aja kagak tahan kalo gak makan siang! Lo mau apa?" tanya Deva.
"Makaroni. Nih duitnya" jawab Keke, memberi Deva uang. Deva pun pergi. Keke tak perlu menunggu lama, karena tak lama kemudian Deva kembali membawa makaroni pesanan Keke. Wajah Keke berseri-seri, ia pun makan dengan lahap.
"Enak? Makanya, kalo rezeki tuh dimanfaatin, lo makanan aja gak dimakan. Pingsan lo yang ada" ujar Deva, menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sok dewasa lo!" komentar Keke.
"Biarin! Tuh kan, abis makan langsung ada tenaga lagi. Tapi jangan dipake buat mukulin gue!" ucap Deva, memandang ke arah pintu UKS.
"Iya, tapi lo beliin gue makaroni lagi" tanggap Keke.
"Emangnya lo udah..." tanya Deva sambil melihat ke arah Keke.
"Abis?" sambung Deva, kaget melihat makaroni Keke yang udah abis.
"Gila! Lo cewek apa cowok, sih? 1 menit aja belom ada, makaroni semangkok lo udah abis!" komentar Deva heboh.
"Cewek. Udah, beliin gue lagi! Laper nih, 3 hari kagak makan!" seru Keke heboh sendiri.
"Ya udah, mana duitnya?" tanya Deva.
"Ya elo yang keluar duit! Kan gue bilang beliin!" jawab Keke.
"Enak aja!" tanggap Deva.
"Lo mau gue pukulin?" tanya Keke.
"Iya iya gue beliin... hii serem gue sama lo Ke!" komentar Deva sambil merinding.
"Udah sana beliin! Yang cepet!" perintah Keke. Deva pun menurut. Tak lama kemudian dia masuk lagi, membawa makaroni sama cappuchinno.
"Wess... dapet bonus nih gue?" tanya Keke.
"Gak! Ni cappuchinno buat gue! Enak aja lo!" jawab Deva sambil memberi makaroni Keke. Keke makan dengan lahap.
"Ke... emangnya lo kenapa gak masuk ampe 3 hari sih? Gak makan-makan lagi! Kurang tidur, trus lemes kayak gini" tanya Deva. Keke langsung berhenti makan, menaruh mangkuk makaroni di meja sebelahnya. Wajahnya pucat lagi. Deva panik. \
"Ke? Kok lo pucat lagi?" tanya Deva panik. Keke menatapnya, matanya berkaca-kaca.
"Ke? Lo kenapa? Gue salah apa?" tanya Deva, makin panik. Keke menggeleng dan mengusap matanya, menahan air mata yang akan keluar. Deva mengambil kursi dan duduk di sebelah kasur Keke.
"Ke? Lo sebenernya kenapa?" tanya Deva. Keke menarik nafas panjang, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.
"Lo tau kan, kemaren kakak gue dateng buat jemput gue?" tanya Keke, suaranya serak. Deva mengangguk.
"Lo tau gak, dia ultah?" tanya Keke lagi. Deva menggeleng.
"Emang dia ultah?" tanya Deva.
"Iya. Dia dapet banyak kado... termasuk dari paman Jo" jawab Keke.
"Trus?" tanya Deva. Air mata Keke hampir keluar, tapi ia masih bisa menahannya.
"Kado dari paman Jo... ayah gue dibunuh, caranya sama kayak pas dia ngebunuh kak Gabriel, mantannya kakak gue" jawab Keke, air matanya keluar. Deva shock. Keke menangis, walau tak begitu keras suaranya.
"Kkkk... kakak gue yang paling shock. Dia langsung nangis, trus gak mau makan dan gak mau masakin gue. Gue juga sedih, kita berdua akhirnya nangis berdua, ampe lupa makan. Gak lupa sih, tapi kita terlalu sedih dan lemes buat makan. Gue masih mending, bisa masuk hari ini. Kakak gue? Katanya dia gak mau masuk kampus lagi" sambungnya dengan suara terisak.
"Gue gak tau harus ngapain... gue masih kelas 8, kakak gue gak bisa diandalin, nyokap gue ilang gak tau kemana, dan gue gak ngerti dengan semua ini, gue belom gede, gue belom remaja" ujarnya, air matanya keluar lebih deras. Ia menekuk lututnya ke atas, menaruh tangannya di atas lututnya, lalu menangis, mukanya ditempelkan ke tangannya. Deva bingung harus apa. Dia juga gak ngerti harus gimana, dan dia masih shock. Apalagi dia harus melihat Keke menangis, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Selama ini yang dia lihat adalah Keke yang tegar, tomboi, dan kasar. Baru kali ini ia melihat sisi feminin dari Keke, walaupun ia tau bagian luar Keke terlihat seperti cewek. Mukanya manis, rambutnya hitam panjang bergelombang, matanya indah. Semua itulah yang membuat Deva jatuh cinta pada Keke pada pandangan pertama, dan semua itu juga yang membuat ia selalu membantu Keke sebisanya. Jantungnya tak karuan, dia tak tau harus apa.
"Woi si Keke kenapa? Lo apain?" tanya sebuah suara. Deva menengok ke pintu UKS, tempat sumber suara itu berada.
"Kakak siapa ya?" tanya Deva bingung.
"Gue Alvin, ini cewek gue Zahra. Mau jemput Keke, sekalian nanya si Shilla kenapa. Si Keke lo apain?" tanya Alvin galak. Deva jadi ngeri.
"Ggg... gak Deva apa-apain kok kak... ngomong-ngomong pacar kakak cantik ya" jawab Deva mengalihkan pembicaraan.
"Emang. Mau apa lo? Gaet dia?" tanya Alvin galak. Deva jadi tambah ngeri. Buset dah... ni kakak serem amet. Pasti temennya kak Shilla. Hii... merinding gue! batin Deva.
"Vin, jangan gitu dong, yang baik sama temennya Keke, entar diusir. Inget, kita tamu, lagian liat tuh, dia udah serem aja liat kamu! Lagian, mana mungkin sih dia gaet aku? Orang aku 11 tahun lebih tua" tegur Zahra. Gila ya, kenapa si kakak galak bisa dapetin pacar yang cantik trus lemah lembut kayak dia? Sumprut dah, sopan abis. Skak mat lu kakak galak!! batin Deva senang.
"Iya ah..." tanggap Alvin ogah-ogahan. Keke langsung menghapus air matanya sejak Alvin dan Zahra datang. Ia pun duduk di kasurnya, kakinya diselonjorkan.
"Eh, kak Alvin, kak Zahra. Ngapain ke sekolah Keke?" tanya Keke, tersenyum manis.
"Mau nanya tentang Shilla, kok dia gak masuk ya ampe tiga hari?" tanya Zahra.
"Entar aja jawabnya, kok lo tadi nangis?" tanya Alvin. Wajah Keke pucat lagi.
"Emmm... emh..." ujarnya, bingung mencari alasan yang tepat. Ia tidak mau kedua sahabat kakaknya ini tau, belum saatnya.
"Dia tadi nangis gara-gara dilabrak sama anak kelas 9, trus dipermaluin" jawab Deva.
"Oh ya?" tanya Alvin curiga.
"Iya, pokoknya tadi parah banget deh. Apalagi Keke kan sensitif, waduh tambah gawat deh" jawab Deva mantap. Keke memandang Deva dengan tatapan Makasih-Banyak-Udah-Bantuin-Gue. Deva memandangnya dengan tatapan Sama-Sama.
"Emang dipermaluin sama siapa? Sini gue labrak!" tanya Alvin nafsu.
"Gak usahlah kak, Keke kan cinta perdamaian. Biar Tuhan aja yang ngebales" jawab Keke.
"Trus Keke kenapa di UKS?" tanya Zahra.
"Keke cari tempat yang sepi buat nangis, kan di sini tempat paling sepi. Yang lainnya rame semua" jawab Deva.
"Oh... kirain apa. Udah yuk, Keke pulang sama kita aja, sekalian jenguk Shilla" ajak Zahra.
"Enggak ah kak, kakak pulang aja. Keke mau bareng Deva, udah janjian soalnya" tolak Keke.
"Sama kita aja, sekalian jenguk Shilla soalnya. Masa' mau bolak-balik?" paksa Alvin.
"Kak Shilla lagi gak mau diganggu. Kalo diganggu bisa-bisa dia ngamuk seharian. Entar Keke gak dimasakin apa-apa, trus gak makan. Mau?" tanya Keke dingin.
"Oh... ya udah deh. Kita makan siang aja ya Vin? Aku laper" tanya Zahra.
"Oke deh. Sampein salam kita ke kakak lo ya" pamit Alvin lalu pergi, menggandeng Zahra untuk mengikutinya. Setelah mereka jauh, Keke menangis lagi.
"Duh Ke, jangan nangis dong... gue bingung nih. Gue kan gak pernah nanganin cewek nangis" pinta Deva. Keke berhenti menangis, tapi masih terisak.
"Sori" ujarnya.
"Gak apa-apa" tanggap Deva. "Gue emang beda sama kakak gue... gue tomboi, dia feminin. Gue gak sensi, tapi dia sensinya minta ampun. Gue bisa olahraga, dia gak bisa. Tapi cewek setomboi apa pun pasti juga bakal nangis kalo punya nasib kayak gue, apalagi gue gak bisa nyalahin kakak gue. Gue gak tega" ungkap Keke.
"Udah, yang penting lo tenang dulu. Bokap lo udah lo makamin?" tanya Deva. Keke mengangguk.
"Nah, yuk pulang. Inget, makan!" perintah Deva. Keke tersenyum lalu bangkit.
"Iya deh" ujarnya, mengambil tasnya lalu pergi mengikuti Deva. Ia pun pulang ke rumahnya.
---
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar