Sabtu, 11 Juni 2011

Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 29 & 30

PREVIOUS PART

---

(Part 29)

Rio langsung berlari menjauh dari pohon tersebut. Shilla dan Keke bingung, apa yang terjadi dengan Rio. Shilla berhenti menangis, lalu saat ia melihat apa yang membuat Rio begitu ketakutan, ia pun berteriak juga, dibarengi oleh Keke.

"Aaaahhhh!!!!" teriak mereka sekeras-kerasnya. Mata mereka membelalak ketakutan.

"Yel jangan hantuin kita Yel, jangan gentayangin kita Yel, jangan marah gara-gara gue marah-marah ke lo Yel, gue minta maaf Yel, sori!!" ujar Shilla ketakutan. Gabriel memandangi mereka dengan wajah marah. Tiba-tiba di sampingnya muncul Sivia entah dari mana. Ia menggandeng tangan Gabriel, berjalan, mereka pun menghilang.

"Aaaahhhh!!!!! Hantuu!!!!!" teriak Rio, Keke, dan Shilla bersamaan. Mereka pun berlari sekencang-kencangnya ke mobil Shilla dan motor Rio diparkir, lalu naik ke kendaraan masing-masing. Yang cewek masuk mobil Shilla, Rio naik motornya. Mereka pun memacu kendaraan mereka sekencang-kencangnya ke rumah Shilla.

***

Rumah Shilla

Mereka langsung turun secepat mungkin, lalu mereka pun berlari masuk ke arah rumah Shilla. Tapi Rio langsung ngerem larinya pas di depan rumah Shilla. Shilla membuka pintu, Keke masuk.

"Lo ngapain situ? Cepet masuk!" perintah Shilla, memberi isyarat agar Rio masuk.

"Gak enak masuk rumah cewek. Emang gue siapa lo? Cowok bukan, keluarga bukan, lancang aja masuk rumah lo" jelas Rio.

"Masuk aja! Lo sobat gue!" teriak Shilla, mengulangi isyarat yang sama. Rio pun mengangkat bahu dan berlari masuk ke rumah Shilla. Shilla pun masuk lalu menutup pintu. Nafas ketiga orang di situ ngos-ngosan, capek banget. Shilla pun bergabung dengan Keke dan Rio yang duduk di sofa ruang tamu.

"Gila ya, serem abis" ujar Shilla.

"Iya. Tapi kak Gabriel gak marah? Kan dia gak ganggu" tanya Keke.

"Serah deh. Yang jelas serem" jawab Rio.

"Eh eh, tapi gue baru tau loh, ada cowok takut sama hantu. Biasanya kan cowok berani" ujar Shilla mengalihkan pembicaraan.

"Hus! Kak Shilla!" tegur Keke. Shilla mengangkat bahu.

"Emang gitu kok kenyataannya" ujarnya.

"Iya deh, lo sendiri juga takut. Lagian, gue kan gak ada bedanya ama cewek bego, bisanya nyalahin orang pas sahabatnya meninggal. Padahal kan emang udah takdir Tuhan" ujar Rio balas menyindir. Shilla menggerutu. Keke mengangkat bahu melihat kedua orang itu.

"Ngomong-ngomong, kenapa kak Rio gak pulang? Kok malah ke sini?" tanya Keke.

"Ngikut aja. Mang gak boleh?" tanya Rio.

"Boleh-boleh aja sih" jawab Keke.

"Oya Shill, lo besok HARUS masuk kampus, ampe enggak awas aja lo, gue panggilin si Gabriel!" ancam Rio, memberi penekanan pada kata 'harus'.

"Gimana caranya? Lo kan juga takut sama hantu!" tanya Shilla.

"Ya gue minta aja dia buat gak hantuin gue, lagian lo kan juga udah marahin dia. Impas deh" jawab Rio santai, memakan biskuit yang ada dalam toples di meja.

"Eh enak nih, beli di mana?" tanya Rio.

"Nyolong makanan aja kak Rio bisanya! Kalo mau beli nitip aja ke Keke, harganya 45 ribu satu toples, trus tambahin 5 ribu buat biaya ekstra beliin" jawab Keke.

"Males! Mending ke tokonya langsung deh. Beli di mana?" Rio mengulang pertanyaannya.

"Gak beli di mana-mana, gue yang masak" jawab Shilla. Rio langsung cengo, menjatuhkan toples biskuit. Untung saja Keke dengan sigap menangkapnya.

"Hup! Eh kak Rio hati-hati dong, ini toples kaca harganya mahal!" ujar Keke.

"Eh iya sori, cuma gak percaya aja, si Shilla yang buat? Kok enak sih?" tanya Rio.

"Nyindir lo? Emang udah dari sononya gue jago masak!" tanggap Shilla.

"Iya, Keke juga suka masakannya kak Shilla. Enak banget!" Keke menimpali.

"Gila... eh pas ultah gue lo bikinin ya, enak banget. Tapi gue masih gak percaya kalo ini bikinan lo" ujar Rio.

"Nyindir lo!" teriak Shilla.

"Iya. Udah ya Shill, gue berangkat. Besok lo masuk loh, tenang aja, Sivia pasti bahagia, kan ada Iyel yang jagain dia di sana. Sabar ya, gue tau cobaan lo berat banget. Kalo ada apa-apa hubungin gue, mumpung yang lain masih ada masalah" ujar Rio dengan suara lembutnya. Shilla mencair, hatinya hangat. Suara Rio emang ampuh banget buat ngehibur cewek.

"Besok lo ultah ya? Ngasih kado apa ya?" tanya Rio.

"Udah cukup apa yang lo kasih ke gue Yo, lo udah ngehibur gue, nyadarin gue, trus lo udah ngertiin gue. Itu lebih dari cukup Yo" jawab Shilla tulus. Muka Rio memerah.

"Udah ya gue pulang dulu!" pamit Rio lalu pergi. Shilla memandanginya sampai Rio menghilang dari pandangannya, benar-benar menghilang.

***

Keesokan harinya di kampus

"Hai!" sapa Shilla ceria.

"Dateng juga lo!" celetuk Rio.

"Iyalah, takut banget gue sama hantunya Iyel. Hii... sori Yel udah marahin elo!" gumamnya sendiri. Yang lain berpandang-pandangan kebingungan.

"Mang kemaren ada apa sih?" tanya Alvin.

"Jadi gini..." jawab Rio memulai ceritanya.

"Hah? Gila serem abis!" komentar Oik mendengarnya.

"Ya iyalah! Lagian, si Shilla bego banget sih! Ampe segitunya" tanggap Rio. Yang lain cuma manggut-manggut, apalagi Alvin. Ia hanya diam mematung.

"Nyariin Zahra lo Vin?" tanya Oik. Satu kata 'Zahra' adalah kata yang mujarab, Alvin langsung tersadar dari lamunannya.

"Mana Zahra?" tanya Alvin sambil celingak-celinguk. Oik menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ckckck... lo segitu cintanya sama Zahra Vin, ampe kayak gitu" komentar Oik. Alvin mengangkat bahu.

"Zahra sakit. Kemaren sih udah sembuh, cuma dia butuh istiahat seharian, besok juga masuk lagi" ungkap Oik.

"Oh" tanggap Alvin, wajahnya agak lega.

"Gue mau bicara sama lo, berdua aja" ujar Oik, mendorong Alvin ke taman belakang.

"Kok Oik jadi deket gitu ya sama Alvin?" tanya Obiet.

"Suka-suka dia dong. Kenapa? Gak suka?" tanya Rio.

"Gak, gak gitu sih. Penasaran aja. Lagian, dia kan sobat gue" jawab Obiet.

"Serah deh. Gue mau ke kelas" ujar Shilla lalu pergi. Rio dan Obiet mengangkat bahu, lalu pergi ke kelas masing-masing.

***

Taman belakang

"Kenapa Ik?" tanya Alvin.

"Jenguk Zahra" perintah Oik.

"Hah?" tanya Alvin bingung.

"Jenguk Zahra" jawab Oik, mengulangi perintahnya.

"Kenapa gue harus jenguk dia?" tanya Alvin.

"Lo bakal ngerti kalo lo ngelakuin itu. Plis, demi dia" jawab Oik memelas. Alvin terlihat seperti sedang berpikir.

"Yah, kita liat aja nanti" ujar Alvin lalu melangkah pergi. Oik hanya bisa memandanginya, dalam hati ia berdoa.

***

Pulang kampus

Alvin langsung cabut. Ia memacu motornya ke arah kosan Zahra. Ia memasuki kos Zahra, berapa pun pasang mata yang melihat ke arahnya. Maklum, dia kan ganteng. Dia udah biasa sama situasi kayak gini. Toh kosnya Zahra memberi kebebasan buat siapa pun yang mau ke sana, asal gak lebih dari jam 6 sore. Di kamar Zahra, Zahra sedang memandangi sebuah foto yang dipasangi frame, foto Alvin. Ia duduk memeluk lututnya di atas kasurnya, tatapannya sedih memandangi foto tersebut. Pikirannya melayang ke kenangan-kenangan masa lalu mereka, kenangan-kenangan yang takkan terulang kembali. Lagu My Happy Ending-nya Avril Lavigne mengalun, membawa ia kepada kenangan pada malam api unggun tersebut. Hatinya jadi panas.

"Alvin jahat!" teriaknya, membanting foto Alvin yang ia pegang.

"Alvin kenapa harus jadi kayak gini? Kenapa hubungan kita jadi jauh? Kenapa harus ada Zevanna di hati lo? Kenapa kita harus pisah kayak gini? Alvin gue masih sayang sama lo, gue gak mau kehilangan lo Vin, gue gak mau pisah dari lo Vin, gue harus gimana? Gue gak tau apa yang harus gue lakuin... gue masih sayang sama lo Vin.... gue mau lo ada di sisi gue!!" teriak Zahra sekencang-kencangnya. Alvin yang baru saja akan membuka pintu dan masuk mematung di luar ruangan, tak percaya akan apa yang ia dengar.

"Alvin, gue masih sayang sama lo!! Gue mau lo ada di sisi gue sekarang, gue mau lo hibur gue lagi, gue rindu sama lo, gue mau gombal-gombalan lagi sama lo, gue mau nge-date lagi sama lo, gue mau kita jadi kayak dulu lagi!!!" teriak Zahra lagi, lalu ia mulai menangis. Alvin tambah mematung. Lidahnya kelu. Ia jatuh terduduk di luar kamar, mendengarkan isak tangis Zahra yang menyayat hatinya. Ia tertunduk, tak percaya bahwa ia harus berada dalam situasi ini. Tapi inilah hidup. Tak pernah adil. 5 menit kemudian tangisan Zahra berhenti. Alvin menengok ke arah pintu, lalu berdiri. Perlahan dan penuh ragu-ragu ia membuka pintu lalu masuk. Dilihatnya Zahra yang tertidur, berbaring di atas kasur. Ia tidak memakai selimut, padahal AC-nya masih nyala. Posisinya juga acak-acakan. Alvin tersenyum, lalu ia menangkap sesuatu di matanya. Fotonya diatas lantai putih, dengan kaca framenya yang berserakan. Ia tersenyum, mendekatinya, lalu membereskan foto serta frame itu. Ia membuang kaca di tempat sampah dan menaruh fotonya di meja. Ia mengambil buku tulis Zahra, merobek selembar kertas, lalu menulis.

Untuk Zahra,

Maafin gue udah ngecewain dan nyakitin hati lo. Gue gak bermaksud, lo harus percaya sama gue. Lo pasti tau siapa gue, karena gue bagian dari kenangan lo. Jangan lupain gue, plis.

Maafin gue udah lancang masuk kamar lo. Gue juga denger teriakan lo, dan gue minta maaf. Gue bakal nyelesein masalah ini semampu gue, dan pasti bakal ada solusinya dan masalah ini selesai. Maafin gue Zah.

-Alvin-


+++

(Part 30)

Alvin membaca suratnya sekali lagi, tersenyum dan menggelengkan kepala, lalu merobeknya dan membuangnya ke tempat sampah. Ia pun menghampiri Zahra, membenarkan posisi tidur Zahra dan menyelimutinya. Ia pun mengambil kursi, menyeretnya ke samping tempat tidur Zahra, lalu duduk. Ia memerhatikan Zahra. Musik yang menggema di ruangan tersebut berubah menjadi Apalah Arti Cinta-nya She. Ia mendengarkannya dengan mata tertutup, dan tak lama kemudian ia membuka matanya dan menatap mata Zahra yang tertutup. Ia membelai lembut rambut Zahra.

"Zah, gue janji bakal ngelurusin masalah ini. Gue janji bakal selalu bikin lo bahagia semampu gue, dan gue gak bakalan tega bikin lo sedih dan stress kayak gini. Lo cinta pertama gue Zah, dan itu gak bakal berubah. Lo harus tau gue suka sama lo dari dulu, pas kita masih SMA. Gue sayang sama lo Zah" ujar Alvin, menggelengkan kepalanya setelah mengucapkannya.

"Bukan, gue cinta sama lo Zah" koreksinya. Ia pun bangkit dan mengecup kening Zahra. Ia menyentuh kening Zahra, dan kaget. Keningnya panas sekali. Ia buru-buru mengambil handuk kecilnya. Ia mencelupkan handuk tersebut dalam semangkuk air es yang ada di atas meja sebelah tempat tidur Zahra dan manaruhnya di atas kening Zahra. Ia membelai rambut Zahra sekali lagi lalu berjalan ke arah meja Zahra, mengambil iPod Zahra yang terletak di sana, lalu melihat apa yang dimainkan oleh benda tersebut. Playlist, judulnya 'Hati yang terluka'. My Happy Ending, Apalah Arti Cinta, Hati Yang Kau Sakiti, Diantara Mereka, Aku Bukan Untukmu. batin Alvin, membaca lagu-lagu yang ada di playlist tersebut. Gila ya, si Zahra sampe bikin playlist. Pasti dia sakit banget, Zah gue ngerasa bersalah ke lo... pikir Alvin lesu dan tertunduk. Ia pun mendongkak seraya musik berubah lagi menjadi Hati Yang Kau Sakiti-nya Rossa. Ia menghembuskan nafas, hatinya tersayat lagi. Ia menaruh iPod Zahra di tempat semula, membuka pintu, keluar dari kamar Zahra, menutup pintu lalu pergi. Oik yang mengintip tersenyum senang.

Oik pun pergi ke kamarnya, sesampainya di sana ia menangis mengenang Obiet. Ia juga bingung harus apa, pasti Obiet akan sakit ketika melihat Alvin dan Zahra balikan lagi. Ia begitu bingung, hatinya sakit. Sakit yang luar biasa, lebih sakit daripada yang dirasanya sebelumnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Oik cepat-cepat menghapus air matanya dan membuka pintu. Ia kaget melihat siapa yang mengetuk pintu.

"Alvin?" tanyanya kaget, tak lebih dari bisikan. Alvin yang tadi memandangi pintu kamar Zahra melihat ke arahnya.

"Iya. Siapa lagi? Setan?" tanya Alvin. Oik menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghembuskan nafas lalu menatap Alvin.

"Ngapain lo di sini? Gue kirain lo udah pergi" tanya Oik.

"Lo harus ikut gue, sekarang. Lo mau kan si Zahra balik jadi kayak dulu? Lo harus ikut gue, gue tau gimana caranya" perintah Alvin.

"Tapi..." ujar Oik.

"Gak ada tapi-tapian! Ayo cepet!" ujar Alvin sambil menarik tangan Oik.

"Iya iya ah! Bentar dulu, ada yang mau gue ambil" ujar Oik sambil menghentakan tangannya, masuk ke kamarnya, menyambar tasnya, lalu balik ke Alvin. Alvin bergegas ke motornya, diikuti oleh Oik. Ia pun naik, Oik mengikutinya, lalu ngebut ke tempat tujuannya. Chillate Cafe.

***

Chillate Cafe

Alvin langsung turun dari motornya, diikuti dengan Oik.

"Lo ngapain bawa-bawa gue ke sini?" tanya Oik bingung.

"Liat aja, gue butuh seseorang buat jadi saksi. Zahra kan percaya sama lo, jadi dia pasti bakalan percaya" jawab Alvin sambil memandang ke arah cafe tersebut, menuju ke arah sana. Brakk!! Pintu dibuka oleh Alvin dengan cara dibanting. Ia masuk, berhenti sebentar untuk memandang ke seluruh arah, mencari sosok yang dicarinya. Akhirnya matanya menangkap Zevanna dan teman-temannya yang melihat ke arahnya dengan tampang kaget. Dialah yang dicari Alvin. Spontan Alvin langsung menuju ke arah mereka, Oik ngekor.

"Woi Zev, cowok lo tuh" tegur salah seorang temannya.

"Iya ah, entar aja" tanggap Zevanna, berpura-pura melihat ke arah lain selain Alvin yang sedang menuju ke arahnya. Ia meneguk caklatenya. Alvin pun sampai ke tempatnya, lalu ia menarik kencang tangan Zevanna.

"Au! Lo ngapain sih Vin?" tanya Zevanna sambil meronta-ronta, tapi tak bisa karena Alvin mencengkram tangannya kuat. Alvin masih saja menarik tangannya, tak peduli dengan Zevanna. Praanngg!! Gelas caklate Zevanna jatuh dan pecah. Zevanna ingin membersihkannya, tapi apa daya, Alvin menariknya kencang sekali. Hampir saja ia jatuh dan diseret Alvin. Tak ada pilihan lain selain mengikuti Alvin. Oik bingung, Alvin kan belum pernah berbuat sekasar ini ke cewek. Tapi ia mengikuti Alvin. Mereka bertiga pun sampai di pojok sepi Chillate Cafe. Alvin melepas pegangannya.

"Lo ngapain ngaku-ngaku jadi cewek gue, hah?" tanya Alvin sambil berteriak. Nada suaranya marah. Oik semakin bingung.

"Gak ada urusannya sama lo" jawab Zevanna santai.

"Jawab gak?!" teriak Alvin emosi.

"Enggak!" bentak Zevanna. Alvin mencengkram lengannya keras, Zevanna jadi lemas.

"Au Vin, sakit Vin, lepasin! Iya iya gue kasih tau!" pinta Zevanna kesakitan. Oik menggelengkan kepalanya melihat kedua orang tersebut. Alvin melepaskan cengkramannya, Zevanna mengusap-usap lengannya.

"Sakit tau!" ujarnya. Alvin diam saja, menunggu jawaban dari Zevanna.

"Sebenernya, Obiet ngebayar gue buat ngelakuin itu" ujar Zevanna. Alvin dan Oik membelalak.

"Obiet?!" tanya Oik tak percaya.

"Iya. Udah ah, gue gak mau dicengkrem lagi. Sakit tau" jawab Zevanna lalu pergi. Oik terpaku, wajahnya pucat.

"Sabar ya Ik" ujar Alvin. Oik tak menanggapi, ia hanya menatap kosong ke arah lantai.

"Gue gak percaya, gue tau kalau Obiet tuh cinta sama Zahra, tapi gak gue gak nyangka dia pake cara kotor kayak gini" ucap Oik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Iya gue tau, tapi kenyataannya emang gitu" sahut Alvin. Oik memejamkan mata lalu membukanya dan menghembuskan nafas.

"Yuk pergi, tapi mending bawa Zevanna deh, biar dia yang jelasin ke Zahra" ajaknya.

"Pinter lo. Yuk" ujar Alvin setuju, lalu pergi ke tempat Zevanna berada. Alvin menarik tangan Zevanna.

"Apaan lagi sih?" tanya Zevanna jengkel.

"Ikut gue, lo harus bilang yang tadi ke Zahra" jawab Alvin.

"Males!" tanggap Zevanna. Alvin mencengkram tangannya.

"Au! Iya deh!" ujar Zevanna kesakitan. Alvin pun tersenyum, melepas cengkramannya dan pergi ke motornya. Oik dan Zevanna ngekor. Sesampainya di motor Alvin mereka bertiga berpisah. Oik naik taksi dan Alvin serta Zevanna naik motor Alvin. Mereka pun bertemu di kos Zahra dan Oik.

***

Kamar Zahra

Zahra terbangun, lalu menyentuh dahinya karena merasa ada sesuatu di atas situ. Ia melihat handuk Alvin. Ia kaget. Spontan ia memandang berkeliling, dan ia bertambah kaget. Ia bangkit, menaruh handuk di meja sebelahnya, lalu segera memeriksa kamarnya. Ia memeriksa lantai kamarnya, celingak-celinguk mencari pecahan kaca dan frame serta foto Alvin. Ketiga benda tersebut menghilang. Ia yakin bahwa ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ia memeriksa mejanya, dan menemukan foto Alvin. Ia semakin yakin bahwa ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ia pun memeriksa handuk yang tadi mengompresnya, dan menemukan tulisan kecil yang dirajut memakai benang putih.

"Alvin J. Sindunata... Alvin?" tanya Zahra kaget, menjatuhkan handuk kecil berwarna biru dongker itu. Alvin masuk kamar gue? Kok bisa? tanya Zahra dalam hati, nafasnya ngos-ngosan dan matanya membelalak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Zahra membuka pintu, dan menemukan Alvin, Zevanna dan Oik di ambang pintu. Mukanya segera berubah menjadi sinis.

"Ngapain lo ke sini? Mau pamerin cewek lo?" tanyanya menghardik.

"Enggak, gue ke sini mau nyampein sesuatu, gue mau memperjelas masalah ini" jawab Alvin.

"Bukannya semua udah jelas? Keluar dari kos gue lo berdua!" usir Zahra lalu menutup pintu. Tetapi hampir saja ia selesai melakukannya, Zevanna mencegahnya.

"Gue dibayar sama Obiet buat ngaku-ngaku jadi pacar Alvin" ungkapnya. Zahra membelalak kaget.

"Apa?" tanyanya.

"Gue dibayar sama Obiet buat ngaku-ngaku jadi pacar Alvin" jawab Zevanna, mengulang ucapannya tadi.

"O... Obiet?" tanya Zahra lagi.

"Iya... sekarang udah jelas semua kan?" tanya Alvin tidak sabaran. Zahra mengangguk.

"Sekarang, gue mau ngomong sama lo" ujar Alvin, mendekati Zahra. Zevanna mundur. Zahra menatap Alvin yang sedang berlutut dihadapannya dengan tatapan tak percaya.

"Zah, lo tuh cinta pertama gue, dan sampai sekarang perasaan itu masih ada, gak berubah. Gue gak bisa hidup tanpa lo Zah, gue gak mau bikin lo sedih kayak dulu. Gue janji bakal bikin lo bahagia, dan gue janji kayak gitu sejak SMA, waktu pertama kali gue jatuh cinta sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue lagi, dan kali ini untuk selamanya?" tanya Alvin. Zahra menangis bahagia, lalu memeluk Alvin.

"Iya Vin, gue terima. Gue gak bisa jauh dari lo Vin, dan gue janji, gue bakal selalu percaya sama lo sampai kapan pun" jawab Zahra. Alvin bingung, tapi ia bahagia. Zevanna terharu melihat kejadian ini. Setelah beberapa menit Zahra dan Alvin melepas pelukan mereka, dan Alvin merangkul Zahra setelah mereka berdua berdiri.

"Makasih ya Zev, lo udah bantuin gue" ujar Alvin.

"Sama-sama. Maafin gue ya, gue udah ngekhianatin lo. Tapi gue kasian sama Obiet" ucap Zevanna.

"Gak pa pa kok, lagian lo udah ngasih kita pelajaran" tanggap Zahra tulus. Alvin mengangguk tanda setuju pada Zahra.

"Makasih ya, kalian emang baik banget. Gue masih bisa jadi sahabat lo kan Vin?" tanya Zevanna. Alvin mengangguk sambil tersenyum.

"Gue juga mau kok jadi sahabat lo" ujar Zahra. Zevanna tersenyum lalu memeluk mereka berdua.

"Heh heh cowok gue jangan dipeluk-peluk!" ujar Zahra.

"Gak pa pa lah Zah... kan sebagai sahabat" tanggap Zevanna tanpa melepaskan pelukannya. Zahra menggerutu. Zevanna tertawa lalu melepas pelukannya.

"Sori Zah... eh gue pergi dulu ya, gue mau jemput temen-temen gue di chillate cafe" pamit Zevanna sambil melirik sinis ke arah Alvin.

"Sori Zev... iya silahkan pergi!" ujar Alvin.

"Dah..." ujar Zevanna sambil melambaikan tangannya.

"Dah..." ujar Alvin dan Zahra bersamaan, membalas lambaian tangan Zevanna. Zevanna pun pergi.

"Eh Vin, ke rumah Obiet yuk, aku mau denger penjelasan dari dia" ajak Zahra.

"Yuk" tanggap Alvin setuju. Mereka pun pergi ke rumah Obiet naik motor Alvin, seperti biasa Zahra memeluk Alvin. Alvin pun tersenyum senang.

***

Rumah Obiet

Zahra memencet bel.

"Iya sebentar" ujar sebuah suara. Pintu pun dibuka.

"Eh, Alvin! Nyariin Obiet ya? Ayo masuk!" ajak ibu Obiet.

"Iya tante, oya, kenalin, ini Zahra" ujar Alvin.

"Oh, saya ibunya Obiet" ucap ibu Obiet sambil menjabat tangan Zahra.

"Zahra" ujar Zahra.

"Ini siapanya Alvin? Pacar ya?" tanya ibunya Obiet. Alvin nyengir kuda.

"Ketauan tuh, pacar kamu cantik banget, pinter ya milih pacar!" komentar ibunya Obiet.

"Hehe iya tante, Alvin gitu loh" tanggap Alvin narsis.

"Udah yuk, masuk!" ajak ibunya Obiet sambil memasuki rumahnya. Mereka pun duduk di sofa ruang tamu rumah Obiet.

"Bentar ya, tante panggilin dulu Obietnya" ujar ibunya Obiet sambil menaruh sebuah baki berisi dua buah gelas berisi jus jeruk dan sepiring kue brownies buatan sendiri.

"Iya tante" tanggap Zahra sambil tersenyum. Ibu Obiet pun berjalan pergi.

"Bukannya Obiet ngekos ya?" tanya Zahra setelah ibu Obiet menjauh.

"Iya, dulu. Sekarang pindah lagi, ibunya pulang soalnya" jawab Alvin.

"Kamu siapanya Obiet? Kok akrab banget sama ibunya Obiet?" tanya Zahra lagi.

"Sepupunya. Hehe, kaget ya?" tanya Alvin.

"Ya iyalah! Kok gak pernah cerita?" tanya Zahra.

"Siapa suruh gak nanya" jawab Alvin lalu mencomot brownies dan memakannya. Zahra memandang sekeliling.

"Aaa..." ujar Alvin. Zahra melihat ke arahnya, dan menemukan Alvin yang sedang memegang brownies, posenya seperti orang yang mau menyuapi anak kecil. Zahra mengerutkan dahinya.

"Ayolah... udah lama gak suap-suapan!" ujar Alvin. Zahra mengangkat bahu lalu menyantap brownies yang disuapkan Alvin.

"Ammm... enak kan?" tanya Alvin. Zahra mengangguk, wajahnya senang. Ia pun mengambil brownies dan menyuapi Alvin. Alvin menyambutnya dengan gembira. Tak lama kemudian ibunya Obiet datang dengan Obiet.

"Waduh... udah mesra-mesraan aja nih! Rumah orang juga..." komentar ibunya Obiet sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Obiet membelalak melihat mereka berdua.

"Biet, dateng juga lo! Gue sama Zahra ke sini mau minta penjelasan kenapa lo bisa ngelakuin itu!" ujar Alvin sambil bangkit. Zahra mengangguk, mulutnya penuh.

"Maksud lo apa?" tanya Obiet sinis.

"Maksud gue, kita minta penjelasan kenapa lo bisa-bisanya bayar Zeva buat ngaku-ngaku jadi pacar gue, padahal lo udah tau si Zahra cewek gue!" jawab Alvin panas.

"Apa? Obiet! Kenapa?" tanya ibu Obiet kaget.

"Tau dari mana lo?" tanya Obiet, tak memperdulikan ibunya.

"Dari Zeva. Udah deh, lo gak usah boong, kedok lo tuh udah kebuka!" jawab Zahra sambil berdiri setelah menelan brownies yang ada di mulutnya.

"Iya Biet, kenapa lo bisa-bisanya pake cara kotor gini? Gue tau lo suka sama Zahra, tapi gak perlu segitunya!" sahut Alvin.

"Lo tanya kenapa? Karena lo tuh anak emas dan gue anak bawang di keluarga kita! Setiap keluarga kita ketemu, pasti pada bilang, 'Alvin dateng juga! Gimana kabarnya? Nilainya gimana?' dan sebagainya! Lo dapetin segalanya, mulai dari kerja ampe kuliah!" jawab Obiet stress.

"Obiet!" tegur ibunya.

"Bener kan? Aku tuh selalu jadi anak bawang dan dia jadi anak emas, ma! Dia dapetin segalanya, kerja, kuliah, keluarga, bahkan mama!" teriak Obiet kepada ibunya.

"Gak usah ngebentak ibu lo deh Biet, dia gak ada sangkutannya!" ujar Alvin.

"Oh ya? Tapi yang gue bilang itu bener, kan? Lo selalu dapetin segalanya yang gue mau! Kerjalah, kuliahlah, kasih sayang ibu guelah, bahkan Zahra! Lo dapetin Zahra! Padahal kan lo udah tau, gue suka sama Zahra dari SMA!!" bentak Obiet.

"Obiet! Itu gak benar! Mama masih sayang sama kamu..." ujar ibunya Obiet.

"Gak! Mama selalu ngutamain Alvin! Alvin boleh nginep di sinilah, Alvin inilah, itulah, sedangkan Obiet? Obiet gak boleh nginep di mana pun! Obiet selalu dibentak, mama selalu aja marah sama Obiet! Mama tuh gak sayang sama Obiet, mama sayangnya ke Alvin!" potong Obiet.

"Itu mama lakuin karena mama sayang sama kamu, Biet..." ujar ibunya sambil menangis.

"Enggak! Mama tuh gak peduli sama Obiet, mama tuh pedulinya sama Alvin! Udah ah, Obiet mau pergi! Ngapain Obiet tinggal di sini kalau gak ada yang peduli sama Obiet?" tanya Obiet sambil pergi dan membanting pintu.

"Obiet! Obiet!" teriak ibunya memanggil Obiet.

"Sabar ya tante..." hibur Zahra. Ibu Obiet menangis sejadi-jadinya. Zahra terus saja menghibur ibunya Obiet, Alvin mengambilkan minum. Tiba-tiba nafasnya ibunya Obiet patah-patah, lalu ibunya Obiet pun pingsan. Zahra panik.

"Vin, Vin gimana ini?" tanya Zahra panik.

"Udah udah tenang dulu, aku bakal nyari Obiet, pasti kalau Obiet balik, ibunya bakal siuman kok" jawab Alvin. Zahra pun berusaha tenang, lalu Alvin memacu motornya untuk mencari Obiet. Zahra masih saja panik, lalu ia pun menelefon Oik, siapa tau Oik bersama Obiet sekarang.

"Halo?" tanya suara di seberang sana.

"Ik? Ik lo harus bantu gue, ibunya Obiet pingsan dan Obiet gak tau ke mana, Ik Obiet ada sama lo gak?" tanya Zahra panik.

"Gue gak kenal sama yang namanya Obiet, dia bukan siapa-siapa gue" jawab Oik lalu menutup telefon.

"Ik? Ik? Halooo... Ik jangan dimatiin dong telefonnya!" ujar Zahra panik. Zahra pun menyimpan telefonnya di tas dan panik lagi, berusaha tenang.

***

Oik

Oik telah berkemas dan tiba di depan pagar kos saat Zahra menelefonnya. Setelah berbincang-bincang dengan Zahra ia pun pergi ke halte bus, tempat tujuannya. Ia ingin pergi dari situ dan melupakan Obiet untuk selama-lamanya. Sesampainya di halte, ia pun menunggu bus. Tiba-tiba Obiet datang. Obiet kaget melihat Oik di sana, lalu ia pun segera menghampiri Oik.

"Ik! Keluarga gue ancur! Gue gak bisa dapetin Zahra, dan itu semua gara-gara lo Ik! Gara-gara lo Zahra jadi gak mau sama gue dan balikan sama Alvin, semua itu gara-gara lo! Gak ada satu pun yang sayang ya sama gue, bahkan nyokap gue sendiri! Asal lo tau ya Ik, gue tuh benci sama lo! Pergi dari hidup gue!" teriak Obiet menuduh Oik yang tidak bersalah. Oik pun menangis, hatinya sakit dituduh seperti ini oleh orang yang dicintainya.

"Gue mau pergi! Gak ada yang sayang sama gue!" teriak Obiet lalu menyebrang jalan. Tubuh Oik bergetar, ia tak mampu lagi menahan semuanya. Pikirannya sama sekali kacau, sehingga tak sadar akan apa yang ia lakukan.

"Tapi gue sayang sama lo Biet!" teriak Oik sambil menangis. Obiet berbalik.

"Apa?" tanya Obiet.

"Gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo! Tapi apa? Lo gak bisa ngebales perasaan gue! Tiap hari yang lo bicarain tuh cuma Zahra, Zahra, dan Zahra! Gara-gara itu gue bantuin lo, soalnya gue mau ngeliat senyuman lo! Gue bahagia kalo lo bahagia! Dan gue rela ngelakuin apa aja buat ngeliat senyuman itu Biet, walau gue harus relain perasaan gue ke lo! Lo gak tau sebesar apa sakit yang gue tahan selama ini Biet, gue tuh jadi sahabat lo gara-gara gue suka sama lo! Gue gak bisa lagi nahan semuanya, gue gak bisa lupain lo, sebenci apa pun gue sama lo..." jawab Oik berteriak, 3 kalimat terakhir ia mulai lemas, lalu ia pun jatuh terduduk. Ia menangis sejadi-jadinya. Obiet pun berlari ke arahnya dan memeluknya.

"Maafin gue Ik, gue gak tau kalo ternyata perasaan lo kayak gini ke gue, gue gak tau selama ini lo sakit gara-gara ini, pantesan lo gak mau cerita tentang cinta ke gue, pantesan... gue sayang sama lo Ik" ujarnya.

"Gak, yang lo suka tuh Zahra, bukan gue" tanggap Oik tak percaya, menggelengkan kepalanya.

"Iya, tapi gue bakal belajar untuk menggapai apa yang bisa gue gapai dan mengikhlaskan apa yang gak bisa gue gak bisa gapai... gue bakal belajar untuk sayang sama lo Ik, ajarin gue" ujar Obiet. Oik menangis.

***

Adrian Martadinata – Ajari Aku

Ajari aku ’tuk bisa
Menjadi yang engkau cinta
Agar ku bisa memiliki rasa
Yang luar biasa untukku dan untukmu
Ku harap engkau mengerti
Akan semua yang ku pinta
Karena kau cahaya hidupku, malamku
‘tuk terangi jalan ku yang berliku
Hanya engkau yang bisa
Hanya engkau yang tahu
Hanya engkau yang mengerti, semua inginku

[ajari aku 'tuk bisa mencintaimu]
[ajari aku 'tuk bisa mengerti kamu]

Mungkinkah semua akan terjadi pada diriku
Hanya engkau yang tahu
Ajari aku ’tuk bisa mencintaimu


---

NEXT PART

Tidak ada komentar:

Posting Komentar