PREVIOUS PART
---
(Part 25)
Zahra akhirnya bisa tenang juga, lalu ia pun menghapus air matanya dan pergi menuju kelasnya. Yang lain ngikutin, tapi Oik cuma nganterin sampe depan pintu doang, secara dia kan beda jurusan. Oik jurusan astronomi dan Zahra, Shilla, dan Sivia jurusan medis. Setelah ketiga temannya itu masuk kelas ia pun meneruskan perjalanannya masuk ke kelasnya. Ia melamun, tapi ia hafal banget jalan ke kelasnya, jadi dua gak nyasar. Ia melamunkan pengalamannya itu, saat perjalanan sampai dia duduk di bangku kelasnya itu.
***
Oik sedang serius belajar, seminggu lagi ada ujian soalnya. Tiba-tiba Obiet memasuki kamar kosnya, membuyarkan konsentrasinya. Jantungnya lompat-lompat gak karuan ngeliat Obiet.
"Belajar lu Ik? Rajin amet. Ujian kan masih seminggu lagi" komentarnya.
"Iya, gue kan anak rajin. Mau ngapain lo?" tanya Oik.
"Gue ke sini mau ngomong sama lo, tapi jangan di sini. Jalan yuk, ke mana gitu" ujarnya. Oik berhenti bernafas, lalu mengangguk kaku.
"Yuk" ujar Obiet. Oik kembali bernafas, lalu mengikuti Obiet. Dia gak perlu ganti baju, toh dia pake jeans sama kaus serta cardigan ini. Abis dari kampus, tapi males ganti baju. Ia memakai sepatunya, lalu menaiki motor Obiet. Obiet pun memacu motornya. Mereka sampai di sebuah cafe, Chillate Cafe namanya. Mereka pun duduk dan memesan minuman.
"Gue pesen icolate, lo Ik?" tanya Obiet.
"Agroovy, sekalian Zyai Pie ya" jawabnya. Pelayan mencatat pesanan mereka, lalu pergi.
"Jadi kenapa Biet? Kok tiba-tiba ngajak gue jalan kayak gini?" tanyanya.
"Gini, lo tau kan gue temenan sama Zevanna?" tanya Obiet.
"Iya. Mang dia kenapa?" tanya Oik.
"Lo tau juga kan si Alvin punya banyak sahabat cewek?" tanya Obiet lagi.
"Iya. Udah gak usah banyak cincong lagi, intinya apa?" tanya Oik kesal.
"Gue dikasih ini sama sobat gue, lo gak usah tau dia siapa" jawab Obiet, memberi Oik beberapa lembar foto. Mata Oik membelalak.
"Foto itu asli, gak di edit. Gue juga kaget Ik" sambungnya.
"Gue gak percaya, si Alvin gak mungkin ngelakuin ini kan?" tanya Oik histeris, manunjukkan foto Alvin yang sedang memeluk Zevanna pada saat malam hari dan depan restoran romantis pula.
"Gue juga awalnya gak percaya Ik, tapi ini beneran. Gila ya si Alvin itu, padahal dia sepupu jauh gue. Dia playboy ternyata" jawab Obiet. Oik mengangguk, di pikirannya ia kaget. Dikiranya Alvin adalah pilihan Zahra yang terbaik, sampai hari ini. Ia benar-benar tak mempercayainya. Ia harus memberitau Zahra sebelum hubungan ia dan Zahra mengalir semakin jauh.
"Gue emang udah benci sama si Alvin dari dulu. Dia selalu aja ngerebut hak gue semuanya!" omelnya.
"Ini aja kan? Udah ya gue pulang dulu. Fotonya gue ambil, besok gue kasih tau Zahra. Dia mesti tau kalau Alvin tuh cowok brengsek yang gak pantes buat dia. Lo pulang sendiri aja, gue bisa sendiri kok" pamit Oik.
"Gak, lo pulang sama gue. Titik. Tuh, makanan lo dateng. Abisin dulu gih!" perintah Obiet. Oik menggerutu lalu mulai makan. Perintah Obiet mana bisa dia tolak? Setelah menghabiskan painya ia berdiri.
"Udah dibayar kan? Yuk pulang" ajaknya. Obiet mengangguk dan berjalan ke arah motornya. Mereka pun pulang.
---
Keesokan harinya, hari ini, Oik memberitau Zahra apa yang dia dengar kemarin. Zahra tak percaya.
"Dia tuh emang punya banyak sahabat cewek, dia sendiri kok yang ngasih tau gue! Dan gue percaya kok sama dia" ujarnya tak percaya.
"Tapi lo harus! Lo harus tau kalo dia tuh cowok brengsek sebelum lo jadi terlalu nyesel Zah" sahut Oik memaksa.
"Gak! Gue percaya sama dia!" ujar Zahra menolak. Oik menghembuskan nafas, lalu merogoh tasnya.
"Gue punya buktinya. Nih" ucap Oik, memberikan beberapa lembar foto. Zahra menerimanya, lalu melihatnya. Seketika wajahnya pucat.
"Itu foto asli, bukan editan. Kalau diedit pasti udah keliatan. Sekarang lo percaya kan sama gue?" tanya Oik. Zahra masih pucat, tetapi ia masih mengangguk. Ia masih perlu melihat beberapa lembar foto yang lain. Lalu ia menghembuskan nafas.
"Gue harus putusin Alvin sekarang juga" gumamnya, lalu pergi ke lapangan tempat Alvin berada. Setelah menemukannya Zahra langsung menamparnya, lalu terjadilah peristiwa pagi itu.
***
Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Oik, membuyarkan lamunannya. Ternyata itu Obiet.
"Kaget gue Biet. Kirain setan" ujarnya. Obiet tertawa, membuat Oik merasa jantungnya sudah lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih cepat. Mereka pun berbincang-bincang sebentar, lalu berhenti ketika dosen sudah memasuki kelas mereka.
"Ik, ntar gue mau nembak si Zahra, pas kemping sih" ujar Obiet. Ketika mendengarnya hati Oik langsung hancur berkeping-keping, tetapi ia senang juga. Kalo lo bahagia gue rela Biet, meskipun gue harus ngorbanin perasaan gue ini, batinnya. Ia pun tersenyum pahit.
"Bagus dong. Kalo diterima langgeng ya, tapi gue kecipratan PJ ya" ujarnya, tenggorokannya tercekat tetapi ia berusaha terdengar biasa-biasa saja. Tapi malah jadi tambah aneh.
"Lo sakit ya Ik?" tanya Obiet.
"Gak kok, udah peratiin ntar dibentak sama dosen galak!" jawab Oik. Obiet meraas curiga, tetapi ia toh menuruti Oik. Pasti si Oik ada masalah cewek, pikirnya, selalu berpikir positif memang salah satu sifat Obiet. Hati Oik yang pecah berusaha disatukannya kembali, tetapi ia tak bisa. Air matanya hampir menitik tetapi ia tahan sampai akhir pelajaran. Sepanjang pelajaran ia tidak bisa berkonsentrasi. Ia terus-terusan melirik Obiet, dan tak ada satu pun pelajaran itu yang masuk ke kepalanya. Seusai pelajaran ia langsung berjalan cepat ke arah toilet cewek, dan berpapasan dengan Zahra, Shilla dan Sivia. Air mata Oik yang tidak terbendung lagi tumpah saat itu. Zahra melihatnya, lalu segera mengajarnya.
"Ik? Ik lo kenapa?" tanya Zahra. Oik tak memperdulikannya dan terus menangis di toilet cewek. Zahra bertambah khawatir. Bagaimana pun, Oik adalah sahabatnya. Oik menyelesaikan tangisannya dan keluar dari toilet dengan mata merah. Saat itu Obiet baru menemukan Zahra dan mendekatinya, tetapi ia melihat mata Oik yang merah, menandakan bahwa ia baru saja selesai menangis. Obiet pun membatalkan niatnya dan berjalan menjauh. Ia tau Oik butuh teman cewek untuk menjadi teman curhatannya dan Oik tidak mau ada cowok yang mengetahui masalahnya, kalau iya pasti Oik telah menceritakan itu padanya.
"Ik? Ik lo kenapa nangis?" tanya Zahra khawatir.
"O..." jawab Oik memulai, lalu menarik nafas panjang.
"Obiet, Zah. Lo tau kan gue suka sama dia?" jawab Oik lalu bertanya. Zahra mengangguk.
"Mungkin gue harus bocorin rahasia dia, toh dia juga bakal bilang sama lo. Tapi lo pura-pura aja gak tau, ntar si Obiet marah sama gue" sahut Oik, menarik nafas lagi. Zahra mengangguk lagi, lalu Oik berpikir sebentar, mencari kata-kata yang tepat.
"Jadi, dia kan sobat gue, dan dia sering curhat sama gue. Tau gak dia curhat apa?" tanya Oik. Zahra menggeleng.
"Apa?" tanya Zahra.
"Tentang perasaannya ke lo Zah, betapa dia suka sama lo, sedihnya dia pas dia tau lo udah jadian sama Alvin, dan gue jadi cupidnya dia Zah, buat ngejodohin lo sama dia" jawab Oik. Zahra menatapnya tak percaya.
"Beneran Zah, gue bantuin dia soalnya gue mau ngeliat senyuman di wajahnya, wajah bahagianya, dan gue gak mau liat wajah sedihnya lagi. Karena kalau gue ngeliat dia bahagia gue juga bahagia, dan kalo dia sedih gue juga sedih. Rasa cinta gue terlalu besar buat dia Zah" ceritanya. Zahra mematung, ternyata Oik menyembunyikan masalah sebesar ini darinya.
"Dan lo tau apa yang dia curhatin ke gue hari ini tadi di kelas? Dia bilang dia bakal nembak lo Zah" sambungnya. Mata Zahra membelalak. Air mata Oik tumpah lagi.
"Gu... gue mau lo terima Zah, gue mau ngeliat dia bahagia" pintanya. Zahra terdiam, ia memeluk Oik dan membelai rambutnya.
"Sori Ik, gue gak bisa nerima dia, soalnya gue gak suka sama dia. Apalagi cinta" tolak Zahra. Oik mengangguk lembut.
"Gue ngerti kok Zah, gak apa-apa, gue gak maksa lo kok. Gue cuma pingin bantu dia aja" sahut Oik, melepaskan diri dari pelukan Zahra.
"Makasih ya Zah udah mau dengerin gue, gue lega banget sekarang. Sori ya kalau lo shock, gue nyembunyiin masalah sebesar ini dari lo, gue emang gak bisa bilang ke lo soalnya gue gak enak sama Obiet" ujarnya tulus. Zahra mengangguk.
"Sekarang lo bisa cerita apa aja ke gue. Sabar ya Ik, gue tau cobaan lo besar banget, kita ke kelas lo yuk" ajak Zahra. Oik mengangguk, lalu mereka menuju ke kelas Oik. Di sana ada Obiet, wajahnya cerah banget ngeliat Zahra masuk.Oik yang saat itu berpegangan tangan dengan Zahra mencengkram tangan Zahra. Zahra mengerti.
"Hai Zah... tumben lo ke kelas gue!" sapa Obiet.
"Iya, mau nemenin Oik bentar. Gimana kabar lo Biet?" tanya Zahra.
"Baik, lo Zah?" tanya Obiet membalas pertanyaan Zahra.
"Baik juga" jawab Zahra singkat.
"Ik, lo kenapa? Nangis?" tanya Obiet. Oik hanya diam terpaku.
"Dia kesakitan perutnya Biet, katanya sakit banget. Biasalah cewek" jawab Zahra.
"Oh, maklum ya gak pernah ngerasain, jadi gak kelintas di kepala" ujarnya sambil nyengir. Zahra tertawa agak dipaksakan.
"Eh Zah, mau jalan gak hari ini?" tanya Obiet.
"Gak, kalo lo mau ngomong mending di sini aja" jawab Zahra.
"Kok lo tau gue mau ngomong sama lo?" tanya Obiet.
"Lo kan emang kayak gitu. Ngajak jalan buat ngomong" jawab Zahra cuek.
"Oh. Guma mau bilang, gue turut sedih ya pas kejadian tadi pagi" ujarnya. Zahra menaikkan kedua alisnya.
"Gue sayang sama lo Zah, udah sejak lama. Gue gak bakalan maksa lo buat jadi pacar gue, tapi gue emang bener-bener sayang sama lo. Kata orang, obat patah hati ialah mencari cinta baru... kenapa enggak gue aja yang jadi obat lo itu? Gue bener-bener sayang sama lo Zah" ungkap Obiet. Zahra menghembuskan nafas panjang, melirik ke arah Oik yang mematung. Air matanya sudah jatuh, tapi sepertinya Obiet tak memperhatikan. Baguslah.
"Sori Biet, gue gak suka sama lo. Gue juga gak siap buat ngebuka hati gue, karena jujur gue masih suka sama Alvin, walau gue tau dia tuh cowok brengsek. Tapi cinta gak bisa memilih, dan siapa tau takdir bakal kasih gue sama siapa? Jadi, untuk sementara ini gue masih shock, dan gue hargain kalo lo gak nyinggung-nyinggung tentang seberapa besar lo cinta sama gue atau Alvin lagi" sahut Zahra. Oik terlihat sedikit lega. Obiet mematung.
"Tapi Zah, gue bisa ngebuktiin..." ujar Obiet memulai.
"Gak, gue gak mau denger. Gue udah cukup sakit denger kenyataan Alvin tuh cowok brengsek, dan gue gak mau ungkit-ungkit tentang masalah cinta gue" potong Zahra lalu pergi. Oik menepuk pundak Obiet.
"Sabar ya Biet" ujarnya lembut.
"Aarrgghh!! Kenapa sih dia tuh masih cinta sama Alvin? Gue tuh kurang apa? Si Alvin tuh selalu dapet segalanya, dan gue selalu aja gak dianggep!" teriak Obiet stress.
"Lo jangan gitu dulu Biet, pasti di luar sana ada cewek yang cinta sama lo apa adanya" sahut Oik. Atau mungkin cewek itu ada di sini Biet, batinnya.
"Lo bener Ik. Makasih ya Ik, lo tuh selalu aja bisa ngasih gue solusi dan nenangin hati gue" ujarnya. Oik hanya tersenyum kecil. Tapi buat gue, lo lebih dari sekedar sahabat Biet, batinnya
***
Tiga hari kemudian, mau pergi kemping
"Eh Zah, lo sama gue ya" ujar Obiet.
"Jangan! Sama gue aja Zah!" sahut Alvin. Zahra mengangkat alisnya lalu berkata,
"Gue gak sama lo berdua, gue sama Sivia sama Shilla" pamit Zahra lalu melambaikan tangannya. Yang ditinggalin ngeluh. Sementara itu, Oik kebingungan harus berangkat sama siapa.
"Ik! Kenapa lo kebingungan gitu?" tanya Obiet.
"Gue gak tau harus pergi ama siapa, mau ikut Zahra udah pergi duluan. Yang lain juga udah, gue ama siapa dong?" jawab Oik.
"Sama gue aja! Kasian gue sama lo, lo kan udah banyak bantuin gue!" ujar Obiet berbaik hati.
"Lo sama gue aja Ik, gue mau ngomong sama lo. Lagian gue bawa mobil kok" ujar Alvin dingin.
"Gak Vin, gue sama Obiet aja" tolak Oik lalu naik ke motor Obiet. Obiet tersenyum sinis penuh kemenangan ke arah Alvin lalu melaju.
"Jadi, sekarang tinggal kita aja nih yang belum berangkat!" ujar Zevanna. Alvin berbalik.
"Oh, elo" ujarnya.
"Eh kita berangkat bareng ya, gue gak kedapetan sama yang lain" ujar Zevanna.
"Serah lu deh, kasian gue sama lo" sahut Alvin lalu berjalan ke arah mobilnya. Zevanna bersorak senang lalu mengikuti Alvin. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Tapi gara-gara stress Alvin ngebentak Zevanna.
"Ze! Apa sih maksud lo buat ngaku-ngaku jadi pacar gue, hah?" bentak Alvin. Diliriknya Zevanna, dan ditemukannya orang itu sedang tidur. Atau tepatnya, pura-pura tidur. Alvin menggerutu lalu meneruskan perjalanan.
***
Di kemping
Setelah acara pembuka yang memuakkan bagi para tokoh utama, akhirnya acara kemping pun resmi dibuka. Jadwal paling pertama adalah bersiap-siap. Sesuai oleh kelompok yang dibagi mereka mendirikan tenda masing-masing. Setelah selesai ada acara baru, yaitu...
+++
(Part 26)
...memasak. Laper banget kan, berapa jam sih dari Jakarta ke Sukabumi? Akhirnya anak-anak kampus pada asyik masak sendiri, kelompoknya bebas ini. Cuman, syaratnya harus ada cewek sama cowok. Gak boleh satu jenis kelamin aja. Zahra selesai membentuk kelompok, anggotanya Zahra, Obiet, Oik, Sivia, ama Shilla. Mereka pun mulai menyiapkan bahan-bahan ketika Alvin datang menghampiri kelompok Zahra.
"Boleh gabung gak?" tanyanya dengan senyuman mautnya itu. Kalau ada satu hal dari sekian banyak hal yang disukai Zahra dari Alvin, hal itu adalah senyuman mautnya. Zahra menahan nafsunya itu dan berpaling kepada teman-teman sekelompoknya, membelakangi Alvin. Ia memberi isyarat untuk menolak.
"Mmm... sori Vin, kitanya udah cukup segini aja. Lagian, kan masih ada kelompok Zeva tuh di sana" tolak Sivia, matanya menatap ke Zahra lalu menunjuk ke arah kelompok Zevanna. Alvin melirik ke arah yang ditunjuk Sivia lalu segera membuang muka.
"Gak ah, males banget gue ke sana. Gue cabut deh, gue sama Rio aja" pamitnya, berjalan ke arah kelompok Rio. Zahra menghembuskan nafas lega.
"Thanks Siv" ujarnya berterima kasih. Sivia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Oik hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melirik ke arah Obiet yang berdiri di sampingnya. Obiet tersenyum senang, wajahnya berseri-seri. Pancaran kesedihan terlihat di mata Oik. Zahra mengetahuinya, lalu melirik Obiet yang sedang memandanginya. Ia menatap sinis lalu menghampiri Oik. Obiet udah GR aja, senyumnya tambah lebar. Zahra menarik Oik ke sampingnya dan pergi menjauhi Obiet. Oik memandang Obiet, dan terlihat raut wajahnya itu tak sesenang sebelumnya. Oik prihatin, tetapi ia menurut pada Zahra. Mereka pun mulai memasak. Oik dan Zahra perasaannya kacau sekali, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya. Zahra mendapat tugas memotong sayuran, dan Oik mendapat tugas menggoreng. Yang lain kebingungan melihat tingkah Oik, apalagi Zahra. Oik menatap kosong–melamunkan Obiet, Alvin, ia dan Zahra, cinta segiempat yang rumit—saat menggoreng, hampir saja gosong.
"Ik! Gosong Ik!" teriak Shilla histeris. Oik segera sadar dari lamunannya dan segera mematikan kompor, lalu cepat-cepat menaruh daging yang digorengnya itu ke piring. Sedang Zahra memotong-motong sayuran seperti wortel, dan lain-lain. Zahra melamun, melamunkan Alvin dan senyum mautnya tadi itu. Ia merindukan Alvin, merindukan gombalannya, sikap Alvin kepadanya, wajah Alvin yang polos ketika ditipu, Alvin yang sangat menyayanginya, memberinya motivasi... tapi semua itu tak dapat ia rasakan lagi. Ia mau-mau saja untuk balikan dengan Alvin, tetapi apa kata anak kampus? Pasti mereka akan mencap dia sebagai cewek murahan. Tidak, tidak akan pernah ia mengambil resiko sebesar itu. Pikirannya terus melayang ke hal-hal semacam itu, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa yang terpotong kini bukanlah sayuran yang mesti ia potong, melainkan tangannya! Sivia yang sedang melirik ke arah tangan Zahra yang bekerja kaget.
"Zah! Itu tangan lo, bukan sayuran!" seru Sivia memperingatkan. Zahra tidak menghiraukannya, lebih tepatnya tidak mendengarnya. Sivia terus memperingatkan Zahra, tetapi dicuekin mulu sama Zahra. Sivia pun menghentikan kerjaannya dan menghampiri Zahra. Ia merebut pisau itu dari tangan Zahra, barulah Zahra sadar dari lamunannya. Ia merasa tangannya sakit, lalu melihat keadaan tangannya. Ia kaget.
"Tangan gue berdarah? Kenapa? Eh kotak P3Knya mana?? Siniin!" teriaknya. Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memberinya kotak P3K. Alvin melihat ke arah Zahra, dan kaget melihat darah yang keluar dari tangan Zahra itu. Tanpa pikir panjang ia menghampiri Zahra. Zahra kaget, Alvin langsung menghampirinya dan membantunya membalut lukanya itu. Ia terpaku, jantungnya berdetak tak karuan saat Alvin memegang tangannya, mambalut lukanya dengan rapi. Tapi ia langsung sadar, dan, walaupun dengan berat hati, ia menarik keras tangannya, lalu memasang muka marah.
"Gue gak butuh bantuan lo! Udah sana, pergi aja tuh ke cewek lo itu! Gue bisa ngebalut luka gue sendiri!" bentaknya.
"Zeva bukan cewek gue Zah, gue tuh cuma suka sama lo seorang, kenapa sih lo gak bisa percaya sama gue?" sahut Alvin.
"Ya kalo penjahat ngaku penjara penuh!! Udah sana, pergi aja!" usir Zahra. Alvin pun meninggalkan Zahra dengan berat hati, karena ia tau itu yang terbaik untuknya. Ia tidak mau Zahra marah-marah lagi. Zahra membalut lukanya itu, tidak serapi Alvin karena pikirannya kacau, dan langsung kembali mengerjakan tugasnya. Sivia langsung mengambil pisau dari tangan Zahra, dan menyuruhnya mengerjakan yang ringan-ringan saja seperti menyajikannya di piring dan menghiasnya agar makanan yang terhidang menjadi menggiurkan. Zahra cemberut, ia masih ingin memotong sayuran.
"Berhenti cemberut Zah, gue khawatir lo bakal motong tangan lo lagi! Lo pasti lagi mikirin Alvin, lo masih sayang kan sama dia? Udahlah, biar gue aja yang motong-motong ginian, lo ngelakuin tugas lo aja! Oya, sekalian ambil air ya, kita butuh nih" ujar Sivia. Muka Zahra memerah, lalu ia segera beranjak dan mengambil air. Tapi dasar kesialan, dia ketemu Alvin. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menghiraukan Alvin, lalu kembali ke tempat kelompoknya berada, air yang diambilnya tumpah ke mana-mana. Alvin ingin bertanya tentang luka Zahra itu, tapi begitu melihat lukanya itu telah dibalut ia mengurungkan niatnya. Lagipula, Alvin tidak ingin membuat Zahra tambah stress, apalagi sampai gila. Entar dia tanggung jawab gimana? Kan repot.
Zahra kembali dengan muka cemberut, lalu meletakkan air yang diambilnya itu. Sivia tertawa, ia sudah merencanakan semua dari awal, biar Zahra ketemu lagi sama si Alvin.
"Nih airnya Siv" ujarnya.
"Rebus gih! Trus kalo udah mendidih biarin dingin, trus taro gelas" perintah Sivia. Zahra menurut. Setelah semua hidangan siap, mereka pun duduk melingkar, siap untuk makan. Mereka berdoa, lalu mulai makan. Walaupun daging yang Oik masak itu hampir gosong, tapi jadinya lebih enak. Oik masih agak-agak melamun, dan Zahra stress. Ia mencuri-curi pandang ke arah Alvin, walaupun sudah dengan sekuat tenaga ia mencegahnya. Sebenci apa pun ia kepada Alvin, ia tetap sayang kepadanya, walau ia sendiri tak mau. Tapi apa kata, cinta tak bisa memilih. Sementara itu, Alvin juga mulai makan. Tapi, ia tak mau. Makanan yang ia makan juga terasa pahit di lidahnya. Ia memandangi Zahra, dan berpikir kenapa masalah ini bisa terjadi. Padahal kan ia tidak salah apa-apa... ia menghembuskan nafas, lalu menaruh piringnya.
"Gue selesai makan" ujarnya.
"Hah? Dikit amet lu makan, biasanya kan banyak, ampe minta nambah 3 kali!" komentar Rio. Alvin mengangkat bahu, melirik ke arah Zahra. Rio paham.
"Sabar ya Vin, lama-lama dia juga bakal ngerti kok" hibur Rio. Alvin hanya tersenyum kecil dan beranjak pergi.
***
Malam hari, jadwal kegiatan : api unggun
Semuanya duduk melingkar di tepi api unggun. Sivia yang licik itu mengatur agar semuanya menjauh dari Alvin dan Zahra, pokoknya mereka duduk sebelahan. Rencana mereka berhasil juga, sayangnya di sebelah Alvin juga ada Zevanna. Gila ya, udah seneng-seneng gue duduk sebelah malaikat, pake ada acara setan lagi yang duduk sebelah gue! pikir Alvin kesal. Zahra sebenernya seneng juga, tapi pas liat Zevanna ia langsung stress lagi terus nyuekin Alvin sebisanya. Padahal, dia pengen ngeliat senyum mautnya Alvin itu, trus pengen gombal-gombalan lagi sama Alvin, tapi kenapa sih si Alvin sifatnya playboy gitu? Zahra jadi geregetan sendiri.
Suasana malam itu indah sekali, bulan purnama terlihat di atas mereka, dan bintang-bintang bertebaran laksana permata. Zahra terbawa suasana, pikirannya kembali saat ia dan Alvin berdansa. Restoran itu sangat romantis, dan langitnya persis dengan langit yang berada di atasnya. Zahra menitikkan air mata, membuat Alvin bingung.
"Zah, lo kenapa?" tanya Alvin. Zahra sadar kalau Alvin ada di sampingnya, lalu buru-buru menghapus air matanya.
"Gak kenapa-napa. Udah, lo ke sana aja sama cewek lo itu" jawab Zahra ketus.
"Zah, berapa kali sih harus gue bilang, Zeva tuh bukan cewek gue! Dia tuh cuma ngaku-ngaku aja!" ujar Alvin, stress karena sikap Zahra ini.
"Mana buktinya? Foto itu bukti mutlak!" sahut Zahra sewot.
"Tapi yang kejadian tuh gak kayak gitu!" bantah Alvin.
"Trus apa kejadiannya? Apa? Kenapa lo berdua jadi bisa pelukan kayak gitu?" tanya Zahra. Alvin diam, ucapan itu benar-benar memojokkan Alvin. Ia tau, kalau ia ceritakan pasti Zahra tidak percaya. Lagipula, setan yang disebelahnya itu –Zevanna maksudnya—pasti akan membantah.
"Tuh kan, pasti dia tuh cewek lo! Makasih ya udah bikin hidup gue menderita!" ujar Zahra. Air matanya mengalir menuruni wajah cantiknya itu, dan suasana tambah panas gara-gara Zevanna memeluk Alvin. Kenapa sih ni cewek, bukan cewek gue juga udah main meluk aja. Zahra jadi tambah gak percaya kan!! Awas aja lo Zev! batin Alvin kesal, mendorong Zeva agar melepaskan pelukannya. Rio bingung. Gak biasanya Alvin gituin cewek... dia kan baik banget ke cewek! batin Rio. Alvin pasang muka BT. Zahra beranjak pergi dan nyempil di antara Shilla dan Sivia. Oik yang berada di sebelah Shilla menatap prihatin. Dosen pun selesai dengan cerita konyolnya, tak ada yang siswa kampus yang mendengarnya.
"Sekarang, siapa yang mau bernyanyi?" tanyanya. Pada ribut mau nyanyi. Yang diem aja cuman Alvin sama Zahra. Dosen yang sedang kesal gara-gara ceritanya gak didengerin nunjuk Zahra.
"Nyanyi. Abis itu dia" perintahnya dingin, menunjuk Alvin. Zahra bingung, tapi dia nyanyi juga.
"Lagu ini buat Alvin" ujarnya memulai, kata Alvin ditekannya. Wajah Alvin agak berseri-seri. Zahra pun mulai menyanyikan lagu 'My Happy Ending', lagunya Avril Lavigne. Wajah Alvin menjadi sedih. Apalagi Zahra berkali-kali melirik sinis kepadanya dan Zevanna. Zahra pun mengakhiri lagunya, dan sekarang giliran Alvin menyanyi.
"Lagu ini buat Zahra, gue minta maaf sebelumnya ke dia" ujar Alvin sebelum bernyanyi. Zahra memutar bola matanya. Alvin menyanyikan lagu 'Kisah Tak Sempurna' nya samsons dengan sepenuh hati, wajahnya menunjukkan kesedihannya. Zahra menitikkan air mata. Ia menyadari kenapa Alvin menyanyikan lagu itu untuknya. Alvin mengalah kepadanya. Ia tak akan mengganggunya lagi, tak akan memaksanya lagi, dan akan pergi darinya. Zahra sedih sekali, perasaannya kacau. Ia tidak ingin kehilangan Alvin, tapi kalau tidak dia harus melakukan apa? Zahra menangis di pangkuan Shilla. Oik menghiburnya.
"Ke tenda, yuk" ajaknya. Zahra mengangguk, lalu menarik tangan Oik ke arah tenda. Sivia dan Shilla ngekor.
***
Di tenda
Zahra menangis sejadi-jadinya.
"Tenang Zah, lo tuh kenapa sih?" tanya Shilla. Zahra menyelesaikan tangisannya dan mulai bercerita.
"Gue masih sayang sama Alvin" ujarnya memulai.
"Trus kenapa lo jadi sewot ke dia kayak gitu?" tanya Sivia.
"Gue juga bingung harus gimana. Gue masih sayang sama dia, tapi apa kata anak-anak kampus entar kalo gue balikan sama dia gitu aja? Gue pasti dianggep cewek murahan, dan Alvin juga bakal bikin masalah kalo guenya diledek. Bukan maksud GR" jawab Zahra.
"Trus tadi nangis kenapa? Kan keputusan lo udah bulat" tanya Oik.
"Lagu itu, gue tau maksud dia apa" jawab Zahra.
"Apaan?" tanya Oik, Shilla, dan Sivia hampir bersamaan.
"Dia ngalah ke gue, dia bakalan pergi dari hidup gue dan gak ganggu gue lagi. Gue jadi tambah bingung, gue kan sayang sama dia, gue gak mau kehilangan dia, tapi gue gak bisa balikan sama dia" jawab Zahra kalem. Semuanya ikut prihatin.
"Sabar ya Zah, pasti bakal ada jalan keluarnya" hibur Oik. Zahra mengangguk. Mereka pun memilih untuk tidur lebih cepat, toh ini tenda mereka.
***
Keesokan paginya
Zahra seperti dikawal oleh ketiga sahabatnya. Alvin memandangi mereka. Dalam hati Alvin mengaku kalau ia masih mencintai Zahra, tapi ia sudah bertekad untuk pergi dari kehidupan Zahra dan tak akan mengganggunya lagi. Tapi tetep aja, Zevanna ngebuat dia risih. Dia selalu aja ngehindar dari Zevanna, tapi entah gimana caranya Zevanna selalu aja bisa ngedeketin Alvin. Alvin pasrah saja. Sementara Zahra hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Sivia. Ia memaklumi tapi jadinya risih juga. Sivia masih suka menatap kosong dan melamunkan tentang Gabriel. Sivia masih kangen dengannya, walaupun ia sudah berjanji untuk mengikhlaskan kepergian Gabriel. Tetap saja, ia masih kangen. Sivia jalan ngelantur, ke tengah jalan. Walaupun di tengah hutan, tetap saja ada jalan raya untuk mobil lewat. Awalnya itu dibuat untuk truk pengangkut barang jalan, dan sekarang juga sering dilalui oleh mobil-mobil sekolah yang ada program kempingnya. Ia terus melamun, menelusuri jalan raya tersebut. Ia tak sadar bahwa di depannya ada truk besar yang supirnya menengok ke arah kanan sedang melaju ke arahnya. Shilla yang sedang jalan-jalan melihat kejadian itu.
"Sivia! Ada mobil! Pergi dari sana!!" teriak Shilla sekencang-kencangnya. Sivia tersadar dari lamunannya, lalu terpaku di tempatnya. Ia pun lengsung berlari sekencang-kencangnya ke tepi jalan, tapi terlambat. Truk itu menabraknya. Sivia terpelanting, tubuhnya bersimbah darah. Shilla jatuh terduduk, shock. Ia tidak terlalu yakin akan apa yang dilihatnya tadi, semuanya terjadi begitu cepat. Shilla memejamkan matanya, kejadian tadi terekam di kepalanya, terus diputar seperti kaset yang sudah rusak. Air matanya menitik, tubuhnya bergetar hebat. Ya Tuhan, jangan ambil sahabatku lagi, jangan ambil sahabatku yang lain... aku telah kehilangan kakak dan sahabatku... ya Tuhan, jangan ambil sahabatku, jangan ambil dia, jangan ambil orang lain yang begitu penting bagiku, pikir Shilla.
---
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar