PREVIOUS PART
---
(Part 17)
"Shill? Kenapa Shill? Kok muka lo pucat?!" tanya Zahra panik.
"Pppp... polisi..." jawab Shilla, nafasnya tersenggal-senggal.
"Polisi? Polisinya kenapa?" tanya Zahra lagi.
"Mmm... mereka... mereka da... dateng!!" jawab Shilla.
"Apa?! Mau apa lagi tuh polisi?!" tanya Alvin sambil berteriak.
"Me... mereka..." jawab Shilla.
"Mereka ngapain?!" tanya Alvin lagi.
"Mereka.. mereka ngejar lo, Iyel, sama Rio" jawab Shilla.
"Hah?!" teriak Zahra dan Alvin bersamaan.
"Jadi kan gue diputusin sama Iyel, trus gue teriak-teriak gak jelas, eh.... tiba-tiba polisi dateng! Mereka nangkep Rio sama Iyel... semua gara-gara gue, ngapain gue teriak-teriak kayak orang stress gitu..." cerita Shilla, air matanya menitik.
"Udah Shill, semua itu bukan salah lo, semua itu emang udah takdir Tuhan" hibur Sivia yang sudah ada di belakang Shilla sedari tadi. Tiba-tiba, datang segerombol polisi.
"Itu dia!" teriak salah seorang polisi, menunjuk Alvin. Di belakangnya terlihat Gabriel dan Rio yang diborgol dan dipegangi oleh dua orang polisi. Salah seorang polisi maju menghampiri Alvin. Alvin berlari menjauh, tetapi polisi itu juga berlari. Akhirnya polisi mengepungnya. Alvin tak bisa lari lagi, sehingga ia pun diborgol juga.
"Alvin!!" teriak Zahra.
"Zah, panggil pengacara buat kita bertiga!" sahut Alvin, berteriak juga. Zahra mengangguk, air matanya mulai menetes.
"Zah, plis jangan nangis. Demi aku" ujar Alvin. Zahra menghapus air matanya, tetapi ia masih terisak.
"Zah, lo harus senyum, jangan nangis gitu. Aku gak suka kalo kamu nangis, dan aku suka banget ngeliat senyummu, jadi terus senyum ya... demi aku, Zah" sambung Alvin. Zahra akhirnya memaksa dirinya untuk tersenyum.
"Senyum yang tulus Zah, lain kali... inget ya, demi aku..." komentar Alvin.
"Kenapa kalian bisa nangkep dia?!" tanya Shilla, mengganggu momen Alvin dan Zahra. Alvin menatapnya dengan tatapan 'Rese lo!'.
"Mereka terbukti bersalah" jawab polisi.
"Apa buktinya?" tanya Zahra. Polisi diam saja.
"Ayo. Bawa mereka pergi" perintahnya.
"Heh! Jawab pertanyaan gue!" teriak Zahra.
"Ditemukan sidik jari Mario, Alvin, dan Gabriel di pondok kecil. Yang lainnya besok saja di jawab" jawab polisi pada akhirnya.
"Gak mungkin mereka bisa gitu aja ditangkep! Harusnya ada persidangan dulu!" teriak Shilla. Polisi diam saja, lalu meneruskan perjalanan keluar mall.
"Dasar polisi gadungan!!!!" teriak Shilla dan Zahra bersamaan. Air mata Zahra menitik lagi.
"Zah, jangan nangis Zah" hibur Sivia.
"Iya, bener kata Sivia. Alvin kan udah bilang ke lo, jangan nangis lagi, senyum! Demi dia Zah" sahut Shilla. Zahra berusaha untuk menghentikan tangisannya.
"Udah, sekarang kita cari pengacara aja buat mereka" ujar Sivia. Zahra mengangguk, lalu mereka pun keluar.
***
Di parkiran
Mereka menuju mobil Gabriel, dan berhenti saat hampir sampai.
"Liat deh! Tulisan Gabriel!" seru Sivia, menunjuk ke arah sebuah tembok.
"Mereka gadungan, kita ketemu di Jl. Suara Indah, di gedung parkir deket gubuk lo" Shilla membaca.
"Ha?" tanya Zahra.
"Artinya.... kita harus ke gedung parkir deket gubuk reyot gue!! Gue tau di mana, udah jadi gedung kosong... yuk cepetan!" jawab Shilla, berlari menuju mobil Gabriel.
"Kuncinya mana?" tanya Sivia.
"Nih! Tadi si Iyel nitip di tas gue, yuk cepet!" jawab Shilla, menunjukkan kunci mobil jazz biru tersebut. Sivia dan Zahra diam saja, lalu mengikuti Shilla. Setelah semua masuk mobil, Shilla spontan berkata,
"Semuanya pake sabuk pengamannya, trus cari pegangan. Usahain gak muntah" lalu semua mengikuti arahannya. Setelah itu Shilla langsung tancap gas, ngebut banget, untung mereka udah pake sabuk pengaman. Sivia melirik ke arah spidometer, dan menemukan jarum menunjuk angka 200. Mata Sivia membelalak.
"Gila lo Shill!! Pelanin dikit! Gila aja, liat tuh udah nyampe angka 200!!" teriak Sivia.
"Gak bisa, ini darurat" sahut Shilla. Muka Sivia pucat melihat angka 250 yang ditunjuk jarum spidometer. Tetapi ia diam saja, melihat muka Shilla yang begitu serius.
***
Gedung parkir, Jl. Suara Indah
"Liat! Tulisan Gabriel lagi!" seru Zahra. Yang lain menengok dan membaca tulisannya.
"Di lantai 3, kesiksa banget. Nunggu lo semua" gumam Shilla dan Sivia. Mereka pun berlari ke lantai 3. Sesampainya di sana, mata mereka membelalak. Yang terlihat adalah paman Jo dan teman-temannya, paman Jo memegang pisau, dan Alvin, Rio serta Gabriel mancoba melawan mereka.
"Paman Jo?! Kenapa...?" tanya Shilla.
"Ah... Shilla! Datang juga akhirnya!" sahut paman Jo.
"Tangkap mereka berenam!" perintah paman Jo, dan keenam temannya langsung menghampiri Shilla, Sivia, Zahra, Rio, Gabriel, dan Alvin, lalu menekuk tangannya ke belakang dan memegangnya.
"Hem... coba kita lihat di sini. Siapakah yang beruntung... yang akan dibunuh?" tanya paman Jo.
"Cap, cip, cup, belalang kuncup, kuda lari kejepit pintu. Matinya jam delapan. Dikubur tahun depan!" dan jari paman Jo berhenti di Gabriel, dan ia pun mengacungkan pisaunya.
"Oke, undian dimenangkan oleh Gabriel Stevent Damanik. Yang lainnya harap melihat apa hadiah yang akan diberi untuknya! Oke, cuman satu orang, setelah itu aku akan pergi! Have a nice life!" jelas paman Jo, mengangkat bahu pada tiga kalimat terakhir. Lalu ia menusukkan pisaunya ke dada Gabriel.
"Ukh!" kata Gabriel. menahan sakit. Darah keluar dari dadanya, sangat deras.
"Gabriel!!!" teriak Sivia. Ia memberontak, tapi tak kuasa. Akhirnya ia dilepaskan beserta sobat-sobatnya yang lain.
"Dah... sampai ketemu lagi!" pamit paman Jo, lalu ia pun pergi bersama teman-temannya.
"Gabriel!" teriak kelima sahabatnya.
"Yel, lo tunggu di sini, gue ma Shilla mo panggil ambulans. Yuk Shill! Vi, ikut?" tanya Zahra. Sivia menggeleng.
"Gue di sini aja, jagain Iyel" jawabnya, pandangan matanya ditujukan pada Gabriel.
"Gue ikut Sivia. Yo, lo jagain Shilla sama cewek gue. Awas kalo ada apa-apa sama mereka!" ancam Alvin.
"Gue ikut Sivia ma Alvin aja... gue mau jagain Gabriel..." ujar Shilla.
"Gak bisa! Lo harus nuntun ambulans ke sini! Lo juga gak bisa Yo, kita butuh satu cowok buat jagain kita! Udah gak usah buang-buang waktu lagi!" sahut Zahra. Lalu ia, Shilla dan Rio bergegas menuju pintu keluar.
"Si.. vi.. a?" tanya Gabriel terbata-bata.
"Iya ini gue, lo mending jangan bicara lagi, menurut gue paru-paru lo bolong, hidup lo cuman tinggal 10 menit lagi" jawab Sivia.
"Siv... gu... e... sa... yang... sama... lo..." ujar Gabriel terbata-bata.
"Lo... ma... u... gak... jadi... pa... car... gu... e?" sambungnya, bertanya pada Sivia.
"Gue juga sayang sama lo Yel, iya gue mau jadi pacar lo, walau hanya... 9 menit lagi" jawab Sivia, mendesah. Alvin yang melihat mereka diam saja. Sivia pun membantu Gabriel ke pinggir ruangan, menyandarkan Gabriel di tembok.
"Siv... sebe... nar... nya... a... ku... sa... yang... sama... kamu... u... dah... dari... la... ma...." ungkap Gabriel.
"Aku juga Yel, aku udah dari lama, sejak kita pertama kali masuk kuliah, tapi yang kamu suka itu Shilla, dan aku selalu cemburu melihat kamu sama Shilla" sahut Sivia, mengatakan unek-unek dalam hatinya.
"A... ku... ju.... ga... ba... ru.... nya... dar... pas... kamu... ber... dua... an... sama... Ri.. o... di... RS" ujar Gabriel lagi.
"Siv, sam.. pe.. in... sama... sobat... kita... per... min... ta... an... ter.. a... khir... dari... aku...." pinta Gabriel. Sivia mengangguk, air matanya tumpah. Ia pun memeluk Gabriel pelan, tak peduli darah Gabriel yang masih bercucuran mengenai kepalanya.
"Bu... at... Ri... o... aku... min... ta... dia... jaga... in... kamu... sa... ma... Shil... la..." ujar Gabriel. "Bu... at... Al... vin... aku... min... ta... jaga... in... kamu... sama... Zahra... dan... me... re... ka... ja... ngan... de... bat... la... gi" sambungnya, sementara Alvin menajamkan telinganya untuk mendengar ucapan Gabriel.
"Buat... Shilla... bi.. lang, di... a... ha... rus... cari... peng... gan... ti... a... ku..." ucap Gabriel lagi, suaranya melemah. "Bu... at... Zah... ra... di... a... ha... rus... akur... sama... Al.. vin... ka... lau... mau... beran.... tem, gak... bo... leh... di... depan... kamu, Shil.. la... dan... Rio...."
"Dan... buat... ka... mu..." ujar Gabriel. "Ka... mu... gak... bo... leh... ego... is... kamu.... ha... rus... bi... sa.... ikhlas... in... aku... per... gi.... ing... nget.... aku.... cin... ta... sa... ma... ka... mu...."
"Kamu... ha... rus... bi... sa.... senyum... se... te... lah... ke... per... gian... aku...." ujarnya. "Ing... nget... ka... mu... se... la... lu, di... ha... ti... ku...."
"Iya, aku usahain... Yel, aku gak mau kehilangan kamu, aku mau terus ada di sisi kamu, aku mau ngabisin waktu aku sama kamu" sahut Sivia, air matanya terasa di dada Gabriel, walau bercampur darah.
"A... ku... ju... ga... Siv... tapi.... i... ni... u... dah... tak... dir... Tu... han... Sivi... a... se... nyum... dong... a... ku... pi... ngin... li... at... se... nyum... ka... mu... la... gi... un... tuk... ter.. a... khir.... ka... li...nya..." ujar Gabriel. Sivia menghapus air matanya dan berusaha untuk tersenyum setulus mungkin.
"Nah... gi... tu... dong... a... ku.... su... ka... sa... ma... se... nyu... man... kamu.... ka... mu... ha... rus... sering... sering... senyum... ya.... ing... nget, a... ku... su... ka... nge... li... at... ka... mu... senyum" ujar Gabriel, tersenyum juga. Jadi inget Zahra... batin Alvin. Sivia mengangguk.
"Aku janji, tapi aku gak tentu bisa ngelakuin itu... aku sayang banget sama kamu, Yel... aku gak bisa ngelupain kamu gitu aja" jelasnya.
"Ka... mu... pas... ti... bi... sa... a... ku... per... ca... ya... itu... a... ku... ba... kal... nga... wa... sin... ka... mu... da... ri... atas... sa... na.... ta... pi... ka... mu... gak... bo... leh... cepet... ce... pet... nyu... sul... aku... ka... mu... ja... ngan... bunuh... diri...." sahut Gabriel. Air mata Sivia tumpah lagi.
"Aku gak bakal, aku bakalan terus inget pesan lo ini... aku gak pingin ngecewain kamu..." ucapnya, masih terisak.
"A... ku... seneng... denger... i... tu.... Siv, se... an... dai... nya... a... ku... bi... sa... ber... sama... ka... mu... le... bih... lama lagi.... pas... ti... ki... ta... gak... cuman... sepuluh... me... nit...." sahut Gabriel.
"9 menit" koreksi Sivia.
"Iya... sem... bi... lan... me... nit... a... ja...nga... bis... in... wak... tu... ber... du... a... pas... ti... ki... ta... ma... sih... bi... sa... sama... sama... le... bih... lama... la... gi..." ungkap Gabriel.
"Aku juga, Yel... tapi ini lebih baik daripada gak sama sekali" sahut Sivia.
"Kamu bener, Siv" ujar Gabriel membenarkan. Mereka pun berbincang-bincang lagi, harapan-harapan kosong, kenangan mereka, dan lain-lain. Tanpa terasa tinggal 30 detik lagi hidup Gabriel yang tersisa.
"Siv... ma... af.... ya... a... ku... u... dah... gak... tahan... lagi..." ujar Gabriel disertai erangan-erangan kesakitan.
"Gak, kamu pasti kuat Yel, kuatin diri kamu" sahut Sivia tak percaya.
"Si... vi... a... i... ni... se... pu... luh... menit... tersakit... se... ka... li... gus... ter... in... dah... buat... aku..." ucap Gabriel.
"Aku juga, Yel" sahut Sivia mendesah, suaranya tercekat.
"Ma... af... Siv... a... ku... u... dah... gak... kuat... la... gi..." ujar Gabriel, suaranya lemah.
"Gak Yel, kamu pasti kuat, kamu gak ninggalin aku kan?" tanya Sivia, air matanya mengucur semakin deras.
"Ma... af... Siv... a.. ku... be... ner... be... ner... u... dah... gak... ku... at..." ujar Gabriel lemah, dan kepalanya tidak tegak lagi. Tubuhnya lemas, mulai mendingin. Sivia yang sedari tadi mendengar detak jantung Gabriel yang lemah, melemah, dan melemah... akhirnya berhenti berdetak. Mata Sivia membelalak, wajahnya pucat.
"Yel... bangun Yel... jangan tinggalin aku... aku masih pingin sama kamu" pinta Sivia, air matanya mengalih deras.
"Yel... bangun..." sambungnya. Tiba-tiba tubuh yang ia dorong pelan ambruk. Ia sudah tidak bernyawa lagi.
"Ga... bri... el...?? Ini cuma bohongan, kan? Kamu gak ninggalin aku, kan??" tanya Sivia. Tidak ada jawaban dari Gabriel.
"Yel, ini bohongan, kan? Kamu cuma bercanda, kan? Kamu gak mati, kan?" tanya Sivia, mengguncang-guncangkan tubuh Gabriel. Percuma.
"Yel??" tanya Sivia, menundukkan kepala untuk mendengar detak jantung Gabriel. Tidak ada yang terdengar. Ia mengangkat tangan Gabriel, lalu berusaha menemukan denyut nadinya. Tetap saja, tidak ada. Percuma.
"Ga... bri... el... ka... mu... ningg... ga... lin... a.. ku?" tanya Sivia, air matanya mulai mengucur.
"Gabriel!!" teriak Sivia sekeras mungkin. Air matanya bercucuran, deras sekali. Alvin menghampirinya. Ia memegang tangan Gabriel. Dingin, batinnya.
"Sabar ya Siv... Gabriel udah pergi..." hibur Alvin.
"Gak... dia gak pergi... dia gak mungkin ninggalin gue... Yel, bangun Yel!!!" teriak Sivia. Lalu ia menangis lagi.
"Siv, lo harus terima kenyataan kalo dia tuh udah pergi!! Dia gak bakal balik lagi! Lo harus nyadar, Siv!!" seru Alvin.
"Gak... dia gak ninggalin gue..." sahut Sivia.
"Iya, dia ninggalin lo Siv, lo harus terima itu" ujar Alvin. Sivia memandang Gabriel, lalu memeluk tubuh dingin Gabriel.
"Yel, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, kamu tunggu aku ya... aku bakal ada di sisi kamu, mungkin masih lama, tapi kamu harus selalu nunggu aku di sana" ucap Sivia.
"Sabar ya Siv..." ujar Alvin. Air mata Sivia mengucur lagi.
"Yel, aku bakal selalu inget kamu, aku bakal dateng ke makam kamu setiap hari, sampai aku bisa nyusul kamu ke sana, kamu tunggu aku ya..." ujar Sivia lagi. Ia tetap memeluk Gabriel, tidak peduli tubuhnya yang sudah dingin atau makin banyak darah yang menempel di baju dan tubuhnya, atau kenyataan bahwa Gabriel yang ia peluk hanya tubuhnya saja, ruhnya sudah pindah ke tempat lain. Sivia menangis lagi, menangisi Gabriel, Gabriel yang ia suka dari dulu, yang ia kenal, kenangan indah selama 9 menit tadi, ia tak akan pernah melupakan hal itu.
"Selamat tinggal Yel, namamu akan selalu terukir di hatiku... yang gak bakal pernah aku lupain, walau kenangan yang indah hanya ada di 9 menit tadi, dan kamu yang tidak akan ada di sisiku lagi... selamat tinggal...." ucap Sivia.
+++
(Part 18)
Satu menit berlalu, Sivia tetap memeluk tubuh Gabriel, menangis, dan Alvin mencoba menghiburnya. Tiba-tiba terdengar suara mobil ambulans. Shilla, Rio dan Zahra turun dari mobil tersebut, dan kaget melihat apa yang terlihat di mata mereka.
"Sivia! Lepasin Gabriel... ambulansnya udah dateng, sori ya lama..." seru Shilla. Sivia menggeleng dan terus saja menangis. Shilla dan Zahra menghampirinya.
"Udah Siv... lepas aja, ambulans udah dateng! Nanti keburu telat" ujar Zahra lembut.
"Liat tuh... dianya udah pucat, trus udah lemes gitu" sambungnya. Alvin menghampirinya, lalu menepuk pelan pundaknya.
"Zah... Gabriel... Gabriel udah pergi, Zah..." ujar Alvin.
"Apa?" tanya Zahra dan Shilla. Air mata Sivia mengucur semakin deras. Sedang Shilla dan Zahra mulai menangis.
"Gak, gak mungkin!! Dia gak mungkin udah pergi.. dia pasti masih ada di sini.... dia cuman pura-pura doang pasti... Yel, bangun Yel, gak lucu... bangun! Ambulans udah dateng..." ujar Shilla tak percaya. Sivia kembali menangis lagi.
"I... Iyel bilang, lo ggg.... gak boleh... e... go... is... llloo... lo harus ccc... cari pengganti ddd... dia..." isak Sivia.
"Zzz... Zahra... dd... dia bilang... lo gak boleh bbb... berantem lll... lagi sama Al.. vin... kkk... kalau mau bbb... berantem, harus di bbb... belakang kkk... kita semua" sambungnya.
"Bbb... buat Rio... lo harus jjj... jagain Shilla sama ggg... gue..." ucapnya lagi. Lalu ia kembali menangis keras.
"Gak, gak mungkin... Iyel pasti masih hidup, Siv... dia tuh cuman bercanda... pasti dia gak pergi... Yel bangun Yel.... kita semua sedih... gak lucu" Shilla masih ngotot.
"Gggg... gue udah ppp.. periksa denyut nadi sama denyut jjj... jantungnya... gak ada, Shill... ddd... dia udah ppp... pergi..." jelas Sivia. Shilla menghampiri Gabriel, lalu berusaha mendengarkan detak jantungnya. Gak ada, batinnya. Ia pun mencoba mendengarkan denyut nadi Gabriel, tapi percuma. Tidak ada. Tubuhnya dingin, udah mulai kaku... gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin dia udah pergi.... pikirnya. Air matanya mengucur lebih deras.
"Gak mungkiiin!!!! Yel bangun Yel!! Jangan tinggalin guee!!" teriak Shilla. Air matanya mengucur sangat deras, sama seperti Sivia.
Satu jam pun berlalu, ambulans sudah pergi. Shilla dan Sivia masih saja menangis. Tiba-tiba Sivia berhenti menangis, walaupun ia masih sedih. Matanya merah, hidungnya juga, tapi ia tidak bisa menangis. Air matanya habis. Shilla menangis lagi, entah kenapa air matanya masih banyak. Rio menghampirinya, bermaksud menghiburnya, tetapi ia tidak tau harus berkata apa kepada Shilla. Akhirnya ia hanya duduk di sebelah Shilla. Shilla menangis lagi, lalu tanpa sadar memeluk Rio, dan menangis di pelukannya. Rio kaget, tapi toh ia membalas pelukan Shilla. Hangat... enak banget... hati gue damai, pikir Shilla, merasakan pelukan Rio yang super-duper hangat. Karena itulah Sivia juga betah nangis di pelukan Rio di rumah sakit. Shilla pun berhenti menangis, lalu karena saking enaknya ia tertidur di pelukan Rio. Rio memandang teman-temannya, meminta bantuan. Wajahnya memelas. Teman-temannya tersenyum, ide nakal terlintas di otak mereka.
"Yo, jangan bangunin Shilla ya, gue mau pulang dulu pake mobil Iyel, nah, gue, Alvin, sama Zahra pergi dulu ya, ngambil motor lo. Jaga Shilla ya" ujar Sivia, lalu pergi. Alvin dan Zahra mengikutinya.
"Woi! Jangan tinggalin gue sendiri!" teriak Rio, hampir membuat Shilla bangun.
"Ssstt! Diem! Ntar Shilla bangun! Lagian lo kan gak sendirian, ada Shilla, kan?" tanya Zahra, lalu pergi begitu saja. Rio pasrah, lalu membelai lembut rambut Shilla yang tidur di pelukannya. Ia memperhatikan wajah Shilla yang tertidur, cantik sekali.
"Lo cantik banget Shill, itu salah satu alesan kenapa gue bisa suka sama lo" gumam Rio, masih mengagumi wajah Shilla yang tertidur. Dua jam kemudian, Shilla akhirnya bangun, tetapi Rio sudah tertidur dari satu jam yang lalu. Shilla menyadari kalau ia memeluk Rio, lalu ia pun hampir melepasnya. Tetapi, sayangnya ia sudah ketagihan dengan pelukan Rio dan memutuskan untuk menikmati pelukannya sebentar lagi. Tiba-tiba Rio bangun.
"Shilla...? Lo udah bangun?" tanya Rio. Muka Shilla memerah, lalu mengangguk. Rio melepaskan pelukannya, dan Shilla pun mengikutinya dengan berat hati. Gue seneng dipeluk lo Yo, kenapa harus selese sih? tanya Shilla dalam hati. Wajahnya menunduk, matanya sedih.
"Pulang yuk, katanya Alvin, Sivia sama Zahra udah ngambil motor gue. Mau gak?" tanya Rio. Shilla mengangguk. Mereka pun berjalan ke arah lapangan bawah. Di tengah perjalanan, Rio geregetan ingin memegang tangan Shilla. Rio terus-terusan memandangi tangan Shilla, membuat Shilla merasa tak nyaman.
"Kenapa sih Yo?" tanya Shilla.
"Gak apa-apa" jawab Rio berbohong.
"Ada apa sama tangan gue?" tanya Shilla lagi. Rio memandangi tangannya.
"Gak. Bagus aja" jawab Rio lagi. Shilla memasang tampang bingung. Akhirnya mereka sampai juga di motor Rio. Rio langsung naik, diikuti Shilla. Shilla pun memeluk pinggang Rio. Rio kaget tapi senang.
"Boleh kan?" tanya Shilla. Rio mengangguk, lalu memacu motornya. Selama perjalanan mereka diam saja, tetapi jantung mereka seperti melompat-lompat tak karuan.
"Udah nyampe Shill" ujar Rio. Shilla tersentak. Dengan berat hati ia melepaskan pelukannya lagi, lalu memasuki rumahnya. Sedang Rio langsung memacu motornya lagi.
***
Esok hari di kampus
"Hai" sapa Shilla.
"Hai" jawab yang lain, masih lesu. Shilla melirik ke arah Sivia. Menurutnya Sivia-lah yang paling sedih atas kepergian Gabriel, lihat saja tampangnya. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, matanya merah dan bengkak karena kebanyakan nangis.
"Siv, sabar ya... lo nangis berapa jam Siv?" tanya Shilla.
"Gak tau. Gue abis nyampe rumah langsung nangis lagi ampe jam 10 malem" jawab Sivia kalem.
"Sabar ya Siv..." ujar Shilla lagi.
"Terus lo sama Rio ngapain?" tanya Sivia.
"Mmm... kayaknya Rio deh yang paling tau ceritanya" jawab Shilla, mempersilahkan Rio menceritakan apa yang ia dan Rio alami, sementara ia sendiri kabur ke taman belakang kampus.
***
Pulang kampus
"Eh, katanya hari ini si Iyel di makamin, ikut gak?" tanya Alvin.
"Ikut lah...." jawab Rio, Shilla, dan Zahra.
"Gue ikut, gue harus tau si Iyel di makamin ke mana" jawab Sivia. Semua memandang ke arah Sivia, prihatin.
"Ya udah, ikut semua kan? Mau nebeng?" tanya Alvin.
"Aku ikut kamu lah Vin..." jawab Zahra.
"Iya... yang lain gimana? Kan gue sama Rio cuma bawa motor" sahut Alvin.
"Gue bawa mobil. Duluan ya, tempatnya di mana sih?" tanya Sivia.
"Di Jl. XXX no. XXX (haha, sori... rahasia. ntar di jitak sama iyel kalo di kasih tau... becanda lah, jangan iri ya... boong kok), tau kan di mana?" jawab Alvin yang di sambung dengan pertanyaannya.
"Tau lah. Duluan ya..." pamit Sivia, lalu berjalan menuju mobilnya.
"Shill? Tumben lo gak bareng Sivia! Nebeng siapa lo?" tanya Zahra.
"Nebeng... iya deh, gue ikut Via aja" jawabnya, lalu berlari menyusul Sivia.
"Haha... pasti dia mau bareng Rio tuh!" goda Alvin, lalu menggandeng tangan Zahra dan pergi menuju motornya.
"Shilla mau nebeng gue... kayak mimpi aja..." gumam Rio sambil berjalan ke arah motornya.
***
Seusai pemakaman
Sivia menuju mobilnya tanpa di sadari oleh keempat temannya, tatapannya kosong. Setelah sampai di mobil dan masuk ke dalamnya ia pun langsung tancap gas dan pergi. Shilla, Rio, Alvin, dan Zahra baru menyadari Sivia sudah pergi.
"Yah... gue pulang sama siapa dong?" tanya Shilla.
"Rio. Siapa lagi? Gak cukup naik motor bertiga, lagian kan gue sama cewek gue. Ganggu lu kalo ikut!" jawab Alvin, lalu menarik tangan Zahra dan pergi menuju motornya.
"Jadi? mau nebeng?" tanya Rio setelah ada keheningan beberapa menit.
"Iya deh, gue lagi boke" jawab Shilla. Lalu ia pun berjalan menuju tempat motor Rio diparkir. Rio naik, lalu Shilla pun naik. Kali ini Shilla memegang bagian belakang motor.
"Gak meluk gue lagi?" tanya Rio menahan tawa.
"Lo mau?" tanya Shilla balik.
"Serah. Peluk aja lagi, daripada lo jatoh trus gue yang bayarin rumah sakit lo? Lagian, kan gak ada salahnya meluk cowok ganteng ini..." jawab Rio narsis.
"Buuuu!!" sahut Shilla, lalu melingkarkan tangannya di pinggang RIo. Jantung Rio meloncat-loncat gak karuan, dan mereka pun pergi menuju rumah Shilla. Rio sengaja melambat-lambatkan laju motornya, ingin agar Shilla memeluknya lebih lama lagi, tapi tetap saja ia sampai di rumah Shilla dalam waktu satu jam, padahal kalau kecepatan normal bisa nyampe dalam wakt 10 menit. Shilla sepertinya tidak keberatan, entah kenapa ia merasa senang dan damai dalam pelukan Rio. Padahal gue yang meluk dia ya, kok anget gini sih? tanya Shilla dalam hatinya.
---
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar