Senin, 30 Mei 2011

Gue Benci Lo! (Part 1-akhir)

Malam itu Shilla tidak bisa tidur. Perasaannya sangat buruk, seperti sesuatu yang sangat buruk akan terjadi. Shilla hanya bisa menahan rasa sakit yang melanda di hatinya. Ia ingin berteriak, namun itu akan membangunkan seluruh orang di rumahnya. Shilla paham akan hal itu, sehingga ia pun memilih untuk diam. Memang, Shilla adalah anak yang bisa dibilang sempurna. Ia mempunyai paras yang cantik dan manis, perilaku yang baik, ia kaya, rendah hati, peka, selalu berkorban untuk orang lain, berani, dan pintar. Shilla bisa membeli apa saja, masuk kampus mana saja, dan berhubungan dengan lelaki mana saja yang ia mau. Ia juga mendapat beasiswa penuh hadiah dari olimpiade sains dulu. Ia sempurna, dan akan terus begitu. Sampai kejadian itu pun akhirnya datang...
***
Shilla melakukan rutinitas hariannya (mandi, sarapan, bangun tidur, dan lain-lain), seperti biasa. Lalu, Shilla berjalan kearah kamar kedua orangtuanya untuk berpamitan dengan kedua mereka. Baru saja ia akan mengetuk pintu ketika ia mendengar kata-kata yang menusuk hatinya. "Gue gak mau tau, pokoknya kita CERAI!!" teriak suara yang dikenalnya, suara ayahnya. Shilla diam. Terpaku. Ia berusaha mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Kata-kata yang amat menyakitkan baginya. Lalu Shilla menarik napas dalam-dalam, tersenyum seperti biasa, lalu masuk ke dalam kamar orang tuanya. "Ma, pa, Shilla berangkat kampus dulu ya..." ucap Shilla seperti biasa, lalu mencium tangan kedua orang tuanya. Shilla mengendarai mobilnya, berusaha berpikir jernih. Tetapi kata-kata ayahnya terus terngiang-ngiang di kepalanya. Pokoknya kita CERAI! Kita CERAI!! CERAI!!! CERAI!!!! Shilla mengerem mobilnya. Ia memejamkan matanya, berusaha melupakan kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak bisa. Ia pun menghela nafas lalu memarkir mobilnya, menenangkan diri sejenak, dan turun dari mobil jazz birunya. Ia langsung masuk kelasnya. Sesampainya di sana ia pun langsung duduk dan menyandarkan kepalanya. Ia menenangkan diri. Tak lama kemudian kedua sahabat Shilla, Sivia dan Zahra, masuk. Mereka pun duduk di sebelah Shilla, mengapit Shilla seperti biasa, dan bingung karena Shilla tidak seceria biasanya.
"Lo kenapa Shill? Kok lesu gitu?" tanya Zahra. Shilla menghela nafas.
"Iya nih... kayaknya ortu gue bakal cerai deh. Tadi pagi gue denger bokap gue ngomong sesuatu tentang cerai-cerai gitu" jawab Shilla.
"Hah?! Cerai?! Gawat dong!" komentar Sivia dengan panik.
"Iya... makanya gue pusing" sahut Shilla. Setelah itu mereka diam, karena mereka tau Shilla membutuhkan ketenangan.
***
Di kantin...
Shilla duduk, diikuti dengan kedua sahabatnya.
"Pesen apa?" tanya Sivia.
"Makaroni aja" jawab Shilla.
"Bakmi ayam" jawab Zahra. Sivia pun beranjak dan memesankan pesanan kedua sahabatnya, lalu duduk kembali. Ia memerhatikan seluruh penjuru kantin karena bosan. Lalu matanya segera tertuju pada sesuatu. Atau lebih tepatnya, beberapa orang.
"Shill, mereka dateng Shill" bisik Sivia. Shilla dan Zahra yang mendengar bisikan Sivia pun segera melihat ke arah Sivia memandang, dan menemukan tiga orang pria yang sedang berjalan ke arah mereka.
"Yaahhh... mereka lagi mereka lagi!" komentar Zahra sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Arrgghh!!! Pusing banget sih gue hari ini!" komentar Shilla sembari membenamkan wajahnya ke kedua tangannya. Ia pun bergumam sendiri, kata-katanya tidak jelas walau suaranya terdengar. Ketiga pria tersebut berhenti melangkah di depan meja tempat Shilla, Sivia dan Zahra duduk.
"Ngapain lo? Bikin pusing pala gue aja" ucap Shilla sewot.
"Suka-suka gue" sahut salah seorang pria.
"Lo tuh gak jelas banget sih? Main ganggu kita aja!" teriak Zahra.
"Suka-suka kita!" tanggap pria tersebut dengan ketus.
“Pergi lo!” usir Sivia. Ketiga pria tersebut menatapnya tajam.
“Kenapa?” tanya salah seorang pria, kali ini pria yang lain.
“Lah, kalian ganggu! Nyadar dong!” jawab Sivia.
“Oke, kita pergi! Dasar 3 cewek aneh!” ucap pria yang satunya lagi sembari melangkahkan kaki untuk mengikuti kedua pria yang lainnya.
“Lo tuh yang aneh!” teriak Zahra dan Shilla, yang tidak di pedulikan oleh ketiga pria tadi. Shilla, Sivia dan Zahra pun jengkel dibuatnya.
"Apaan sih? Gak jelas banget!" komentar Shilla sembari menyendok makaroninya secara brutal.
“Sabar bu” ucap Zahra, melirik tangan Shilla yang terus-menerus menyendok makaroni dengan brutal.
“Iya Shill, lagian daripada lo nyendok-nyendok mulu mending gue makan” ucap Sivia sembari membuka mulutnya.
“Gak! Ini punya gue!” teriak Shilla. Sivia mengangkat bahu lalu kembali sibuk memakan bakso miliknya. Shilla membanting sendok besi yang sedari tadi dipegangnya.
"Halah! Si Rio, Alvin, sama Gabriel tuh gak jelas banget sih!! Berat-beratin kepala gue aja!!" teriak Shilla stress.
"Udahlah... mending kita makan aja dulu" ucap Sivia lembut. Shilla pun menurutinya.
***
Sesampainya di rumah, Shilla terkejut bukan main.
“Shilla, papa dan mama sudah memutuskan bahwa kita berdua akan bercerai” ucap papanya ketika mereka sedang rapat keluarga. Mamanya mengangguk-angguk. Shilla dan adiknya shock, sedang kakaknya hanya kaget.
“Kkk… kenapa?” tanya Shilla.
“Tanya saja sama ibumu! Dia yang menyebabkan semuanya!” teriak papanya sembari menunjuk kearah mamanya. Ibunya terkejut bukan main.
“Enak saja! Kamu tuh yang gak punya perasaan!!” bantah ibunya.
“Oh ya? Tau dari mana? Dari lelaki yang menjadi selingkuhanmu?!” tanya ayahnya.
“Enak saja! Kau memang tidak berperasaan!!” teriak ibunya.
“Kamu! Kamu yang tidak berperasaan! Kamu seenaknya pergi dari rumah ini seharian, dan apa? Apa? Kamu jalan dengan cowok itu!!” teriak ayahnya.
“Ppp… pa, udahlah…” ucap Shilla, berusaha mencairkan suasana. Namun sia-sia. Ayah dan ibunya tidak menggubrisnya. Adiknya pun menangis. Mata Shilla berkaca-kaca, ia hampir saja menangis. Sedang kakaknya sudah masuk ke kamarnya. PLAKK!! Tamparan ibunya mendarat di pipi ayah Shilla.
“Kamu sendiri?! Judi, mabuk-mabukkan!! Aku butuh seseorang yang memperhatikan aku!!” teriak ibunya. BRAKK!! Ayah Shilla menggebrak meja.
“Jadi kamu memilih untuk selingkuh?! Hah?!” teriaknya.
“STOP!! SHILLA BENCI SAMA MAMA DAN PAPA!!” teriak Shilla. Air matanya mulai mengalir, ia berlari ke kamarnya. Di dalam kamar ia menangis. Menangis sederas-derasnya, kecewa akan perilaku ayah dan ibunya yang sangat mengecewakan. Kecewa karena ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Kecewa karena air matanya mengalir deras dan tak bisa dihentikan. Ia kecewa. Sangat kecewa.
***
Pagi hari, Shilla bolos masuk kampus. Ia di suruh untuk pergi menghadap pengadilan, karena orang tuanya akan bercerai. Di dalam, Shilla melihat seluruh keluarga besarnya. Shilla melihat pengadilan berlangsung, pusing. Matanya gerak-gerik melihat semua yang terjadi, sampai pada akhirnya jelas. Ia beserta kakak dan adiknya akan ikut papanya, dan rumah tempat mereka tinggal akan menjadi milik mereka. Sedang ibunya pergi bersama laki-laki lain. Mereka pun pulang, dan Shilla langsung masuk kamarnya, meraih HPnya dan menelepon kedua sahabatnya, menceritakan apa yang terjadi. Zahra dan Sivia kaget, tidak menyangka ini akan terjadi. Tapi memang, takdir hanya ada di tangan Tuhan.

Paginya, Shilla kembali ke kampus. Kedua sahabatnya telah menunggunya di kelas, ikut prihatin dengan apa yang dialami Shilla. "Shill, tabah ya... kita bakal nemenin lo" hibur Sivia lembut. Tiba-tiba terjadi keributan di tengah lapangan. "Ada apa sih?" tanya Zahra. "Au. Ke sana yuk" ajak Shilla. Di tengah lapangan, yang terlihat di mata Shilla satu : Rio sedang membersihkan tangannya dari kue sambil menatap sinis ke arah seorang murid yang mukanya seperti habis dilempar kue seloyang penuh oleh seseorang. "Heh, gue tuh orang tajir, lo gak usah ngasih kue gak bermutu buat ultah gue, gue udah punya banyak" ujar Rio dingin. Shilla yang mendengarnya langsung mengambil kue tart besar yang ada di kantin, membayarnya, berjalan ke arah Rio, lalu melemparnya tepat di muka Rio."Happy birthday... semoga sikap busuk lo itu ilang, amiin..." ujar Shilla sinis. Sivia, Zahra, Gabriel dan Alvin tertawa, disusul dengan suara tertawa dari arah penonton. Rio tersentak kaget, membersihkan kue dari wajahnya, lalu menatap Shilla dengan pandangan dingin. "Apa maksud lo?" tanya Rio. "Maksud gue baik, ngasih lo kue" jawab Shilla, menahan ketawa. "Serius" ujar Rio. "Buat ngasih rasa manis di wajah lo aja, busuk banget sih" sahut Shilla, membuat tawa penonton meledak lagi. "Awas lo!" ancam Rio, lalu meninggalkan kerumunan bersama Gabriel dan Alvin yang masih tertawa. "Hahaha... Shill, kocak amat! Lain kali lakuin lagi, biar tau rasa tu orang!" komentar Zahra, tertawa. "Heh... jangan! Gak baik!" nasehat Sivia. "Alah... alim banget dah!" ujar Zahra. Shilla melerai mereka berdua, lalu pergi menuju kelasnya dengan perasaan puas.

(Part 2)

Sesampainya di kelas, Shilla langsung di kerumuni oleh teman-teman cewek sekelasnya. "Shill, kok lo berani banget, sih? Ntar diincar, lho!!!" "Iya, ntar bisa gawat! Kan si Rio emang gitu, kalau salah dikit di bales dengan penderitaan!" "Iya! Lagian, kasian kan Rio... Rio kan ganteng, cool, keren..." "Ah udahlah! Tenang aja, kan gue ini yang diincar, bukan lo lo semua! Lagian, Rio tuh jelek!! Aneh!! Jahat!!" potong Shilla. "Ehem!!" ujar suara dari belakang. Shilla melihat ke arahnya, menemukan Rio, merobek kertas selembar dan meremasnya, lalu melemparnya ke arah Rio. "Heh! Lo gak usah cari masalah lagi, deh! Udah untung gue sabar... awas lo!" ancam Rio sekali lagi, melempar kertas Shilla . "Eh! Rio! Sori, kirain tong sampah!! Lagian, busuk amet sih!" sahut Shilla, pura-pura kaget. Teman-teman cewek yang tadi mengerumuninya kaget, menahan ketawa, sedangkan sisanya malah ketawa semua. Rio melotot ke arah Shilla dan meninggalkan kelasnya. "Ngapain sih dia di sini?" tanya Shilla. "Buat ngasih bapak berkas ini" jawab dosen. Shilla beserta teman-teman sekelasnya kaget dan langsung duduk. "Oke... semuanya sudah mengerjakan tugas? Kumpulkan sekarang!" perintah dosen. Shilla mencari tugasnya, tetapi tidak ketemu. "Waduh! Jangan-jangan yang gue lempar ke Rio kertas tugas gue lagi!" bisik Shilla khawatir, Sivia dan Zahra mendengarkan. "Makanya... kalau mau lempar barang, liat-liat dulu tuh barang apa, kualat kan lo sama Rio!" bisik Sivia. Shilla pun pasrah, nilainya pun jadi nol.

Shilla keluar kelas dengan lesu. Ia pun pulang ke rumah tersayangnya, lalu melihat ayahnya tidak ada. Shilla pun memutuskan untuk pergi mencari ayahnya. Di tengah jalan, ia menemukan ayahnya sedang mabuk. "Ayah!! Ayah kenapa?" tanya Shilla panik. Ayahnya malah berbicara sambil mabuk gak jelas. Shilla pun membawa ayahnya ke rumah, membaringkannya di ranjang, duduk di kursi samping ranjang ayahnya, lalu ayahnya tidur. "Ayah!!" teriak kakaknya Shilla. "Sst! Ayah lagi tidur!" bisik Shilla, menempelkan telunjuk di bibirnya. "Kenapa? Tumben tidur siang-siang!" tanya kakaknya Shilla. "Ayah mabuk" ujar Shilla kalem. Kakaknya melotot, menahan emosi yang melandanya. Kakaknya pun pergi ke kamarnya, dan berteriak di sana. Shilla hanya menggelengkan kepala dan memandangi ayahnya. Kenapa ayah jadi kayak gini? tanya Shilla di pikirannya.

Esok hari di kampus...

"Ah! Dasar tuh cewek!! Bikin gue malu aja!" teriak Rio sambil main basket bersama Alvin dan Gabriel. "Yee... lagian elunya yang keterlaluan! Gue jadi Shilla juga bakal kayak gitu deh!" sahut Gabriel, merebut bola dari Rio. "Iya... tapi hebat juga tuh cewek, berani amet" ujar Alvin. "Ya iyalah! Statusnya, gue gak bisa bales dia gara-gara itu. Pasti dia bakal ngebales gue, trus gue gak bisa nindas dia" sahut Rio. "Ooh..." Gabriel hanya manggut-manggut.

"Shill... kasian banget sih lo..." komentar Sivia saat Shilla menceritakan pengalamannya pulang dari kampus kemarin. "Mula-mula ortu lo cerai, trus bokap lo mabuk, berikutnya apa?" tanya Zahra. "Berikutnya gue bisa nemuin pangeran gue trus nikah" jawab Shilla. "Ngaco lo!" sahut Zahra, menjitak dahi Shilla. "Yee... mending gitu deh daripada gue dapet kesialan lagi!" ujar Shilla, dan mereka bertiga pun masuk ke kelas mereka.

Pulangnya, Shilla kaget lagi. Ayahnya terlihat sedang mabuk dan berjudi dengan sekelompok pria. Shilla ingin memulangkan ayahnya tapi takut karena badan pria-pria itu besar-besar. Akhirnya Shilla pulang dan menceritakannya pada kakakya. Kakaknya berteriak lagi. (Sori, kata-katanya gak sopan banget, jadi gak di tulis ya) Malamnya, ayahnya pulang dengan keadaan mabuk berat. Kakaknya mengacuhkannya, sedang Shilla dan adiknya, Keke, merawat ayahnya dengan penuh kasih sayang. Sedang ayahnya hanya mabuk tidak karuan. Cobaan apa lagi yang akan kau berikan kepadaku, Tuhan? tanya Shilla dalam hati, memandangi ayahnya yang mabuk.

(Part 3)

Esoknya di kampus, Rio mencari cara untuk membalas Shilla. "Aaahh!!! Biasanya juga gue dapet seribu cara buat ngebales orang!! Ampe pusing milih cara buat milih!! Kenapa yang ini enggak??" tanya Rio kepada dirinya sendiri, setengah berteriak. "Soalnya dia terlalu hebat buat lo bales, Yo! Nyadar napa?" sahut Gabriel. "Makanya, jadi orang jangan suka nyari masalah! Kena batunya kan lo?" tanya Alvin. Rio diam saja, merenung. "Diem deh lo!" ucap Gabriel. "Au... baru nyadar kan?" sahut Alvin. Rio, sekali lagi, hanya diam, menatap Shilla yang lewat di depan matanya.

"Shill... beneran Shill bokap lo judi? Mabuk lagi!" tanya Sivia. "Iya... malangnya hidupku..." jawab Shilla, mukanya memelas. Mereka pun masuk kelas, lalu duduk siap belajar. Dosen pun masuk tak lama kemudian, dan mereka pun tenggelam dalam pelajaran yang diberikan dosen. Shilla bahkan dapat mengusir semua kestressannya.

Pulangnya, Shilla melihat ayahnya berjudi dan mabuk lagi. Shilla membiarkannya. Hal ini terus terjadi selama beberapa bulan, Shilla dapat menjalani hidup seperti biasa. Suatu hari, setelah setahun berlalu, Shilla sangat kaget saat pulang, karena ia melihat tulisan 'Rumah ini disegel' di depan rumahnya. Shilla melihat semua barang mereka sudah dikemas, kakaknya pingsan dan Keke menangis. "Shilla, maafin ayah ya... ayah punya banyak hutang, karena sudah tidak bisa dilunasi, rumah ini disegel... maafin ayah ya" ucap ayah Shilla. Setelah mendengarnya Shilla kaget. Air matanya tumpah, tak bisa terbendung lagi. Shilla hanya berkata, "Sekarang kita tinggal di mana?" tanya Shilla, suaranya serak. "Ayah juga gak tau..." jawab ayahnya. Air mata Shilla sudah tidak terbendung lagi. Ia pun menangis sekencang yang ia bisa. Di sana, berdiri Rio yang melihat semua itu. Otak jahatnya langsung bekerja. Rasain lo! Liat aja, bentar lagi gue bakal ngebales semua perbuatan lo! Pikir Rio sambil tersenyum. Senyum yang akan dikeluarkan orang bila memikirkan sesuatu yang jahat. Sementara Shilla terus menangis meratapi nasib keluarganya.

Keesokan harinya, Shilla menceritakan hal itu kepada kedua sahabatnya, seperti biasa. "Hah?? Trus sekarang lo tinggal di mana?" tanya Sivia khawatir. "Gak tau..." jawab Shilla, matanya memerah karena membendung air mata. Namun, air matanya tak dapat di bendung lagi. Ia pun menangis, tetapi hanya air mata yang menunjukkannya, karena ia menangis tanpa suara. Dari kejauhan, Gabriel melihatnya. Ia hanya bisa diam, tak berbuat apa-apa. Sorot matanya menunjukkan kesedihan. Sedang Rio yang berdiri di dekatnya tersenyum nakal. Ia dan kedua sahabatnya pun menuju lapangan basket untuk bermain basket. "Eh, Vin, Yel... gue udah dapet cara buat ngebales Shilla" ujar Rio, tersenyum puas. "Udah gue bilang, lo tuh gak bisa ngebales dia, dia tuh terlalu tinggi statusnya!" hardik Gabriel. "Sekarang gak. Soalnya, bokapnya tuh..." Rio menceritakan apa yang didengarnya di rumah Shilla. "Wah! Hebat lo! Pinter amet!" komentar Alvin. "Iya dong... Rio!" sahut Rio bangga. "Lo gak boleh kayak gitu!" hardik Gabriel, membanting bola basket karena emosi. "Lo kenapa sih Yel? Perasaan lo aneh banget!" tanya Rio, menempelkan tangannya di dahi Gabriel. "Gue gak sakit! Jangan sentuh gue!" teriak Gabriel, melepaskan tangan Rio dengan kasar. "Lo kenapa sih? Jangan-jangan lo suka sama Shilla lagi!" ujar Alvin curiga. Gabriel melotot ke arahnya lalu pergi. "Si Iyel napa sih?? Melotot kayak gitu... bikin gue takut aja!" kata Alvin. "Au tuh!" sahut Rio, lalu berjalan ke kelasnya dengan raut wajah bingung. Sementara itu di kelas Shilla, Sivia, dan Zahra, Sivia dan Zahra berusaha menenangkan Shilla. "Shill... sabar ya..." ujar Sivia lembut, membelai rambutnya. "Iya, kalo lo mau, lo bisa tinggal di rumah gue atau Via" hibur Zahra. Shilla hanya menanggapinya dengan terus menangis. Dosen pun masuk, membanting pintu, membuat Shilla menghapus air matanya dan duduk tegak seperti biasa. Hebat juga ni dosen, bisa langsung nenangin Shilla! batin Sivia.

Pulangnya, Shilla di buntutin Rio seperti yang terjadi selama setahun belakangan ini. Shilla berjalan kaki, tidak seperti biasa, lalu berhenti di sebuah gubuk sederhana. Oh... jadi ini ni tempat tinggalnya Shilla sekarang? Haha, kalau yang lain pada tau gimana ya reaksi mereka? pikir Rio, tersenyum. Rio pun kaget karena ada yang menepuk pundaknya dari belakang. "Heh, ngapain lo di sini?" tanya sebuah suara berat. Rio kaget dan langsung kabur... yang menepuk pundaknya hanya memandanginya. Ternyata itu hanya ayahnya Shilla, dan Shilla yang melihat Rio kabur, berlari meninggalkan motornya, tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi, karena Rio sudah berlari agak jauh, tak terlintas di pikiran Shilla bahwa Rio sudah tau semuanya.

Keesokan paginya, Shilla, Zahra dan Sivia duduk di kantin. Rio yang melihat hal tersebut langsung berjalan ke kantin, diikuti oleh kedua sahabatnya yang setia. "Eh, yang ada di sini! Tau gak, gue tuh kemaren ngeliat ada gubuk kecil, terbuat dari bambu, atapnya jerami, pintunya dari bambu, jendela cuma ada 4... pokoknya jelek banget deh! Di jalan Suara Indah!" teriak Rio, tersenyum licik. Shilla beserta kedua temannya kaget. "Gubuk jelek? Gusur aja! Gampang, kan?" celetuk salah seorang anak. Wajah Shilla langsung berubah menjadi pucat. "O iya! Pinter juga lo! Gue bakal gusur tu gubuk yang udah bikin rusak mata gue! Paling minggu depanlah..." sahut Rio, membuat muka Shilla menjadi semakin pucat. Kedua sahabatnya yang panik berusaha menenangkan Shilla. Shilla hanya menanggapinya dengan air mata yang di lepaskannya di toilet cewek.

Seminggu pun berlalu... Shilla hidup semakin menderita, terutama karena Rio yang selalu meledeknya. Kakaknya yang biasanya ceria menjadi muram, seperti tak mau hidup lagi. Ayahnya selalu mabuk dan berjudi, menambah daftar hutangnya. Shilla pun akhirnya bekerja membanting tulang, berusaha menghidupi keluarganya kembali. Yang terkumpul sejauh ini hanya Rp50.000,00, padahal yang di butuhkan berjumlah Rp1.000.000.000. Shilla tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia hanya terus-menerus bekerja untuk keluarganya, yang selalu ingin mengambil uangnya untuk kepentingan pribadi seperti ayahnya yang mengambilnya untuk membeli miras dan kakaknya yang mengambilnya untuk pergi ke salon atau hang out bersama teman-temannya. Shilla hanya bisa pasrah dan berdoa.
(Part 4)
Suatu hari, Shilla pulang dari kampus berjalan kaki seperti biasa. Ia pulang hanya untuk mengganti bajunya dan langsung pergi ke tempat ia bekerja paruh waktu seperti biasa. "Kak! Shilla pulang!!" teriak Shilla, lalu pergi ke kamar kecilnya. Ia mengganti bajunya sambil berpikir, gak biasanya kakak diem aja... biasanya kan dia cerewet minta duit ke gue.... pikir Shilla. Shilla yang telah selesai mengganti bajunya pun berjalan menuju kamar kakaknya yang ada di sebelahnya, lalu kaget. "Kakak!! Kakak ngapain?!" teriak Shilla. "Kakak mau bunuh diri... lagian ngapain hidup lagi? Orang kita udah miskin kayak gini... gak tahan lagi!" sahut kakaknya sambil memegang pisau di pergelangan tangannya, tepat di nadinya, jika ia memotong tepat di situ ia akan mengakhiri hidupnya. "Kak!! Gak boleh gitu!! Kita pasti bakal cari cara buat bikin hidup kita kayak dulu!!" teriak Shilla lagi, berlari untuk mencegahnya. "Gak perlu!" ujar kakaknya Shilla, lalu mengakhiri hidupnya. Kakaknya ambruk, pergelangan tangannya mengeluarkan darah sangat deras. Shilla terlambat menghampiri kakaknya untuk mencegahnya. Sekarang kakaknya ambruk, nafasnya tersenggal-senggal. Tak lama kemudian, nafas kakaknya berhenti. Shilla menundukkan kepalanya, berusaha mendengarkan detak jantung kakaknya. Tapi tidak ada yang terdengar. Jantung kakaknya telah berhenti. Shilla tak bisa lagi membendung air matanya, ia langsung menangis dan berteriak sekuat-kuatnya, "KAKAK!!!!!!!!" teriakan itu membuat Rio yang sedang membuntutinya kaget. Ia memutuskan untuk pergi dan menjalankan rencananya besok pagi. Sementara Shilla terus menangisi kakaknya yang sudah meninggal dunia. Ia memutuskan untuk izin bolos kerja.

Paginya, Shilla, seperti biasa, menceritakan pengalamannya yang menyedihkan kepada kedua sahabatnya. "Turut berduka ya" sahut Zahra. "Gue juga" ujar Sivia. Shilla hanya mengangguk lemas, membuang muka. "Woi!! Pengumuman pengumuman, gue mau kasih tau kalau gubuk jelek yang gue bilang tempo hari bakal gue runtuhin! Itu aja" teriak Rio sekeras-kerasnya. Mata Shilla membelalak. Sivia dan Zahra juga. Mereka sangat kaget, tentunya. Setelah mengatakan itu Rio langsung pergi begitu saja, puas melihat ekspresi Shilla.

Tak lama kemudian, Rio menarik tangan Shilla dengan kasar. Sivia dan Zahra berusaha mencegahnya, tetapi mereka tak kuasa karena dihadang oleh Alvin serta Gabriel. Shilla yang melihatnya hanya bisa pasrah, tetapi ia tetap meronta-ronta. "Lepasin gue! Lo bisa gue laporin ke komnas HAM!! Lepasin!!" teriak Shilla. Rio hanya terus menariknya dengan keras. Ia membawa Shilla ke pojokan. "Heh, gue tuh bawa elo ke sini soalnya gue mau bicara sama lo!" ujar Rio. "Bicara apa?!" sahut Shilla, menyentakkan tangannya untuk membebaskan diri. "Gue udah tau kalo gubuk reyot itu punya lo. Gue bakal ngancurin tempat tinggal tersayang lo itu kecuali..." ujar Rio. "Kecuali apa?" potong Shilla. "Kecuali lo mau minta maaf ke gue di kantin pas jam kosong, gue nunggu lo di sana" sahut Rio. Mata Shilla membelalak, lalu berkata, "Oke, gue bakal minta maaf. Tapi kalau lo ngelakuin apa-apa sama rumah gue, awas lo!" ujar Shilla. "Oke" sahut Rio singkat. Shilla pun pergi ke tempat kedua sahabatnya menunggu, lalu menceritakan apa yang dilakukan Rio. "Kurang asem tu anak! Trus lo ngapain ntar?" komentar Zahra. "Minta maaf, buat adek gue tersayang Keke" sahut Shilla. "Bokap lo gak dianggep gitu?" tanya Sivia. "Iya, ngapain? Orang dia biang keladi dari semuanya" jawab Shilla. Sivia hanya menggelengkan kepalanya. Gimana pun juga kan dia tetep bokap lo batin Sivia.

Di kantin

Shilla datang ke tempat Rio, Gabriel, dan Alvin duduk. "Jadi lo dateng?" tanya Alvin. "Iya, orang keliatan! Mata lo lo taro mana?" jawab Shilla. Zahra dan Sivia melihat semua itu dari meja mereka yang tidak jauh dari Rio, Gabriel, Alvin dan Shilla. "Lo mau ngapain?" teriak Rio supaya semua orang menengok ke arahnya. "Gue mau minta maaf" ujar Shilla. "Ha? Apa? Gak denger gue! Yang kenceng dong!" ucap Rio. Shilla jadi jengkel. "GUE MINTA MAAF KE LO ATAS APA YANG GUE LAKUIN!!" teriak Shilla di kuping Rio. "Heh! kuping gue bukan toa!" ujar Rio jengkel. "Lah, katanya lo gak denger, pas denger marah-marah! Lo mau apa, sih?" tanya Shilla. Rio jadi jengkel. "Heh, lo pikir minta maaf kayak gitu gue puas, hah?" tanya Rio. "Iya" jawab Shilla singkat. "Lo salah" sahut Rio. "Trus gue harus ngapain?" tanya Shilla. Rio berpikir sebentar, lalu mengeluarkan senyum liciknya. "Cium kaki gue" ujar Rio. "Ha? Gak salah tuh? Dari pada gue ngelakuin itu mending gue nyeritain masalah gue di depan seluruh anak kampus deh!" sahut Shilla. Senyum Rio makin mengembang. Shilla tidak memerhatikannya. Ia melihat ke arah kedua sahabatnya, yang sedang menempelkan tiga jari ke leher mereka, menendakan 'mati' dan menunjuknya, menandakan 'lo'. Jika digabung, itu mengatakan 'MATI LO'. Shilla berpikir, lalu menutup mulutnya, kaget. Mati gue!! Mati!! Mati mati mati! pikir Shilla. "Lo punya dua pilihan, cium kaki gue atau nyeritain masalah lo" ujar Rio. "Cium kaki lo" sahut Shilla. "Gue berubah pikiran, lo harus ceritain masalah lo" ucap Rio. Wajah Shilla menjadi pucat. Yang lain tidak bisa apa-apa, sedang ia juga sama. Kalau ia menceritakan masalahnya, ia dalam masalah besar. Jika ia melakukan hal yang macam-macam, rumahnya diruntuhkan oleh Rio. Tuhan, apa yang harus kulakukan? pikirnya, memejamkan matanya.

(Part 5)
"Ayo! Gak usah buang-buang waktu lagi!" ucap Rio memaksa. Shilla menarik napas dalam-dalam. "Woi! lama amet sih! Lo bisu, ya?" ujar Alvin. Shilla menggeleng, badannya menjadi lemah seketika. "A... aku..." Shilla memulai. "O... orang tua gue... akan bercerai, aku mendengarnya suatu pagi. Gue kaget, tentu saja. lalu mereka benar-benar bercerai. Gue di suruh ikut, lalu melihat dengan mata sendiri bahwa mereka benar-benar bercerai..." cerita Shilla, berhenti sebentar. Mata semua orang membelalak. "Itu aja?" celetuk Alvin. Shilla menengok. "Iya" sahut Shilla. "Bohong! Kalo itu aja ngapain lo nyampe lebih milih buat nnyium kaki gue daripada nyeritain itu?" hardik Rio. Akhirnya Shilla mengalah, lalu menceritakan semuanya. "Gue disuruh buat ikut bokap gue, trus gue akhirnya ikut. Nah, abis itu bokap gue jadi sering mabok sama judi.... nah, gara-gara itu, bokap gue ngutang ampe berapa milyar gitu. Trus sisanya yang satu milyar gak bisa dibayar, akhirnya rumah gue disegel. Gue akhirnya tinggal di gubuk jelek yang dibilang Rio tempo hari, trus dia ngancem gue bakalan ngancurin tu rumah kalau gue gak minta maaf ke dia... dan disana pula kakak gue bunuh diri kemaren gara-gara gak tahan" cerita Shilla panjang lebar. "Ha? Jadi itu doang?" ujar Rio meremehkan. Shilla langsung menatapnya tajam, setajam mata elang. "Apa lo bilang?? Lo udah maksa gue buat nyeritain semua itu dan lo ngeremehin cerita gue itu?!!! Heh! Lo tuh gak tau gimana rasanya liat bokap lo judi! Atau ngeliat uang lo angus kayak di bakar! Trus rumah lo yang mewah di segel! Lo gak tau gimana caranya tidur di gubuk jelek!! Lo gak tau gimana rasanya tidur ditemenin sama tikus-tikus!! Lo juga pasti gak pernah ngeliat kakak lo bunuh diri tepat di depan mata lo sendiri dan gak bisa nyegah dia!! Lo gak tau gimana rasanya banting tulang tiap hari buat ngehidupin keluarga lo!! Dan itu pun lumayan sia-sia, soalnya duit yang lo kumpulin tuh mau diambil sama bokap dan kakak lo buat kepentingan pribadi!! Dan semua itu lo rasain abis ngejalanin hidup yang serba sempurna!! Hidup lo tuh cuman satu alur : dapetin apa yang lo mau!!! Lo tau gak sih gimana rasanya??!!!" teriak Shilla marah, air matanya yang ingin keluar ia bendung. Rio hanya menatapnya dengan pandangan bingung. "Tatap mata gue dan jawab!!" teriak Shilla. "Enggak" bisik Rio membuang mukanya. "Tatap mata gue!!" teriak Shilla makin keras. "Enggak" ujar Rio, tetap membuang mukanya. "Tatap mata gue!!!" teriak Shilla sekencang-kencangnya. "Enggak!!! Lo denger gak sih apa kata gue???" teriak Rio marah, menatap mata Shilla. Ternyata ni cewek cantik juga! pikir Rio saat menatap mata Shilla dalam-dalam. "Lo gak tau, kan??? Gue yakin, kalau lo jadi gue pasti lo bakalan bunuh diri kayak kakak gue!! Gue juga bakal bunuh diri, kalau aja adek gue, Keke, tuh termasuk tanggung jawab gue!! Gue yakin, kalo gak ada yang jagain dia, pasti dia bakal dijual biar bokapa gue dapet duit banyak!!" teriak Shilla kencang. "Oke! Gue minta maaf ke lo!! Sebagai gantinya gue bakal ngasih lo satu milyar!!" teriak Rio tak kalah kencang. "Gue gak mau nerima duit lo! Mending gue berhenti masuk kampus terus kerja mati-matian deh!!" kata Shilla. "Trus lo mau gue buat apa???" tanya Rio sambil berteriak. "Gue mau lo nyium kaki gue!" jawab Shilla sambil berteriak juga. "Males!! Baik amet gue kalo gue mau!!" teriak Rio. "Huh!! Dasar cowok gak punya hati!!" teriak Shilla. "Apa lo bilang?? Gue sumpahin adek tersayang lo dijual sama bokap lo! Gak usah nunggu lo pergi juga dia bisa, kan?!!" teriak Rio. Plakk!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Rio. Shilla tak tahan lagi. Ia tidak bisa membendung air matanya lagi, dan air matanya tumpah. "Lo.. lo tuh bener-bener cowok gak punya hati!! Lo jahat nyumpahin adek gue kayak gitu!! GUE BENCI SAMA LO!!" isak Shilla, lalu pergi ke toilet cewek, disusul oleh kedua sahabatnya. Rio berusaha mencerna kata-kata Shilla tadi. Gabriel dan Alvin melihatnya, lalu pergi meninggalkan Rio yang sedang mematung. "Dia butuh waktu buat sendiri" jawab mereka ketika yang lain menanyakan kenapa mereka meninggalkan Rio begitu saja. Dan mereka pun pergi menuju lapangan basket.

Di toilet cewek...

"Shill, berenti nangis!! Gue tau si Rio keterlaluan, tapi stop nangisnya!!" ucap Zahra. "Iya... sekarang mending lo berenti nangis, trus kita cari tau gimana cara buat nyelesein masalah ini..." ujar Sivia lembut. Shilla pun menghentikan tangisannya dan keluar. "Lo berdua bener... yuk ke kelas!" ajak Shilla. Mereka pun berjalan menuju kelas. Sialnya, mereka berpapasan dengan Rio yang sedang mencari Alvin dan Gabriel. "Eh liat Iyel sama Alvin gak?" tanya Rio tanpa melihat mereka. Shilla dan kedua sahabatnya diam saja dan terus meneruskan berjalan seolah tak ada apa pun yang terjadi. "Woi kalo ditanya jawab napa?" hardik Rio, melihat ke arah mereka dan kaget. Sedang Zahra, Sivia dan Shilla hanya terus berjalan seolah tidak ada apa-apa. Rio berlari ke arah Shilla. "Shill! Tunggu!" ujar Rio, memegang lengan Shilla setelah berhasil mengejarnya. "Lepasin gue!" teriak Shilla, menghentakkan tangannya untuk membebaskan diri, namun tak berhasil. "Eh lepasin sobat gue!" teriak Zahra, membantu Shilla membebaskan diri bersama Sivia. Akhirnya Shilla dapat membebaskan diri. "Shill! Gue minta maaf!! Gue gak bermaksud! Sori!" teriak Rio sambil terus mengejar Shilla. Tetapi Shilla tidak mengacuhkannya, ia terus berjalan menembus keramaian. Rio pun putus asa dan memutuskan untuk kembali mencari Alvin dan Gabriel.

Pulangnya, Shilla mencari Keke untuk bermain sebentar, me-refresh kepalanya yang pusing. "Keke!!" teriak Shilla, mencari Keke. Tapi yang ditemukannya adalah ayahnya yang tersenyum bangga dan menenteng koper banyak. "Ayah... Keke mana?" tanya Shilla, waspada. "Ayah jual" jawab ayahnya tanpa berpikir. Shilla mematung, sumpah Rio menjadi kenyataan.

(Part 6)
"A.. apa? Ke.. Keke di jual?" tanya Shilla, air matanya tumpah. "Shilla?!" teriak ayahnya kaget. "Ayah jahat! Ayah jual Keke demi uang! Shilla tebak koper yang ayah pegang itu isinya uang! Ayah jahat! Shilla benci sama ayah!!" teriak Shilla emosi. "Shilla, tunggu!" ucap ayahnya. Tetapi Shilla tak mengacuhkannya dan langsung pergi menuju rumah Sivia.

Di rumah Sivia

Sivia kaget melihat Shilla berdiri di depan pintunya, apalagi air mata keluar dari matanya. "Shilla! Lo kenapa? Masuk, yuk!" ujar Sivia. Shilla pun masuk, masih terisak-isak. "Lo kenapa? Cerita aja pelan-pelan" ucap Sivia lembut. "Bo... bokap gu... gue..." isak Shilla. "Bokap lo kenapa?" tanya Sivia. "Sum... sumpah Rio... ja... jadi kkk... kenyataan!" ujar Shilla. "Hah? Sumpah Rio yang mana?" tanya Sivia, masih belum mengerti. "Bbbb... bokap gu... gue jjju... jual Kkk... Keke!" ucap Shilla, lalu menangis. Sivia memeluknya. "Keke di jual? Bokap lo jahat amat! Sabar ya Shill... cobaan lo lagi banyak. Sabar ya..." ucap Sivia lembut sambil membelai rambut Shilla. Tetapi Shilla terus saja menangis. "Inget Shill, Tuhan gak mungkin ngasih cobaan di luar kemampuan hamba-Nya..." kata Sivia menenangkan Shilla. Tangis Shilla berhenti, tetapi ia masih terisak-isak. "Lo bbb... bener..." ujar Shilla, mulai tenang. "Nah, kan lo udah agak tenang, mending lo sekarang ke bokap lo, tapi cuekin aja abis2an. Terus, besok kita omongin ini lagi di kampus, oke?" tanya Sivia. Shilla mengangguk lalu menuruti apa solusi dari Sivia. Sivia hanya menggeleng-gelengkan kepala menanggapinya.

Keesokan paginya di kampus

"Shill! Udah baikan?" tanya Sivia. "Iya... gue ikutin saran lo" jawab Shilla. "Kenapa lagi Shill?" tanya Zahra. "Sumpahnya Rio jadi kenyataan" ujar Shilla singkat, berusaha membendung air matanya. Mata Zahra membelalak. "Sumpah Rio yang bilang Keke di jual itu?" tanya Zahra. Shilla hanya mengangguk, air matanya tumpah. "Heh nenek sihir! Kenapa lo nangis? Gara-gara rumah lo di runtuhin, ya?" ledek Rio yang tiba-tiba datang bersama Alvin dan Gabriel. Shilla menatapnya tajam. "Ngapain gue nangisin rumah yang itu?! Gue tuh udah punya rumah lagi, kehidupan gue yang lama udah balik! Bokap gue dapet duit banyak!! Makasih banyak!!!" teriak Shilla emosi. "Ha? Bokap lo dapet duit banyak?? Dari mana? Nyuri dari bank?" tanya Rio, masih meledek Shilla. "Gak, dia dapet duit gara-gara adek gue di jual sama dia. PUAS LO SUMPAH LO JADI KENYATAAN?!!" teriak Shilla. Rio mematung, tak menyangka ini terjadi. Sedang Alvin dan Gabriel, mata mereka membelalak. Sivia dan Zahra menatap Rio tajam, lalu pergi menuju kelas mereka bersama Shilla.

Jam kosong

Shilla pergi ke kantin bersama Zahra, sedang Sivia sedang pergi ke toilet. Rio yang melihatnya mengikuti Sivia dan menunggu di depan toilet cewek. Ketika Sivia keluar, ia kaget. "Rio?! Ngapain lo di sini?? Mau nyari Shilla?? Shilla gak ada di sini!!" hardik Sivia setelah pulih dari kagetnya. "Gak, gue nyari lo" sahut Rio. "Mau ngapain lo nyariin gue?" tanya Sivia, masih menghardik Rio. "Gue mau minta bantuan lo" jawab Rio. "Bantuin apa? Supaya Shilla maafin lo?? Gak deh! Minta maaf aja sendiri!" sahut Sivia sewot. "Plis... gue gak tau harus ngapain... gue shock banget... gue gak nyangka bakal jadi kayak gini..." pinta Rio. Sivia mulai tersentuh hatinya, tetapi ia tetap melakukan apa yang sudah di putuskannya : menolak permintaan Rio tadi. "Ya mau gimana lagi... gue kan bukan sahabat pengkhianat... lagian, Shilla itu kan orangnya melankolis banget, dan dia tuh plagmatis, rela berkorban dan berpikir sebelum bertindak... gue yakin, buat lo, orang yang dia benci, dia bakal rela mati kalau itu bisa nyelamatin lo, dan kadang-kadang sanguinisnya tinggi, tapi dia bukan orang yang kolerisnya tinggi kok" jelas Sivia. "Oh gitu... makasih deh" ujar Rio pada akhirnya, berjalan lesu ke kantin. Sivia yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Saat yang sama di kantin, Shilla dan Zahra sibuk menunggu Sivia. "Kok Sivi gak dateng-dateng sih?" tanya Shilla. "Au... ketemu cowok keren kali di jalan!" sahut Zahra. Tiba-tiba Sivia datang. "Panjang umur!! Lo ke mana aja sih???" ucap Shilla. Sivia berpikir sejenak, memutuskan untuk tidak menceritakan Rio dan hanya bilang, "Gue ketemu cowok keren di jalan" ujar Sivia, tersenyum manis. "Tuh kan Shill?? Bener apa kata gue!!" kata Zahra. "Iyaa... emang cowok kerennya siapa?" tanya Shilla. "Mmmm... siapa ya? Lupa namanya!" jawab Sivia pura-pura. "Eh... paella gue mana?" tanya Sivia, mengalihkan pembicaraan. "Nih, seafood kan?" tanya Zahra sambil memberi Sivia sebuah piring berisi paella. "Iya... thank you ya...." jawab Sivia berterima kasih, lalu segera menyantap paella nya. Saat makan ia memikirkan perkataan Rio tadi. Apa jangan-jangan Rio suka sama Shilla? Tapi... kalau suka masa iya sih, Rio ampe sekejam itu? Walaupun gengsi, kan keterlaluan... pertanyaan-pertanyaan tersebut terngiang-ngian di kepala Sivia. "Siv, lo kenapa? Pusing?" tanya Shilla khawatir. "Oh, enggak... cuman mikirin cowok ganteng tadi... siapa ya namanya?" jawab Sivia berbohong. "Hayo... kepikiran mulu...." goda Zahra. Sivia hanya tersenyum pahit. Tak jauh dari sana, Rio memperhatikan Shilla. Gabriel memandangi Shilla. Saat Shilla menoleh, ia tersenyum. Senyumnya di tujukan kepada Gabriel, tapi Rio udah keburu GR. Gabriel membalas senyum Shilla. Rio tak memperhatikannya, lalu mengajak teman-temannya menjauh. "Woi, lapangan basket yuk" ajak Rio. "Kenapa tiba-tiba...?" tanya Alvin. "Shilla senyum ke arah sini, jadi gak enak liat nenek sihir senyum. Serem..." jawab Rio, pura-pura takut. Gabriel berusaha menahan tawa. "Lah... kan elu yang suka sama dia... gimana sih lo?" tanya Gabriel, masih berusaha menahan tawa. "Udahlah! Gak usah di ungkit-ungkit lagi!" ujar Rio, malu. Alvin dan Gabriel tertawa melihat Rio yang berubah menjadi merah. "Hebat juga tuh cewek.. bisa bikin si Rio malu!" ucap Alvin. Gabriel tertawa mendengarnya, sedang Rio menatap tajam Alvin. Alvin yang takut langsung diam saja.

Jam kosong selesai, semua anak masuk kelas masing-masing. Tiba-tiba, terjadi keributan. Semua anak kampus berkumpul di lapangan. "Perhatian-perhatian... kepada putri dari milyader Ira dan Duta, harap menuju lapangan... kalau dalam waktu 10 menit tidak datang-datang juga, setiap 1 menit akan ada yang terbunuh" ujar seseorang yang tak dikenal lewat pengeras suara. Shilla kaget. Ia menuju lapangan, dan melihat Rio yang sedang ditodong pisau di leher, siap dibunuh kapan saja. "Lepasin dia!" teriak Shilla setelah berhasil menembus kerumunan. "Ah... putri dari milyader Ira dan Duta... kau datang?" tanya orang yang tak dikenal tersebut. "Iya, paman... apa yang paman mau?" tanya Shilla, membuat semua mata orang yang melihat kejadian tersebut membelalak, terutama Sivia dan Zahra yang langsung pucat mukanya.

(Part 7)
"Ssss... Siv... gimana nih? Dia dateng lagi!" bisik Zahra ketakutan. "Ggg... gue juga gak tau harus ngapain... ini gawat!" sahut Sivia, berbisik juga. Mereka pun akhirnya hanya menatap Shilla dengan mata ketakutan, berpikir betapa hebatnya Shilla bisa seberani itu. "Paman mau apa sekarang??" hardik Shilla. "Tenang... paman cuma mau lebih... sini!! Atau lehernya kepotong!" ancam paman Shilla yang bernama Jo. "Jangan libatin dia!" seru Shilla. Pamannya hanya tersenyum licik. Shilla mau tak mau akhirnya berjalan ke arah pamannya dengan ogah-ogahan. Ia memandang teman pamannya yang melihatnya tanpa berkedip. "Lakukan!" perintah paman Jo kepada temannya itu. Temannya yang ternyata membawa tali langsung menarik Shilla dan mengikat tangan Shilla di balik tubuh Shilla. Shilla yang kaget berteriak. "Kyaaa!!!!" Rio yang mendengarnya ingin membantu tetapi ia tak bisa. Paman Jo langsung melepaskan Rio dan langsung menutup hidung dan mulut Shilla dengan saputangan biru tuanya. Tiba-tiba Shilla langsung pusing, dunia serasa berputar... dan dia pun jatuh. Mulutnya diikat dengan saputangan biru dan kakinya diikat. Rio tidak bisa apa-apa karena teman paman Jo menodongkan pistol. Shilla pun digendong dan dibawa ke mobil mereka. Mereka pun segera melaju kencang, meninggalkan anak-anak yang membatu di lapangan. Sivia dan Zahra berdiri terpaku, air mata menitik dari mata mereka. Rio berdiri mematung, tangannya dikepal membentuk tinju, otaknya memikirkan betapa bencinya ia pada orang yang telah menculik Shilla.

Di markas paman Jo dan temannya

Shilla telah bangun, menyadari ia diikat di sebuah tiang yang berada di sebuah gudang. Ditengok kanan-kiri, yang ada hanya tembok. Lantainya terbuat dari batu keras dan tajam. Ada juga meja usang dan jendela kecil. Di depannya, ada sebuah handy cam yang dipegang oleh seseorang... siapa itu? Mukanya tak bisa dikenali karena ia memakai topeng hitam dan baju hitam. Di sebelahnya ada orang, memakai baju yang sama dengan orang yang memegang handy cam. Ia memegang botol besar dari kaca, seperti botol bir... perasaan Shilla tidak enak. Orang itu mengangkat botol kaca tersebut, dan mengayunkannya ke arah Shilla. "Kyaa!!!!!" Shilla menjerit kesakitan, punggungnya berdarah terkena pecahan botol kaca. Orang yang telah melukai Shilla tidak menyesal, malah ia kembali melukai Shilla. Ia memukulnya dan menendangnya, sementara Shilla yang tak berdaya hanya membalas dengan teriakan kencang. Tetapi tak ada yang mendengar teriakannya, sebab ia berada jauh di tengah hutan. Shilla menitikkan air mata lalu orang tersebut berkata, "Ira, Duta, lihatlah putri kalian! Ia begitu tersiksa.... hahaha!" katanya, lalu temannya pun menyetop videonya. Shilla sudah tak berdaya.Ia disuruh makan. Ikatannya dilepas selama semenit, lalu ia pun diikat lagi. Lalu ia ditinggal oleh kedua orang jahat tersebut. Shilla menangis sampai ia terlelap. Dalam mimpinya, ia melihat kedua sahabatnya, kakaknya, Keke, dan... Rio, Gabriel, serta Alvin. Ia pun tersenyum dalam tidurnya.

Esoknya di kampus

Sivia dan Zahra kaget karena ia dipanggil oleh ayah Shilla. Mereka diberi sebuah CD, yang ditempatnya tertulis Shilla. Sivia dan Zahra pun segera menontonnya bersama Rio serta Alvin dan Gabriel karena dipaksa. Di CD tersebut diperlihatkan Shilla yang sedang menderita, mulai dari ia dipukul dengan botol kaca. Berkali-kali terdengar suara jeritan kesakitan Shilla. Sivia dan Zahra menangis. Rio mengepalkan tangannya. Tapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Di tempat Shilla berada

Shilla dibangunkan dengan kasar. Ia ditendang dan diinjak sampai ia bangun. Shilla merasa pusing, ia belum sarapan. Tetapi kedua orang itu tak mempedulikannya. Shilla melihat handy cam lagi, kemungkinan besar telah merekamnya. Shilla ingin kabur, tapi tak berdaya. Ia tak ingin disiksa lagi. Badan Shilla lemah, tetapi ia langsung disiksa tanpa dipedulikan. Ia kembali berteriak kencang, menangis, dan meronta-ronta. Setelah ia di pukuli dengan botol kaca, ditinju, dan ditendang, ia dipegang rambutnya, dilepaskan ikatannya, dan diseret sepanjang ruangan. Badannya sakit karena tergores lantai batu yang tajam, sehingga ia berteriak sekencang yang ia bisa, dan menitikkan air mata. Terakhir, ia dijambak dengan kencang, membuat sedikitnya 15 lembar rambutnya terlepas. Shilla menangis dan berteriak. "Aaahhhh!!!!!!" teriaknya sekuat tenaga. ia pun dibanting dan diikat kencang, sampai-sampai bergerak sedikit saja Shilla tak bisa. Lalu videonya dimatikan dan Shilla dibuka ikatannya untuk makan. Shilla yang lemas bersyukur mengenainya. Shilla melihat badannya yang lecet, biru, dan berdarah. Ia menangis karena sakit, sampai ia terlelap. Kedua orang yang menyaksikannya tertawa.

Keesokan harinya, ayah Shilla kembali membawa CD bertuliskan Shilla di tempatnya. Sivia, Zahra, Rio, Gabriel, dan Alvin menontonnya kembali. Sivia dan Zahra kembali menangis menontonnya, tetapi kali ini lebih kencang, melihat Shilla begitu tersiksa ketika diseret sepanjang ruangan. Kali ini mata Rio membelalak melihat ruangan itu. Ia langsung cabut. "Woi! Lo kenapa cabut?! Kan lo yang maksa buat liat ni CD!!" teriak Zahra. "Gue mau nyelamatin Shilla, gue tau dia di mana" sahut Rio. Semua yang menonton CD tadi langsung menatap Rio, mata mereka membelalak. Mereka semua mengikuti Rio ke mobilnya. Rio cuek saja dan langsung menancap gas mobilnya, membawa mereka semua ke tempat Shilla berada.

Akhirnya mereka sampai di sebuah hutan. Rio merintis hutan sampai melihat sebuah rumah kecil dari kayu, yang mirip gudang. Rio pun turun. "Kita sampai" bisiknya. Tanpa suara yang lain turun. Rio mengendap-endap menuju rumah tersebut, lalu membuka pintunya. "Siapa kau?!" teriak paman Jo. Rio langsung menerjangnya dan memukulnya, diikuti Gabriel dan Rio yang memukuli teman paman Jo. Shilla dihampiri oleh Sivia dan Zahra, lalu ikatannya dilepas. Di pertempuran antar Gabriel-Alvin dan temannya paman Jo, temannya paman Jo kalah. Tentu saja, karena 2 lawan 1. Sedang paman Jo sendiri akhirnya berhasil melepaskan diri dan mengambil pisaunya, siap menusuk Rio. Shilla yang melihatnya langsung berlari melindungi Rio. Akhirnya, Shilla tertusuk pisau, tepat di perutnya.

(Part 8)
Darah keluar dari perut Shilla, tembus sampai bajunya yang berwarna biru muda. Darah keluar dari mulutnya, menandakan bahwa ia muntah darah. Shilla merasa melayang, kepalanya pusing, dan dunia serasa berputar. Oh, jangan lagi... batin Shilla. Dunia pun menjadi gelap. Shilla ambruk. Untung di belakangnya ada Rio yang siap menahan tubuhnya. Shilla digendong dan dibawa ke mobilnya oleh Rio. Semua wajah yang menyaksikannya langsung pucat, kecuali paman Jo dan temannya, tentu saja. Semua naik mobil Rio, lalu Rio langsung ngebut menuju rumah sakit terdekat. "Siv, Zah... lo berdua kan kuliah di medis, si Shilla gak apa-apa kan?" tanya Rio. "Yah... kata dosen, kalau ditusuk perutnya, orang tersebut tidak akan muntah darah kecuali..." Sivia berhenti berbicara, memandang ke arah Zahra, matanya terlihat menahan tangis, wajahnya pucat. Wajah Zahra juga ikut pucat. "Kecuali apa?" tanya Gabriel tidak sabaran. "Kkk... kecuali kena livernya" jawab Zahra sambil berbisik. Mata para cowok membelalak, sedang Sivia menangis tersedu-sedu, tak dapat membendung air matanya lagi. Zahra memeluk tubuh Shilla, khawatir. Rio langsung membawa mobil lebih cepat, sampai semua penumpang mual semua. Rio tak mempedulikannya dan menuju rumah sakit dengan cekatan. Sesampainya di sana, Shilla langsung dibawa ke UGD. Para dokter kaget dan langsung membawa Shilla ke ICU. Selesai diperiksa dokter pun berkata, "Shilla tidak apa-apa, hanya livernya yang terluka. Ia boleh beraktivitas seperti biasa setelah mendapat istirahat yang cukup, tetapi ia tidak boleh mendapat hantaman kuat di bagian perut" jelas dokter. Sivia, Zahra, Alvin, Gabriel dan Rio langsung lega. Mereka diperbolehkan masuk, lalu melihat Shilla yang sedang pingsan. Mereka semua menemani Shilla selama beberapa menit dan langsung cabut pulang. Tak lupa mereka memberitahukan ayah Shilla.

Keesokan hari di kampus, seperti biasa anak-anak ribut membicarakan Shilla. Mereka khawatir dengan keadaan Shilla, apalagi mereka tidak mengetahui kabar Shilla sekarang. Tiba-tiba sekelompok polisi datang. "Apakah anda melihat Mario Stevano Aditya Haling, Alvin Jonathan Sindunata, Gabriel Stevent Damanik, Sivia Azizah, dan Zahra Damarvia?" tanya polisi tersebut kepada seorang anak yang bernama Riko, mebaca data yang ada di secarik kertas. "Oh, mereka ada di kantin, sedang membicarakan sesuatu. Memangnya ada apa ya?" jawab Riko. "Oh, tidak ada apa-apa. Terima kasih" sahut polisi tersebut. Kelompok polisi tersebut langsung menuju Sivia dan teman-temannya di kantin. Mereka semua kaget saat dihampiri polisi. "Ada apa ya?" tanya Zahra. "Kami ingin menanyakan beberapa hal tentang penculikan Ashila Zahrantiara" jawab sang polisi tersebut. "Oh.. menanyakan hal apa?" tanya Rio. "Di mana Ashila Zahrantiara sekarang?" tanya polisi. "Di rumah sakit, livernya bermasalah" jawab Sivia. "Dari mana kalian tahu?" tanya polisi lagi. "Karena kami yang membawanya ke sana" jawab Gabriel. "Bagaimana kalian bisa membawanya ke sana?" tanya polisi tersebut. Alvin yang jengkel langsung menunjukkan kedua CD yang ada di tas Sivia. "Ini akan menjelaskan semuanya" ujar Alvin, nada suaranya jengkel. Para polisi langsung mengambilnya dan menontonnya bersama Alvin, Gabriel, Rio, Sivia dan Zahra. Mata para polisi membelalak saat melihat kedua video tersebut. Akhirnya setelah beberapa pertanyaan lagi mereka pun dilepaskan, polisi pun sekarang mengemban tugas untuk mencari paman Jo dan temannya.

Di rumah sakit

Shilla terbaring lemah, tidak mau makan. Ketika kedua sahabatnya beserta Rio, Alvin dan Gabriel datang, ia berusaha untuk semangat. "Hai! Makasih ya udah bawa gue ke sini!" ujarnya, berusaha ceria tetapi tetap saja yang terdengar suara lemah. "Iya sama-sama... udah baikan? Kok belum makan sih?" tanya Sivia perhatian. "Pahit semua yang gue makan" jawab Shilla kalem. "Tapi lo harus makan dong... ntar malah tambah sakit!!" sahut Zahra. "Iya, ntar deh..." ujar Shilla pada akhirnya. Sivia dan Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Shill, lo kayaknya harus liat ini deh" ucap Gabriel, memperlihatkan dua buah CD bertuliskan Shilla di tempatnya. Mata Shilla membelalak, lalu mengangguk. Gabriel segera memasangnya. Saat menontonnya Shilla kaget. "Jadi... video itu dikirimin ke kalian?" tanya Shilla yang tak merasa asing. Rio menggeleng. "CD-nya dikasih ke bokap lo, trus di kasih ke kita" jelas Rio. Shilla hanya mengangguk-angguk. Akhirnya Rio pun pamit. Yang lainnya nebeng sama Rio, kecuali Gabriel. Rio membiarkannya. Sivia dan Zahra tidak merasa asing dengan situasi ini, dan Alvin hanya senyum-senyum sendiri. Ketika mereka semua sudah pergi, Shilla berbicara. "Yel, kamu ntar pulang naik apa?" tanya Shilla. "Kan bisa naik taksi, Shilla..." jawab Gabriel. Shilla diam saja. "Eh, kamu belum makan? Aku suapin ya..." sambung Gabriel, mangangkat piring Shilla. Shilla membiarkannya. Ketika disuapi, makanan yang ia makan terasa manis di lidah Shilla. Setelah makanan Shilla habis dimakan barulah Gabriel pulang. Ia hanya tinggal untuk memastikan Shilla sudah makan.

Keesokan paginya

"Yel kemarin lo ngapain?" tanya Alvin. "Nyuapin Shilla" jawab Gabriel ringan. "Ciee... ceweknya lagi sakit masih aja ngambil kesempatan..." ledek Alvin. "Biarin, yang penting dia seneng dan sehat" sahut Gabriel cuek. "Trus lo pulang naik apa?" tanya Rio. "Naik taksi. Mang napa?" tanya Gabriel. "Nanya doang" jawab Rio, hatinya dipenuhi dengan rasa cemburu. "Eh, panjang umur! Cewek lo dateng tuh Yel!" seru Alvin. Gabriel memandang ke arah yang ditunjuk Alvin. Ia melihat Shilla datang, memakai dress putih santai dan celana jins selutut. Ia terlihat sehat kembali, pipinya sudah merona lagi. Shilla tersenyum senang, walaupun ia dibanjiri pertanyaan-pertanyaan dari para murid di kampus. Akhirnya sesi pertanyaan selesai dan Shilla serta kedua sahabatnya berjalan menuju kelas mereka. Ketika berpapasan dengan Gabriel, Alvin dan Rio, Shilla tersenyum manis kepada Gabriel. "Makasih ya buat yang kemarin" bisiknya di telinga Gabriel. "Ciee!!" sorak yang lain kecuali Rio dan Sivia yang mengucapkannya dengan setengah hati. Mereka berdua terbakar rasa cemburu. Untunglah, mereka langsung pergi ke kelas masing-masing, di mana baru saja mereka duduk dosen sudah datang.

Jam kosong

"Eh, pergi ke lapangan bola yuk!" ajak Shilla. "Jangan ah... ntar kalau liver lo kena bola gimana?" tanya Sivia, menolak ajakan Shilla. "Via... jarang banget ada bola kena perut! Ayolah..." ujar Shilla meyakinkan. Akhirnya Sivia mau. "Oke deh..." ujar Sivia pendek. Shilla senang, lalu memimpin mereka menuju lapangan bola. Sesampainya di sana, Shilla langsung disambut oleh Gabriel. Ia dipegang tangannya, di tuntun menyebrang lapangan. Ini sebabnya gue gak mau ke sini! pikir Sivia. Tetapi mukanya tetap saja acuh-tak-acuh. Rio yang saat itu bermain bola juga cemburu. Ia menendang bola kesana-kemari, mukanya BT. Alvin diam saja. Ia tahu apa yang dirasakan oleh Rio.

(Part 9)
Esok harinya, tidak ada yang berbeda. Hanya Rio dan Gabriel yang selalu main bola saat jam kosong dan Shilla beserta kedua sahabatnya yang mengunjunginya tiap hari. Dan Rio serta Sivia yang cemburu. Hari itu Gabriel ulang tahun, dan Shilla memberikan sekotak cokelat untuknya. Saat jam kosong, seperti biasa Shilla, Sivia dan Zahra menuju lapangan bola. Di sana, Gabriel sedang istirahat, Rio sedang main bola, dan Alvin menonton saja. Shilla menghampiri Gabriel. Sivia menonton dari kejauhan. Zahra bersama Alvin, berbincang-bincang. "Hai Yel" Shilla menyapa. "Hai Shill" sahut Gabriel. "Happy birthday ya" ucap Shilla, mengeluarkan kotak cokelatnya. "Makasih" sahut Gabriel, meraih cokelat dari Shilla. Ia membukanya, Shilla mengambil satu cokelat dan memasukkan cokelat tersebut ke mulut Gabriel. "Aaaa" ujarnya saat melakukan hal tersebut. Melihat mereka begitu mesra, Rio menendang bola dengan nafsu. Sivia membendung air matanya, tak sanggup lagi menahan sakit. Saat melihat Shilla dipeluk oleh Gabriel, Sivia tak tahan lagi. Ia berlari ke toilet cewek, berusaha mnyembunyikan air matanya yang tumpah. Karena yang lain pada asyik sendiri, mereka tidak melihatnya, kecuali Rio. Rio segera berlari menuju Sivia, tak peduli berapa pasang mata yang melihatnya. Rio tak berhasil mengejar Sivia, karena Sivia sudah masuk toilet cewek sebelum Rio sempat meraihnya. Rio mendengar isakan Sivia yang lumayan keras, dan karenanya ia merasa iba. Ia menunggu sampai Sivia selesai menangis tanpa suara. Ia hanya berdiri, bersandar ke dinding dan mendengarkan isakan Sivia. Setelah lima menit barulah Sivia tenang. Ia kaget saat melihat Rio yang menunggu di depan toilet cewek. "Kenapa...?" tanya Sivia, tak dapat menemukan kata-kata untuk melengkapi pertanyaannya. "Kita senasib, lo cemburu gara-gara Iyel sama Shilla kan? Gue juga cemburu" jawab Rio seolah dapat membaca pikiran Sivia. Sivia terkejut. Rio begitu perhatian padanya, tetapi entah kenapa ia tak bisa menghapus perasaannya kepada Gabriel. Sivia memalingkan muka, malu kepada Rio. Mereka pun menuju lapangan bola bersama. Sesampainya di lapangan bola, Zahra, Alvin, Shilla dan Gabriel menyoraki mereka. "Ciee... mesra nih?" tanya Shilla. "Iya" jawab Rio singkat, memeluk Sivia dan menyandarkan kepala Sivia di dadanya. Sivia terkejut lagi. Rio berbisik kepadanya, "Woi, jangan GR dulu, gue ngelakuin ini cuman jengkel sama Shilla doang, jadi jangan pikir gue suka sama lo!" bisik Rio meyakinkan. Sivia mengangguk, walaupun ia tidak terlalu yakin.

Seminggu pun berlalu. Saat jam kosong, Shilla kembali bermesraan dengan Gabriel. Saat itulah emosi Rio memuncak. Ia kembali menendang bola dengan nafsu. "Eh Shill, aku dipanggil dosen, bentar ya" ujar Gabriel. Shilla mengangguk. Rio agak lega, tetapi ia tetap saja menendang dengan nafsu. Sivia bersandar ke dinding di belakang Rio, tatapannya kosong. Karena merasa iba Shilla menghampirinya. Tetapi karena Rio sedang menendang-nendang denga nafsu, pikirannya kosong, tak sadar sekelilingnya, bola yang ditendangnya mengenai perut Shilla. Shilla ambruk, bajunya yang putih menjadi merah di bagian perut, menandakan ia berdarah. "Shilla!!" teriak Zahra, membuyarkan lamunan Sivia dan Rio, kembali sadar. Rio hendak menolong Shilla tetapi dicegah oleh Shilla. Ia sudah mulai pusing, tetapi ia memaksa untuk berjalan ke UKS. Gabriel segera berlari menuju Shilla, dan tepat pada saat itu Shilla ambruk lagi. Gabriel menggendongnya dan membawanya ke mobilnya. Sebelumnya ia menatap marah ke Rio. "Seharusnya lo jagain dia!" teriaknya. Rio berputus asa dan menuju mobilnya bersama Sivia, Zahra, dan Alvin. "Rio!!! Lo kejam banget sih!!" teriak Zahra marah-marah. "Gue gak sengaja... gue lagi gak nyadar!!" sahut Rio, marah-marah juga. "Udah... jangan marah-marah!" lerai Alvin. Sedang Sivia bersandar di pojokan, tengelam pada pikirannya sendiri.

Sesampainya di rumah sakit, Shilla langsung dibawa ke dokter yang menanganinya dulu di UGD. Dokter kaget mendengar cerita Zahra. Ia pun berkata, "Shilla harus operasi cangkok liver sejam lagi. Sebaiknya kalian segera menemukan orang yang bisa menyumbangkan livernya" dan dokter pun berlalu. Mereka semua mematung. Ketika Shilla dibawa ke kamar rawat inap mereka langsung menuju ke lab untuk mengetes siapa yang livernya cocok dengan Shilla. Mereka menunggu hasil tes di kamar Shilla, tempat Shilla sudah siuman. "Makasih ya udah nolong gue lagi" ujarnya. Tiba-tiba pintu kamar Shilla berada dibuka dengan cara dibanting. Mereka semua kaget dan saat mereka tau siapa yang membanting pintu, muka mereka pucat. Di mata mereka, terlihat sekelompok polisi. "Anda Ashila Zahrantiara?" tanya salah seorang polisi. Shilla mengangguk. "Ada apa lagi?" tanya Alvin jengkel. "Kami ingin membicarakan penculikan Ashila Zahrantiara lagi, karena kami menemukan teori baru" jawab polisi. "Teori apa?" tanya Zahra. "Bahwa dari riset dan dari data, kami menduga bahwa penculikan ini ada hubungannya denga Mario Stevano Aditya Haling" jawab polisi. Semua kaget. "R... Rio?" tanya Shilla. "Ya" jawab polisi santai. "Apa yang membuat anda berpikir begitu??" tanya Rio kaget. "Pertama, saat penculikan itu dimulai, andalah yang menjadi sandera, padahal anda begitu jauh dari mereka. Kedua, dari mana anda tahu bahwa Shilla berada di rumah di tengah hutan? Ketiga, andalah yang menendang bola ke arah perut Ashila, padahal anda sudah tahu bahwa Ashila tidak boleh terkena hantaman kuat di bagian perut" jawab polisi tersebut. "Tapi, kalau benar dia yang terlibat, kenapa dia memukul komplotannya sendiri dan membantu Shilla?" tanya Alvin. "Bisa saja itu hanyalah sandiwara" jawab polisi. "Dan bisa saja yang menyiksa Ashila Zahrantiara adalah dia sendiri, beserta sahabatnya, Alvin Jonathan Sindunata atau Gabriel Stevent Damanik" sambungnya. "Tapi aku melihat sendiri, itu bukan mereka!" seru Shilla membantah. "Apakah kau melihat mukanya?" tanya polisi. Shilla menggeleng lemah. "Tapi itu bukan mereka! Kalau itu benar, pasti aku akan mengenali mereka dari suara mereka!" Shilla masih membantah. "Di pondok tersebut ditemukan ini" ujar polisi, mengangkat sesuatu. "Ini adalah alat yang bisa menyamarkan suara, seperti ini" sambung polisi, memakai alat tersebut dan berbicara. "Benar kan?" tanya polisi dengan suara lain. Suara yang didengar Shilla saat ia disiksa. Mata Shilla membelalak. "Tapi itu bukan mereka" protesnya lemah. "Apa buktinya?" tanya polisi. "Anda juga tidak tahu siapa sesungguhnya yang ada di balik topeng itu, memakai benda itu, dan yang menculikku. Walaupun anda bilang mereka, sesungguhnya itu hanya dugaan. Jadi, itu belum tentu mereka dan belum tentu paman Jo dan temannya" jelasnya. "Anda benar. Oleh karena itu, kami akan memasang pengawasan ketat pada mereka" sahut polisi. Shilla kembali lega, lalu pintu dibuka. Dokter masuk. "Oke, berdasarkan hasil data, Gabriel dan Rio-lah yang dapat menyumbangkan livernya" jelas dokter. "Biar gue aja" ujar Gabriel. "Gak, gue aja, lagipula gue kan harus tanggung jawab udah buat dia kayak gini" kata Rio. "Iya, Rio aja" sahut Zahra. Akhirnya Rio yang menyumbangkan livernya.

(Part 10)
Rio pun pergi ke ruang operasi bersama Shilla. Sesaat sebelum operasi dimulai, Shilla berkata, "Makasih ya Yo" ujarnya. Rio hanya mengangguk. Mereka pun di operasi. Sementara itu, di ruang tunggu... Alvin, Gabriel, Zahra dan Sivia yang di sana berbincang. "Eh, kenapa si polisi itu bisa-bisanya sih nuduh lo semua?" tanya Zahra. "Gak tau... tapi kayaknya gue femilier deh sama suaranya" jawab Alvin. "Iya... perasaan pernah denger!" sahut Gabriel. "Trus gak biasanya polisi nuduh terang-terangan gitu... jangan-jangan disuap lagi!" ujar Alvin menduga-duga. "Atau... dia bener, lagi! Lo semua pelakunya!" sahut Zahra. Alvin dan Gabriel langsung menatapnya tajam. Sedang Sivia diam saja di pojokan. Ada yang merasa janggal, biasanya kan si Sivia ngelerai, kok diem ya? pikir Gabriel, lalu memberitahukannya pada Alvin. "Woi Siv, kenapa lu diem sih aja dari tadi?" tanya Alvin setelah mendengar pikiran Gabriel. Sivia diam saja. "Woi, ditanya tuh jawab!" seru Gabriel tidak sabaran. "Lo semua asik aja bicara ndiri! Heh, sobat lo tuh lagi di operasi! Bukannya doa buat keselamatan mereka, lo semua malah asik ngegosip! Terutama lo Yel! Shilla tuh cewek lo! Gimana sih!" hardik Sivia marah, lalu kembali berdoa. Yang lain mengikutinya, menyesal dalam hati.

Akhirnya operasi pun selesai. "Gimana dok?" tanya Sivia khawatir. "Operasinya berhasil, mereka butuh istirahat. Ingat, Shilla tidak boleh terkena hantaman kuat lagi. Nyawanya bisa terancam!" jawab dokter, lalu ia pergi. "Syukurlah..." ujar Alvin, menepuk pelan pundak Sivia. "Ah!" seru Sivia marah, melepaskan tangan Alvin dari pundaknya. Lalu ia langsung cabut. "Sivia kenapa sih? Biasanya kan dia lemah lembut, kok jadi sewot gitu sih?" tanya Alvin. "Gue tau kenapa" jawab Zahra, melirik ke arah Gabriel dan langsung mengejar Sivia. "Kenapa ya?" tanya Gabriel. "Au" jawab Alvin, mengangkat bahunya. Mereka pun menuju kamar tempat Shilla dan Rio berada. Ternyata Sivia dan Zahra ada di sana. Zahra sedang menepuk pelan punggung Sivia dan mengusapnya, seperti sedang menghiburnya. Melihat Alvin dan Gabriel masuk, Sivia buang muka. "Siv, lo kenapa sih? Marah ama gue?" tanya Alvin. Sivia menggeleng. "Ama gue?" tanya Gabriel. Sivia menggeleng lagi. Lalu ia segera menuju samping tempat tidur Rio dan memandangnya. "Dia lagi suka sama Rio, ya? Khawatir sama Rio deh kayaknya, makanya sewot kayak tadi! Taulah, cewek!" bisik Alvin. Gabriel mengangguk. "Kayaknya sih gitu!" bisiknya. Sivia yang mendengarnya diam saja. Berhasil juga rencana gue biar mereka gak curiga, pikirnya. Dan ia pun memandangi Rio, matanya menatap kosong. Yang ada dipikirannya cuma Gabriel. Gue gak bisa lupain Iyel dan suka sama lo Yo, seberapa besar keinginan gue... pikirnya, tanpa sadar menggenggam tangan Rio. Alvin senyam-senyum sendiri, Gabriel memandanginya, sekelebat rasa dag-dig-dug menyerangnya, menandakan dia tegang. Sedang Zahra menatapnya dengan tatapan bingung. Akhirnya Rio dan Shilla siuman. Rio menyadari bahwa tangannya dipegang oleh Sivia. "Nga..." baru saja Rio ingin menanyakan 'Ngapain lo pegang-pegang tangan gue', ia melihat tatapan Sivia yang kosong. Mungkin gara-gara Iyel, pikir Rio. Ia pun balas menggenggam tangan Sivia. Jantung Gabriel berdebar semakin keras, tegang akan apa yang akan terjadi selanjutnya antara Rio dan Sivia. "Woi Yel, cewek lo udah siuman malah ngeliatin cewek lain" ujar Alvin. Gabriel akhirnya pindah tempat duduk ke sebelah Shilla. "Hai Shill, gimana? Udah baikan?" tanya Gabriel. "Iya..." jawab Shilla singkat. Mereka pun berbincang-bincang. Akhirnya Sivia sadar dari lamunannya. Ia ingin melepaskan genggaman tangannya, tapi Rio menggenggamnya terlalu kencang, sehingga ia tak dapat melepaskan genggamannya. Rio menariknya, lalu membisikkan sesuatu. "Lo yang genggam tangan gue duluan, gue udah PW. Lagian siapa suruh sembarangan genggem-genggem tangan orang? Makanya kalo ngelamun jangan terlalu! Eh tapi jangan GR ya, gue suka sama Shilla bukan sama lo" bisik Rio. Sivia tertawa lembut. Semua memandangnya. Jangan-jangan Sivia beneran suka sama Rio lagi! pikir Gabriel, memandang mereka berdua. Shilla memandangnya dengan tatapan jengkel. Gabriel menyadarinya. "Sori Shill, tadi kan Sivia sewot banget, trus tiba-tiba ketawa lembut kayak gitu... kan aneh!" ujarnya. "Oh...." sahut Shilla singkat, tatapan jengkel hilang. Sivia berbincang-bincang dengan Rio, kelihatannya asyik sekali. Lalu saat Sivia terlalu bersemangat tertawa, ia yang sedang berdiri saat itu kehilangan keseimbangan dan jatuh, kepalanya hampir terantuk meja besar. Rio kaget, meraih tangan Sivia dan menariknya agar Sivia berdiri kembali. Sivia terkejut bercampur takut. Kalau tadi kepala gue kena tu meja... Sivia menghentikan pikirannya karena takut, air matanya hampir tumpah. Rio yang melihatnya menarik Sivia dan memeluknya, membelai lembut rambutnya. Sivia mulai menangis, air matanya sudah tak terbendung lagi. "Ssst... menangislah sepuasnya sampai lo tenang..." hibur Rio. Sivia menuruti apa kata Rio tadi. Ia menangis di pelukan Rio. Tak lama, akhirnya Sivia tenang juga. Lalu pipinya berubah menjadi merah karena malu. "Sori Yo" ujarnya, tak menatap Rio karena malu. Rio menatap bajunya yang basah. "Gak pa-pa" sahut Rio. "Mmmm... gue ma Zahra keluar dulu ya, lo ganti baju aja" ucap Sivia, lalu menarik tirai agar bisa menutupi Rio dari pandangan Shilla. "Yuk Zah" ajak Sivia. Zahra bangkit dan mengikuti Sivia.

Di luar

"Siv, lo suka sama Rio ya?" tanya Zahra. "Maunya sih gitu" jawab Sivia. "Maunya?" tanya Zahra bingung. "Gue maunya suka sama Rio, cuman gue gak bisa. Gue masih suka sama Gabriel" jelas Sivia. "Ooh..." sahut Zahra. "Tapi kok lo mesra amet ya sama si Rio tadi?" tanya Zahra lagi. "Ya... tadi pas gue pindah duduk itu biar si Alvin ama Iyel gak tau kalo gue cemburu, trus pas gue megang tangannya Rio, gue tuh lagi ngelamun, nah, gue kan gak nyadar! Pas gue nyadar, gue pengen lepasin cuman si Rio nya yang gak mau, katanya PW. Trus gue akhirnya bincang-bincang, abis anaknya seru! Nah, pas gue jatoh, dia yang narik gue, trus dia sendiri yang meluk gue, gue nangis aja, PW gue. Tapi pas udah selese sesi nangis gue, gue malu banget... kan dia bajunya basah gara-gara gue..." jawab Sivia panjang lebar. "Woi, masuk gih! Rio udah selese ganti baju!" seru Alvin. "Yuk Siv!" ajak Zahra. Sivia mengangguk, lalu masuk kembali.

Di dalam

"Yo... maafin gue ya... baju lo jadi basah" ucap Sivia, mukanya merah. "Gak apa-apa... udah mendingan?" tanya Rio. "Udah" jawab Sivia singkat. Rio tersenyum. "Oya, Sivia... tadi kenapa nangis?" tanya Alvin. Sivia menunjuk meja besar. "Gue takut, pas jatoh tadi kepala gue hampir kena itu... takut banget pas gue mikirin apa yang bakal terjadi kalau kepala gue bener-bener kena" jawab Sivia kalem. Rio langsung mengalihkan pembicaraan. "Eh, pas gue ama Shilla di operasi lo semua pada ngapain?" tanya Rio. "Alvin, Zahra ama Gabriel ngegosip, pas kejadian polisi itu! Gue sih doa" jawab Sivia. "Iya, pas ditanyain kenapa diem aja, langsung sewot, kitanya dimarahin... katanya 'Lo semua asik aja bicara ndiri! Heh, sobat lo tuh lagi di operasi! Bukannya doa buat keselamatan mereka, lo semua malah asik
ngegosip! Terutama lo Yel! Shilla tuh cewek lo! Gimana sih!' Ya kita semua langsung takut! Doa deh semua!" sahut Zahra. Rio tertawa. "Gak biasanya lo kayak gitu Siv... mang lo semua ngapain pada bicarain kejadian polisi itu?" tanya Rio. "Gak, gue sih penasaran aja, kenapa tuh polisi enak-enaknya aja nuduh lo pada? Kan gak ada bukti jelas" jawab Zahra. "Iya... tapi gue femilier deh ama suaranya" sahut Alvin. "Iya, perasaan pernah denger... di mana ya?" tanya Gabriel. "Tapi bisa aja tu polisi bener" ujar Shilla. Semua memandang Shilla.

(Part 11)
"Maksud lo apa Shill?" tanya Alvin. "Ya... kan gue bener. Lo semua gak punya alibi, gue gak tahu orang yang dibalik topeng itu siapa, kenapa Rio bisa tau pondok itu, kenapa Rio bisa-bisanya nendang gue pake bola, dan Rio punya motif. Dia benci sama gue" jawab Shilla. "Gue setuju sama Shilla. Lagian, Alvin sama Gabriel kan sobat terbaiknya Rio. Mereka berdua bisa aja terlibat!" sahut Zahra. "Jadi lo nuduh gue?" tanya Rio. "Iya, tapi gak tentu juga sih. Bisa aja paman Jo sama temennya yang jadi pelaku. Tapi lo juga bisa dicurigain" jawab Shilla. "Udah udah!! Yang penting kan polisi udah ngambil tindakan, ngawasin Rio. Dan apa kata Shilla bener, belum tentu Rio pelakunya, soalnya gak ada bukti jelas. Ya serahin aja ke Tuhan buat kebenarannya" lerai Sivia. "Sivia bener. Gak ada gunanya berantem kayak gini. Lagian, kalau ntar Rio kebukti bener lo sendiri kan yang ceming Shill?" sahut Gabriel. Hening selama beberapa menit. Sivia lalu menghampiri Rio dan duduk disebelahnya. Rio menggenggam tangan Sivia. "Tangan lo anget, enak... tangan gue dingin" ucap Rio. Sivia tersenyum. "Kalau lo senyum kayak gitu manis deh" sambung Rio. Pipi Sivia menjadi merah. "Mulai deh gombal-gombalin gue..." ujarnya, membuang muka. Rio tertawa, lalu memainkan tangan Sivia. Mereka pun berbincang-bincang dengan seru. Sementara Zahra dan Alvin juga sedang berbincang-bincang, lebih tepatnya berdebat. "Iya!! Lo kan gak punya alibi!!" seru Zahra. "Trus kalo gue pelakunya, ngapain gue repot-repot nolong Shilla segala? Kalo gue sih, mending langsung ninggalin Shilla aja! Ngerepotin banget! Mati aja sekalian!" bantah Alvin. "Dasar cowok gak punya hati! Beneran lagi, lo yang nyulik Shilla! Lo kan gak punya hati!" ujar Zahra jengkel. "Gue tuh bukannya gak punya hati, emang bener yang gue bilang!! Lo tuh mikir dong!! Si penculik tuh kejam banget sama Shilla, nyiksa Shilla ampe kayak gitu! Shilla dibiarin hidup cuman biar si Shilla ngedapetin sakit lagi! Kalau gue sekejam itu ngapain gue nolong Shilla abis nyiksa dia?" ucap Alvin marah-marah. Shilla merasa terganggu. "Udah udah!! Heh, ini tuh rumah sakit, gue yang sakit pusing tau denger lo berdua debat! Lagian udahlah, kan si Rio, Alvin sama Iyel lagi dalam pengawasan polisi. Kalo mereka terbukti bersalah, ya udah!! Gak usah debat lagi!" seru Shilla jengkel. "Ya sori... lagian si Alvin ngungkit-ngungkit!" sahut Zahra meminta maaf. "Apa? Lo kali yang ngungkit-ngungkit!!" seru Alvin panas. "Eh, lo yang marah-marah duluan!!" ucap Zahra. "Tapi kan lo...." sahut Alvin, yang langsung dipotong oleh Rio. "Woi, gue pusing nih! Udah gak usah debat!! Biar adil, satu ekor pindah tempat!" seru Rio marah. "Sana, pindah tempat!" suruh Zahra. "Lo aja! Gue udah PW!" tolak Alvin. "Lo!! Lo kan yang mulai debat!!" sahut Zahra. "Gak mau! Lo aja, sana hus hus!" usir Alvin. "UDAH STOP!!!!" teriak Gabriel. Zahra dan Alvin langsung diam. "Lo berdua kalo mau debat di luar sana!!" sambung Gabriel. Zahra dan Alvin tersentak kaget. "Keluar!! Gue pusing dengerin lo berdua debat!!" teriak Sivia, mendukung Gabriel. "Kok lo berdua jadi sewot gitu sih?" tanya Alvin. Soalnya gue lagi cemburu Vin, jadi gue udah panas! jawab Gabriel dalam hati. Tapi gengsinya terlalu besar. "Udahlah! Keluar aja lo berdua!!" seru Gabriel. "Iya iya kita keluar!!" sahut Zahra jengkel. Ia pun mendorong Alvin keluar, lalu menutup pintu setelah keluar. Tiga menit kemudian, pintu terbuka. "Ada apa lagi...." pertanyaan Gabriel terpotong ketika melihat seorang anak yang lebih muda darinya, kira-kira kelas 2 SMP. "Siapa lo?" tanya Rio, menyuarakan pikiran Gabriel. Shilla menengok. "Keke?" tanyanya, tak percaya akan apa yang ia lihat. "Kak Shilla!" seru Keke, berlari ke arah Shilla. Shilla memeluknya. "Keke... kakak kangen sama kamu... kamu ke mana aja?" tanya Shilla. "Keke juga kangen sama kakak... ntar aja di rumah Keke ceritain" sahut Keke. Gabriel dan Rio bingung. "Shill, ini siapa?" tanya Gabriel. "Keke, adek gue yang di jual sama bokap gue yang sangat kejam sekali" jawab Shilla kalem. "Kakak! Jangan gitu, biar gimana pun dia itu tetep ayah kita!" sahut Keke. "Keke bener, Shill" komentar Sivia. "Iya.... tapi dia kejam banget!" ujar Shilla jengkel. "Udah gak usah dibahas lagi!" seru Rio. Shilla pun diam, lalu memandang Gabriel. Gabriel menggenggam tangannya. "Sabar ya Shill" ujarnya singkat. Shilla hanya mengangguk. Sivia yang melihatnya langsung membuang muka, sorot matanya melambangkan kesedihan. Rio prihatin, lalu mengusap punggung tangan Sivia. "Sabar ya Siv" ujar Rio pelan. Sivia menanggapinya dengan menggenggam tangan Rio semakin erat.

Esok harinya di kampus

Shilla dan Rio tidak masuk, katanya masih lemas. Sementara itu di kantin, Sivia berbincang dengan Zahra. Mereka terlihat seru sekali, membuat Gabriel dan Alvin penasaran. Mereka pun menghampiri Sivia dan Zahra. "Woi, ada apa sih? Keliatannya seru banget!" ujar Alvin. Sivia dan Zahra langsung diam. "Bicarain gue ya?" tanya Gabriel GR. "GR lu Yel!" sahut Zahra, menjitak kepala Gabriel. Sedang Sivia hanya menggeleng. Sivia lalu pergi begitu saja. "Si Sivia kenapa sih?" tanya Alvin. Zahra hanya mengangkat bahu dan pergi. Gabriel dan Alvin berpandangan. "Mungkin gara-gara Rio" ujar Alvin. Gabriel mengangkat bahu. "Yah, siapa tahu?" tanyanya, sorot matanya melambangkan kesedihan. "Sabar ya" ucap Alvin, berusaha menghibur Gabriel. "Thanks Vin" sahut Gabriel. Mereka pun pergi ke kelas.

Di lapangan bola, pulang kampus

Zahra dan Sivia kembali berbincang-bincang sendiri. Gabriel dan Alvin memandangnya dengan wajah penasaran. Akhirnya Zahra dan Sivia menghentikan pembicaraannya dan menghampiri Gabriel dan Alvin. "Hai" sapa Zahra. Alvin hanya mengangguk. Gabriel diam saja. "Lo berdua tadi bicarain apa?" tanya Alvin. "Apa kek" jawab Zahra sewot. "Ngocol banget sih lo!" komentar Alvin marah. "Emang!" sahut Zahra sewot lagi. Gabriel dan Sivia hanya menonton mereka yang sedang debat. Setelah beberapa menit, Sivia pun mengalihkan pandangan karena pusing. Gabriel masih menonton saja, bosan. Sivia pun tidak tahan lagi mendengar teriakan Zahra dan Alvin, karena itu dia pergi. "Woi Siv! Tunggu!! Jangan tinggalin gue sama makhluk aneh inii!!" teriak Zahra. "Udah!! Pergi aja hus hus!!" usir Alvin. "Ngocol!" sahut Zahra, tetapi dia pergi juga. Ternyata Sivia pergi ke taman belakang kampus, yang sangat indah tetapi jarang didatangi orang. "Siv!" teriak Zahra. Sivia menengok, menemukan Zahra, lalu menengok lagi ke arah yang dia lihat tadi. "Sori, pusing ya?" tanya Zahra setelah menghampiri Sivia. Sivia mengangguk. Zahra pun mendiamkannya, menikmati pemandangan indah. "Pulang yuk" ajak Sivia. "Yuk" sahut Zahra. Mereka pun pulang. Sivia mengendarai mobilnya, Zahra nebeng. "Eh Zah" ujar Sivia. "Apa?" tanya Zahra. "Lo sama Alvin masuk klub debat aja, kan ada tuh di kampus" jawab Sivia. "Haahh??" tanya Zahra bingung. "Lo berdua kan bakat banget kalo debat, gak bisa berhenti kalo belum dihentiin, jadi masuk aja Zah, ajak si Alvin" jelas Sivia. "Ogah!! Males banget gue, masuk satu klub sama diaa!!" tolak Zahra. "Ya udah, kan cuman saran. Dari pada lo debat deket-deket gue, Shilla, Iyel, sama Rio? Pusing kan kita! Mending lo debat aja tuh di sana, kagak ada yang pusing" ucap Sivia. Zahra cemberut. Sivia tertawa melihat Zahra. "Eh, ketemu Shilla yuk! Gue kangen sama dia ama Keke" ajak Zahra. "Yuk" sahut Sivia singkat, membelokkan mobil ke arah rumah sakit.

(Part 12)
Sesampainya di rumah sakit, Sivia dan Zahra langsung berjalan menuju kamar 4123, kamar tempat Shilla berada. Rio sudah dipindahkan ke kamar sebelah, kamar 4122. Pintu terbuka, Sivia dan Zahra pun masuk. "Hai Shill, udah baikan?" tanya Zahra. "Udah, hari ini juga mau pulang. Duduk gih!" jawab Shilla yang sedang berkemas. Sivia dan Zahra pun duduk seperti perintah Shilla. "Gimana kabar sekolah?" tanya Shilla. "Biasa aja. Paling yang beda gue pusing" jawab Sivia. "Pusing? Kenapa?" tanya Shilla lagi. "Ini nih! Dia debat lagi sama Alvin! Gue suruh masuk klub debat gak mau" jawab Shilla. "Haha, bener lo Siv. Masuk klub debat aja kali Zah!" sahut Shilla. "Ogah!" tolak Zahra. "Gimana kabar Rio?" tanya Sivia. "Baik. Dari tadi dia nungguin lo, Gabriel ama Alvin" jawab Shilla. "Gue ke sana deh" ujar Sivia, lalu keluar. "Udah selesai?" tanya Zahra, menunjuk koper Shilla. "Hampir. Nah, selesai!" jawab Shilla. "Nyusul Sivia yuk!" ajak Zahra. Shilla mengangguk, lalu mengikuti Zahra ke kamar Rio.

Di kamar Rio

Sivia duduk di samping tempat tidur Rio seperti kemarin, menggenggam tangan Rio. Ternyata ada Gabriel dan Alvin di sana. "Eh... nenek sihir! Ngapain lo?!" sambut Alvin. "Jenguk Shilla, di sini nyusul Sivia yang ke sini duluan" jawab Zahra sewot. Alvin diam saja, tidak mendengar jawaban Zahra. "Heh! Lo gak dengerin gue?" tanya Zahra marah. "Eh, apa?" tanya Alvin. Kemarahan Zahra memuncak. Ia pergi meninggalkan Alvin begitu saja. "Tumben gak debat!" celetuk Rio. Alvin dan Zahra diam saja. Rio memasang muka BT lalu menghadap Sivia. "Masih lemes Yo?" tanya Shilla. "Enggak, cuma lagi mau tiduran aja" jawab Rio. Shilla menaikkan alis lalu menghampiri Gabriel. "Hai... gimana kabar sekolah?" tanya Shilla. "Biasa aja" jawab Gabriel. Sivia memerhatikan mereka, menggenggam tangan Rio lebih kencang. Rio diam saja, memandangi Sivia. Sivia yang menyadarinya merasa tidak enak. "Kenapa?" tanya Sivia. "Gak, pingin aja ngeliat Sivia yang senyum. Kan udah gue bilang, lo cantik kalo lagi senyum" jawab Rio. Sivia tersenyum setengah hati. "Haha, yang bener dong senyumnya!" komentar Rio. "Males" sahut Sivia, senyumnya menghilang. "Yah, ilang deh" keluh Rio. Sivia senyum lagi. "Gitu dong... kan Sivia jadi cantik!" ucap Rio senang. Sivia tersenyum kecil. "Eh, si Zahra sama Alvin debat di kampus gak?" tanya Rio. "Iya. Gue pusing dengerinnya" jawab Sivia. Tiba-tiba ada yang membuka pintu. "Kak, udah siap buat pulang?" tanya Keke yang membuka pintu. "Udah. Yo, kapan pulangnya?" tanya Shilla. "Ntar. Pulang aja duluan" jawab Rio. "Oh oke. Ada yang mau nebeng?" tanya Shilla. "Gue" jawab Zahra. "Gue juga" sahut Gabriel. Yang lainnya diam saja. "Siv, gak ikut lo?" tanya Shilla. Sivia menggeleng. "Gue mau pulang bareng Rio" ujarnya. Shilla, Zahra dan Gabriel pun pergi mengikuti Keke. "Serius lo gak mau pulang bareng Shilla?" tanya Rio. "Serius. Lagian ngapain? Gue juga bawa mobil ini. Mobil gue mau diapain? Ditinggal?" tanya Sivia. Rio mengangguk, lalu meminum aqua. "Bagi dong!" ujar Alvin. Rio melemparkan satu botol yang masih utuh. Alvin menangkapnya dan meneguknya. Sedang Sivia hanya melamun. "Woi! Jangan bengong, ntar kerasukan setan!" seru Rio, membuyarkan lamunan Sivia. "Iya iya... sori deh" sahut Sivia. Rio tertawa dan memeluk Sivia gemas. Sivia cemberut, Rio baru melihatnya setelah melepas pelukannya. "Senyum dong Siviaa... kamu kan cantik, jangan cemberut gini dong!!" goda Rio. Sivia mencubit gemas pipi Rio. "Auuu... sakit Siv!" ujar Rio. Sivia tak menghiraukannya. "Mau nebeng gue? Gak enak pulang sendiri" tanya Sivia. "Gue sih mau, lo Vin?" tanya Rio. "Oke, daripada gue pulang sendiri" jawabnya. Rio berdiri dan merangkul Sivia. "Yuk" ajaknya. Rio, Sivia, dan Alvin pun menuju mobil Sivia.

Esok hari di kampus

Polisi datang lagi, menghampiri Shilla dan teman-temannya. "Ada apa lagi?!" seru Alvin jengkel. "Borgol mereka!" perintah salah satu polisi. Para polisi langsung memborgol tangan Rio, Alvin dan Gabriel. "Ada apa ini??" tanya Gabriel bingung. "Mario Stevano Aditya Haling, Alvin Jonathan Sindunata, dan Gabriel Stevent Damanik, kalian bertiga ditahan atas tuduhan penculikan Ashila Zahrantiara" jawab polisi. "Apa?!" teriak Rio, Alvin, Gabriel, Zahra, Shilla, dan Sivia bersamaan. "Ya. Kalian akan ditahan, tetapi sebelumnya akan menghadiri sidang terlebih dahulu. Oh ya, kalian belum akan ditahan. Lepas borgol mereka!" perintah polisi lagi. para polisi pun langsung melepaskan borgol. "Sidang akan dimulai seminggu lagi pada jam 12.45. Diharapkan hadir atau kalian akan langsung ditahan" sambung polisi tersebut, lalu ia langsung pergi. Mata mereka yang ditinggalkan langsung membelalak. "Ppp... persidangan?" bisik Zahra. Yang lainnya mengangguk, tak sanggup bicara. Mata Zahra berlinang air mata, tetapi masih dibendung. Ia mencuri pandang ke arah Alvin, lalu berlari ke arah toilet cewek karena air matanya tak dapat dibendung lagi. Sivia dan Shilla langsung mengejarnya. Sementara para cowok hanya bisa berpandang-pandangan.

Di toilet cewek

"Zah, lo kenapa?" tanya Shilla. "Gak kenapa-napa" jawab Zahra. "Gak mungkin gak kenapa-napa. Cerita dong sama kita!" ujar Shilla. Zahra berpikir. "Mmm... gue... gue shock Siv, Shill" ujarnya. "Kita juga. Tapi kok lo bisa nangis gini? Yang gue tau orang shock gak pernah nangis" sahut Sivia. "Gu... gue gak rela..." ucap Zahra. "Gak rela apa?" tanya Shilla. "Gue gak rela Alvin disidang" bisiknya, hampir tak ada suara. "A... apa?!" tanya Sivia, tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. "Gu... gue suka sama Alvin, gue baru nyadar" jawab Zahra, masih berbisik. Shilla dan Sivia berpandang-pandangan, mata mereka membelalak. "Gue gak percaya, ini gak mungkin terjadi" ujar Shilla. "Terserah" ujar Zahra.

(Part 13)
Zahra pun keluar dari toilet, meninggalkan Sivia dan Shilla yang membatu di dalam toilet. Di luar, dia kaget. Ternyata Alvin, Rio, dan Gabriel telah menunggunya di depan toilet. Alvin!! Mereka denger gak ya?? batin Zahra khawatir. "Zah, lo kenapa sih?" tanya Alvin. "Gak kenapa-napa. Lagian gue udah ngasih tau ke sobat-sobat gue apa yang jadi masalah. Lo gak denger?" jawab Zahra, lalu bertanya kepada Alvin. Jantungnya berdebar keras, menunggu jawaban Alvin. "Enggak. Gue denger semuanya, tapi pas lo jawab gue gak denger, suara lo pelan banget soalnya" jawab Alvin. Zahra langsung lega, jantungnya kembali berdetak normal. "Trus? Lo kenapa nangis?" tanya Rio. "Shock" jawab Zahra singkat. "Kita denger, tapi seperti katanya Sivia, yang gue tau orang shock tuh gak pernah nangis" sahut Gabriel. Zahra menatap mereka tajam. "Gue bakal kasih tau nanti, kalau ada waktu yang tepat" ujarnya sinis, lalu pergi begitu saja. Tiga cowok yang ditinggalkannya bingung semua.

Jam kosong

"Zahra, jelasin ke gue, pliss" pinta Alvin. "Gak, gue gak bakal kasih tau lo sekarang. Kan gue udah bilang, kalo ada waktu yang tepat gue bakal bilang ke lo!!" sahut Zahra jengkel. "Tapi waktu itu kapan??" tanya Alvin. "Gue juga gak tau, Alvinnnnn!!" jawab Zahra, dengan gemas mencubit pipi Alvin keras sekali. "Au, au, au... lepasin Zah, sakit banget!!" ucap Alvin kesakitan. Zahra berhenti mencubit pipi Alvin. Ia bersandar ke tiang, sorot matanya melambangkan kesedihan. Alvin prihatin dengannya. "Nek, lo gak punya ramuan buat bikin orang seneng? Buat aja, biar lo senyum lagi!" ujar Alvin. "Maksud?" tanya Zahra. "Kan lo nenek sihir, bikin aja ramuan, kan lo bisa shir" jawab Alvin. "Bah! Gue nenek sihir lo kakeknya!" sahut Zahra sewot. "Najong! Ogah gue ama lo!!" komentar Alvin. Zahra menatapnya dalam, matanya melambangkan kesedihan. Lalu ia pergi begitu saja. "Woi Zah!! Gue salah apa??" tanya Alvin. "Lo gak salah apa-apa, gue mau nyari udara seger aja, ogah gue di sana ama lo, sumpek. Panas" jawab Zahra berbohong. "Yee... kurang asem lo! Ikut dong" sahut Alvin. Zahra membiarkannya. Ternyata ia pergi menuju taman indah di belakang kampus. "Gila! Keren abis ni taman! Ada ya di kampus kita?" tanya Alvin. Zahra hanya tersenyum menanggapinya. "Banyak anak kampus yang gak tau, padahal tempatnya indah banget kayak gini. Tapi gak pa-pa, ni taman jadi sepi. Enak, gak sumpek. Walaupun masih agak-agak sumpek plus panas" sahut Zahra, melirik sinis ke arah Alvin saat mengucapkan kalimat terakhir. "Gak usah liat gue kayak gitu deh" ujar Alvin yang merasa tak nyaman. Zahra tertawa. "Jadi, gimana sidangnya?" tanya Zahra. "Gak tau, gue butuh pengacara ya?" jawab Alvin. "Ya iyalah! Pengacara tuh penting buat ngebela elo biar gak ditahan sama polisi, inti sidang tuh kayak gitu" sahut Zahra. "Lo sebenernya ngambil jurusan apa sih? Medis apa hukum?" tanya Alvin. "Emangnya kenapa?" tanya Zahra balik. "Lo pinter dua-duanya" jawab Alvin. "Ya elah, ilmu tadi juga semua orang tau Vinnn" sahut Zahra gemas. "Haha, tapi gue gak tau" ujar Alvin. "Itu menandakan kalau lo itu gak pinter" sahut Zahra. "Gue pinter tuh, buktinya nilai gue bagus semua" ujar Alvin. "Haha, dalam hal kimia iya, hukum? Gitu doang gak tau. Menurut gue lo harus cepet-cepet nyari pengacara, soalnya kalau gak punya lo bisa ditahan" sahut Zahra. "Gimana caranya?" tanya Alvin. "Ya ke kantornyaa... Alvinnnn!!" jawab Zahra gemes. "Makasih Zah" sahut Alvin. Mereka pun berbincang-bincang dengan seru. Sementara itu, Sivia dan Shilla juga Rio serta Gabriel mencari-cari Zahra dan Alvin. "Aelah, tu anak dua mana sih??" tanya Rio jengkel. "Gak tau, tadi sih di lapangan bola, nah pas gue ke sana udah ilang!" jawab Gabriel. "Eh lo berdua! Ada tempat yang lo tau tapi kita belum cari gak?" tanya Rio. "Bentar... kelas udah, toilet udah, lapangan udah, perpus udah, ruang guru udah, taman belakang kampus... belum. Taman belakang Yo!" jawab Shilla. "Taman belakang kampus?" tanya Gabriel dan Rio bersamaan, bingung. "Gak tau? Sini gue tunjukkin jalannya!" sahut Sivia, lalu berjalan ke arah taman belakang.

Di taman

"Buset dah... keren amat ni taman!" komentar Rio, sedang Gabriel ternganga. "Tu dia mereka!!" seru Shilla sambil menunjuk ke arah Zahra dan Alvin. Mereka berempat pun menghampiri Zahra dan Alvin. "Woi Zah, Vin, lo berdua dicariin ke mana-mana ampe pada capek semua tau-taunya lagi pacaran di sini!! Hebat banget sih lo!!" teriak Gabriel memarahi Zahra dan Alvin. "Pacaran? Ama dia?! Najong!! Ogah gue pacaran sama nenek sihir!!" sahut Alvin. Lalu Zahra menatapnya dalam, sorot matanya melambangkan kesedihan. Zahra pun pergi, diikuti dengan Sivia. Shilla menatap sinis Alvin sebelum menyusul Zahra. "Si Zahra kenapa sih?! Gue salah mulu dari tadi! Pas di lapangan bola dia ninggalin gue ke sini, sekarang kejadian lagi!!" teriak Alvin marah-marah. "Gue coba deh ngomong ma dia, siapa tau dia mau cerita" ujar Rio lembut. Alvin hanya mengangguk, wajahnya masih menunjukkan raut marah.

Pulang kampus

"Woi Shill, Siv, gue pinjem Zahra ya" pinta Rio. "Gak!" tolak Shilla. "Emangnya lo mau ngapain?" tanya Sivia sinis. "Bicara sama dia" jawab Rio. "Ya...." Shilla mulai berbicara. "Udahlah, gue bicara aja sama dia!" potong Zahra stress. Ia lalu membimbing Rio ke taman belakang, di mana tidak ada orang selain mereka berdua. "Lo mau bicara apa?" tanya Zahra sinis. "Lo kenapa sih?" tanya Rio balik. "Kenapa apa?" tanya Zahra bingung. "Sikap lo kok berubah, mulai dari yang pas polisi itu datengin kita tadi pagi" jawab Rio memberi petunjuk. "Oh... ya gue gak kenapa-napa. Shock doang. Kan udah gue bilang" sahut Zahra. "Gak mungkin, pasti ada yang lain. Kenapa lo sinisin si Alvin kayak gitu? Emang dia salah apa?" tanya Rio. "Dia gak salah apa-apa, gue lagi stress doang" jawab Zahra. "Zah, gue udah diceritain ma Alvin lo ngomong apa aja ke dia, lo kan baru ketawa-tawa kayak gitu langsung stress? Gak deh, pasti ada sebabnya" sahut Rio. "Gue gak kenapa-napa, udahlah percaya aja sama gue susah amat!!" teriak Zahra emosi. "Gak bakal sebelum lo ngasih tau gue ada apa" ujar Rio. "Tapi gue gak bakal ngasih tau lo apa-apa" sahut Zahra. "Ya tapi harus" ujar Rio memaksa. "Gak bakalan deh" sahut Zahra jengkel. "Pokoknya sebelum gue tau ada apa, gue gak bakalan pergi!" seru Rio. "Ya udah, gue aja yang pergi!!" sahut Zahra, berjalan menuju kampus. Rio berlari mengejarnya. "Zah, gue tuh cuman mau bantu si Alvin, daripada dia mati stress? Kan elu yang nanggung!" seru Rio setelah berhasil mengejar Zahra. Zahra diam saja. "Zah, gue udah bilang sama si Alvin gue bakal bantu sebisanya, dan gue bakal. Plis Zah, kasih tau ada apa, kasian si Alvin, dia gak tau dia salah apa ke lo" sambung Rio. "Kan gue udah bilang, dia tuh gak punya salah apa-apa ke gue" sahut Zahra lemah. "Trus kenapa lo kayak gitu?" tanya Rio. Zahra memandangnya. "Oke, gue bakalan ngasih tau lo, tapi lo janji jangan kasih tau ke Alvin" ujarnya, memberi syarat. Rio menimbang-nimbang sebentar, mencari keputusan yang tepat. Lalu Rio pun segera memandang Zahra, menandakan ia mau memberi tau keputusannya.

(Part 14)
"Oke" jawab Rio singkat. Zahra menghampirinya, lalu berbisik di kuping Rio. "Gue... gue suka sama Alvin..." bisik Zahra ragu-ragu. Mata Rio membelalak. "Apa?!" teriak Rio. "Diem lo!!" teriak Zahra. "Lo... beneran?" tanya Rio. "Ya iyalah!!" jawab Zahra. "Trus napa lo jadi aneh??" tanya Rio. "Besok aja gue ceritain, skarang gue mau pulang" jawab Zahra. "Oh oke" sahut Rio, lalu mereka berdua pergi ke kampus. "Eh Shill, Siv, gue ikut lo berdua ya" seru Zahra ketika ia dan Rio menghampiri mereka berdua. "Oke. Lo pulang naik apa Yo?" tanya Shilla. "Nebeng Iyel sama Alvin. Duluan ya" jawab Rio, lalu pamit ke mereka bertiga. Shilla mengangkat bahu dan mengajak teman-temannya ke mobil Shilla. "Jadi, lo ngomong apa sama Rio?" tanya Sivia setelah ia, Shilla dan Zahra telah menaiki mobilnya. "Biasalah, dia nanyain gue kenapa" jawab Zahra. "Trus lo jawab?" tanya Shilla. "Iya" jawab Zahra singkat. "Lah, kok?" tanya Sivia. "Abis dia maksa" jawab Zahra. Shilla mengangkat alis. "Haha" ujarnya. Lalu Sivia berhenti di rumah Shilla. "Udah nyampe Shill" ujarnya. "Makasih Siv... mau masuk?" tanya Shilla. "Boleh" jawab Sivia singkat. "Gue ikut ya..." sahut Zahra. "Iya. Masuk yuk!" ajak Shilla. "Oke" sahut Zahra dan Sivia bersamaan, lalu turun dari mobil dan mengikuti Shilla masuk ke rumahnya.

Rumah Shilla

"Halo kak! Bawa temen?" tanya Keke. "Iya, bentar ya kakak siapin minum dulu" jawab Shilla, lalu pergi menuju dapur. "Halo Keke, aku kangen deh sama kamu!" ujar Sivia. "Keke juga kangen sama kakak!" sahut Keke. "Ehm... jadi gue dilupain nih?" tanya Zahra. "Gak kok, Keke juga kangen sama kakak!" jawab Keke, memeluk Zahra. "Hahaha... jadi kita mending ngapain nih sekarang?" tanya Zahra. "Main, apa lagi?" tanya Sivia balik. "Ngobrol" jawab Zahra. "Gue lebih milih main" sahut Shilla dari belakang mereka. "Nih, minum gih! Dijamin enak" sambungnya, memberi segelas nutri sari ke masing-masing orang. "Iya, enak! Siapa yang bikin?" tanya Keke. "Setan. Ya kakak lah!!" jawab Shilla, mencubit pipi Keke. "Oh... berarti lo setan dong Shill!" goda Sivia. "Iya, bentar ya gue mau gangguin orang dulu!" sahut Shilla. Yang lainnya tertawa. "Eh, kita ngapain nih sekarang?" tanya Zahra lagi. "Dibilangin kita main...." jawab Sivia gemas. "Kan gue nanya tuan rumahnya!" sahut Zahra. "Oh... jadi aku bukan tuan rumah nih ceritanya?" tanya Keke. "Haha, iya.. tapi kan yang satu ekor lagi belom" jawab Zahra. "Udah udah, kita sekarang main aja! Pada mau main apa?" tanya Shilla. "Monopoli yuk!" ajak Shilla, menunjuk ke arah monopoli. "Yuk..." sahut Shilla, Keke, dan Zahra bersamaan.

Sementara itu di kos tempat Rio, Alvin, dan Gabriel tinggal

"Jadi gimana Yo? Si Zahra ngasih tau?" tanya Alvin. "Sori Vin, dia keras kepala banget!" jawab Rio berbohong. "Yah... jadi gimana dong?" tanya Alvin. "Ya lo biasa aja kali ke dia! Debat lagi, ngobrol lagi, ngapain kek!" jawab Rio. "Mending jangan debat lagi deh, pala gue pusing!" sahut Gabriel. "Iya deh..." ujar Alvin. "Lo ajak dia jalan aja, biar dia mau ngasih tau lo dia kenapa" saran Rio. "Ngajak jalan? Alah, paling-paling dia gak mau!" tolak Alvin. "Ya kita kerja sama aja ama Shilla, bilang temenin kita jalan, trus si Rio ngajak Sivia" sahut Gabriel meyakinkan. "Oke deh" ujar Alvin setuju. Rio pun senyam-senyum sendiri. "Lo kenapa Yo?" tanya Alvin. "Gak kenapa-napa" jawab Rio. "Wah, jangan-jangan si Rio ketuleran Zahra lagi!" seru Gabriel. "Ngaco lu!" sahut Rio sambil menjitak kepala Gabriel. "Hahaha..." Alvin ketawa. Lalu mereka berbincang-bincang lagi dengan topik yang lain, lebih ribut dari sebelumnya.

Esok hari di kampus

"Shill, jalan yuk pulang kampus" ajak Gabriel. "Ke?" tanya Shilla. "Ke mall, taman, serah lo" jawab Gabriel. "Mall yuk, sekalian mau cari barang" sahut Shilla. Gabriel tersenyum. "Ke mall mana?" tanya Gabriel. "Em.. ke mana, ya? PIM aja deh" jawab Shilla. "Oke... ntar pas pulang ya" sahut Gabriel. Shilla tersenyum. "Eh, ikut dong! Asyik banget lo berdua! Jalan-jalan sendiri gitu" seru Rio. "Yah Yo, ntar kalo lo ikut ganggu!" keluh Gabriel. "Gue ikut deh, nemenin Rio" sahut Alvin. "Gak seru kalo kita berdua yang ikut. Siv, Zah, ikut ya... ramein aja, gak enak ganggu orang pacaran!" ajak Rio. "Ya kalo gak enak kita, lo dan lo gak usah ngikut!" tolak Sivia. "Tapi masalahnya bahaya ni berdua kalau gak diawasin..." sahut Alvin. "Ya udah, gue ngikut. Lo Siv?" ujar Zahra pasrah, lalu bertanya. "Ikut deh, gak enak ditinggalin sendiri! Ntar kalo lo semua ketemu artis gue gak ngikut lagi!" jawab Sivia. "Oke, pulang kampus ya!" sahut Rio. Mereka pun pergi ke kelas masing-masing.

Jam kosong

Rio menghampiri kelas Zahra, Shilla dan Sivia. "Woi Zah, katanya lo mau jelasin?" tanya Rio. "Iya iya... yuk ke taman belakang!" jawab Zahra. Shilla dan Sivia berpandang-pandangan, bingung. Sementara Rio mengikuti Zahra ke taman belakang. Di jalan, ia berpapasan dengan Alvin dan Gabriel. Zahra membuang muka, sedang Rio menyapa mereka. "Woi!" sapa Rio. "Apa?" tanya Alvin sinis. Rio mengerutkan kening. "Kok lu jadi sinis Vin?" tanya Rio. "Gak, udah ya, gue mau ke kantin" jawab Alvin. Gabriel mengikutinya. Rio mengangkat bahu dan melanjutkan perjalanan ke taman belakang.

Taman belakang

"Jadi? Lo kenapa jadi aneh gitu?" tanya Rio. "Sakit hati aja" jawab Zahra kalem. "Kenapa?" tanya Rio lagi. "Pas di lapangan bola, gue kan bercanda ama dia, trus dia bilang, 'Ogah gue ama lo!' gue langsung pergi aja ke sini. Nah, pas lo nemuin gue ma Alvin, kan dia bilang, 'Pacaran? Ama dia?! Najong!! Ogah gue pacaran sama nenek sihir!!' ya gue sakit, tega-teganya dia ngomong gitu" jawab Zahra panjang lebar. "Ya... kan dia gak tau kalo lo suka sama dia... kalau dia tau gue yakin, dia gak bakalan ngomong gitu" sahut Rio. "Iya, tapi kan gue tetep aja sakit!" ujar Zahra. "Serah. Ke kantin yuk" ajak Rio. "Gak ah, kan ada Alvin. Gue sendiri lagi yang salting" tolak Zahra. "Terserah dah!" ucap Rio, berjalan menuju kampus. Zahra hanya memandanginya, setelah Rio jauh barulah dia berbalik dan berjalan-jalan sekeliling taman yang indah tersebut, memetik bunga, dan duduk di kursi taman. Tanpa disadari Zahra, ada orang yang memerhatikannya sejak Rio pergi, orang yang bingung harus merasa senang atau sedih, karena ia cemburu dengan Rio.

Sementara Rio-Zahra di taman, keadaan di kantin

"Aelah!" teriak Alvin stress. "Lo kenapa Vin?" tanya Gabriel. "Gak kenapa-napa, heran aja sama Rio" jawab Alvin. "Mang si Rio kenapa?" tanya Gabriel. "Itu, si Zahra. Kemarin dia akrab banget sama Sivia, kok sekarang sama Zahra?? Emang dia tuh playboy???" jawab Alvin lagi. "Bah! Bilang aja lo itu tuh cemburu Vin!" sahut Gabriel. Alvin menatapnya tajam. Gabriel membuang muka, merasa tak nyaman dengan tatapan Alvin. "Yel, emang dia playboy ya? Gue penasaran, nih!! Kan lo temen lamanya dia, dari SMP. Gue kan baru sahabatan ma lo berdua dari kuliah" tanya Alvin. "Sumpah Vin, dia tuh cowok paling setia yang pernah gue temuin. Buktinya, dia tuh suka sama Shilla dari dulu, dari kelas 9. Sampe sekarang dia masih suka sama dia!" jawab Gabriel. Alvin cemberut. "Shilla. Abis dia Sivia, sekarang Zahra. Arrgghh!!" gumam Alvin. "Lo cemburu ya? Vin, lo suka sama Zahra?!" tanya Gabriel kaget. "Aargghh!!! Udahlah gue cabut!!" teriak Alvin. lalu berjalan menuju taman belakang.

(part 15)
Sesampainya di taman belakang, Alvin melihat Zahra, sedang jalan-jalan mengelilingi taman. Tanpa pikir panjang Alvin langsung mengikutinya, tetapi ia menjaga jarak. Saat Zahra tengah duduk di kursi taman, Alvin memerhatikannya dari balik semak besar nan cantik. Ia memperhatikan Zahra yang memandangi bunga yang baru ia petik. Ternyata Zahra manis juga, ya... terus ternyata ada sisi femininnya juga! Salah dong penilaian gue ke dia, gue kira dia nenek sihir, ternyata cuma gadis cantik... batin Alvin. Lalu ia melihat Zahra yang sedang menghela nafas. Ia mengambil setangkai bunga matahari yang ia petik, dan mulai mencabuti kelopaknya. "Suka... gak suka. Suka... gak suka. Suka..." begitu terus sampai akhir. Akhirnya kelopak terakhir dicabutnya. "Suka" ujarnya. Zahra tersenyum, lalu mengambil bunga yang lain --mawar, melati, matahari-- dan pergi. Senyumnya manis banget... batin Alvin, tersenyum juga. Tiba-tiba Zahra menyadari kalau ada orang di balik semak-semak, lalu menghampirinya. Setelah tau siapa yang ada di balik semak-semak tersebut, dan jantungnya hampir copot melihat orang tersebut, ia pun jatuh terduduk. Bunga-bunga yang ia petik bertebaran. "A... Alvin?" bisik Zahra, memandang Alvin, wajahnya pucat. "Iya. Muka lo kok pucat amet sih? Ada yang salah dengan muka gue?" tanya Alvin. Zahra hanya menggelengkan kepalanya karena tak mampu bicara. Gak ada yang salah dengan muka lo Vin.. menurut gue muka lo tuh sempurna... ganteng banget! jelas Zahra dalam hati. Lalu Zahra berdiri, mengumpulkan bunganya, dan langsung pergi begitu saja. "Zah, tunggu! Jelasin dong kenapa lo begini aneh!! Eh Zah, tunggu!! Gue salah apa?" teriak Alvin. Zahra tidak menengok kepada Alvin yang ada di belakangnya. "Zah!" panggil Alvin, ia pun berlari menghampiri Zahra. Setelah Zahra terkejar oleh Alvin, Alvin menepuk pelan pundak Zahra. "Zah, cerita dong kenapa lo kayak gini! Apa gue salah?" tanya Alvin. Zahra menggeleng, lalu mulai berjalan ke arah kampus. "Zah, cerita dong ke gue kenapa lo kayak gini...." pinta Alvin. Zahra menepuk pelan pundak Alvin dan berkata, "Bakalan gue kasih tau kalau ada waktu yang tepat. Sampai ketemu lagi pulang kampus" lalu Zahra pergi. Alvin mengikutinya ke arah kampus, lalu mereka pergi ke kelas masing-masing.

Di kelas Alvin, Rio dan Gabriel

"Kenapa Vin? Kok lesu gitu?" tanya Rio. "Si Zahra... ntar gue ceritain deh. Dosen udah masuk" jawab Alvin lemas. Mereka pun mulai belajar.

Di kelas Shilla, Zahra, dan Sivia

"Zah! Ke mana aja?" tanya Shilla. "Ke taman. Awalnya bareng Rio, trus ketemu Alvin. Ntar gue ceritain" jawab Zahra. "Kenapa Zah?" tanya Sivia. "Shock. Kalian bakal ngerti pas gue ceritain nanti. Udah, belajar dulu!" jawab Zahra. Shilla dan Sivia berpandang-pandangan, bingung. Tapi toh mereka menurut pada Zahra, mereka pun akhirnya belajar.

Jam kosong kelas kimia

"Jadi? Lo kenapa Vin?" tanya Rio. "Jadi gini, kan pas lo abis pergi dari taman belakang, kan si Zahra sendiri, nah, gue ke sana, gara-gara gedek sama si Iyel! Terus..." Alvin pun menceritakan kejadian di taman belakang. "Haha, muka lo kayak hantu, ya? Kok si Zahra ampe jatoh liat muka lo?" tanya Gabriel sambil ngakak. "Gak tau, padahal muka ganteng kayak gini..." jawab Alvin sambil narsis. "Haha, udahlah, kan lo suka sama dia, tembak aja!" ujar Rio. "Iya! Keburu diambil ma cowok lain lagi, kayak dia nih!" sahut Gabriel, menunjuk ke arah Rio. "Gak usah gitu deh, gue tuh cuma suka sama Shilla" ujar Rio dingin. "Masa? Trus kenapa Lo deket banget sama Sivia dan Zahra?" tanya Alvin curiga. "Mereka curhat ke gue, lagian si Sivia sama gue senasib" jawabnya, melirik ke arah Gabriel. "Oya? Emang si Zahra curhat apa?" tanya Alvin lagi. "Tembak aja dia, ntar pas lo pacaran lo tanya ke dia, bilang pas pacaran tuh gak ada rahasia, jadi dia harus ngasih tau" jawab Rio cuek. "Kurang asem!" seru Alvin. Rio menjulurkan lidahnya. Mereka pun tertawa-tawa, sayangnya mereka harus kembali ke kelas lagi.

Jam kosong kelas medis

"Ceritain Zah! lo kenapa?" tanya Shilla. "Tadi, pas gue jalan sama Rio, dia tuh nagih janji gue yang kemarin. Gue di suruh cerita kenapa gue..." dan Zahra pun menceritakannya. "Hah? Si Alvin ngawasin lo?!" tanya Sivia. "Iya, gue juga penasaran sendiri" jawab Zahra. "Ciee... ada hati kali!" celetuk Shilla. "Ngaco!" sahut Zahra. "Eh, ntar pas ke mall, kita nebeng siapa?" tanya Sivia. "Ya... kalau gue sih sama Gabriel. Lo jangan nebeng kita, ya... gak enak. Ganggu" jawab Shilla. Sivia melirik ke arah Zahra. "Lo Zah?" tanya Sivia. "Gak tau. Kita nebeng Rio sama Alvin aja gimana? Tapi berangkatnya bareng" jawab Zahra. "Boleh" sahut Sivia. Mereka pun kembali ke kelas, menunggu pelajaran di mulai lagi.

Pulang kampus

"Eh Shill, kamu bareng aku kan?" tanya Gabriel. "Iya. Duluan ya..." pamit Shilla. Sivia menatap mereka, raut wajahnya sedih. Yang cewek menanggapinya dengan melambaikan tangan, sedang yang cowok menahan mereka. "Woi Yel, kan cuman elu yang bawa mobil.. lo naik motor gue ya, gue, Alvin, Sivia sama Zahra naik mobil lo" ujar Rio. "Terus motornya si Alvin?" tanya Gabriel. "Ya tinggal aja" jawab Rio enteng. "Aelah! Gimana nasib motor gue tuh?" tanya Alvin. "Alvin bener. Sivia nebeng ama elu aja Yo, Alvin sama Zahra" sahut Gabriel. "Ogah, ntar dikirain pacaran lagi!" tolak Rio. "Takdir Yo, dah... gue duluan!" kata Shilla. Rio memasang raut memelas, yang tak dihiraukan oleh Shilla dan Gabriel. "Sabar ya Yo, kita senasib" hibur Alvin. "Ya udah. Yuk Siv" ajak Rio pasrah. "Zah, lo sama Alvin ya... gue ma Rio" pamit Sivia, lalu pergi mengikuti Rio. "Yah, Siv, Yo! Jangan tinggalin gue dong!! Ntar pas perjalanan gue panas sendiri, trus sumpek!" pinta Zahra. Alvin menatapnya tajam. "Lo gak mau ama gue? Ya udah gue ke sana duluan, lo naik angkot aja" ujarnya. "Eh! Enggak deh Vin... gak enak gue sama yang lain! Oke, gue ikut lo!" muka Alvin masih sinis, tapi matanya senang. Zahra pun mengikuti Alvin menuju motornya.

Di perjalanan

Alvin dan Zahra naik motor Alvin. Alvin naik duluan, lalu Zahra. Zahra memegang bagian belakang motor Alvin, lalu mereka pun melaju. "Zah, bilang dong kenapa lo jadi kayak gitu! Kalau gak mau gue turunin di jalan nih" ancam Alvin. "Berhenti, gue naik angkot aja" sahut Zahra. "Gak jadi deh, ntar gue di cap apa ma sobat-sobat gue?" ujar Alvin berubah pikiran. Zahra memasang muka BT. "Zah, plis... kasih tau gue..." pinta Alvin memelas. "Gak. Sekali lo minta gue buka mulut gue bakalan turun nih" ancam Zahra. Rio bener, ni anak keras kepala banget! batin Alvin. "Ya... gue gak bakalan berhenti!" sahut Alvin. "Ya udah, gue lompat langsung aja, paling badan gue kegores-gores ama berdarah di mana-mana" ujar Zahra enteng. Alvin diam saja. "Woi Vin, jalan yang cepet napa! Udah pada nyampe nih!" keluh Zahra. "Lo liat gak sih ni jalanan macet? Mata lo buta ya?" tanya Alvin. "Gak, kalo iya gue gak bisa liat motornya si Rio sama Sivia lewat tadi!" jawab Zahra. "Hah? Si Rio ama Sivia lewat? Kenapa lo gak bilang gue?" tanya Alvin. "Males" jawab Zahra singkat. "Pinter banget sih lo!" sindir Alvin. "Iya, buktinya nilai-nilai gue bagus-bagus semua" sahut Zahra. Alvin pasang muka BT. Zahra tersenyum sinis penuh kemenangan. Jalan yang dilalui Zahra dan Alvin sudah tidak macet lagi. Alvin pun memacu cepat motornya, ngebut banget sampai-sampai Zahra hampir lepas pegangan dan jatuh. Zahra yang ketakutan langsung memeluk pinggang Alvin. Alvin senyam-senyum sendiri. "Woi Vin, kalo ngebut bilang-bilang dong!" teriak Zahra. "Kan lo sendiri yang nyuruh gue cepet! Gimana sih?" tanya Alvin. "Ya tapi kan gak perlu ngebut kayak gini..." jawab Zahra. "Ya udah!" sahut Alvin jengkel, memacu motornya pelan. "Ya tapi jangan sepelan ini juga dong!" ujar Zahra jengkel. "Ya lo maunya apa sih?! Gue ngebut salah, gue pelan salah!" sahut Alvin, jengkel juga. "Gue mintanya sedeng-sedeng agak cepet!" ujar Zahra. "Gak bisa! Sekarang lo pilih, ngebut atau pelan?!" tanya Alvin. "Ngebut aja deh!" jawab Zahra pasrah. "Ya udah" dan Alvin pun memacu cepat motornya. Zahra memeluk Alvin erat, sedang Alvin hanya senyam-senyum sendiri. Zahra sebenarnya senang memeluk Alvin, tetapi karena gengsinya terlalu besar ia pura-pura kesal. Alvin pun juga senang, merasakan hangatnya pelukan Zahra. Bagi mereka berdua, itu adalah hari yang paling indah.

(Part 16)
Akhirnya mereka berdua sampai di PIM. Pas di parkiran mereka langsung disambut meriah oleh sobat-sobat mereka. "Cieee... pacaran nih?? Kok si Zahra meluk-meluk si Alvin?" tanya Rio. "Itu, si Alvinnya bawa motor ngebut banget. Ya guenya yang takut..." jawab Zahra. "Enak! Bilang aja, lo tuh sengaja mu meluk orang ganteng kayak gue!" sahut Alvin narsis. "Ya enggak lah! Ngapain? Kurang kerjaan amet gue!! Lagian gue suruh sedeng-sedeng agak cepet lo nya gak bisa! Dasar payah!" seru Zahra. "Apa?? Kan gue tuh udah kebiasaan ngebut kayak gitu, kalo mau pelan ya bisanya pelan banget! Lo ngertiin dikit napa sih?" teriak Alvin. "Woi! Mulai debat lagi... heh, bilang aja kalo lo berdua tuh seneng si Zahra meluk Alvin!!" lerai Gabriel. "Ngaco lu!" seru Alvin sambil menjitak kepala Gabriel. "Udah... yuk masuk aja!" ujar Sivia. "Yuk!" sahut Shilla. Dan mereka pun masuk mall.

Di mall

Shilla dan Gabriel asyik sendiri, membuat Sivia dan Rio cemburu. Zahra dan Alvin masih debat, yang lain menjauhi mereka tanpa disadari mereka. "Eh, beli es krim yuk Siv! Gue traktir" ajak Rio. "Yuk" sahut Sivia, matanya masih memandangi Shilla dan Gabriel. Lalu Sivia mendesah, dan mengikuti Rio ke kios es krim.

Di tempat Zahra-Alvin berdebat

"Lo sih kerjaannya ngebut!! Pelan dikit napa?!" seru Zahra. "Heh, kan lo sendiri yang nyuruh gue cepetan!!" sahut Alvin. "Ya tapi kan gak sengebut itu!! Kan lo liat sendiri hasilnya!!" teriak Zahra tak mau kalah. "Alah, lo bilang aja lo tuh sengaja!!" sahut Alvin. Di sekitar mereka, orang-orang mulai berkerumun. "Gak mungkin!! Ngapain gue meluk-meluk orang rese kayak lo?! Gue sumpek sama panas tau gak sih di sana!!" seru Zahra. "Alah, lo seneng kali!! Ngaku aja!! Gue bisa jaga rahasia!" teriak Alvin. "Ha? Gue seneng?? Bilang aja kalo lo yang seneng gue meluk lo!" sahut Zahra panas, suaranya agak bergetar. "Ngawur! Elo yang seneng!!" teriak Alvin, ikut panas. "Elo!" seru Zahra. "Lo!!" sahut Alvin. "Lo!!" teriak Zahra gak mau kalah. "Lo!" seru Alvin, tidak rela kalah debat lawan Zahra. "Elooooo!!!!!" teriak Zahra dan Alvin bersamaan. "Aelah! Gak mau kalah banget sih lo!" teriak Alvin. "Heh, emang cuman gue doang? Kalo ngomong tuh ngaca dulu dong!" sahut Zahra sewot. "Alah! Dasar nenek sihir!!" ujar Alvin. "Iya! Awas lo macem-macem ama gue, gue ubah lo jadi kodok!!" sahut Zahra. "Gak takut gue!!" teriak Alvin. "Gue berubah pikiran. Gue keringin aja darah lo, trus gue jadiin pajangan!!" seru Zahra. Orang-orang mulai merekam mereka. "Ya udah, kalo gue mati, gue gentayangin lo!!" sahut Alvin. "Gak usah! Gue udah ngerasa digentayangin elo!" tolak Zahra. "Apa yang buat lo bisa ngomong kayak gitu?!" tanya Alvin panas. "Pas kejadian di taman! Lo ngawasin gue dari balik semak-semak!! Heh, tu semak-semak tuh bagus, jangan dinodain sama elo!! Pantesan gue ngerasa ada yang ngawasin gue!!" jawab Zahra. "Oke! Gue akuin gue ngawasin elo!! Gue ngelakuin itu soalnya gue cemburu sama Rio!! Dia tuh deket-deket mulu sama lo!! Gue kan jadi panas!!" sahut Alvin. Zahra melongo sehabis mendengar teriakan Alvin. "Lo... lo bilang apa?" bisik Zahra. "Gue bilang...." baru saja Alvin akan menghardik Zahra lagi, ia terdiam, baru sadar akan apa yang diucapkannya tadi. "Lo bilang apa?" tanya Zahra mengulangi. Alvin terdiam, kepalanya menunduk. Ia malu sekali. "Lo suka... sama gue?" tanya Zahra. Alvin diam saja. "Eh, ditanya tuh jawab!!" teriak salah satu penonton. "Iya!! Gak sopan kalo udah ditanya baik-baik gak dijawab!!" sahut penonton yang lain. "Betul! Ayo, jawab! Cepatlah..." seru penonton. "Oke oke!!" teriak Alvin jengkel. "Iya Zah! Gue suka sama lo! Kenapa? Salah?!" teriak Alvin. "Ciee!!! Gitu dong!!" sorak penonton. Zahra menitikkan air mata. "Zah? Lo kenapa? Gue salah apa?" tanya Alvin khawatir. "Woi!! Tanggung jawab lo!! Anak orang ditangisin! Cewek lagi!" teriak salah seorang penonton. Saat itu, Shilla dan Gabriel yang penasaran menerobos kerumunan. "Zahra!" teriak Shilla terkejut. "Vin, lo apain dia?!" tanya Gabriel. "Gak tau... gue... gue gak ngerasa salah! Dia tiba-tiba aja nangis!" jawab Alvin. "Zahra!! Lo kenapa?!" tanya Shilla lagi, masih khawatir. "Vin, serius nih... lo apain dia?" tanya Gabriel lagi. Sivia dan Rio yang mendengar suara Shilla, Gabriel, Alvin dan Zahra segera menuju kerumunan. "Ada apa, sih?" tanya Sivia, lalu matanya menangkap gambar Zahra yang sedang menangis. "Zahra! Lo kenapa?!" tanya Sivia histeris. "Vin! Si Zahra kenapa?!" tanya Rio. "Gak tau! Dia tiba-tiba aja nangis pas gue bilang kalo gue..." Alvin berhenti, wajahnya memerah. "Lo bilang lo apa?!" tanya Gabriel. "Gue... gue bilang... gue..." jawab Alvin terbata-bata. "Di... dia ngaku... dia.." sambung Zahra, lalu berusaha menghentikan tangisannya. "Dia apa, Zah?!" tanya Sivia. "Dia ngaku kalo dia suka sama cewek itu!" jawab penonton. "Apa?!" teriak Shilla, Sivia, Rio, dan Gabriel bersamaan. "Trus lo kenapa nangis? Lo kan juga suka sama Alvin, Zah!" ceplos Shilla. "Shilla!" ujar Sivia mengingatkan. Shilla langsung menutup mulutnya dengan sebelah tangan. "Ha? Lo berdua kan saling suka, kenapa si Zahra nangis?" tanya Gabriel. Zahra menghentikan tangisannya, walau ia masih terisak. "Gu.. gue.. nangis.. gara-gara... gu... gue seneng!" jawab Zahra. Semua sobatnya memasang muka sebal, kecuali Alvin. Ia malah tersenyum, lalu berlutut di hadapan Zahra. "Zahra Dmarvia, gue, Alvin Jonathan Sindunata, suka banget sama lo, dan gue baru sadar akan hal itu. Lo mau kan, jadi pacar gue?" tanya Alvin. Zahra mengangguk tanda setuju. Air mata Zahra tumpah lagi. Alvin berdiri, lalu memeluknya dan membelai lembut rambutnya. "Cup cup... udah gak usah nangis, nanti kamu gak cantik lagi! Senyum dong..." hibur Alvin. Zahra menghentikan tangisannya, lalu tersenyum. "Gitu dong... kamu cantik deh kalo senyum..." komentar Alvin. "Ciee!! Abis berantem langsung jadian!!" seru penonton. Wajah mereka berdua memerah. "Udah yuk, kita pergi aja dari sini!" ajak Alvin. "Yuk. Ke mana?" tanya Zahra. "Ya... jalan-jalan!" jawab Alvin, menggandeng tangan Zahra dan pergi. "Cieee!! Langsung nge-date nih ceritanya??" sorak penonton. Alvin tak menghiraukannya, yang jelas dia bahagia hari itu. "Eh, direkam ya?" tanya Rio ke salah seorang penonton. "Iya" jawab penonton tersebut. "Liat dong, boleh gak?" tanya Rio. "Nih. Kembaliin ya" jawab penonton tersebut, memberikan hand camnya. Rio, Shilla, Sivia, dan Gabriel menontonnya.

Zahra-Alvin

"Eh Vin, makan yuk, aku laper nih!" ajak Zahra manja. "Iya... mau makan apa?" tanya Alvin. "Apa ya?" tanya Zahra balik. "Spagetti?" tanya Alvin lagi. "Iya deh" jawab Zahra. Mereka pun menuju Spagetti House. "Pesen apa?" tanya Alvin. "Sama kayak kamu" jawab Zahra. "Oke..." sahut Alvin, lalu memesankan makanan untuk mereka berdua. Saat mereka sedang asyik-asyiknya makan dan berbincang-bincang, Shilla masuk. Wajahnya pucat.

(Part 17)
"Shill? Kenapa Shill? Kok muka lo pucat?!" tanya Zahra panik. "Pppp... polisi..." jawab Shilla, nafasnya tersenggal-senggal. "Polisi? Polisinya kenapa?" tanya Zahra lagi. "Mmm... mereka... mereka da... dateng!!" jawab Shilla. "Apa?! Mau apa lagi tuh polisi?!" tanya Alvin sambil berteriak. "Me... mereka..." jawab Shilla. "Mereka ngapain?!" tanya Alvin lagi. "Mereka.. mereka ngejar lo, Iyel, sama Rio" jawab Shilla. "Hah?!" teriak Zahra dan Alvin bersamaan. "Jadi kan gue diputusin sama Iyel, trus gue teriak-teriak gak jelas, eh.... tiba-tiba polisi dateng! Mereka nangkep Rio sama Iyel... semua gara-gara gue, ngapain gue teriak-teriak kayak orang stress gitu..." cerita Shilla, air matanya menitik. "Udah Shill, semua itu bukan salah lo, semua itu emang udah takdir Tuhan" hibur Sivia yang sudah ada di belakang Shilla sedari tadi. Tiba-tiba, datang segerombol polisi. "Itu dia!" teriak salah seorang polisi, menunjuk Alvin. Di belakangnya terlihat Gabriel dan Rio yang diborgol dan dipegangi oleh dua orang polisi. Salah seorang polisi maju menghampiri Alvin. Alvin berlari menjauh, tetapi polisi itu juga berlari. Akhirnya polisi mengepungnya. Alvin tak bisa lari lagi, sehingga ia pun diborgol juga. "Alvin!!" teriak Zahra. "Zah, panggil pengacara buat kita bertiga!" sahut Alvin, berteriak juga. Zahra mengangguk, air matanya mulai menetes. "Zah, plis jangan nangis. Demi aku" ujar Alvin. Zahra menghapus air matanya, tetapi ia masih terisak. "Zah, lo harus senyum, jangan nangis gitu. Aku gak suka kalo kamu nangis, dan aku suka banget ngeliat senyummu, jadi terus senyum ya... demi aku, Zah" sambung Alvin. Zahra akhirnya memaksa dirinya untuk tersenyum. "Senyum yang tulus Zah, lain kali... inget ya, demi aku..." komentar Alvin. "Kenapa kalian bisa nangkep dia?!" tanya Shilla, mengganggu momen Alvin dan Zahra. Alvin menatapnya dengan tatapan 'Rese lo!'. "Mereka terbukti bersalah" jawab polisi. "Apa buktinya?" tanya Zahra. Polisi diam saja. "Ayo. Bawa mereka pergi" perintahnya. "Heh! Jawab pertanyaan gue!" teriak Zahra. "Ditemukan sidik jari Mario, Alvin, dan Gabriel di pondok kecil. Yang lainnya besok saja di jawab" jawab polisi pada akhirnya. "Gak mungkin mereka bisa gitu aja ditangkep! Harusnya ada persidangan dulu!" teriak Shilla. Polisi diam saja, lalu meneruskan perjalanan keluar mall. "Dasar polisi gadungan!!!!" teriak Shilla dan Zahra bersamaan. Air mata Zahra menitik lagi. "Zah, jangan nangis Zah" hibur Sivia. "Iya, bener kata Sivia. Alvin kan udah bilang ke lo, jangan nangis lagi, senyum! Demi dia Zah" sahut Shilla. Zahra berusaha untuk menghentikan tangisannya. "Udah, sekarang kita cari pengacara aja buat mereka" ujar Sivia. Zahra mengangguk, lalu mereka pun keluar.

Di parkiran

Mereka menuju mobil Gabriel, dan berhenti saat hampir sampai. "Liat deh! Tulisan Gabriel!" seru Sivia, menunjuk ke arah sebuah tembok. "Mereka gadungan, kita ketemu di Jl. Suara Indah, di gedung parkir deket gubuk lo" Shilla membaca. "Ha?" tanya Zahra. "Artinya.... kita harus ke gedung parkir deket gubuk reyot gue!! Gue tau di mana, udah jadi gedung kosong... yuk cepetan!" jawab Shilla, berlari menuju mobil Gabriel. "Kuncinya mana?" tanya Sivia. "Nih! Tadi si Iyel nitip di tas gue, yuk cepet!" jawab Shilla, menunjukkan kunci mobil jazz biru tersebut. Sivia dan Zahra diam saja, lalu mengikuti Shilla. Setelah semua masuk mobil, Shilla spontan berkata, "Semuanya pake sabuk pengamannya, trus cari pegangan. Usahain gak muntah" lalu semua mengikuti arahannya. Setelah itu Shilla langsung tancap gas, ngebut banget, untung mereka udah pake sabuk pengaman. Sivia melirik ke arah spidometer, dan menemukan jarum menunjuk angka 200. Mata Sivia membelalak. "Gila lo Shill!! Pelanin dikit! Gila aja, liat tuh udah nyampe angka 200!!" teriak Sivia. "Gak bisa, ini darurat" sahut Shilla. Muka Sivia pucat melihat angka 250 yang ditunjuk jarum spidometer. Tetapi ia diam saja, melihat muka Shilla yang begitu serius.

Gedung parkir, Jl. Suara Indah

"Liat! Tulisan Gabriel lagi!" seru Zahra. Yang lain menengok dan membaca tulisannya. "Di lantai 3, kesiksa banget. Nunggu lo semua" gumam Shilla dan Sivia. Mereka pun berlari ke lantai 3. Sesampainya di sana, mata mereka membelalak. Yang terlihat adalah paman Jo dan teman-temannya, paman Jo memegang pisau, dan Alvin, Rio serta Gabriel mancoba melawan mereka. "Paman Jo?! Kenapa...?" tanya Shilla. "Ah... Shilla! Datang juga akhirnya!" sahut paman Jo. "Tangkap mereka berenam!" perintah paman Jo, dan keenam temannya langsung menghampiri Shilla, Sivia, Zahra, Rio, Gabriel, dan Alvin, lalu menekuk tangannya ke belakang dan memegangnya. "Hem... coba kita lihat di sini. Siapakah yang beruntung... yang akan dibunuh?" tanya paman Jo. "Cap, cip, cup, belalang kuncup, kuda lari kejepit pintu. Matinya jam delapan. Dikubur tahun depan!" dan jari paman Jo berhenti di Gabriel, dan ia pun mengacungkan pisaunya. "Oke, undian dimenangkan oleh Gabriel Stevent Damanik. Yang lainnya harap melihat apa hadiah yang akan diberi untuknya! Oke, cuman satu orang, setelah itu aku akan pergi! Have a nice life!" jelas paman Jo, mengangkat bahu pada tiga kalimat terakhir. Lalu ia menusukkan pisaunya ke dada Gabriel. "Ukh!" kata Gabriel. menahan sakit. Darah keluar dari dadanya, sangat deras. "Gabriel!!!" teriak Sivia. Ia memberontak, tapi tak kuasa. Akhirnya ia dilepaskan beserta sobat-sobatnya yang lain. "Dah... sampai ketemu lagi!" pamit paman Jo, lalu ia pun pergi bersama teman-temannya. "Gabriel!" teriak kelima sahabatnya. "Yel, lo tunggu di sini, gue ma Shilla mo panggil ambulans. Yuk Shill! Vi, ikut?" tanya Zahra. Sivia menggeleng. "Gue di sini aja, jagain Iyel" jawabnya, pandangan matanya ditujukan pada Gabriel. "Gue ikut Sivia. Yo, lo jagain Shilla sama cewek gue. Awas kalo ada apa-apa sama mereka!" ancam Alvin. "Gue ikut Sivia ma Alvin aja... gue mau jagain Gabriel..." ujar Shilla. "Gak bisa! Lo harus nuntun ambulans ke sini! Lo juga gak bisa Yo, kita butuh satu cowok buat jagain kita! Udah gak usah buang-buang waktu lagi!" sahut Zahra. Lalu ia, Shilla dan Rio bergegas menuju pintu keluar. "Si.. vi.. a?" tanya Gabriel terbata-bata. "Iya ini gue, lo mending jangan bicara lagi, menurut gue paru-paru lo bolong, hidup lo cuman tinggal 10 menit lagi" jawab Sivia. "Siv... gu... e... sa... yang... sama... lo..." ujar Gabriel terbata-bata. "Lo... ma... u... gak... jadi... pa... car... gu... e?" sambungnya, bertanya pada Sivia. "Gue juga sayang sama lo Yel, iya gue mau jadi pacar lo, walau hanya... 9 menit lagi" jawab Sivia, mendesah. Alvin yang melihat mereka diam saja. Sivia pun membantu Gabriel ke pinggir ruangan, menyandarkan Gabriel di tembok. "Siv... sebe... nar... nya... a... ku... sa... yang... sama... kamu... u... dah... dari... la... ma...." ungkap Gabriel. "Aku juga Yel, aku udah dari lama, sejak kita pertama kali masuk kuliah, tapi yang kamu suka itu Shilla, dan aku selalu cemburu melihat kamu sama Shilla" sahut Sivia, mengatakan unek-unek dalam hatinya. "A... ku... ju.... ga... ba... ru.... nya... dar... pas... kamu... ber... dua... an... sama... Ri.. o... di... RS" ujar Gabriel lagi. "Siv, sam.. pe.. in... sama... sobat... kita... per... min... ta... an... ter.. a... khir... dari... aku...." pinta Gabriel. Sivia mengangguk, air matanya tumpah. Ia pun memeluk Gabriel pelan, tak peduli darah Gabriel yang masih bercucuran mengenai kepalanya. "Bu... at... Ri... o... aku... min... ta... dia... jaga... in... kamu... sa... ma... Shil... la..." ujar Gabriel. "Bu... at... Al... vin... aku... min... ta... jaga... in... kamu... sama... Zahra... dan... me... re... ka... ja... ngan... de... bat... la... gi" sambungnya, sementara Alvin menajamkan telinganya untuk mendengar ucapan Gabriel. "Buat... Shilla... bi.. lang, di... a... ha... rus... cari... peng... gan... ti... a... ku..." ucap Gabriel lagi, suaranya melemah. "Bu... at... Zah... ra... di... a... ha... rus... akur... sama... Al.. vin... ka... lau... mau... beran.... tem, gak... bo... leh... di... depan... kamu, Shil.. la... dan... Rio...." sambung Gabriel. "Dan... buat... ka... mu..." ujar Gabriel. "Ka... mu... gak... bo... leh... ego... is... kamu.... ha... rus... bi... sa.... ikhlas... in... aku... per... gi.... ing... nget.... aku.... cin... ta... sa... ma... ka... mu...." sambungnya. "Kamu... ha... rus... bi... sa.... senyum... se... te... lah... ke... per... gian... aku...." ujarnya. "Ing... nget... ka... mu... se... la... lu, di... ha... ti... ku...." sambung Gabriel. "Iya, aku usahain... Yel, aku gak mau kehilangan kamu, aku mau terus ada di sisi kamu, aku mau ngabisin waktu aku sama kamu" sahut Sivia, air matanya terasa di dada Gabriel, walau bercampur darah. "A... ku... ju... ga... Siv... tapi.... i... ni... u... dah... tak... dir... Tu... han... Sivi... a... se... nyum... dong... a... ku... pi... ngin... li... at... se... nyum... ka... mu... la... gi... un... tuk... ter.. a... khir.... ka... li...nya..." ujar Gabriel. Sivia menghapus air matanya dan berusaha untuk tersenyum setulus mungkin. "Nah... gi... tu... dong... a... ku.... su... ka... sa... ma... se... nyu... man... kamu.... ka... mu... ha... rus... sering... sering... senyum... ya.... ing... nget, a... ku... su... ka... nge... li... at... ka... mu... senyum" ujar Gabriel, tersenyum juga. Jadi inget Zahra... batin Alvin. Sivia mengangguk. "Aku janji, tapi aku gak tentu bisa ngelakuin itu... aku sayang banget sama kamu, Yel... aku gak bisa ngelupain kamu gitu aja" jelasnya. "Ka... mu... pas... ti... bi... sa... a... ku... per... ca... ya... itu... a... ku... ba... kal... nga... wa... sin... ka... mu... da... ri... atas... sa... na.... ta... pi... ka... mu... gak... bo... leh... cepet... ce... pet... nyu... sul... aku... ka... mu... ja... ngan... bunuh... diri...." sahut Gabriel. Air mata Sivia tumpah lagi. "Aku gak bakal, aku bakalan terus inget pesan lo ini... aku gak pingin ngecewain kamu..." ucapnya, masih terisak. "A... ku... seneng... denger... i... tu.... Siv, se... an... dai... nya... a... ku... bi... sa... ber... sama... ka... mu... le... bih... lama lagi.... pas... ti... ki... ta... gak... cuman... sepuluh... me... nit...." sahut Gabriel. "9 menit" koreksi Sivia. "Iya... sem... bi... lan... me... nit... a... ja...nga... bis... in... wak... tu... ber... du... a... pas... ti... ki... ta... ma... sih... bi... sa... sama... sama... le... bih... lama... la... gi..." ungkap Gabriel. "Aku juga, Yel... tapi ini lebih baik daripada gak sama sekali" sahut Sivia. "Kamu bener, Siv" ujar Gabriel membenarkan. Mereka pun berbincang-bincang lagi, harapan-harapan kosong, kenangan mereka, dan lain-lain. Tanpa terasa tinggal 30 detik lagi hidup Gabriel yang tersisa. "Siv... ma... af.... ya... a... ku... u... dah... gak... tahan... lagi..." ujar Gabriel disertai erangan-erangan kesakitan. "Gak, kamu pasti kuat Yel, kuatin diri kamu" sahut Sivia tak percaya. "Si... vi... a... i... ni... se... pu... luh... menit... tersakit... se... ka... li... gus... ter... in... dah... buat... aku..." ucap Gabriel. "Aku juga, Yel" sahut Sivia mendesah, suaranya tercekat. "Ma... af... Siv... a... ku... u... dah... gak... kuat... la... gi..." ujar Gabriel, suaranya lemah. "Gak Yel, kamu pasti kuat, kamu gak ninggalin aku kan?" tanya Sivia, air matanya mengucur semakin deras. "Ma... af... Siv... a.. ku... be... ner... be... ner... u... dah... gak... ku... at..." ujar Gabriel lemah, lal kepalanya tidak tegak lagi. Tubuhnya lemas, mulai mendingin. Sivia yang sedari tadi mendengar detak jantung Gabriel yang lemah, melemah, dan melemah... akhirnya berhenti berdetak. Mata Sivia membelalak, wajahnya pucat. "Yel... bangun Yel... jangan tinggalin aku... aku masih pingin sama kamu" pinta Sivia, air matanya mengalih deras. "Yel... bangun..." sambungnya. Tiba-tiba tubuh yang ia dorong pelan ambruk. Ia sudah tidak bernyawa lagi. "Ga... bri... el...?? Ini cuma bohongan, kan? Kamu gak ninggalin aku, kan??" tanya Sivia. Tidak ada jawaban dari Gabriel. "Yel, ini bohongan, kan? Kamu cuma bercanda, kan? Kamu gak mati, kan?" tanya Sivia, mengguncang-guncangkan tubuh Gabriel. Percuma. "Yel??" tanya Sivia, menundukkan kepala untuk mendengar detak jantung Gabriel. Tidak ada yang terdengar. Ia mengangkat tangan Gabriel, lalu berusaha menemukan denyut nadinya. Tetap saja, tidak ada. Percuma. "Ga... bri... el... ka... mu... ningg... ga... lin... a.. ku?" tanya Sivia, air matanya mulai mengucur. "Gabriel!!" teriak Sivia sekeras mungkin. Air matanya bercucuran, deras sekali. Alvin menghampirinya. Ia memegang tangan Gabriel. Dingin batinnya. "Sabar ya Siv... Gabriel udah pergi..." hibur Alvin. "Gak... dia gak pergi... dia gak mungkin ninggalin gue... Yel, bangun Yel!!!" teriak Sivia. Lalu ia menangis lagi. "Siv, lo harus terima kenyataan kalo dia tuh udah pergi!! Dia gak bakal balik lagi! Lo harus nyadar, Siv!!" seru Alvin. "Gak... dia gak ninggalin gue..." sahut Sivia. "Iya, dia ninggalin lo Siv, lo harus terima itu" ujar Alvin. Sivia memandang Gabriel, lalu memeluk tubuh dingin Gabriel. "Yel, aku sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, kamu tunggu aku ya... aku bakal ada di sisi kamu, mungkin masih lama, tapi kamu harus selalu nunggu aku di sana" ucap Sivia. "Sabar ya Siv..." ujar Alvin. Air mata Sivia mengucur lagi. "Yel, aku bakal selalu inget kamu, aku bakal dateng ke makam kamu setiap hari, sampai aku bisa nyusul kamu ke sana, kamu tunggu aku ya..." ujar Sivia lagi. Ia tetap memeluk Gabriel, tidak peduli tubuhnya yang sudah dingin atau makin banyak darah yang menempel di baju dan tubuhnya, atau kenyataan bahwa Gabriel yang ia peluk hanya tubuhnya saja, ruhnya sudah pindah ke tempat lain. Sivia menangis lagi, menangisi Gabriel, Gabriel yang ia suka dari dulu, yang ia kenal, kenangan indah selama 9 menit tadi, ia tak akan pernah melupakan hal itu. "Selamat tinggal Yel, namamu akan selalu terukir di hatiku... yang gak bakal pernah aku lupain, walau kenangan yang indah hanya ada di 9 menit tadi, dan kamu yang tidak akan ada di sisiku lagi... selamat tinggal...." ucap Sivia.

(Part 18)
Satu menit berlalu, Sivia tetap memeluk tubuh Gabriel, menangis, dan Alvin mencoba menghiburnya. Tiba-tiba terdengar suara mobil ambulans. Shilla, Rio dan Zahra turun dari mobil tersebut, dan kaget melihat apa yang terlihat di mata mereka. "Sivia! Lepasin Gabriel... ambulansnya udah dateng, sori ya lama..." seru Shilla. Sivia menggeleng dan terus saja menangis. Shilla dan Zahra menghampirinya. "Udah Siv... lepas aja, ambulans udah dateng! Nanti keburu telat" ujar Zahra lembut. "Liat tuh... dianya udah pucat, trus udah lemes gitu" sambungnya. Alvin menghampirinya, lalu menepuk pelan pundaknya. "Zah... Gabriel... Gabriel udah pergi, Zah..." ujar Alvin. "Apa?" tanya Zahra dan Shilla. Air mata Sivia mengucur semakin deras. Sedang Shilla dan Zahra mulai menangis. "Gak, gak mungkin!! Dia gak mungkin udah pergi.. dia pasti masih ada di sini.... dia cuman pura-pura doang pasti... Yel, bangun Yel, gak lucu... bangun! Ambulans udah dateng..." ujar Shilla tak percaya. Sivia kembali menangis lagi. "I... Iyel bilang, lo ggg.... gak boleh... e... go... is... llloo... lo harus ccc... cari pengganti ddd... dia..." isak Sivia. "Zzz... Zahra... dd... dia bilang... lo gak boleh bbb... berantem lll... lagi sama Al.. vin... kkk... kalau mau bbb... berantem, harus di bbb... belakang kkk... kita semua" sambungnya. "Bbb... buat Rio... lo harus jjj... jagain Shilla sama ggg... gue..." ucapnya lagi. Lalu ia kembali menangis keras. "Gak, gak mungkin... Iyel pasti masih hidup, Siv... dia tuh cuman bercanda... pasti dia gak pergi... Yel bangun Yel.... kita semua sedih... gak lucu" Shilla masih ngotot. "Gggg... gue udah ppp.. periksa denyut nadi sama denyut jjj... jantungnya... gak ada, Shill... ddd... dia udah ppp... pergi..." jelas Sivia. Shilla menghampiri Gabriel, lalu berusaha mendengarkan detak jantungnya. Gak ada, batinnya. Ia pun mencoba mendengarkan denyut nadi Gabriel, tapi percuma. Tidak ada. Tubuhnya dingin, udah mulai kaku... gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin dia udah pergi.... pikirnya. Air matanya mengucur lebih deras. "Gak mungkiiin!!!! Yel bangun Yel!! Jangan tinggalin guee!!" teriak Shilla. Air matanya mengucur sangat deras, sama seperti Sivia. Satu jam pun berlalu, ambulans sudah pergi. Shilla dan Sivia masih saja menangis. Tiba-tiba Sivia berhenti menangis, walaupun ia masih sedih. Matanya merah, hidungnya juga, tapi ia tidak bisa menangis. Air matanya habis. Shilla menangis lagi, entah kenapa air matanya masih banyak. Rio menghampirinya, bermaksud menghiburnya, tetapi ia tidak tau harus berkata apa kepada Shilla. Akhirnya ia hanya duduk di sebelah Shilla. Shilla menangis lagi, lalu tanpa sadar memeluk Rio, dan menangis di pelukannya. Rio kaget, tapi toh ia membalas pelukan Shilla. Hangat... enak banget... hati gue damai, pikir Shilla, merasakan pelukan Rio yang super-duper hangat. Karena itulah Sivia juga betah nangis di pelukan Rio di rumah sakit. Shilla pun berhenti menangis, lalu karena saking enaknya ia tertidur di pelukan Rio. Rio memandang teman-temannya, meminta bantuan. Wajahnya memelas. Teman-temannya tersenyum, ide nakal terlintas di otak mereka. "Yo, jangan bangunin Shilla ya, gue mau pulang dulu pake mobil Iyel, nah, gue, Alvin, sama Zahra pergi dulu ya, ngambil motor lo. Jaga Shilla ya" ujar Sivia, lalu pergi. Alvin dan Zahra mengikutinya. "Woi! Jangan tinggalin gue sendiri!" teriak Rio, hampir membuat Shilla bangun. "Ssstt! Diem! Ntar Shilla bangun! Lagian lo kan gak sendirian, ada Shilla, kan?" tanya Zahra, lalu pergi begitu saja. Rio pasrah, lalu membelai lembut rambut Shilla yang tidur di pelukannya. Ia memperhatikan wajah Shilla yang tertidur, cantik sekali. "Lo cantik banget Shill, itu salah satu alesan kenapa gue bisa suka sama lo" gumam Rio, masih mengagumi wajah Shilla yang tertidur. Dua jam kemudian, Shilla akhirnya bangun, tetapi Rio sudah tertidur dari satu jam yang lalu. Shilla menyadari kalau ia memeluk Rio, lalu ia pun hampir melepasnya. Tetapi, sayangnya ia sudah ketagihan dengan pelukan Rio dan memutuskan untuk menikmati pelukannya sebentar lagi. Tiba-tiba Rio bangun. "Shilla...? Lo udah bangun?" tanya Rio. Muka Shilla memerah, lalu mengangguk. Rio melepaskan pelukannya, dan Shilla pun mengikutinya dengan berat hati. Gue seneng dipeluk lo Yo, kenapa harus selese sih? tanya Shilla dalam hati. Wajahnya menunduk, matanya sedih. "Pulang yuk, katanya Alvin, Sivia sama Zahra udah ngambil motor gue. Mau gak?" tanya Rio. Shilla mengangguk. Mereka pun berjalan ke arah lapangan bawah. Di tengah perjalanan, Rio geregetan ingin memegang tangan Shilla. Rio terus-terusan memandangi tangan Shilla, membuat Shilla merasa tak nyaman. "Kenapa sih Yo?" tanya Shilla. "Gak apa-apa" jawab Rio berbohong. "Ada apa sama tangan gue?" tanya Shilla lagi. Rio memandangi tangannya. "Gak. Bagus aja" jawab Rio lagi. Shilla memasang tampang bingung. Akhirnya mereka sampai juga di motor Rio. Rio langsung naik, diikuti Shilla. Shilla pun memeluk pinggang Rio. Rio kaget tapi senang. "Boleh kan?" tanya Shilla. Rio mengangguk, lalu memacu motornya. Selama perjalanan mereka diam saja, tetapi jantung mereka seperti melompat-lompat tak karuan. "Udah nyampe Shill" ujar Rio. Shilla tersentak. Dengan berat hati ia melepaskan pelukannya lagi, lalu memasuki rumahnya. Sedang Rio langsung memacu motornya lagi.

Esok hari di kampus

"Hai" sapa Shilla. "Hai" jawab yang lain, masih lesu. Shilla melirik ke arah Sivia. Menurutnya Sivia-lah yang paling sedih atas kepergian Gabriel, lihat saja tampangnya. Tatapannya kosong, wajahnya pucat, matanya merah dan bengkak karena kebanyakan nangis. "Siv, sabar ya... lo nangis berapa jam Siv?" tanya Shilla. "Gak tau. Gue abis nyampe rumah langsung nangis lagi ampe jam 10 malem" jawab Sivia kalem. "Sabar ya Siv..." ujar Shilla lagi. "Terus lo sama Rio ngapain?" tanya Sivia. "Mmm... kayaknya Rio deh yang paling tau ceritanya" jawab Shilla, mempersilahkan Rio menceritakan apa yang ia dan Rio alami, sementara ia sendiri kabur ke taman belakang kampus.

Pulang kampus

"Eh, katanya hari ini si Iyel di makamin, ikut gak?" tanya Alvin. "Ikut lah...." jawab Rio, Shilla, dan Zahra. "Gue ikut, gue harus tau si Iyel di makamin ke mana" jawab Sivia. Semua memandang ke arah Sivia, prihatin. "Ya udah, ikut semua kan? Mau nebeng?" tanya Alvin. "Aku ikut kamu lah Vin..." jawab Zahra. "Iya... yang lain gimana? Kan gue sama Rio cuma bawa motor" sahut Alvin. "Gue bawa mobil. Duluan ya, tempatnya di mana sih?" tanya Sivia. "Di Jl. XXX no. XXX (haha, sori... rahasia. ntar di jitak sama iyel kalo di kasih tau... becanda lah, jangan iri ya... boong kok), tau kan di mana?" jawab Alvin yang di sambung dengan pertanyaannya. "Tau lah. Duluan ya..." pamit Sivia, lalu berjalan menuju mobilnya. "Shill? Tumben lo gak bareng Sivia! Nebeng siapa lo?" tanya Zahra. "Nebeng... iya deh, gue ikut Via aja" jawabnya, lalu berlari menyusul Sivia. "Haha... pasti dia mau bareng Rio tuh!" goda Alvin, lalu menggandeng tangan Zahra dan pergi menuju motornya. "Shilla mau nebeng gue... kayak mimpi aja..." gumam Rio sambil berjalan ke arah motornya.

Seusai pemakaman

Sivia menuju mobilnya tanpa di sadari oleh keempat temannya, tatapannya kosong. Setelah sampai di mobil dan masuk ke dalamnya ia pun langsung tancap gas dan pergi. Shilla, Rio, Alvin, dan Zahra baru menyadari Sivia sudah pergi. "Yah... gue pulang sama siapa dong?" tanya Shilla. "Rio. Siapa lagi? Gak cukup naik motor bertiga, lagian kan gue sama cewek gue. Ganggu lu kalo ikut!" jawab Alvin, lalu menarik tangan Zahra dan pergi menuju motornya. "Jadi? mau nebeng?" tanya Rio setelah ada keheningan beberapa menit. "Iya deh, gue lagi boke" jawab Shilla. Lalu ia pun berjalan menuju tempat motor Rio diparkir. Rio naik, lalu Shilla pun naik. Kali ini Shilla memegang bagian belakang motor. "Gak meluk gue lagi?" tanya RIo menahan tawa. "Lo mau?" tanya Shilla balik. "Serah. Peluk aja lagi, daripada lo jatoh trus gue yang bayarin rumah sakit lo? Lagian, kan gak ada salahnya meluk cowok ganteng ini..." jawab Rio narsis. "Buuuu!!" sahut Shilla, lalu melingkarkan tangannya di pinggang RIo. Jantung Rio meloncat-loncat gak karuan, dan mereka pun pergi menuju rumah Shilla. Rio sengaja melambat-lambatkan laju motornya, ingin agar Shilla memeluknya lebih lama lagi, tapi tetap saja ia sampai di rumah Shilla dalam waktu satu jam, padahal kalau kecepatan normal bisa nyampe dalam wakt 10 menit. Shilla sepertinya tidak keberatan, entah kenapa ia merasa senang dan damai dalam pelukan Rio. Padahal gue yang meluk dia ya, kok anget gini sih? tanya Shilla dalam hatinya.

(Part 19)
"Shill? Shill? Shilla!" teriak Rio, membuyarkan lamunan Shilla. "Eh iya ada apa?" tanya Shilla kaget. "Udah nyampe rumah lo, turun gih!" perintah Rio. Shilla menuruti Rio, walaupun dalam lubuk hatinya ia merasa keberatan. "Makasih ya Yo, sampe ketemu besok" pamit Shilla. "Besok kan hari Minggu? Gak ada kuliah kan?" tanya Rio bingung. Muka Shilla menjadi merah, tapi dasar gengsi dia jadi ngeles. "Emang besok kita gak bisa ketemu? Eh tunggu gue di taman ya besok gue gak ngapa-ngapain bosen!" ujar Shilla ngeles. Rio agak tidak percaya, tetapi oh ia setuju. Hatinya berbunga-bunga. "Boleh. Taman mana?" tanya Rio. "Mana kek. Taman sono aja, katanya bagus" jawab Shilla. "Oke, gue jemput jam setengah 7" ujar Rio. "Buset dah pagi amet!" komentar Shilla. "Makanya, jadi orang tuh jangan kebo, bangun tuh yang pagi! Sekalian lari pagi!" sahut Rio mengejek. Shilla cemberut. "Ya udah deh! Gue usahain bangun pagi... ah jelek lo gue di suruh lari!" seru Shilla. "Iya, olah raga dikit lah... lo tuh gue perhatiin kagak pernah olah raga, ntar lo jadi sakit-sakitan loh" sahut Rio. "Iya iya pak guru!! Udah sono pergi, kok gue tiba-tiba jadi panas sama sumpek ya?" usir Shilla. "Ngusir nih ceritanya? Ya udah sampai ketemu besok pagi! Inget, jam setengah 7!" pamit Rio lalu memacu cepat motornya. Hati Shilla berbunga-bunga, entah kenapa.

Sementara itu, Zahra-Alvin

Zahra menurut saja ketika di tarik Alvin menuju motornya. Ia diam saja saat naik motor, dan ia tidak memeluk Alvin seperti yang biasa ia lakukan. Kali ini ia memegang bagian belakang motor Alvin. "Tumban Zah gak meluk?" tanya Alvin. "Males" jawab Zahra singkat. Selama beberapa menit ada keheningan antara mereka. Akhirnya Alvin angkat bicara. "Kamu kenapa Zah? Kok aneh gitu? Biasanya kan kamu yang cerewet ngebicarain ini-itu!" tanya Alvin. "Gak papa kok, cuma gak enak aja" jawab Zahra. Alvin menghentikan laju motornya di sebuah taman. "Vin, kok? Ini kan bukan rumahku!" tanya Zahra bingung. Alvin diam saja, turun dari motornya, dan menggandeng Zahra ke sebuah bangku taman. Mereka pun duduk. "Nah Zah, sekarang cerita, kamu kenapa?" tanya Alvin. "Kan udah kujawab tadi, gak papa... cuma gak enak aja" jawab Zahra. "Gak enak kenapa?" tanya Alvin lagi. "Ya... pas kita jadian kemarin, kan Shilla putus sama Gabriel... trus kamu sama Iyel dan Rio ditangkep polisi, trus kemaren si Iyel meninggal... Sivia jadi gitu. Kadang-kadang aku ngerasa apa karena kita jadian mereka tertimpa musibah gitu? Apa lebih baik kita putus aja Vin?" jawab Zahra yang disambung dengan pertanyaannya. Alvin menghela nafas, lalu menggenggam tangan Zahra erat, dan menatap ke mata Zahra dengan tatapan yang sangat dalam. "Zah, aku sayang kamu dan kamu sayang aku. Setelah kita jadian, baru dua hari kita putus gara-gara ini? Apa kamu gak mikir, apa Shilla dan Sivia serta Rio akan bertambah sedih melihat ini? Apa Gabriel akan seneng liat ini dari atas sana? Inget Zah, dia tuh minta aku buat jagain kamu, tanpa disuruh dia pun aku juga bakal ngelakuin itu. Apa saat ia ngeliat ini dia bakal seneng?" tanya Alvin bertubi-tubi. Zahra menggeleng, air matanya menetes. "Sstt... jangan nangis Zah, ntar aku dikira ngapa-ngapain kamu lagi..." hibur Alvin. Zahra mengusap air matanya, tetapi ia masih terisak-isak. "Bener kan yang aku bilang? Nah, sekarang menurut aku kita harus bisa menjalani hubungan kita ini biasa aja, kayak gak ada kejadian apa-apa. Kalo ditanya kenapa lama banget, bilang aku ngajakin kamu ke taman terus dinner. Oke?" tanya Alvin. Muka Zahra berseri-seri, lalu ia memeluk Alvin erat. "Makasih Vin... aku sayang sama kamu, dan dari detik ini aku tambah sayang sama kamu" ujarnya berterima kasih. Alvin membalas pelukannya lalu tersenyum. "Sama-sama, kamu udah gak apa-apa lagi kan say?" tanya Alvin, mengacak-acak rambut Zahra. Zahra menggeleng. "Eh, ngomong-ngomong kamu mau ngajak aku dinner?" tanya Zahra. Alvin mengangguk. "Kalau kamu mau kenapa enggak?" tanya Alvin lagi. Zahra melepaskan pelukannya lalu menggandeng tangan Alvin. "Dinner sekarang yuk, udah malem. Laper nih..." keluh Zahra, mengusap-usap perutnya. Alvin tersenyum, lalu membimbing Zahra ke motornya. Mereka pun naik, lalu Zahra memeluk pinggang Alvin erat. Alvin tersenyum, lalu memacu motornya ke arah sebuah restoran.

Di restoran

Zahra bengong melihat restoran yang dipilih Alvin. Indah sekali, cocok untuk pasangan yang lagi kasmaran. Restoran itu outdoor, sepanjang mata melihat ada lilin-lilin yang dinyalakan. Di situ seperti taman yang sangat indah, dan bintang-bintang bertaburan bagai permata di atas mereka. Alvin membimbing Zahra ke seberang taman, lalu memilih tempat duduk yang paling mendapat privasi. Mereka pun memesan minuman, makanan, dan lain-lain. Zahra melirik ke arah pasangan-pasangan yang lain, yang cowok memakai jas dan yang cewek memakai gaun indah. "Kenapa Zah?" tanya Alvin. "Gak, cuma risih aja, biasalah cewek, masalah baju" jawab Zahra. Alvin melirik ke arah pasangan-pasangan kasmaran dan Zahra serta bajunya. "Haha, kita emang yang paling beda. Tapi gak apa-apa, buat aku kamu yang paling cantik di sini" sahut Alvin, lalu berdiri dan menuju Zahra. "Mau dansa?" tanyanya. Zahra terlihat ragu-ragu. Ia memandang bajunya, dress ungu marun santai dan jeans, dan rambutnya yang diikat. Alvin tersenyum memandang apa yang dilirik Zahra, lalu mengulurkan tangannya. Ia melepas ikatan rambut Zahra, membiarkan rambut Zahra tergerai indah. Lalu ia mengambil sesuatu dari tas Zahra, yakni bando ungu keberuntungan Zahra, dan memakaikannya. "Nah, sekarang udah mendingan. Mau dansa?" tanya Alvin lagi. Zahra tersenyum, Alvin selalu saja bisa menemukan solusi dari setiap masalahnya. Ia menyambut uluran tangan Alvin dan berjalan ke arah pasangan-pasangan lain berdansa. Mereka pun berdansa, dunia serasa milik berdua. Tak ada yang mengganggu mereka, yang ada hanya satu sama lain. Ketika musik berakhir, barulah mereka sadar total. Pasangan-pasangan yang lain sudah beralih ke makanan pesanan mereka, hanya mereka saja yang berdansa. Alvin dan Zahra berpadang-pandangan, lalu berjalan ke arah meja mereka. Ternyata pesanan mereka datang. Mereka pun makan sambil bercakap-cakap, begitu ributnya sampai yang lain menengok ke arah mereka dan mereka jadi malu sendiri. Setelah sesi makan selesai, mereka masih saja duduk di situ dengan alasan minum mereka belum habis. Restoran itu masih penuh, tetapi meja Alvin dan Zahra masih mendapat sedikit privasi. "Jadi, gimana kimianya?" tanya Zahra. "Mmm... biasa aja tuh" jawab Alvin. "Emang latihan harian dapet berapa?" tanya Zahra lagi. "Nurun. Jadi 80" jawab Alvin. "Kok bisa? Biasanya dapet 95 sampe 100" ujar Zahra bingung. "Gak konsen sama pelajaran" ucap Alvin. "Kok? Biasanya yang paling konsen kan si ini" tanya Zahra, menunjuk ke arah Alvin ketika mengucapkan 2 kata terakhir. "Mikirin kamu" jawab Alvin singkat. "Yah... rupanya kita jadian membawa pengaruh buruk" sahut Zahra. "Hahaha.." ujar Alvin, tertawa. "Aku serius, apa kita emang betul-betul harus putus biar nilaimu naik lagi?" tanya Zahra, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Alvin. "Jangan gitu dong... ntar aku dapet nilai 5" jawab Alvin, bersandar. "Trus aku harus gimana?" tanya Zahra. "Kamu harus jadi kayak gini aja, kamu udah sempurna, aku yang salah" jawab Alvin, sedikit mencondongkan tubuhnya seperti Zahra. "Oya?" tanya Zahra. "Iya. Zah... kenapa kamu begitu sempurna?" tanya Alvin balik. "Gak tau. Emang dari sononya udah cantik" jawab Zahra. Tanpa sadar muka mereka menjadi dekat sekali, ternyata mereka mencondongkan tubuh ke arah satu sama lain. Mereka pun langsung duduk tegak, lalu meminum minuman mereka seakan tidak ada yang terjadi. Mereka melirik kiri-kanan, ternyata semua memperhatikan mereka. "Pulang yuk" ajak Alvin. "Yuk" sambut Zahra. Mereka pun berjalan menuju tempat di mana motor Alvin diparkir, lalu naik ke atasnya. Zahra memeluk Alvin erat. "Jangan cepet-cepet ya Vin" ujarnya. Alvin hanya tersenyum lalu memacu motornya, tidak cepat tidak pelan. Zahra tersenyum, merasakan kehangatan yang menyelimutinya saat ia memeluk Alvin. Akhirnya mereka tiba juga di kosnya Zahra. "Eh Zahra, pulang juga! Ni siapa? Alvin?" tanya Oik, salah satu teman kos Zahra. "Iya. Sori ya pulang malem, dah Vin, ketemu lusa" pamit Zahra. Alvin tersenyum. "Besok mau jalan?" tanyanya. "Ke mana?" tanya Zahra balik. "Maunya ke mana?" tanya Alvin lagi. "Ke Amrik" awab Zahra ngasal. "Hahaha... serius nih, mau ke mana?" tanya Alvin lagi. "Bioskop deh. Besok aja milih filmnya" jawab Zahra mantap. "Di mana?" tanya Alvin. "Di... citos gimana?" tanya Zahra balik. "Boleh. Jemput besok ya jam 11" jawab Alvin mantap. "Iya... dah Vin" pamit Zahra. "Dah Zahra cantik... besok ketemu ya..." pamit Alvin, mengecup pipi Zahra. Zahra menanggapi dengam memeluknya. "Dah Vin... gak sabar besok" ujarnya. Alvin melepaskan pelukan Zahra, lalu tersenyum dan pergi dengan motornya. Zahra tersenyum-senyum, Hatinya berbunga-bunga.

(Part 20)
Keesokan harinya

Shilla masih ada di tempat tidurnya, belum bangun. Padahal sudah hampir jam setengah 7. Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Kusuka dirinya, mungkin aku sayang... namun apakah mungkin, kau menjadi milikku... Shilla terbangun, dengan ogah-ogahan ia mengangkat handphonenya itu. "Halo?" tanya Shilla, mengucek-ucek matanya. "Woi bangun bego!! Udah jam setengah 7!! Lo belum bangun?? Cepet bangun, mandi, sarapan sana!!! Gue kasih waktu 10 menit!!" teriak Rio marah-marah. "Eh, Rio?? Sori Yo, iya iya gue bangun... bentar Yo" sahut Shilla kaget, tiba-tiba kantuknya hilang. Ia segera mandi, gosok gigi, pake baju, trus turun ke bawah buat sarapan. Dalam waktu sembilan menit semuanya selesai. "Akhirnya.... gila ya lo jadi cewek kebo amet sih!! Makanya, bangun tuh yang pagi, kayak gue!" sambut Rio. "Iya iya sori... gue ngantuk banget. Untung lo bangunin, kalo enggak gue masih tidur aja tuh ampe jam 11" sahut Shilla. "Buset dah, jam 11?? Gila ya baru tau gue ada cewek bangun sesiang itu" ujar Rio kaget. "Udah ah, yuk langsung aja ke sana!" seru Shilla, menaki motor Rio. Rio menggelengkan kepalanya sebelum memacu motornya, menuju taman yang terletak di Jl. Musik Pop. Sesampainya di sana, Rio langsung turun dan lari. Shilla masih agak bengong. "Eh Yo! Tungguin gue!!" teriak Shilla yang baru saja sadar dari lamunannya. "Aelah, lo tuh cewek apa siput sih? Lamban amet!" sahut Rio. Shilla segera berlari menyusul Rio. "Gue cewek, gak punya cangkang" ujarnya. "Iya gue tau, udah ah diem aja, konsen sama larinya!" sahut Rio. Shilla menggerutu, lalu menuruti perintah Rio.

Zahra-Alvin

Zahra melirik ke arah jam, lalu menemukan jarum pendek sudah hampir di angka 11. Bentar lagi... duh Vin cepet dong!! batinnya. Tiba-tiba Oik memanggilnya. "Woi Zah, yayang tercinta lo udah dateng tuh, nyariin lo. Sana gih, cepet!" ujar Oik. "Haha, thanks Ik" sahut Zahra singkat, tersenyum. Ia lalu menuju halaman kosnya, tempat Alvin sudah menunggu di situ. "Halo Zah, kamu hari ini cantik deh" pujinya. Zahra tersipu malu, tersenyum. "Udah ah, gak usah gombal-gombal lagi, yuk langsung aja pergi" ucap Zahra sambil menunduk. Zahra pun menaiki motor Alvin, lalu memeluk pinggangnya erat. Alvin hanya senyum-senyum, diem aja tapi. Gak ngapa-ngapain. Oik ngintip dari belakang. 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, 5 menit berlalu Oik panas ngeliat mereka berdua cuma senyam-senyum sendiri aja, gak jalan dan gak ngapa-ngapain. "Woi! Jalan napa? Katanya mau nonton berdua?" teriak Oik, keluar dari tempat persembunyiannya. "Eh Oik! Ngintip lo Ik? Sori Ik, PW" sahut Zahra. Alvin hanya tertawa. "Makanya, kalo ada pasangan lagi kasmaran jangan diintip! Bikin panas sendiri! Eh tapi makasih ya, kalo enggak udah setengah jam kita juga gak jalan-jalan!" ujarnya. "Iya iya! Udah sono, pergi! Hus hus!" usir Oik. "Yah Vin, kita diusir Vin! Jalan gih!" perintah Zahra. Alvin tersenyum kecil lalu memacu motornya, putar balik soalnya pintu ada di belakangnya, lalu motornya melaju kencang, hampir kena Oik. "Kurang ajar lo Viiinnn!!!!!!" teriak Oik. Alvin tertawa, sedang Zahra melotot. Alvin langsung berhenti tertawa melihat reaksi Zahra dari kaca spion. "Sori Zah, gak sengaja" ujarnya. Zahra membuang muka. Alvin memasang muka sedihnya, lalu berusaha konsen ke kegiatan mengemudinya. Sesampainya di mall, Alvin langsung parkir, dan Zahra dengan berat hati melepaskan pelukannya, lalu turun dari motor diikuti dengan Alvin. "Zah..." panggil Alvin. Zahra menengok. Alvin lalu merangkulnya. "Kenapa sedih?" tanyanya. "Udah gak kok" jawab Zahra singkat, lalu melepaskan rangkulan Alvin dan memegang tangannya. "Mau pesen tiket dulu apa makan?" tanya Zahra, mengalihkan pembicaraan. "Kamu udah laper?" tanya Alvin. "Gak terlalu" jawab Zahra. "Pesen tiket aja dulu, ntar telat lagi filmnya..." ujar Alvin. Mereka pun berjalan ke arah bioskop. Setelah memesan tiket, mereka langsung ke Fish & Co. Sesampainya di sana, Alvin langsung memesankan makanan untuk mereka berdua, tapi satu piring (sori, lupa nama makanannya). Zahra sih oke-oke aja, lalu ia dan Alvin menunggu. Zahra menggeser kursinya di sebelah Alvin. "Kenapa Zah?" tanya Alvin. "Gak enak di seberang kamu, lagian di sini kan bisa nyomot makanan lebih banyak" jawab Zahra. Alvin tertawa kecil. Zahra menyandarkan kepalanya di dada Alvin, lalu mendengar detak jantung Alvin yang seperti loncat-loncat ke sana kemari. Zahra tertawa kecil. "Kenapa Zah?" tanya Alvin. "Gak apa-apa" jawab Zahra. Alvin masih bingung, tetapi ia tidak mau memaksa Zahra untuk menjawab. Akhirnya Alvin hanya memeluk Zahra gemas. Zahra tertawa lagi, lalu membalas pelukan Alvin. Ada keheningan antara mereka, seperti kejadian motor di kos Zahra. "Permisi, ini pesanannya" ucap pelayan lembut, membuyarkan dunia Zahra dan Alvin. Spontan Zahra dan Alvin langsung duduk tegak. Pelayan tadi langsung pergi. "Dasar pasangan lagi kasmaran..." gumam pelayan tersebut, menggelengkan kepalanya. Sementara muka Alvin dan Zahra memerah semerah kepiting rebus. Mereka memandang satu sama lain dan langsung tertawa. Zahra berhenti tertawa. "Udah ah, yuk makan... udah laper nih" ajak Zahra. "Iya iya Zahraku.." sahut Alvin, mengecup pipi Zahra. Jantung Zahra seperti meloncat ke langit ketujuh. Alvin tertawa kecil melihat Zahra yang mematung. "Gak usah kesenengan ampe jadi patung gitu... kan cuma kecup pipi doang! Udah ah sekarang makan" perintah Alvin. Zahra mengangguk dan menurut. Alvin mengambil sendok dan mengambil nasi dan ikan, lalu memakannya. Sedang Zahra mencomot kentang dan memakannya. "Katanya laper, kok cuma makan kentang?" tanya Alvin setelah beberapa menit. Zahra mengambil sendok dan memakan cumi-cumi dan cumi-cumi. "Dah... puas?" tanya Zahra. Alvin menggelengkan kepalanya lalu menyendok nasi, kerang, udang dan ikan (mana muat ya dalem satu sendok?), lalu menyuapkan semuanya ke Zahra. Zahra mengerutkan kening. "Udah, makan aja" perintah Alvin. Zahra menurut dan memakannya, jantungnya melompat lagi ke luar angkasa. "Anak pintar..." komentar Alvin. Zahra cemberut. "Jangan cemberut dong... senyum!" ujar Alvin. Zahra tersenyum dengan ogah-ogahan. Alvin tertawa lagi, lalu mengambil nasi, udang, kerang, dan cumi-cumi, lalu menyuapkan Zahra lagi. Zahra memakannya tanpa di suruh. Lalu Zahra menyendok nasi, kentang, udang, kerang, dan cumi-cumi, lalu balas menyuapkan Alvin. Alvin menyambutnya dengan gembira, lalu memakannya. Zahra lalu menyendok nasi dan kerang. "Aaa..." ujar Alvin, minta disuapi. Zahra tersenyum nakal dan memakannya. "GR!!" seru Zahra. Alvin merangkulnya gemas. "Bisa banget sih kamu Zah...." ujarnya gemas. Zahra hanya tertawa, lalu memakan lagi. "Eh, sisain Zah!" ujar Alvin. Zahra tak menanggapinya. Alvin juga mengambil sendok dan makan bersama Zahra. Akhirnya makanannya habis juga. Zahra melirik jam tangannya. "Eh ke bioskop yuk, filmnya udah mau mulai" ajak Zahra. Alvin yang sedang memeluknya dan menyandarkan kepalanya di dadanya menolak. "Yah Zah, lagi PW" keluhnya. "Ntar aja gombal-gombalannya lagi, di bioskop. Yuk, sekalian beli popcorn!" sahutnya. Alvin pun menurut. Ia membayar makanannya lalu menggandeng tangan Zahra, mengajaknya berjalan ke bioskop. Zahra menerima ajakannya dengan senang hati. Sesampainya di bioskop, mereka kaget. Di mata mereka terdapat Rio yang sedang menatap Shilla dalam, seperti orang yang sedang jatuh cinta.

(Part 21)
Sementara Zahra-Alvin kencan, Rio-Shilla

"Woi Yo, lo dapet stamina dari mana sih? Kok gak berhenti lari? Kuat amet sih!" tanya Shilla ngos-ngosan. "Soalnya gue udah biasa lari kayak gini, tiap pagi gue ke taman trus lari! Emangnya elo, jam-jam gini malah tidur!" jawab Rio sambil berlari kencang meninggalkan Shilla. "Woi Yo! Istirahat yuk, gue capek nih!" ajak Shilla. Rio menggeleng. "Lo aja, gue masih mau lari. Daahhh..." tolak Rio, melambaikan tangannya pada kata terakhir. Shilla berhenti sebentar, keringat mengucur dari pelipisnya. Ia menunduk, memegang lututnya, nafasnya tersenggal-senggal. Lalu ia bangkit, melihat Rio yang hampir menghilang dari pandangannya, dan berlari cepat menyusulnya. Tapi larinya lamban banget, soalnya capek. "Rio tungguin gue!" teriak Shilla, masih berlari tanpa menyerah. Rio menengok ke belakang, lalu memelankan kecepatan larinya sampai Shilla ada di sampingnya. "Lo lamban amet sih larinya, lo tuh cewek, kebo, atau siput?" tanya Rio. Shilla menatapnya tajam. "Tiga-tiganya!" seru Shilla jengkel. Rio tertawa. "Udah yuk, udah bosen gue lari" ajak Rio. Shilla langsung menerima ajakannya dengan senang hati. Mereka pun duduk di bangku taman. Rio mengambil minuman dan meminumnya. Shilla juga. "Woi Yo gue laper nih, belom makan!" ungkap Shilla. "Siapa suruh gak sarapan?" tanya Rio cuek. "Lagian pagi amet sih kita ke sini! Mana larinya lama banget lagi, sekarang udah jam setengah 12 tau!!" seru Shilla. "Halah, baru 5 jam lari udah kayak gitu! Gue malah pengen lari lagi! Kalo buakn gara-gara gue kasian sama lo juga gue masih lari-lari dah di sini ampe bosen!" sahut Rio meremehkan. "Ya kan elo, bukan gue! Tapi lo tuh kuat amet sih, 5 jam lari kagak ada capek-capeknya!" ujar Shilla, tak rela diremehkan. "Iya iya... sekarang lo mau makan di mana? Gue traktir deh" tanya Rio berbaik hati. "Tumben lo baik, ngajakin gue makan! Ditraktir lagi!" celetuk Shilla. "Cepet... sebelum gue berubah pikiran nih" ucap Rio. "Iya iya... di PIM aja deh!" ujar Shilla, menjawab pertanyaan Rio tadi. "Ya udah yuk cepet ke sana!" ajak Rio setengah memaksa. "Ke sana? Pake ginian?" tanya Shilla. "Ya dari pada gak pake baju! Yuk ah gue juga udah laper" ujar Rio jengkel, lalu menarik tangan Shilla ke motornya. "Cepet naik! Kalo enggak ditinggal!" ancam Rio. "Ini namanya pemaksaan..." ujar Shilla, tapi ia toh menaiki motor Rio. Rio pun memacu motornya. "Mau makan di mana?" tanya Rio. "Serah deh... yang jelas makan enak" jawab Shilla. "Di mana nih? Gue gak bisa mutusin!" keluh Rio. "Ya udah di... paregu aja deh! Deket-deket sana kan?" tanya Shilla. "Paregu?? Gila di sana kan mahal banget!!" teriak Rio kaget. "Kan elu kaya, masa ngebayarin gitu doang kagak mau? Lagian siapa suruh nanya ginian ke gue?" tanya Shilla santai. "Iya deh!" seru Rio jengkel. Buat lo gue ngelakuin apa aja deh Shill, batin Rio. Rio pun memelankan motornya, jam 1 mereka baru nyampe. Shilla sih oke-oke aja, gak tau kenapa.

Di Paregu

"Nah, ni dia... yuk masuk" ajak Shilla, lalu menarik tangan Rio. Rio sih nurut aja, seneng ini kok. Setelah memilih meja mereka pun duduk. "Shill, lo duduk sini dulu, gue mau ngambil-ngambil. Abis itu elo" perintah Rio, bangkit dari tempat duduknya. Ia pun menuju meja bahan-bahan, memilah-milih makanan dan duduk kembali. "Sekarang lo Shill, ambil sana!" perintah RIo. Shilla sih nurut-nurut aja, melakukan hal yang sama dengan RIo. Setelah kompor dinyalakan dan masakan siap dimasak, Rio langsung menggunakan sumpitnya dan memasak. Dilihatnya Shilla yang diam saja. "Katanya laper Shill, kok gak ngapa-ngapain?" tanya Rio. "Ya gimana mau makan, gue tuh kagak bisa make sumpit edon!!" jawab Shilla. RIo langsung ketawa ngakak. "Shill, lo beneran gak tau? Gila ya gue kira ni anak walau nyebelin bisa ngapain aja, ni make sumpit aja gak bisa! Mana dia lagi yang ngajakin ke sini!!" ledek Rio, lalu ketawa lagi. "Lo kenapa sih? Kan setiap orang ada kelebihan dan kekurangan" ujar Shilla kalem. "Kesambet apaan lo ngomong kayak gitu?" tanya Shilla. "Udah!! Sekarang gue mau makan sama masak pake apa nih?" tanya Shilla mengalihkan pembicaraan. "Makan sayuran aja, kan gak pake sumpit" ujar Rio memberi solusi. "Tapi gue juga mau nyoba yang di bakar" ujar Shilla manja. "Sini, gue ajarin gimana cara make sumpit" ucap Rio, menarik tangan Shilla dan memberinya sumpit. Jantung Rio loncat-loncat gak karuan, ia juga sempat ragu-ragu melakukan hal itu. "Jadi, ini diginiin, trus gini, trus gitu. Bukan gitu!! Nah gitu baru bener! tangannya tuh disini, trus telunjuknya di sini, nah gitu deh! Gampang kan?" tanya Rio agak tergagap, soalnya jantungnya loncat-loncat gak karuan. Hal itu disebabkan ia berkali-kali memegang tangan Shilla untuk mengajarinya. "Iya... thanks ya Yo, tapi lo yang masakin ya, gue masih belom terlalu bisa, ntar sumpit gue lagi yang di masak" pinta Shilla. "Iya Shilla...." sahut Rio setuju. Buat elo Shill, gue lompat dari ketinggian 100 meter juga gue mau Shill... batin Rio. "Hore! Rio baik deh!!" puji Shilla. "Emang, baru tau lo?" tanya Rio. "Iya, udah ah sana masakin gue, laper berat nih gue!" perintah Shilla, dan Rio pun menurut. Setelah makan, mereka duduk aja, kekenyangan. Rio pun membayar, matanya hampir keluar ngeliat angka rupiah yang harus dibayarnya. Shilla ketawa lagi. "Eh Yo, ke PIM yuk, gue mau nonton. Gue bayar tiket gue sendiri kok, lo gak usah keluar duit lagi" ajak Shilla. "Oke. Nonton apa?" tanya Rio. "Alica in Wonderland" jawab Shilla. "Gila ya, lo tuh apaan sih? Bangun siang-siang, lari lamban, pake sumpit gak bisa, manja, nontonnya gituan, childest abiss!" tanya Rio sambil meledek. "Orang! Udah jelas gini!" jawab Shilla jengkel. "Iya gue tau lo orang, tapi udah kuliah kok gitu... heh lo tuh udah gede, bukan anak kecil!" sahut Rio. "Biarin! Yang jelas gue menikmati hidup! Gak kayak lo, hidup tuh harus sempurna mulu!" ujar Shilla jengkel. Rio tertawa. "Ya udah deh gue temenin... hari ini gue lagi baik. Yuk!" ajak Rio, menarik tangan Shilla dan membawanya ke tempat di mana motornya di parkir. Rio naik dan Shilla mengikutinya, lalu Rio memacu motornya.

Di PIM

Rio dan Shilla langsung ke bioskop, memesan tiket dan menuju ke arah barat untuk masuk ke studio 2, tempat film Alice in Wonderland di putar. "Woi Yo, kita tuh makan berapa jam sih? Kok udah jam 2 aja di sini?" tanya Shilla, melihat ke arah jam. Rio mengangkat bahu dengan cuek. Shilla memasang muka sebal. Tiba-tiba Shilla kesandung, lalu jatuh ke arah Rio. Rio yang melihatnya dengan sigap langsung menangkap Shilla, lalu ketika Shilla akan berdiri mata mereka bertemu. Mereka saling memandang dalam diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ternyata Rio orangnya ganteng banget... kok gue baru nyadar sekarang sih? Ah gak pa-palah yang penting gue nyadar! batin Shilla, menatap muka Rio yang berada di depannya. Mumpung ada kesempatan, hahaha. Sedang Rio tidak tau harus berpikir apa, jantungnyalah yang berbicara. Jantungnya serasa melompat-lompat lalu berhenti. "Woi Yo, Shill! Lo berdua lagi ngapain?" tanya Alvin, membuyarkan lamunan Shilla dan Rio. Muka mereka berdua memerah, lalu Shilla pun berdiri. Alvin yang sedang menggandeng Zahra berjalan menuju Shilla dan Rio, lalu memisahkan mereka berdua, memberi jarak. "Udah sana jaga jarak! Bahaya nih kalo gak dipisah!" ujar Alvin. Rio lalu melepaskan pegangan tangan Alvin dan Zahra. "Ni juga bahaya kalo gak dipisah! Sono pergi lu Vin!" usir Rio, mendorong Zahra pergi menjauhi Alvin. "Heh cewek gue mau lo kemanain? Siniin!" perintah Alvin, berlari ke arah Rio dan Zahra. "Ini cewek gue! Sono cari cewek lain! Jangan main ngerebut cewek orang aja! Hus-hus!" usir Alvin, mendorong Rio menjauh dari Zahra, lalu merangkul Zahra, takut direbut sama cowok lain lagi. Rio ketawa ngakak. "Udahlah Vin, gak bakal ada yang ngerebut Zahra kok dari lo, gak usah takut kayak gitu!" hibur Rio di sela-sela tertawanya. Alvin tak peduli, ia tetap merangkul Zahra. "Trus? Kenapa? Iri lo, cowok gue perhatian banget sama gue? Makanya jadi orang tuh jangan ngejomblo mulu, sekali-kali pacaran!" seru Zahra, lalu balas merangkul Alvin. Alvin tersenyum senang, sedang Rio memasang tampang kesal di mukanya. "Lo berdua ngapain?" tanya Alvin, tersenyum melihat Zahra. "Si Shilla minta ditemenin nonton" jawab Rio. "Nonton apa?" tanya Zahra. "Alice in Wonderland. Konyol ya, childest abis!" jawab Rio. "Heh, ngeledek lo? Kita juga mau nonton itu!" sahut Alvin. "Emang yang milihin filmnya siapa?" tanya Rio. Alvin menunjuk Zahra. "Ih gila ya ni dua sahabat ini... ketuleran siapa sih? Kok pada childest semua?" tanya Rio. Alvin melotot ke arah Rio. Shilla tertawa. "Udah yuk, film udah mau mulai, tuh ada pengumumannya" ajak Shilla, lalu semua memasang telinga. "Pintu studio 2 sudah di buka. Bagi yang mempunyai tiket diharapkan segera masuk" setelah pengumuman selesai semuanya menatap ke arah Shilla lagi. "Tuh... yuk cepet masuk!" sambung Shilla, lalu mereka berjalan menuju studio 2.

Studio 2

Di dalam, mereka berjalan ke kursi masing-masing, kebetulan mereka sebelahan. "Shill, samping gue ya" ujar Alvin, membuat Zahra memandangnya dengan tatapan marah. "Gak jadi deh Shill, gue paling ujung aja. Duh Zahraku... jangan cemburu dong... gak jadi kok" ujar Alvin, merangkul Zahra. Zahra melepaskannya. Rio dan Shilla ketawa. "Wayolo... Zahra marah!" goda mereka lalu ketawa lagi. Alvin cemberut, lalu menghadap Zahra. "Zah, maafin aku dong... aku tuh nyuruh si Shilla duduk sebelah aku biar si Rio, gak duduk sebelahku gak betah! Maaf ya Zah... Zahra kan baik, maafin ya ya ya..?" ujar Alvin meminta maaf, memegang tangan Zahra yang membuang muka. Zahra diam saja, masih membuang muka. "Zah..." panggil Alvin lagi. Zahra tak mengacuhkannya. Alvin menatap Rio dan Shilla, wajahnya sedih. Shilla dan Rio yang langsung kasian sama dia memutuskan untuk membantunya. "Zah, cuma gitu doang kok dipikirin... kan si Alvin nyuruh gue duduk sebelahnya juga bukan gara-gara dia mau PDKT sama gue, tapi pengen jauh dari si Rio..." ujar Shilla. Alvin tersenyum kecil. Zahra tak bergeming, tubuhnya sedikit bergetar seperti ada gempa kecil. Rio berjalan ke depan Zahra untuk melihat bagaimana muka Zahra. Awalnya yang terbayang di kepalanya ialah sosok Zahra yang menangis, ternyata yang terlihat adalah muka Zahra yang menahan tawa, matanya kedap-kedip. Spontan Rio ketawa ngakak. "Rio!" seru Shilla, matanya melotot. Rio menutup mulutnya, tetapi ketauan kalau dia masih ketawa. Alvin tak memperdulikannya. "Zah maafin aku Zah, aku janji gak bakal ngelakuin itu lagi, tapi maafin aku dong..." ujar Alvin pelan. Rio tambah pengen ketawa tapi ditahan. Zahra semakin bergetar, dan Rio melihat ia sudah mau tertawa. Zahra memejamkan matanya, berusaha untuk tidak tertawa. Rio menghentikan tawanya. "Vin, mungkin si Zahra mau maafin lo kalo lo minta maafnya teriak biar semua orang denger, kayak pas lo nembak si Zahra" ujar Rio memberi nasehat. Alvin agak ragu tetapi ia melakukannya. "Woi semuanya! Gue pengen semuanya denger dan jadi saksi! Zah, aku minta maaf ke kamu, ini murni dari hatiku, dan aku pengen banget kamu maafin aku..." teriak Alvin. Dia mendapat reaksi yang berbeda-beda. Ada yang terharu, ketawa ngakak, hanya tersenyum, dan semacamnya... sedang Shilla memraktekkan cara muntah, menandakan ia jijik, dan Rio langsung ketawa ngakak sengakak-ngakaknya. Sedang Zahra? Dia menahan keinginan untuk ketawanya yang begitu besar, tetapi akhirnya ia tak tahan lagi. Akhirnya Zahra ketawa ngakak. Alvin bingung. Zahra menyelesaikan tawanya lalu memeluk Alvin dan mengecup pipinya. "Kamu ini gampang banget sih diboongin..." ujar Zahra gemas dan mencubit pipi Alvin. Alvin tertawa, disusul oleh yang lain. Alvin pun memeluknya, wajahnya lega dan ia memejamkan mata. Shilla tertawa, tetapi ia mendengar suara tawa yang hangat dan tidak asing baginya. Ia menengok ke arah suara, dan menemukan Sivia yang sedang tertawa di sana, dengan suara tawa yang ia rindukan darinya. "Eh eh si Sivia ketawa!" pekik Shilla senang. Sahabatnya menengok, dan Sivia langsung berhenti ketawa. "Gue tau lo semua nge-fans sama gue, tapi gak usah ngeliat gue dengan tatapan kayak gitu dong!" ujarnya sebal. Yang lain hanya senyam-senyum sendiri.

(Part 22)
"Eh, si Sivia ketawa juga... kesambet apaan lo Vi?" tanya Rio. "Au, kerasukan kali! Udahlah sana duduk! Filmnya udah mau mulai, ntar ganggu lagi!" perintah Sivia, dan semua pun menurutinya. Akhirnya tempat duduk yang tadi sempat jadi konflik akhirnya diputuskan. Rio deket Sivia, sampingnya Shilla, trus Zahra, sebelahnya Alvin paling ujung. Film pun dimulai. Sesuai ucapan Zahra di Fish & Co., Alvin meluk Zahra dan menyandarkan kepalanya ke dadanya. Zahra membalas pelukannya, sekali-kali ngambil popcorn buat dimakan dan nyuapin Alvin. Rio, Shilla, sama Sivia memandang mereka tajam. "Dasar ya, gak enak banget duduk deket pasangan lagi kasmaran! Gak konsen tau ke film!" bisik Shilla, menyindir Zahra dan Alvin. Yang disindir nanggepin dengan acuh-tak-acuh, malah tambah bikin panas tiga sobatnya. "Gila ya, eh Yo gue tuker tempat dong, gak enak banget sebelah gue! Lo hentiin aja mereka, emang bahaya ni anak dua kalo gak dipisah!" pinta Shilla. Rio menurut begitu saja. "Tumben lo baik banget hari ini Yo!" komentar Shilla. "Tau, lagi baik aja, udah ah diem!" perintah Rio. Shilla menurut. Tapi tetep aja, Shilla ngerasa risih ngeliat dua pasangan kasmaran itu... tapi pasangan-lagi-kasmaran itu emang harus diawasin, kalo enggak takutnya ngapa-ngapain lagi, kan bahaya....

Selesai nonton film, jam 4

"Eh gue baru nyadar, Shill, Yo, lo berdua udah mandi belom sih?" tanya Sivia. "Ha? Eh iya sih, lo berdua bau banget! Udah mandi belom sih?" tanya Zahra. "Ha? Udahlah! Berani amet gue ke sini kagak pake mandi dulu!" jawab Rio. "Gue juga udah! Dia ni maksa gue, 10 menit udah harus makan, mandi, ganti baju, gosok gigi, dan lain-lain!" jawab Shilla menimpali. "Ha? Emang lo berdua ngapain aja?" tanya Alvin. "Pacaran ya? Eh selamat ya!!" tebak Zahra. "Ngaco lu Zah! Kita cuma lari pagi doang" sahut Rio. "Ha? Gimana ceritanya tuh?" tanya Sivia. "Jadi gini, kan kemaren abis pulang dianterin sama Rio, gue kan bilang sama Rio 'sampe ketemu besok', nah gue baru nyadar besok tuh hari Minggu, tapi dasar gengsi kegedean, gue ajakin dia ke taman. Eh dia malah ngajakin gue lari pagi, mana suruh berangkat jam setengah 7 lagi! Trus gue lari sama dia 5 jam, kebayang gak sih? Kuat amet ya staminanya... trus dia bilang mau traktirin gue, tanggung jawab, gue belum makan... kita makan di paregu, trus gue ajakin nonton, ketemu deh!" Shilla mengakhiri ceritanya. "5 jam lari?? Pantesan lu berdua bau kayak gini... ganti baju gak lo berdua?" tanya Zahra. Muka Shilla memerah, ia dan Rio pun spontan menggeleng. "Gila ya lo berdua! Bawa baju gak?" tanya Sivia. Rio mengangguk dan Shilla menggeleng. "Yo, lo ke toilet sono, ganti baju, ditemenin sama Alvin! Gue, Shilla sama Zahra mau beliin baju buat Shilla, ketemu di bioskop, lengkap dengan Rio yang udah ganti baju sama Alvin-Zahra yang siap kasmaran lagi setelah dipisahin... udah gak boleh ada yang nolak cepet lakuin apa yang gue bilang!" perintah Sivia, lalu menarik tangan Shilla yang malu dan Zahra yang nempel banget sama Alvin. "Yah, gue dijauhin lagi dari Zahra, pas lagi nge-date lagi! Bener-bener ya Sivia, tega met! Udah lo juga cepet ayo ke sana, ganti baju, biar gue juga bisa sama-sama Zahra lagi!" gumam Alvin yang langsung disambung dengan bentakannya. "Nyantai napa lu... pisah bentar aja sama pacar gak bisa, emang bener-bener ya lo! Yuk ke sana, ntar gue dimarahin lagi sama Sivia!" sahut Rio, lalu mereka berdua segera ke toilet.

Shilla, Sivia dan Zahra

"Jahat ya lo berdua, gue lagi nge-date ama cowok gue dipisahin, kejam lo berdua!" ujar Zahra marah. "Ya sori, tapi mikir dong, lo mau ke sana, nungguin Rio ganti baju? Atau Alvin yang ke sini, nemenin kita belanja? Mending elu yang ditemenin sama dia, kan lu ceweknya! Ini 3 cewek dia temenin belanja, ntar dikira dia playboy trus kita cewek murahan!" sahut Sivia. Zahra berpikir lalu diam dan kembali memilah-milih baju untuk Shilla. Sivia mengangkat bahu dan melakukan hal yang sama dengan Zahra. Shilla diem aja, setelah dia udah dapet baju dia langsung ke toilet buat ganti baju, trus ke bioskop bareng Zahra sama Sivia.

Bioskop

Zahra langsung disambut sama Alvin. "Zahraa!!" seru Alvin, lalu memeluknya. "Aelah norak lu Vin, gak ketemu 10 menit aja udah kayak gitu! Dasar ya pasangan lagi suka ngegombal!" ujar Rio. "Dari pada lo, jomblo mulu kerjaannya! Masih mending gue, bahagia! Eh ngomong-ngomong lo abis ke mana Siv?" tanya Alvin. "Ke makam Iyel, kan gue udah janji ke sana tiap hari. Lo sendiri ngapain Vin, Zah?" jawab Sivia yang disambung dengan pertanyaannya. Mereka semua diam, lalu Alvin menjawab pertanyaan Sivia. "Nge-date, jemput Zahra di kosannya, makan di Fish & Co., terus nonton" jawabnya. "Trus kemaren pada ngapain?" tanya Rio. "Gue cabut ke kosan gue, males lama-lama di sana. Lo sendiri Yo?" tanya Sivia. "Gue nganterin Shilla pulang, trus ya gitu deh, kan udah tau ceritanya" jawab Rio. "Lo Vin, Zah?" tanya Shilla. "Kepanjangan buat di ceritain" jawab Alvin. "Malem bersejarah tuh" celetuk Zahra. "Ngapain lo berdua? Jangan-jangan jangan-jangan nih!" sahut Shilla. "Maksud lo apa?" tanya Alvin. "Gak, lo ngapain?" tanya Shilla setelah menjawab. "Ngajak Zahra dinner, trus nganter dia pulang" jawab Alvin. "Katanya panjang banget kalo di ceritain?" tanya Rio. "Emang. Itu kan cuma ngasih tau inti dari semuanya. Belum diceritain gue ngapa-ngapain aja kan sama Zahra?" jawab Alvin. "Eh, lo gak ngapa-ngapain Zahra kan?" tanya Sivia curiga. "Ya enggaklah!! Kan gue cuma ngajak dia dinner, dansa, makan, ngomong, nafas, minum, gombal-gombalan... tapi gak ampe segitunya kali!" jawab Alvin. "Iya ah... ha? Dinner? Dansa? Mang lo berdua ke mana?" tanya Sivia kaget. "Ke restoran, tapi gue sih gak tau namanya, si Alvin kok yang milihin... romantis banget tempatnya, kapan-kapan ke sana lagi ya...." jawab Zahra. Alvin mengangguk. "Sori ganggu kasmaran kalian... tempatnya di mana Vin? Penasaran gue!" tanya Shilla. "Di... tu restoran gak punya nama, cuma ada tulisan 'TEMPAT PALING COCOK BUAT BERDUAAN YAITU DI SINI' sama 'ROMANTIC CAFE', sebelah Chillate cafe" jawab Alvin. "Tu cafe punya nama, oneng!! Namanya tuh Romantic Cafe... itu mah gue juga tau, sebelah cafe langganan gue tuh! Gue gak pernah ke sana, soalnya gak ada cewek yang mau nemenin gue ke sana... itu cafe isinya cuma pasangan yang lagi kasmaran semua!" sahut Rio. "Iya ah, yang penting gue dapet momen sama dia, udah ya gue mau pisah, masih mau nerusin acara gue yang diganggu lo lo semua. Lo semua pulang aja sono, daahh..." pamit Alvin, menggandeng tangan Zahra dan menuju PIM 1 buat main Time Zone. "Gue ikut!" teriak Shilla. "Gak! Pulang aja sana hus hus!" usir Zahra. "Jahat lu Zah sama temen sendiri... gue kan takut si Alvin ngapa-ngapain lo, kan buat elo juga Zah!" sahut Shilla. "Gue bisa dipercaya, Shilla... lagian kan kemaren gue juga gak ngapa-ngapain Zahra, gue kan tau diri... masalahnya lo bertiga tuh ganggu kita mulu, kita tuh masih mau nerusin acara kita... masih ada waktu ampe jam setengah delapan. Jam delapan Zahra gak pulang baru deh lo boleh khawatir!" jelas Alvin meyakinkan. Akhirnya Shilla mengalah dan membiarkan mereka berdua pergi, sedang ia, Sivia dan Rio pulang. Jam 7 Alvin pulang mengantar Zahra.

Keesokan harinya di kampus

"Gimana Vin, Zah? Enak nge-datenya?" tanya Shilla. "Iya. Kenapa? Iri? Makanya, punya cowok dong! Jangan nge-jomblo mulu!" jawab Alvin. "Haha, belum ada yang nembak. Eh Zah, Vin, masuk ke kelas ya, udah mau masuk!" sahut Shilla, menarik tangan Zahra ke arah kelas. Sivia ngekor. Alvin memasang muka memelas lalu pergi. "Kasian... Alvin bener-bener cinta mati ya sama lo Zah?" ujar Sivia. "Bagus deh, gak bakal gue putusin tuh cowok!" sahut Zahra, lalu tertawa bersama Sivia dan Shilla.

Jam kosong

Alvin dan Zahra kembali gombal-gombalan lagi di taman belakang. "Buset dah ya... ni anak dua masih aja kasmaran, gak peduli kapan dan di mana... ckckck" komentar Rio. "Alah lo punya cewek paling juga kayak gini Yo!" sahut Alvin. "Iya deh serah... udah ya, gue ke kantin dulu. Gak enak ganggu pasangan lagi gombal" pamit Rio. "Lo ikut gak Shill, Vi?" tanya Rio. "Ikut" jawab mereka berdua serempak. Mereka bertiga pun menuju kantin, sedang Alvin dan Zahra masih aja di taman, peluk-pelukan trus gombal-gombalan gak jelas. Tapi mereka gak sendirian, ternyata ada yang ngintip!

(Part 23)
Orang itu sudah lama memendam rasa suka pada Zahra, tetapi ternyata Zahra suka sama orang lain, dan tentu saja hatinya sakit. Dan ia tidak sendirian, dia ditemani oleh seorang cewek. Cowok itu adalah Obiet, teman Zahra, tinggalnya di seberang kos Zahra. Ngekos juga, bedanya kalo kosnya Zahra khusus cewek, kosnya Obiet itu khusus cowok. Kemarin saat Zahra mau nge-date sama Alvin dia ngeliat, padahal dia mau nyatain cintanya itu. Untung aja, kalo enggak udah malu sendiri gue, nembak cewek yang udah punya cowok, batin Obiet waktu itu. Saat melihat pasangan yang baru 2 hari jadian itu kasmaran, tentu saja ia panas. Cewek yang disebelahnya menatapnya, ia seakan ingin menangis. Bagaimana tidak? Ia, sahabat Obiet. Ia, sudah lama memendam rasa cinta ke Obiet. Dia, setiap hari harus mendengar pernyataan Obiet tentang Zahra, Zahra dan Zahra, teman kosnya sendiri!! Orang itu adalah Oik. Dia berusaha tegar tetapi tidak bisa, perasaannya terlalu lembut. Pikirannya melayang ke peristiwa kemarin, tempat ia berusaha membantu Obiet.

Dalam pikiran Oik

Ia bersembunyi di balik semak-semak rimbun, berusaha memandu Zahra dan Alvin jalan ke jalan yang telah ditentukan, menjalankan misinya tersebut. Ia menjadi cupid bagi Obiet, dan ia melakukannya karena ingin melihat senyuman di wajah Obiet, walau itu berarti ia harus menahan rasa sakit yang amat, sangat berat. Ia kesal melihat Zahra dan Alvin yang tak kunjung berangkat, malah menikmati momen pelukan Zahra. Tentu saja pikirannya panas. Ia bukan tipikal cewek yang sabar, malah kebalikannya. Akhirnya ia keluar dari tempat persembunyiannya itu dan berteriak mengganggu mereka (dialog ada di part 20, kalau gak salah). Alvin pun jengkel dan hampir menabraknya, lalu tertawa puas. Alhasil ia mendapat amarah dari 2 cewek, Oik dan Zahra. Oik jengkel, tapi misinya berhasil. Zahra mengikuti petunjuknya, mereka menuju Jl. Tangga Nada, sesuai dengan rencana. Oik menggeleng-gelengkan kepalanya, siap menerima curhatan Obiet yang kecewa. Dugaannya benar, tak lama kemudian Obiet muncul, dengan bunga dan cokelat yang tak jadi ia berikan kepada Zahra. "Sialan Ik, gue gak berhasil nembak dia. Untung aja, kalo enggak gue udah ceming sendiri tuh" ujarnya. Oik mendengarkan sembari menatap bunga lili putih yang dipegang Obiet. Zahra beruntung banget... disukain cowok cakep, romantis lagi! Lili putih... bunga kesukaan gue. Sori Biet udah boong ke lo, bunga kesukaan Zahra tuh bunga matahari bukan itu, itu bunga kesukaan gue. Coba aja gue yang dikasih... gue pasti udah jingkrak-jingkrak kesenengan! batinnya, lalu mengangguk-angguk mendengar suara Obiet. "Lagian, lonya ngeyel sih Biet, udah gue bilangin si Zahra tuh udah punya cowok, malah tetep aja mau nembak dia. Ceming sendiri kan lu" ujarnya. "Abis, lo kan suka boong, jadi gue gak percaya sama lo!" seru Obiet ngeles. "Ngeles doang lo! Gue doain deh, semoga lu dapet cewek yang pas dan ngertiin lo buat nemenin seluruh sisa hidup lo" doa Oik, memejamkan mata dan memasang pose berdoa. "Haha, amin deh, semoga cewek itu tuh Zahra" sahut Obiet. Oik tersenyum paksa. "Eh jadi tuh bunga ama cokelat mau lo apain? Sayang, bunganya, bagus banget! Cokelatnya juga, mubazir tau!" tanay Oik. "Ini? Buat lo aja, deh! Gue gak deket sama cewek lain!" jawab Obiet, mengarahkan dagunya ke bunga dan cokelat yang tergeletak di sampingnya. Muka Oik berseri-seri, lalu mengambilnya. "Haha, seneng amet lo! Kenapa? Mau lo sayang-sayang tuh cokelat sama bunga? Gue tau, gue tuh emang sempurna, ampe elu aja suka sama gue!" tanya Obiet sambil narsis. Oik tersenyum kecil, lalu tertawa dipaksakan. "Gak, lo tuh gak sempurna, narsis mulu!" sahut Oik pada akhirnya. "Pamit dulu ya gue, sono pergi aja hus-hus, gue mau ngerjain tugas kampus" sambungnya, pamitan kepada Obiet lalu mengusirnya. "Yee... diusir lagi gue! Udah baik gue kasih tuh bunga sama cokelat, malah diusir lagi gue! Udah, gue nemenin lo aja, lagian gue kan satu jurusan, bedanya gue lagi mau lulus S2 lo S1!" keluh Obiet. "Serah lo deh" sahut Oik singkat, lalu Obiet pun mengikutinya, masuk ke kosannya, dan menuju kamarnya. Teman-teman kos memandangi mereka, dan ibu kos memandang mereka tajam, tapi tak bisa mengusir Obiet soalnya itu masih siang, belum malem. Oik tertawa, dan pikirannya terputus di situ, ia pun kembali ke dunia nyata.

"Woi Ik, lo ngapain?" tanya Obiet. "Eh sori, gue bengong" jawab Oik, meminta maaf. "Pinter banget sih lo!" sindir Obiet. "Emang, udah ah cabut yuk, ntar lo sakit ati lagi" ajak Oik. "Lo aja. Gue masih mau di sini" tolak Obiet. Oik mengangkat bahu, lalu sebuah pikiran nakal melintas dikepalanya. Ia lalu berdiri, bukannya kelauar diam-diam. "Dasar ya, pasangan lagi kasmaran... asyik amet sih, gak ngapa-ngapain kan?" tanya Oik, tersenyum nakal. Obiet menatapnya marah. Sedang Oik membalasnya dengan lirikan sinis dan senyum kemenangan. "Haha, makanya punya cowok dong... eh iya Ik, lo kok bisa ada di sini?" tanya Zahra. "Kan gue ngekor lo, ngawasin elo, takutnya di apa2in sama cowok lo itu, kan bahaya" jawab Oik yang udah jelas bohong besar. "Haha, udahlah Ik, gak usah takut, gue bisa jaga diri kok. Eh lo bisa pergi gak? Gue mau berduaan lagi sama dia, lo pasti bosen ya haha... dari tadi gue sama dia ngegombal mulu... udah sana hus hus pergi!" usir Zahra. "Iya iya gue pergi, eh lo berdua langgeng ya... eh Vin, jagaun tuh Zahra!" Oik menurut, lalu mengancam Alvin. "Tenang aja... udah sana pergi, gue mau gombal-gombalan lagi sama cewek tercinta gue ini..." sahut Alvin, lalu mengusir Oik. "Haha, cewek tercinta... gila ya lo berdua... ckckck! Iri gue sama lo, pengen cepet-cepet nyari cowok tapi susah! Belum takdir kali ya... udah ya sono, gombal-gombalan lagi sama yayang tercinta lo itu, tapi dosen udah mau masuk. Daaahhh..." pamit Oik, lalu Alvin dan Zahra menjadi sebal. Akhirnya mereka berdua jalan, tapi dasar emang pasangan susah di pisahin mereka masih aja pelukan! Yang ngeliat jadi sebel setengah mati... apalagi kebanyakan cewek yang patah hati gara-gara hubungan mereka berdua ini... ckckck.

"Eh semuanya, kita sekelompok lho pas kemping!" seru Shilla. "Yes! Tapi tidurnya gak bareng kan?" tanya Sivia cemas, melirik ke arah Zahra dan Alvin. "Apa lo liat-liat? Gak usah mikir macem-macem deh! Tunggu aja ampe kita nikah, baru sono mikirin jauh-jauh juga gak pa pa!" ujar Alvin sinis. "Iya, tapi kapan ngelamarnya?" tanya Zahra. "Ya nanti dong say, orang baru aja jadian 2 hari udah dilamar... apa kata dunia?" jawab Alvin. Zahra cemberut. Alvin merangkulnya. "Gila ya, gak betah gue deket-deket lo berdua! Tunggu dulu napa kita ampe punya pasangan juga, baru ngegombal!" seru Rio marah-marah. "Ya nyantai aja kali pak, sono kalo gak betah! Hus hus!" usir Alvin. Rio tambah sebal. Yang lainnya ketawa. Mereka tidak tau bahwa salah satu dari mereka akan mendapatkan rasa sakit yang luar biasa, dan yang lain akan mengalami tekanan batin...
(Part 24)
Kemping tinggal tiga hari lagi. Dan begitulah, semua biasa-biasa saja. Shilla masih sering jalan-jalan sama Rio, Zahra sama Alvin gombal-gombalan, Oik sama Obiet cemburu, dan Sivia mengunjungi makam Gabriel setiap hari. Ia senang sekali ke sana, menceritakan pengalamannya dan curhatan hatinya, lalu mendapat solusi dari Gabriel. Ia masih saja menganggap Gabriel cowoknya, walaupun jarak antara dia sama Gabriel jauh banget, kehidupannya juga beda. Sering kali ia melihat Gabriel yang sedang memakai baju putih-putih bersandar di pohon dekat makamnya. Ia sudah terbiasa sekarang, dan ia pergi ke makam Gabriel setelah pulang dari kampusnya.

Makam Gabriel

Sivia duduk di kursi dekat makam Gabriel, capek. Jalan dari tempat ia memarkir mobil ke sini emang jauh banget, soalnya makam lagi penuh, ada yang baru aja meninggal dan sedang dikuburkan. Ia iseng melirik ke arah pohon-tempat-nongkrong-Gabriel, dan matanya menangkap sesosok laki-laki yang ia kenal, Gabriel. Sivia tersenyum, diberikannya senyum yang setulus dan semanis mungkin. Laki-laki itu balas tersenyum, mengangkat tangannya, mengisyaratkan 'hai', berjalan lalu menghilang. Sivia menggelengkan kepalanya, lalu ia melihat ke arah langit, pikirannya kembali ke masa lalu, pertama kali ia 'menjenguk' Gabriel.

Sivia memarkir mobilnya, lalu berjalan ke arah makam Gabriel. Ia duduk lalu memandangi makam tersebut. Ia mendoakan Gabriel, lalu pikirannya melayang ke kenangan paling indah antara mereka, yaitu kenangan 9 menit jadian. Air mata Sivia hampir terjatuh, lalu ia melihat sesuatu yang aneh. Ia menghapus air matanya, lalu memeriksa isi pot bunga kecil itu. Ia melihat sesuatu yang aneh, seperti semacam kertas yang digulung dan ditaruh di sana. Ia mengambilnya, lalu membuka gulungannya dan mulai membaca. Matanya membelalak. Ia menjatuhkan kertas itu, perasaannya takut. Tu... tulisan Gabriel? Gak mungkin, Yel kamu gak gentayangin aku kan? batin Sivia ketakutan. Lalu diambilnya kertas tersebut, lalu mulai membacanya dalam hati.

Untuk Sivia...
Sivia, aku masih sayang sama kamu, walaupun jarak antara kita tuh jauh banget... aku masih menganggap kalau kamu tuh cewek aku, apa pun yang terjadi. Tapi kamu juga harus cari pengganti aku, kamu gak boleh egois. Tenang aja, aku tuh gak gentayangin kamu, tapi kalau kamu mau cerita atau curhat ke aku kamu dateng aja ke sini, besokannya bakal nemuin kertas kayak gini lagi, jangan kaget lagi ya... kamu janji kan bakal ngunjungin makamku tiap hari? Aku seneng banget Vi, ntar kalau kamu mau bolos kunjungan ke makam kamu bilang sama aku, biar aku gak khawatir dan gentayangin kamu, hehe... Sivia, aku pingin liat senyuman kamu, dan aku gak mau ngeliat tangisan kamu, jadi kamu harus tegar, kamu harus ngerelain aku pergi dan cari pengganti aku, tapi kamu ingat aku terus ya, karena orang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain... keren ya bahasanya? Aku ambil dari komik conan, hehe. Segini aja ya, gak tau harus nulis apa lagi. Inget ya Siv : kamu harus selalu tersenyum, gak boleh nangis karena kepergian aku lagi. Kamu juga harus cari pengganti aku dan jangan akhiri hidup kamu (jiah... bahasanya!) untuk nyusul aku. Itu aja ya, jangan takut ya Siv... aku masih cinta sama kamu.
Gabriel,


Sivia yakin itu tulisan Gabriel. Lagi pula ada tanda tangan Gabriel yang rumit banget, gak ada orang yang bisa menirunya. Air mata Sivia tumpah lagi, lalu ia menangis. Ia menengok ke kanan, lalu menemukan satu sosok yang sangat dikenalnya sedang menatap ke arahnya, menyandar di pohon. "Gabriel?" bisik Sivia. Sosok itu tersenyum, lalu mengangguk. Ia mengangkat tangannya dan menarik bibirnya agar tersenyum, mengisyaratkan Sivia untuk tersenyum. Sivia buru-buru menghapus air matanya dan tersenyum setulus mungkin ke arah Gabriel. Gabriel mengangkat jempolnya, berjalan lalu menghilang. Sivia tersenyum semakin lebar, menyengir, lalu tertawa sendiri. Setelah berhenti ketawa ia pun berbalik badan ke arah makam Gabriel. "Yel, aku kangen sama kamu, surat-surat dari kamu bakal aku simpen selamanya. Aku bakal selalu inget pesan kamu ini, aku akan tersenyum mengingat kamu. Aku bakal cari pengganti kamu, tapi aku gak bakal buru-buru soalnya aku belum bisa cari yang lain, aku masih terlalu cinta sama kamu. Aku emang tipikal cewek setia. Oya Yel, aku abis ini mau nonton, kamu ikut ya! Yel, kamu tau gak kalau aku kemarin nangis berapa jam? Aku gak tau juga sih, tapi aku nangis sampe jam 10 malem... jangan marah Yel, aku sedih banget. Mmm... sampe ketemu besok ya Yel, gak usah nulis surat. Ntar aja kalau aku udah curhat. Dah Yel..." cerita Sivia lalu pamit. Sivia mengambil tasnya, memasukkan surat dari Gabriel itu, lalu pergi. Gabriel ngekor, mau nemenin Sivia nonton. Diajak ini! Lalu ia mengakhiri pikirannya itu dan menatap makam Gabriel. "Yel, tadi aku ngelamunin kejadian pas pertama kali aku jenguk kamu ke sini... oya Yel, tau gak aku tuh sebel banget sama Zahra sama Alvin! Kerjaannya ngegombal mulu! Di kampus aja mereka bela-belain buat ngegombal di taman belakang. Ada yang ngintip aja mampus! Tapi anehnya, pas pertama mereka jadian kan si Alvin nurun nilainya, pas udah gombal-gombalan nilainya naik! 100 mulu! Hebat ya? Walah, dapet deh beasiswa ke luar negeri buat S3... iri deh, haha S1 aja belum tamat ya? Oya Yel, aku izin ya bolos seminggu, ada kemping tiga hari lagi. Tapi jangan gentayangin... takut nih! Gak pa pa sih, aku kan udah biasa. Tapi wujudnya normal ya, jangan yang udah diubah-ubah jadi serem, ntar gak bisa tidur, hahaha..." cerita Sivia, ngomong sendiri kayak orang gila. Penjaga makam menatap dia dengan pandangan bingung, sedang Sivia gak nyadar. "Udah ya Yel, aku pulang dulu. Besok aku dateng lagi!! Jangan lupa suratnya ya, aku sayang sama kamu" pamit Sivia, lalu tersenyum manis. Ia pun pergi dari situ dan pulang ke rumahnya.

Di kampus pagi harinya

Alvin lagi berantem sama Zahra, di lapangan lagi. "Lo tuh ya Vin, gue gak nyangka ternyata lo tuh playboy! Katanya bakalan setia, ternyata lo tuh backstreat! Jelek lo Vin, kita putus! Gue gak mau ngeliat muka lo lagi!" bentak Zahra. Kata-katanya tadi membuat Alvin bagai kesambet petir, makin lama makin kenceng. Zahra pun pergi, tetapi Alvin menarik tangannya. "Lepasin gue!" teriak Zahra, meronta-ronta. "Gue salah apa Zah? Apa kata-kata gue tuh bener, gue bakalan setia sama lo! Gak mungkinlah gue backstreat! Gue gak mau kita putus, dan gue masih pingin liat elo lagi. Salah gue apa sih? Cewek gue tuh cuma satu!" tanya Alvin. "Dia siapa?" tanya Zahra, menunjuk ke arah seorang cewek. "Zevanna, sahabat gue. Emang kenapa?" tanya Alvin setelah menjawab. "Sahabat, kata lo? Hah, gue baru tau! Ngaku aja, dia tuh cewek backstreat elo, dia aja udah ngaku! Gue kecewa sama lo Vin, gue kira lo tuh setia, dan gue kemakan semua omongan lo!" ujar Zahra sinis. "Enak aja! Mana buktinya? Gue tuh cuma cinta sama lo Zah!" sahut Alvin, meminta bukti. Zahra merogoh tasnya, lalu menunjukkan beberapa lembar foto. "Nih!" ujarnya, mengacungkan fotonya sebelum memberinya ke Alvin. Foto itu menunjukkan gambar Zevanna yang sedang memeluk Alvin, Alvin pun balas memeluknya. Dan itu saat malam, di depan restoran romantis pula! "Gue udah dapet bukti, lo berdua keliatan mesra banget! Selamat ya, langgeng! Sono, gombalin aja tuh cewek lo!" teriak Zahra. "Dari mana lo dapet ni foto? Ini gak bener! Gue gak suka sama dia! Gue cuma suka sama lo Zah, lo harus percaya sama gue!" seru Alvin. "Gue gak mau tau! Gak pernting gue dapet ni foto dari mana, yang jelas ni foto jadi bukti! Lo tuh kejam sama gue Vin!" sahut Zahra. "Tapi Zah, lo harus percaya sama gue, gue sama Zeva tuh gak ada apa-apa" ujar Alvin memelas. "Oh jadi lo gak ngakuin gue? Udahlah Vin, kedok lo tuh udah kebuka, relain aja dia! Gue kan cewek baik, gue masih mau sama lo!" teriak Zevanna, menghampiri Alvin dan memeluk lengannya. "Tuh, udah ya, langgeng! Sana, gombalin aja tuh cewek lo!" teriak Zahra sambil menarik tangan Oik dan Shilla yang sedang berpegangan ke Sivia, jadi tiga orang sahabatnya itu ditarik ke toilet cewek. Zahra hampir menangis, tapi ia tahan. "Udah Zah, kalau mau nangis nangis aja, gak pa pa kok" ujar Sivia lembut. Zahra pun menangis. "Gue gak percaya, gue udah percaya sama dia, gue udah gombal-gombalan sama dia, ternyata dia tuh kayak gini, dasar Zahra bego!" ujarnya sambil terisak. "Udah Zah, gue jadi ngerasa bersalah. Kan gue yang ngasih foto itu" ucap Oik, kepalanya menunduk. "Lo gak salah kok Ik, lagian gue yang harusnya berterima kasih sama lo, berkat lo gue tau dia tuh cowok brengsek" ujar Zahra meyakinkan, menghapus air matanya dan tersenyum. Oik hanya tersenyum kecil, ia juga kaget dengan kedok Alvin. "Udahlah, yuk ke kelas, lupain aja Alvin Zah, dia tuh bukan siapa-siapanya elo" ajak Shilla. Zahra mengangguk dan mengikuti Shilla menuju ke kelasnya. Malangnya, di jalan dia ketemu Alvin lagi. "Eh Zah, gue minta maaf Zah, tapi itu semua cuma salah paham!" ujar memulai. Zahra mendorongnya lalu berjalan lagi. Alvin mengejarnya. "Zah dengerin penjelasan gue dulu dong!" paksanya. "Gak! Semuanya udah jelas! Gue gak mau ketemu sama elo lagi dan pergi sekarang juga!" teriak Zahra. Alvin tak menyerah. "Gue tau lo benci sama gue, tapi ini semua cuma salah paham, dan gue bisa jelasin..." ujarnya. "Udahlah Vin, si Zahra udah capek. Lo gak usah mainin dia lagi. Dia tuh cewek, dan dia tuh sederajat sama lo. Terus terang gue jijik sama lo Vin, jadi lo mending pergi aja!" teriak Shilla, menunjuk ke sebuah arah. "Tapi gue bisa jelasin..." sahut Alvin keras kepala. "Lo tuh budek ya? Kalo lo beneran cinta sama Zahra lo mestinya nurutin dia, dong! Dia tuh gak mau ketemu elo lagi, trus dia minta lo pergi. Kalo lo cinta sama dia lo turutin dia!" teriak Oik, memotong kata-kata Alvin. Alvin terpaku, lalu pergi begitu saja. Zahra menangis lagi, semuanya memandang prihatin. Tetapi, ada satu orang yang tersenyum, satu orang lagi gak tau harus sedih atau seneng. Zevannalah yang tersenyum, lalu ia menghadap ke seseorang, tangannya diulurkan, mengisyaratkan bahwa ia meminta sesuatu. "Nih" ujar yang satunya, memberikan sebuah amplop cokelat. Zevanna tersenyum senang, lalu menghitung uang yang ada di dalamnya. "Awas, jangan sampe bocor!" ancam seseorang. Zevanna tersenyum licik. "Tenang aja, gak bakalan ada yang tau. Seperti kata lo" sahutnya, lalu menghadap orang itu dan melirik licik, senyumnya licik dan gayanya genit. "Gue kan profesional" sambungnya, lalu membuang muka tetapi raut wajahnya tetap sama. "Iya ah" sahut yang lain, kembali memerhatikan Zahra yang sedang menangis.

(Part 25)
Zahra akhirnya bisa tenang juga, lalu ia pun menghapus air matanya dan pergi menuju kelasnya. Yang lain ngikutin, tapi Oik cuma nganterin sampe depan pintu doang, secara dia kan beda jurusan. Oik jurusan astronomi dan Zahra, Shilla, dan Sivia jurusan medis. Setelah ketiga temannya itu masuk kelas ia pun meneruskan perjalanannya masuk ke kelasnya. Ia melamun, tapi ia hafal banget jalan ke kelasnya, jadi dua gak nyasar. Ia melamunkan pengalamannya itu, saat perjalanan sampai dia duduk di bangku kelasnya itu.

Oik sedang serius belajar, seminggu lagi ada ujian soalnya. Tiba-tiba Obiet memasuki kamar kosnya, membuyarkan konsentrasinya. Jantungnya lompat-lompat gak karuan ngeliat Obiet. "Belajar lu Ik? Rajin amet. Ujian kan masih seminggu lagi" komentarnya. "Iya, gue kan anak rajin. Mau ngapain lo?" tanya Oik. "Gue ke sini mau ngomong sama lo, tapi jangan di sini. Jalan yuk, ke mana gitu" ujarnya. Oik berhenti bernafas, lalu mengangguk kaku. "Yuk" ujar Obiet. Oik kembali bernafas, lalu mengikuti Obiet. Dia gak perlu ganti baju, toh dia pake jeans sama kaus serta cardigan ini. Abis dari kampus, tapi males ganti baju. Ia memakai sepatunya, lalu menaiki motor Obiet. Obiet pun memacu motornya. Mereka sampai di sebuah cafe, Chillate Cafe namanya. Mereka pun duduk dan memesan minuman. "Gue pesen icolate, lo Ik?" tanya Obiet. "Agroovy, sekalian Zyai Pie ya" jawabnya. Pelayan mencatat pesanan mereka, lalu pergi. "Jadi kenapa Biet? Kok tiba-tiba ngajak gue jalan kayak gini?" tanyanya. "Gini, lo tau kan gue temenan sama Zevanna?" tanya Obiet. "Iya. Mang dia kenapa?" tanya Oik. "Lo tau juga kan si Alvin punya banyak sahabat cewek?" tanya Obiet lagi. "Iya. Udah gak usah banyak cincong lagi, intinya apa?" tanya Oik kesal. "Gue dikasih ini sama sobat gue, lo gak usah tau dia siapa" jawab Obiet, memberi Oik beberapa lembar foto. Mata Oik membelalak. "Foto itu asli, gak di edit. Gue juga kaget Ik" sambungnya. "Gue gak percaya, si Alvin gak mungkin ngelakuin ini kan?" tanya Oik histeris, manunjukkan foto Alvin yang sedang memeluk Zevanna pada saat malam hari dan depan restoran romantis pula. "Gue juga awalnya gak percaya Ik, tapi ini beneran. Gila ya si Alvin itu, padahal dia sepupu jauh gue. Dia playboy ternyata" jawab Obiet. Oik mengangguk, di pikirannya ia kaget. Dikiranya Alvin adalah pilihan Zahra yang terbaik, sampai hari ini. Ia benar-benar tak mempercayainya. Ia harus memberitau Zahra sebelum hubungan ia dan Zahra mengalir semakin jauh. "Gue emang udah benci sama si Alvin dari dulu. Dia selalu aja ngerebut hak gue semuanya!" omelnya. "Ini aja kan? Udah ya gue pulang dulu. Fotonya gue ambil, besok gue kasih tau Zahra. Dia mesti tau kalau Alvin tuh cowok brengsek yang gak pantes buat dia. Lo pulang sendiri aja, gue bisa sendiri kok" pamit Oik. "Gak, lo pulang sama gue. Titik. Tuh, makanan lo dateng. Abisin dulu gih!" perintah Obiet. Oik menggerutu lalu mulai makan. Perintah Obiet mana bisa dia tolak? Setelah menghabiskan painya ia berdiri. "Udah dibayar kan? Yuk pulang" ajaknya. Obiet mengangguk dan berjalan ke arah motornya. Mereka pun pulang.

Keesokan harinya, hari ini, Oik memberitau Zahra apa yang dia dengar kemarin. Zahra tak percaya. "Dia tuh emang punya banyak sahabat cewek, dia sendiri kok yang ngasih tau gue! Dan gue percaya kok sama dia" ujarnya tak percaya. "Tapi lo harus! Lo harus tau kalo dia tuh cowok brengsek sebelum lo jadi terlalu nyesel Zah" sahut Oik memaksa. "Gak! Gue percaya sama dia!" ujar Zahra menolak. Oik menghembuskan nafas, lalu merogoh tasnya. "Gue punya buktinya. Nih" ucap Oik, memberikan beberapa lembar foto. Zahra menerimanya, lalu melihatnya. Seketika wajahnya pucat. "Itu foto asli, bukan editan. Kalau diedit pasti udah keliatan. Sekarang lo percaya kan sama gue?" tanya Oik. Zahra masih pucat, tetapi ia masih mengangguk. Ia masih perlu melihat beberapa lembar foto yang lain. Lalu ia menghembuskan nafas. "Gue harus putusin Alvin sekarang juga" gumamnya, lalu pergi ke lapangan tempat Alvin berada. Setelah menemukannya Zahra langsung menamparnya, lalu terjadilah peristiwa pagi itu. Tiba-tiba ada yang menepuk pundak Oik, membuyarkan lamunannya. Ternyata itu Obiet. "Kaget gue Biet. Kirain setan" ujarnya. Obiet tertawa, membuat Oik merasa jantungnya sudah lebih cepat daripada biasanya, jauh lebih cepat. Mereka pun berbincang-bincang sebentar, lalu berhenti ketika dosen sudah memasuki kelas mereka. "Ik, ntar gue mau nembak si Zahra, pas kemping sih" ujar Obiet. Ketika mendengarnya hati Oik langsung hancur berkeping-keping, tetapi ia senang juga. Kalo lo bahagia gue rela Biet, meskipun gue harus ngorbanin perasaan gue ini, batinnya. Ia pun tersenyum pahit. "Bagus dong. Kalo diterima langgeng ya, tapi gue kecipratan PJ ya" ujarnya, tenggorokannya tercekat tetapi ia berusaha terdengar biasa-biasa saja. Tapi malah jadi tambah aneh. "Lo sakit ya Ik?" tanya Obiet. "Gak kok, udah peratiin ntar dibentak sama dosen galak!" jawab Oik. Obiet meraas curiga, tetapi ia toh menuruti Oik. Pasti si Oik ada masalah cewek, pikirnya, selalu berpikir positif memang salah satu sifat Obiet. Hati Oik yang pecah berusaha disatukannya kembali, tetapi ia tak bisa. Air matanya hampir menitik tetapi ia tahan sampai akhir pelajaran. Sepanjang pelajaran ia tidak bisa berkonsentrasi. Ia terus-terusan melirik Obiet, dan tak ada satu pun pelajaran itu yang masuk ke kepalanya. Seusai pelajaran ia langsung berjalan cepat ke arah toilet cewek, dan berpapasan dengan Zahra, Shilla dan Sivia. Air mata Oik yang tidak terbendung lagi tumpah saat itu. Zahra melihatnya, lalu segera mengajarnya. "Ik? Ik lo kenapa?" tanya Zahra. Oik tak memperdulikannya dan terus menangis di toilet cewek. Zahra bertambah khawatir. Bagaimana pun, Oik adalah sahabatnya. Oik menyelesaikan tangisannya dan keluar dari toilet dengan mata merah. Saat itu Obiet baru menemukan Zahra dan mendekatinya, tetapi ia melihat mata Oik yang merah, menandakan bahwa ia baru saja selesai menangis. Obiet pun membatalkan niatnya dan berjalan menjauh. Ia tau Oik butuh teman cewek untuk menjadi teman curhatannya dan Oik tidak mau ada cowok yang mengetahui masalahnya, kalau iya pasti Oik telah menceritakan itu padanya. "Ik? Ik lo kenapa nangis?" tanya Zahra khawatir. "O..." jawab Oik memulai, lalu menarik nafas panjang. "Obiet, Zah. Lo tau kan gue suka sama dia?" jawab Oik lalu bertanya. Zahra mengangguk. "Mungkin gue harus bocorin rahasia dia, toh dia juga bakal bilang sama lo. Tapi lo pura-pura aja gak tau, ntar si Obiet marah sama gue" sahut Oik, menarik nafas lagi. Zahra mengangguk lagi, lalu Oik berpikir sebentar, mencari kata-kata yang tepat. "Jadi, dia kan sobat gue, dan dia sering curhat sama gue. Tau gak dia curhat apa?" tanya Oik. Zahra menggeleng. "Apa?" tanya Zahra. "Tentang perasaannya ke lo Zah, betapa dia suka sama lo, sedihnya dia pas dia tau lo udah jadian sama Alvin, dan gue jadi cupidnya dia Zah, buat ngejodohin lo sama dia" jawab Oik. Zahra menatapnya tak percaya. "Beneran Zah, gue bantuin dia soalnya gue mau ngeliat senyuman di wajahnya, wajah bahagianya, dan gue gak mau liat wajah sedihnya lagi. Karena kalau gue ngeliat dia bahagia gue juga bahagia, dan kalo dia sedih gue juga sedih. Rasa cinta gue terlalu besar buat dia Zah" ceritanya. Zahra mematung, ternyata Oik menyembunyikan masalah sebesar ini darinya. "Dan lo tau apa yang dia curhatin ke gue hari ini tadi di kelas? Dia bilang dia bakal nembak lo Zah" sambungnya. Mata Zahra membelalak. Air mata Oik tumpah lagi. "Gu... gue mau lo terima Zah, gue mau ngeliat dia bahagia" pintanya. Zahra terdiam, ia memeluk Oik dan membelai rambutnya. "Sori Ik, gue gak bisa nerima dia, soalnya gue gak suka sama dia. Apalagi cinta" tolak Zahra. Oik mengangguk lembut. "Gue ngerti kok Zah, gak apa-apa, gue gak maksa lo kok. Gue cuma pingin bantu dia aja" sahut Oik, melepaskan diri dari pelukan Zahra. "Makasih ya Zah udah mau dengerin gue, gue lega banget sekarang. Sori ya kalau lo shock, gue nyembunyiin masalah sebesar ini dari lo, gue emang gak bisa bilang ke lo soalnya gue gak enak sama Obiet" ujarnya tulus. Zahra mengangguk. "Sekarang lo bisa cerita apa aja ke gue. Sabar ya Ik, gue tau cobaan lo besar banget, kita ke kelas lo yuk" ajak Zahra. Oik mengangguk, lalu mereka menuju ke kelas Oik. Di sana ada Obiet, wajahnya cerah banget ngeliat Zahra masuk.Oik yang saat itu berpegangan tangan dengan Zahra mencengkram tangan Zahra. Zahra mengerti. "Hai Zah... tumben lo ke kelas gue!" sapa Obiet. "Iya, mau nemenin Oik bentar. Gimana kabar lo Biet?" tanya Zahra. "Baik, lo Zah?" tanya Obiet membalas pertanyaan Zahra. "Baik juga" jawab Zahra singkat. "Ik, lo kenapa? Nangis?" tanya Obiet. Oik hanya diam terpaku. "Dia kesakitan perutnya Biet, katanya sakit banget. Biasalah cewek" jawab Zahra. "Oh, maklum ya gak pernah ngerasain, jadi gak kelintas di kepala" ujarnya sambil nyengir. Zahra tertawa agak dipaksakan. "Eh Zah, mau jalan gak hari ini?" tanya Obiet. "Gak, kalo lo mau ngomong mending di sini aja" jawab Zahra. "Kok lo tau gue mau ngomong sama lo?" tanya Obiet. "Lo kan emang kayak gitu. Ngajak jalan buat ngomong" jawab Zahra cuek. "Oh. Guma mau bilang, gue turut sedih ya pas kejadian tadi pagi" ujarnya. Zahra menaikkan kedua alisnya. "Gue sayang sama lo Zah, udah sejak lama. Gue gak bakalan maksa lo buat jadi pacar gue, tapi gue emang bener-bener sayang sama lo. Kata orang, obat patah hati ialah mencari cinta baru... kenapa enggak gue aja yang jadi obat lo itu? Gue bener-bener
sayang sama lo Zah" ungkap Obiet. Zahra menghembuskan nafas panjang, melirik ke arah Oik yang mematung. Air matanya sudah jatuh, tapi sepertinya Obiet tak memperhatikan. Baguslah. "Sori Biet, gue gak suka sama lo. Gue juga gak siap buat ngebuka hati gue, karena jujur gue masih suka sama Alvin, walau gue tau dia tuh cowok brengsek. Tapi cinta gak bisa memilih, dan siapa tau takdir bakal kasih gue sama siapa? Jadi, untuk sementara ini gue masih shock, dan gue hargain kalo lo gak nyinggung-nyinggung tentang seberapa besar lo cinta sama gue atau Alvin lagi" sahut Zahra. Oik terlihat sedikit lega. Obiet mematung. "Tapi Zah, gue bisa ngebuktiin..." ujar Obiet memulai. "Gak, gue gak mau denger. Gue udah cukup sakit denger kenyataan Alvin tuh cowok brengsek, dan gue gak mau ungkit-ungkit tentang masalah cinta gue" potong Zahra lalu pergi. Oik menepuk pundak Obiet. "Sabar ya Biet" ujarnya lembut. "Aarrgghh!! Kenapa sih dia tuh masih cinta sama Alvin? Gue tuh kurang apa? Si Alvin tuh selalu dapet segalanya, dan gue selalu aja gak dianggep!" teriak Obiet stress. "Lo jangan gitu dulu Biet, pasti di luar sana ada cewek yang cinta sama lo apa adanya" sahut Oik. Atau mungkin cewek itu ada di sini Biet, batinnya. "Lo bener Ik. Makasih ya Ik, lo tuh selalu aja bisa ngasih gue solusi dan nenangin hati gue" ujarnya. Oik hanya tersenyum kecil. Tapi buat gue, lo lebih dari sekedar sahabat Biet, batinnya

Tiga hari kemudian, mau pergi kemping

"Eh Zah, lo sama gue ya" ujar Obiet. "Jangan! Sama gue aja Zah!" sahut Alvin. Zahra mengangkat alisnya lalu berkata, "Gue gak sama lo berdua, gue sama Sivia sama Shilla" pamit Zahra lalu melambaikan tangannya. Yang ditinggalin ngeluh. Sementara itu, Oik kebingungan harus berangkat sama siapa. "Ik! Kenapa lo kebingungan gitu?" tanya Obiet. "Gue gak tau harus pergi ama siapa, mau ikut Zahra udah pergi duluan. Yang lain juga udah, gue ama siapa dong?" jawab Oik. "Sama gue aja! Kasian gue sama lo, lo kan udah banyak bantuin gue!" ujar Obiet berbaik hati. "Lo sama gue aja Ik, gue mau ngomong sama lo. Lagian gue bawa mobil kok" ujar Alvin dingin. "Gak Vin, gue sama Obiet aja" tolak Oik lalu naik ke motor Obiet. Obiet tersenyum sinis penuh kemenangan ke arah Alvin lalu melaju. "Jadi, sekarang tinggal kita aja nih yang belum berangkat!" ujar Zevanna. Alvin berbalik. "Oh, elo" ujarnya. "Eh kita berangkat bareng ya, gue gak kedapetan sama yang lain" ujar Zevanna. "Serah lu deh, kasian gue sama lo" sahut Alvin lalu berjalan ke arah mobilnya. Zevanna bersorak senang lalu mengikuti Alvin. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Tapi gara-gara stress Alvin ngebentak Zevanna. "Ze! Apa sih maksud lo buat ngaku-ngaku jadi pacar gue, hah?" bentak Alvin. Diliriknya Zevanna, dan ditemukannya orang itu sedang tidur. Atau tepatnya, pura-pura tidur. Alvin menggerutu lalu meneruskan perjalanan.

Di kemping

Setelah acara pembuka yang memuakkan bagi para tokoh utama, akhirnya acara kemping pun resmi dibuka. Jadwal paling pertama adalah bersiap-siap. Sesuai oleh kelompok yang dibagi mereka mendirikan tenda masing-masing. Setelah selesai ada acara baru, yaitu...

(Part 26)
...memasak. Laper banget kan, berapa jam sih dari Jakarta ke Sukabumi? Akhirnya anak-anak kampus pada asyik masak sendiri, kelompoknya bebas ini. Cuman, syaratnya harus ada cewek sama cowok. Gak boleh satu jenis kelamin aja. Zahra selesai membentuk kelompok, anggotanya Zahra, Obiet, Oik, Sivia, ama Shilla. Mereka pun mulai menyiapkan bahan-bahan ketika Alvin datang menghampiri kelompok Zahra. "Boleh gabung gak?" tanyanya dengan senyuman mautnya itu. Kalau ada satu hal dari sekian banyak hal yang disukai Zahra dari Alvin, hal itu adalah senyuman mautnya. Zahra menahan nafsunya itu dan berpaling kepada teman-teman sekelompoknya, membelakangi Alvin. Ia memberi isyarat untuk menolak. "Mmm... sori Vin, kitanya udah cukup segini aja. Lagian, kan masih ada kelompok Zeva tuh di sana" tolak Sivia, matanya menatap ke Zahra lalu menunjuk ke arah kelompok Zevanna. Alvin melirik ke arah yang ditunjuk Sivia lalu segera membuang muka. "Gak ah, males banget gue ke sana. Gue cabut deh, gue sama Rio aja" pamitnya, berjalan ke arah kelompok Rio. Zahra menghembuskan nafas lega. "Thanks Siv" ujarnya berterima kasih. Sivia hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Oik hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melirik ke arah Obiet yang berdiri di sampingnya. Obiet tersenyum senang, wajahnya berseri-seri. Pancaran kesedihan terlihat di mata Oik. Zahra mengetahuinya, lalu melirik Obiet yang sedang memandanginya. Ia menatap sinis lalu menghampiri Oik. Obiet udah GR aja, senyumnya tambah lebar. Zahra menarik Oik ke sampingnya dan pergi menjauhi Obiet. Oik memandang Obiet, dan terlihat raut wajahnya itu tak sesenang sebelumnya. Oik prihatin, tetapi ia menurut pada Zahra. Mereka pun mulai memasak. Oik dan Zahra perasaannya kacau sekali, tetapi mereka tetap menjalankan tugasnya. Zahra mendapat tugas memotong sayuran, dan Oik mendapat tugas menggoreng. Yang lain kebingungan melihat tingkah Oik, apalagi Zahra. Oik menatap kosong ---melamunkan Obiet, Alvin, ia dan Zahra, cinta segiempat yang rumit--- saat menggoreng, hampir saja gosong. "Ik! Gosong Ik!" teriak Shilla histeris. Oik segera sadar dari lamunannya dan segera mematikan kompor, lalu cepat-cepat menaruh daging yang digorengnya itu ke piring. Sedang Zahra memotong-motong sayuran seperti wortel, dan lain-lain. Zahra melamun, melamunkan Alvin dan senyum mautnya tadi itu. Ia merindukan Alvin, merindukan gombalannya, sikap Alvin kepadanya, wajah Alvin yang polos ketika ditipu, Alvin yang sangat menyayanginya, memberinya motivasi... tapi semua itu tak dapat ia rasakan lagi. Ia mau-mau saja untuk balikan dengan Alvin, tetapi apa kata anak kampus? Pasti mereka akan mencap dia sebagai cewek murahan. Tidak, tidak akan pernah ia mengambil resiko sebesar itu. Pikirannya terus melayang ke hal-hal semacam itu, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa yang terpotong kini bukanlah sayuran yang mesti ia potong, melainkan tangannya! Sivia yang sedang melirik ke arah tangan Zahra yang bekerja kaget. "Zah! Itu tangan lo, bukan sayuran!" seru Sivia memperingatkan. Zahra tidak menghiraukannya, lebih tepatnya tidak mendengarnya. Sivia terus memperingatkan Zahra, tetapi dicuekin mulu sama Zahra. Sivia pun menghentikan kerjaannya dan menghampiri Zahra. Ia merebut pisau itu dari tangan Zahra, barulah Zahra sadar dari lamunannya. Ia merasa tangannya sakit, lalu melihat keadaan tangannya. Ia kaget. "Tangan gue berdarah? Kenapa? Eh kotak P3Knya mana?? Siniin!" teriaknya. Sivia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu memberinya kotak P3K. Alvin melihat ke arah Zahra, dan kaget melihat darah yang keluar dari tangan Zahra itu. Tanpa pikir panjang ia menghampiri Zahra. Zahra kaget, Alvin langsung menghampirinya dan membantunya membalut lukanya itu. Ia terpaku, jantungnya berdetak tak karuan saat Alvin memegang tangannya, mambalut lukanya dengan rapi. Tapi ia langsung sadar, dan, walaupun dengan berat hati, ia menarik keras tangannya, lalu memasang muka marah. "Gue gak butuh bantuan lo! Udah sana, pergi aja tuh ke cewek lo itu! Gue bisa ngebalut luka gue sendiri!" bentaknya. "Zeva bukan cewek gue Zah, gue tuh cuma suka sama lo seorang, kenapa sih lo gak bisa percaya sama gue?" sahut Alvin. "Ya kalo penjahat ngaku penjara penuh!! Udah sana, pergi aja!" usir Zahra. Alvin pun meninggalkan Zahra dengan berat hati, karena ia tau itu yang terbaik untuknya. Ia tidak mau Zahra marah-marah lagi. Zahra membalut lukanya itu, tidak serapi Alvin karena pikirannya kacau, dan langsung kembali mengerjakan tugasnya. Sivia langsung mengambil pisau dari tangan Zahra, dan menyuruhnya mengerjakan yang ringan-ringan saja seperti menyajikannya di piring dan menghiasnya agar makanan yang terhidang menjadi menggiurkan. Zahra cemberut, ia masih ingin memotong sayuran. "Berhenti cemberut Zah, gue khawatir lo bakal motong tangan lo lagi! Lo pasti lagi mikirin Alvin, lo masih sayang kan sama dia? Udahlah, biar gue aja yang motong-motong ginian, lo ngelakuin tugas lo aja! Oya, sekalian ambil air ya, kita butuh nih" ujar Sivia. Muka Zahra memerah, lalu ia segera beranjak dan mengambil air. Tapi dasar kesialan, dia ketemu Alvin. Ia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menghiraukan Alvin, lalu kembali ke tempat kelompoknya berada, air yang diambilnya tumpah ke mana-mana. Alvin ingin bertanya tentang luka Zahra itu, tapi begitu melihat lukanya itu telah dibalut ia mengurungkan niatnya. Lagipula, Alvin tidak ingin membuat Zahra tambah stress, apalagi sampai gila. Entar dia tanggung jawab gimana? Kan repot. Zahra kembali dengan muka cemberut, lalu meletakkan air yang diambilnya itu. Sivia tertawa, ia sudah merencanakan semua dari awal, biar Zahra ketemu lagi sama si Alvin. "Nih airnya Siv" ujarnya. "Rebus gih! Trus kalo udah mendidih biarin dingin, trus taro gelas" perintah Sivia. Zahra menurut. Setelah semua hidangan siap, mereka pun duduk melingkar, siapuntuk makan. Mereka berdoa, lalu mulai makan. Walaupun daging yang Oik masak itu hampir gosong, tapi jadinya lebih enak. Oik masih agak-agak melamun, dan Zahra stress. Ia mencuri-curi pandang ke arah Alvin, walaupun sudah dengan sekuat tenaga ia mencegahnya. Sebenci apa pun ia kepada Alvin, ia tetap sayang kepadanya, walau ia sendiri tak mau. Tapi apa kata, cinta tak bisa memilih. Sementara itu, Alvin juga mulai makan. Tapi, ia tak mau. Makanan yang ia makan juga terasa pahit di lidahnya. Ia memandangi Zahra, dan berpikir kenapa masalah ini bisa terjadi. Padahal kan ia tidak salah apa-apa... ia menghembuskan nafas, lalu menaruh piringnya. "Gue selesai makan" ujarnya. "Hah? Dikit amet lu makan, biasanya kan banyak, ampe minta nambah 3 kali!" komentar Rio. Alvin mengangkat bahu, melirik ke arah Zahra. Rio paham. "Sabar ya Vin, lama-lama dia juga bakal ngerti kok" hibur Rio. Alvin hanya tersenyum kecil dan beranjak pergi.

Malam hari, jadwal kegiatan : api unggun

Semuanya duduk melingkar di tepi api unggun. Sivia yang licik itu mengatur agar semuanya menjauh dari Alvin dan Zahra, pokoknya mereka duduk sebelahan. Rencana mereka berhasil juga, sayangnya di sebelah Alvin juga ada Zevanna. Gila ya, udah seneng-seneng gue duduk sebelah malaikat, pake ada acara setan lagi yang duduk sebelah gue! pikir Alvin kesal. Zahra sebenernya seneng juga, tapi pas liat Zevanna ia langsung stress lagi terus nyuekin Alvin sebisanya. Padahal, dia pengen ngeliat senyum mautnya Alvin itu, trus pengen gombal-gombalan lagi sama Alvin, tapi kenapa sih si Alvin sifatnya playboy gitu? Zahra jadi geregetan sendiri. Suasana malam itu indah sekali, bulan purnama terlihat di atas mereka, dan bintang-bintang bertebaran laksana permata. Zahra terbawa suasana, pikirannya kembali saat ia dan Alvin berdansa. Restoran itu sangat romantis, dan langitnya persis dengan langit yang berada di atasnya. Zahra menitikkan air mata, membuat Alvin bingung. "Zah, lo kenapa?" tanya Alvin. Zahra sadar kalau Alvin ada di sampingnya, lalu buru-buru menghapus air matanya. "Gak kenapa-napa. Udah, lo ke sana aja sama cewek lo itu" jawab Zahra ketus. "Zah, berapa kali sih harus gue bilang, Zeva tuh bukan cewek gue! Dia tuh cuma ngaku-ngaku aja!" ujar Alvin, stress karena sikap Zahra ini. "Mana buktinya? Foto itu bukti mutlak!" sahut Zahra sewot. "Tapi yang kejadian tuh gak kayak gitu!" bantah Alvin. "Trus apa kejadiannya? Apa? Kenapa lo berdua jadi bisa pelukan kayak gitu?" tanya Zahra. Alvin diam, ucapan itu benar-benar memojokkan Alvin. Ia tau, kalau ia ceritakan pasti Zahra tidak percaya. Lagipula, setan yang disebelahnya itu --Zevanna maksudnya-- pasti akan membantah. "Tuh kan, pasti dia tuh cewek lo! Makasih ya udah bikin hidup gue menderita!" ujar Zahra. Air matanya mengalir menuruni wajah cantiknya itu, dan suasana tambah panas gara-gara Zevanna memeluk Alvin. Kenapa sih ni cewek, bukan cewek gue juga udah main meluk aja. Zahra jadi tambah gak percaya kan!! Awas aja lo Zev! batin Alvin kesal, mendorong Zeva agar melepaskan pelukannya. Rio bingung. Gak biasanya Alvin gituin cewek... dia kan baik banget ke cewek! batin Rio. Alvin pasang muka BT. Zahra beranjak pergi dan nyempil di antara Shilla dan Sivia. Oik yang berada di sebelah Shilla menatap prihatin. Dosen pun selesai dengan cerita konyolnya, tak ada yang siswa kampus yang mendengarnya. "Sekarang, siapa yang mau bernyanyi?" tanyanya. Pada ribut mau nyanyi. Yang diem aja cuman Alvin sama Zahra. Dosen yang sedang kesal gara-gara ceritanya gak didengerin nunjuk Zahra. "Nyanyi. Abis itu dia" perintahnya dingin, menunjuk Alvin. Zahra bingung, tapi dia nyanyi juga. "Lagu ini buat Alvin" ujarnya memulai, kata Alvin ditekannya. Wajah Alvin agak berseri-seri. Zahra pun mulai menyanyikan lagu 'My Happy Ending', lagunya Avril Lavigne. Wajah Alvin menjadi sedih. Apalagi Zahra berkali-kali melirik sinis kepadanya dan Zevanna. Zahra pun mengakhiri lagunya, dan sekarang giliran Alvin menyanyi. "Lagu ini buat Zahra, gue minta maaf sebelumnya ke dia" ujar Alvin sebelum bernyanyi. Zahra memutar bola matanya. Alvin menyanyikan lagu 'Kisah Tak Sempurna' nya samsons dengan sepenuh hati, wajahnya menunjukkan kesedihannya. Zahra menitikkan air mata. Ia menyadari kenapa Alvin menyanyikan lagu itu untuknya. Alvin mengalah kepadanya. Ia tak akan mengganggunya lagi, tak akan memaksanya lagi, dan akan pergi darinya. Zahra sedih sekali, perasaannya kacau. Ia tidak ingin kehilangan Alvin, tapi kalau tidak dia harus melakukan apa? Zahra menangis di pangkuan Shilla. Oik menghiburnya. "Ke tenda, yuk" ajaknya. Zahra mengangguk, lalu menarik tangan Oik ke arah tenda. Sivia dan Shilla ngekor.

Di tenda

Zahra menangis sejadi-jadinya. "Tenang Zah, lo tuh kenapa sih?" tanya Shilla. Zahra menyelesaikan tangisannya dan mulai bercerita. "Gue masih sayang sama Alvin" ujarnya memulai. "Trus kenapa lo jadi sewot ke dia kayak gitu?" tanya Sivia. "Gue juga bingung harus gimana. Gue masih sayang sama dia, tapi apa kata anak-anak kampus entar kalo gue balikan sama dia gitu aja? Gue pasti dianggep cewek murahan, dan Alvin juga bakal bikin masalah kalo guenya diledek. Bukan maksud GR" jawab Zahra. "Trus tadi nangis kenapa? Kan keputusan lo udah bulat" tanya Oik. "Lagu itu, gue tau maksud dia apa" jawab Zahra. "Apaan?" tanya Oik, Shilla, dan Sivia hampir bersamaan. "Dia ngalah ke gue, dia bakalan pergi dari hidup gue dan gak ganggu gue lagi. Gue jadi tambah bingung, gue kan sayang sama dia, gue gak mau kehilangan dia, tapi gue gak bisa balikan sama dia" jawab Zahra kalem. Semuanya ikut prihatin. "Sabar ya Zah, pasti bakal ada jalan keluarnya" hibur Oik. Zahra mengangguk. Mereka pun memilih untuk tidur lebih cepat, toh ini tenda mereka.

Keesokan paginya

Zahra seperti dikawal oleh ketiga sahabatnya. Alvin memandangi mereka. Dalam hati Alvin mengaku kalau ia masih mencintai Zahra, tapi ia sudah bertekad untuk pergi dari kehidupan Zahra dan tak akan mengganggunya lagi. Tapi tetep aja, Zevanna ngebuat dia risih. Dia selalu aja ngehindar dari Zevanna, tapi entah gimana caranya Zevanna selalu aja bisa ngedeketin Alvin. Alvin pasrah saja. Sementara Zahra hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Sivia. Ia memaklumi tapi jadinya risih juga. Sivia masih suka menatap kosong dan melamunkan tentang Gabriel. Sivia masih kangen dengannya, walaupun ia sudah berjanji untuk mengikhlaskan kepergian Gabriel. Tetap saja, ia masih kangen. Sivia jalan ngelantur, ke tengah jalan. Walaupun di tengah hutan, tetap saja ada jalan raya untuk mobil lewat. Awalnya itu dibuat untuk truk pengangkut barang jalan, dan sekarang juga sering dilalui oleh mobil-mobil sekolah yang ada program kempingnya. Ia terus melamun, menelusuri jalan raya tersebut. Ia tak sadar bahwa di depannya ada truk besar yang supirnya menengok ke arah kanan sedang melaju ke arahnya. Shilla yang sedang jalan-jalan melihat kejadian itu. "Sivia! Ada mobil! Pergi dari sana!!" teriak Shilla sekencang-kencangnya. Sivia tersadar dari lamunannya, lalu terpaku di tempatnya. Ia pun lengsung berlari sekencang-kencangnya ke tepi jalan, tapi terlambat. Truk itu menabraknya. Siva terpelanting, tubuhnya bersimbah darah. Shilla jatuh terduduk, shock. Ia tidak terlalu yakin akan apa yang dilihatnya tadi, semuanya terjadi begitu cepat. Shilla memejamkan matanya, kejadian tadi terekam di kepalanya, terus diputar seperti kaset yang sudah rusak. Air matanya menitik, tubuhnya bergetar hebat. Ya Tuhan, jangan ambil sahabatku lagi, jangan ambil sahabatku yang lain... aku telah kehilangan kakak dan sahabatku... ya Tuhan, jangan ambil sahabatku, jangan ambil dia, jangan ambil orang lain yang begitu penting bagiku, pikir Shilla.

(Part 27)
Tubuh Shilla bergetar hebat, air matanya mengalir di pipinya, deras sekali. Rio yang tidak sengaja lewat di depannya bingung dan menghampirinya. "Shill, lo kenapa?" tanyanya. Shilla menunjuk Sivia. "Sss... Sivia..." bisiknya, hampir saja tak terdengar oleh Rio. Lalu tubuh Shilla bergetar semakin hebat, ia pun pingsan. "Shill? Shilla!! Woi tolongin!!" teriak Rio. Semuanya langsung menghampirinya. "Nih, gue nitip Shilla. Panggil ambulans sekarang!" perintahnya. "Lah, Shilla kan gak kenapa-napa, pingsan doang kan dia?" tanya Alvin bingung. "Bukan buat Shilla, buat Sivia!" jawab Rio, menunjuk ke arah Sivia yang tergeletak tak berdaya. Yang lainnya melihat ke arah Rio menunjuk, lalu mata mereka membelalak. Wajah Zahra pucat. "Sss... Sivia?" bisiknya. "Udah gak usah kaget, cepet panggil ambulans! Gue bawa Shilla ke tenda guru" perintah Rio. Alvin segera mengambil hand phonenya dan menelepon ambulans. Zahra jatuh terduduk, mukanya pucat. Butiran air mata keluar dan mengalir di pipinya. Ia memeluk lututnya dan menangis. Obiet merasa iba. Ia menghampiri Zahra dan menghiburnya. "Tenang Zah, Sivia pasti bakal sembuh kok" ujarnya, membelai punggung Zahra. Zahra menangis semakin keras. Oik melihatnya, lalu pergi. Ia tidak sanggup menahan sakit. Zahra akhirnya menghentikan tangisannya. Ia melirik Alvin, lalu Zevanna langsung memeluk Alvin. Tangis Zahra keluar lagi, lalu ia pun menyusul Oik ke tendanya. Alvin kehilangan kesabarannya. "Zevanna! Lo tuh gak usah panas-panasin gue lagi deh! Sana pergi aja!" teriak Alvin, mendorong Zevanna sampai jatuh. Ia pun pergi. Zevanna menggerutu. Tak lama kemudian ambulans datang. Mereka membawa Sivia ke dalam mobil dan pergi. Guru menenangkan mereka, lalu memberi pengumuman. "Anak-anak, karena Sivia mengalami kecelakaan, kemping kita akan diberhentikan dan semua boleh pulang" ungkapnya. Ada yang senang dan ada yang mengeluh. Mereka pun menuju mobil dan motor mereka lalu pergi.

Di tenda guru

Rio membaringkan Shilla. Guru-guru pun panik dan mulai mengobati Shilla. Setelah mendengar cerita Rio mereka langsung pergi ke arah mobil mereka, menuju rumah sakit terdekat. "Rio, ibu mau pergi, jagain Shilla ya. Jangan macem-macem!" pamit salah satu dosen. "Ya ampun bu, gak percaya banget sih sama saya!" sahut Rio. Dosen tersebut langsung pergi, tak mempedulikan omongan Rio. "Gila ya, kacang mahal banget!" komentar Rio sambil menggelengkan kepalanya. Ia pun berbalik menghadap Shilla. Ia membelai lembut rambutnya, memperhatikan wajahnya. Gila Shill, lo cantik banget! Gue emang gak salah naksir orang ya... batin Rio. Tiba-tiba Shilla siuman. "Sivia mana?" tanyanya panik. "Udah di bawa ambulans, yuk cabut. Udah pada pulang, katanya kemping bubar. Untung aja gak ada upacara penutupan lagi..." jawab Rio, mengusap-usap dadanya. "Oh. Zahra sama Oik?" tanya Shilla lagi. "Gak tau. Tanya aja sama Alvin" jawab Rio. "Iya deh... yuk cabut" ajak Shilla, berdiri. Rio setuju, lalu menyampirkan tasnya dan mengikuti Shilla menuju tenda.

Tenda kelompok Shilla, Zahra dan Oik

Rio menunggu di luar. "Masuk aja kali Yo, nyantai" ujar Shilla. "Gak enak, sama aja gue masuk kamar cewek. Banyak hal-hal yang luar biasa pribadi di sana, tempat privasinya cewek deh!" tolak Rio. "Iya deh, tunggu aja. Siapa yang nangis ya?" tanya Shilla. Rio mengangkat bahu. "Cari tau aja sendiri" jawabnya. Shilla masuk. "Zah? Ik? Lo berdua kenapa?" tanya Shilla histeris. "Ntar gue ceritain" jawab Zahra, masih terisak. Oik mengangguk tanda setuju pada Zahra. Shilla pun menurut, mengambil tasnya lalu menghampiri Zahra dan Oik. "Udah, lo berdua tenang aja dulu" Shilla memberikan nasehat. Zahra dan Oik mengangguk, lalu mengambil tas dan mengikuti Shilla keluar tenda. "Rio? Tadi kenapa gak masuk?" tanya Oik. "Gak enak masuk ke sana. Kayak mau masuk kamar cewek, kan tempat privasi lo lo semua" jawab Rio. Zahra mengangguk. "Yo, lo bawa mobil apa motor?" tanya Oik. "Mobil" jawab Rio. "Kita nebeng ya" pinta Oik. Rio mengangguk. "Gila ya, gue disuruh bawa tiga cewek. Di cap apa nih gue?" gumam Rio. "Udah ah, yuk! Gue mau pulang" ujar Shilla tidak sabaran. "Iya ah, bawel amet dah ni anak satu" sahut Rio. "Serah" ujar Shilla. Mereka pun berjalan ke tempat mobil Rio diparkir. Semua penumpang naik, lalu Rio memacu mobilnya. "Woi Yo cepet!" ujar Oik. "Iya iya, dasar cewek, bawel semua!" gumam Rio. Yang disindir cuek.

"Woi udah nyampe tuh!" teriak Rio di depan rumah Shilla. "Iya, makasih ya Yo" ujar Shilla lembut. Rio seperti sudah terbang ke langit ke tujuh. Shilla pun turun dan masuk ke rumahnya. Rio menunggu lalu mobil itu jalan lagi. Oik terlihat seperti sedang berpikir. "Eh Yo, lo suka sama Shilla ya?" tanya Oik. Muka Rio memerah. "Eng... enggak kok!" jawab Rio, berusaha ngeles. "Hah? Lo suka sama Shilla Yo? Ik lo hebat bener, gue aja yang deket sama dia gak nyadar!" Zahra bertanya kepada Rio dan memuji Oik. "Haha, gampang kali ditebak!" sahut Oik. "Udah ah, jangan ribut lo pada! Awas aja kalo sampe di kasih tau ke siapa pun!" ancam Rio. Tawa Oik dan Zahra meledak. "Udah berhenti ketawa! Udah nyampe tuh!" teriak Rio. "Iya ah.. dah Shilla!" sahut Zahra sambil turun dari mobil Rio, diikuti dengan Oik. "Iya, sampai ketemu lagi, Shilla! hati-hati di jalan, Shilla! Dah, Shilla! Jangan ngebut, Shilla!" ledek Oik. Rio menggerutu dan pergi. Zahra dan Oik ketawa lagi. "Eh Ik, kenapa kita gak sekalian ke rumah sakit aja ya?" tanya Zahra. "O iya, yuk ke sana, naik taksi aja. Gak jauh kok" jawab Oik. Zahra mengangguk dan memanggil taksi. Oik dan Zahra pun naik taksi, mereka pun menuju rumah sakit tempat Sivia dirawat.

Di rumah sakit, kamar 4123

Oik dan Zahra masuk, lalu muka mereka kusut lagi. Ternyata ada Alvin dan Obiet di sana. "Gimana kabar Via?" tanya Oik sinis. Obiet bingung. Biasanya kan si Oik ceria, kok jadi sinis sih kayak gini? batin Obiet. "Gak terlalu baik. Dia koma" jawab Alvin singkat. Oik dan Zahra menghampiri Sivia. Mereka diam saja, bingung harus bilang apa. Mereka pun hanya bisa menangis. Tiba-tiba Zahra memeluk Alvin, tidak sadar akan apa yang ia lakukan. Air matanya mengalir deras, Oik juga menangis. Zahra merasa hangat, hatinya tentram. Obiet cemburu. Sedang Alvin bingung, harus menikmati atau melepas pelukan Zahra ini. Tapi keputusannya untuk tidak mengganggu Zahra sudah bulat, ia pun dengan berat hati melepaskan pelukan Zahra pelan. Zahra baru sadar akan apa yang dilakukannya. Alvin menggelengkan kepalanya lalu pergi. Zahra menangis lagi. Obiet menghampirinya, lalu membelai lembut punggungnya. Zahra menepisnya lalu pergi, diikuti dengan Oik. Obiet pun menggerutu. Zahra dan Oik pun pulang ke kosan mereka.

Sementara itu, Rio pergi ke kuburan Gabriel. Ia memarkir mobilnya lalu menuju kuburan Gabriel. Sesampainya di sana, ia duduk. "Yel, gue ke sini cuma mau bilang, Sivia koma. Gue tau pasti dia ketemu lo, dan plis. Plis bentu dia buat siuman, gue juga gak tega ngeliat Shilla. Shilla sampe pingsan, Yel" ujarnya. Ia memandangi kuburan Gabriel, lalu mendesah dan melihat ke arah yang lain. Ia kebetulan melirik ke arah kanan, lalu menemukan sebuah pohon. Di pohon itu terlihat sosok sahabatnya, Gabriel. Ia tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia mengucek-ucek matanya, dan tetap saja yang terlihat adalah sosok sahabatnya itu. Gabriel terlihat seperti sedang tertawa, lalu menghadap ke arah Rio. Wajahnya serius. Ia pun mengacungkan jempolnya tanda setuju, lalu berjalan dan menghilang. Rio melongo. Tak lama kemudian ia pun sadar, lalu segera pergi menuju mobilnya.

Sudah 3 hari Sivia koma. Rio, Shilla, Alvin, dan Zahra bolak-balik ke kampus-kuburan Gabriel-rumah sakit-dan rumah. Mereka juga senantiasa berdoa agar Sivia cepat sembuh dan kembali seperti dulu. Akhirnya, setelah menunggu lama Sivia bangun. Ia lemas. Wajah yang melihatnya berseri-seri gembira. Tetapi setelah mendengar perkataan Sivia itu, mereka tertunduk lemas. Yang cewek mulai menangis, tak sanggup menahan shock dan sedih yang melanda di hati mereka.

(Part 28)
Sivia membuka matanya. Wajahnya pucat, tenaganya seperti sudah terkuras. "Semuanya..." panggilnya, tak lebih dari bisikan. Yang lain menghampirinya. "Ma... af... ya... gu... e... u... dah... gak... ku... at..." ujarnya memulai. "Gak Siv, lo pasti kuat, lo pasti bakal sembuh!" seru Zahra. "Ma... af..." sahut Sivia. "Vin... Zah... gue... min... ta... ma... sa... lah... lo... bi... sa... ce... pet... sele... sai..." pintanya. "Dan Shilla... ka... lau... u... dah... sele... sai... pe... ma... ka... man... gu... e... lo... ha... rus... da... teng... besok... kannya..." sambungnya. "Li... hat... pot... bunga... yang... a... da... di... ku... bu... ran... gu.. e..." ujarnya. Shilla meneteskan air mata. "Se... mu... a... nya... ba... ik... ba... ik... ya... tan... pa... gu... e..." pesannya. "Ma... af... gu... e... u... dah... gak... ku... at... la... gi" sambungnya lemah, lalu kedua mata indahnya tertutup untuk selamanya. Nafasnya berhenti. Garis yang terlihat di alat penunjuk detak jantung di sebelahnya hanya sebuah garis horizontal polos, tidak ada garis turun-naik yang seharusnya terlihat di sana, menandakan bahwa jantungnya berhenti. Air mata Zahra tumpah. Mereka semua memeluk tubuh Sivia yang mulai dingin. Yang cowok shock. Mereka berempat tak menyangka bahwa dua sahabat mereka pergi meninggalkan mereka, apalagi Shilla. Ia sudah ditinggal oleh kakaknya, lalu ibunya pergi entah ke mana. Ia menangis sejadi-jadinya. Pintu pun terbuka, mama dan papa Sivia masuk. Mereka bingung. "Ada apa ini?" tanya papa Sivia. "Sivia, Sivia..." jawab Zahra, lalu mulutnya tertutup. Ia tak mampu mengatakan kata selanjutnya. "Sivia kenapa?" tanya mamanya Sivia. "Sivia meninggal, om, tante. Ia telah pergi jauh, meninggalkan kita" jawab Alvin. "A... apa?" tanya mama dan papanya Sivia, lalu menghampiri Sivia. Air mata mama Sivia jatuh. "Gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin! Pa, Via gak meninggal kan pa, bilang kalau Sivia gak meninggal!" teriak mamanya Sivia. Papanya Sivia menggeleng. "Maaf ma, ini udah takdir Tuhan. Kita harus ikhlasin Via pergi" ujar papanya Sivia. Mamanya Sivia menangis semakin deras, lalu memeluk tubuh anaknya itu. "Via... mama gak percaya kamu udah pergi..." ucapnya. Suasana di ruangan itu diliputi dengan kesedihan dan duka, tentang mereka yang harus melepas kepergian sahabat, anak, teman, juga pemberi solusi mereka. Mereka harus menerima kenyataan bahwa Sivia sudah pergi, pergi meninggalkan dia dan menyusul Gabriel. "Selamat tinggal Siv, kita gak bakal lupain lo" ujar Rio, lalu ia, Shilla, Alvin dan Zahra pergi.

Keesokan harinnya di kampus

Shilla gak masuk, juga Zahra. Suasana di kampus diliputi duka. Rio bingung kenapa Shilla gak masuk, padahal kan dia yang paling cerewet kalau ada yang telat ataupun gak masuk. Ia pun bertanya kepada Oik. "Ik, si Shilla kenapa gak masuk?" tanyanya. "Gak tau. Jenguk aja di rumahnya" jawab Oik. Rio mengangguk lalu pergi. Alvin juga bingung, kenapa Zahra gak masuk. Padahal, walaupun dia tidak mengganggu Zahra lagi, setidaknya ia bisa memandanginya sesuka hatinya kan? Alvin masih celingak-celinguk nyari Zahra, tapi dari tadi gak ketemu-temu. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. "Nyariin Zahra?" tanya Oik. "Gak kok" jawab Alvin, membuang mukanya. "Alah, jujur aja deh. Gue tau lo masih sayang kan sama dia?" tanya Oik. Alvin tak menjawab. "Heh, jawab dong" perintahnya. "Oke, gue masih sayang sama dia. Salah?" jawab Alvin pasrah. "Gak kok. Justru bagus" jawab Oik. "Lo mau gue balikan sama dia?" tanya Alvin. Oik mengangguk. "Lupain aja deh. Kita tuh udah putus, dan gue udah relain dia. Pasti ini yang terbaik buat dia" ujar Alvin. Oik jadi panas. "Jadi gitu, hah? Lo nyerahin dia buat orang lain, gitu? Apa itu yang lo bilang cinta? Apa lo beneran cinta sama dia?" tanya Oik panas. "Iya" jawab Alvin singkat. "Lo tuh gak bisa baca mukanya dia ya, dia tuh masih sayang sama lo! Dia tuh mau balikan sama lo! Lo tau gak kenapa dia sekarang jadi nangis? Karena dia tuh stress, dia masih sayang sama lo tapi dia benci sama lo. Cewek mana sih yang gak shock kayak dia? Lo tuh seharusnya nyadar dong!" teriak Oik. Untung mereka ada di taman belakang, jadi gak ada orang yang dengerin mereka. "Ya jadi gue harus gimana? Gue berusaha biar dia percaya sama gue dia malah ngusir-ngusir gue, pas gue jauhin kayak gini dia malah jadi gitu. Gue juga bingung Ik! Gue tuh mau yang terbaik buat dia, kalau gini caranya mana bisa?" teriak Alvin stress. "Ya lo tuh harus berusaha yakinin Zahra dong, karena gue tau lo gak mungkin nyakitin dia kayak gitu!" seru Oik. "Gue udah berusaha Ik, gue udah nyoba! Tapi apa hasilnya? Dia selalu ngusir gue, dia selalu nyuekin gue, dia jadi marah sama gue, gimana gue gak bingung?" tanya Alvin. "Lo belum berusaha sepenuhnya, gue yakin!" tanggap Oik. "Lo tuh keras kepala banget sih! Emangnya gue balikan sama Zahra tuh penting ya buat lo?" tanya Alvin. "Gue gak butuh lo balikan sama Zahra. Yang gue butuhin tuh Zahra yang dulu, Zahra yang ceria, Zahra yang selalu bisa selesain masalah gue. Gue juga gak mau hidup dia ancur gara-gara cowok, gue gak mau hati dia sakit kayak..." jawab Oik, ucapannya terhenti. "Kayak siapa?" tanya Alvin. "Kkkk... kayak..." ujar Oik menunduk. "Kayak siapa? Jawab dong!" perintah Alvin panas. "Kayak... gue" ucap Oik, tak lebih dari bisikan. Alvin membelalak tak percaya. "Kayak lo?" tanya Alvin. Oik mengangguk, air matanya mulai mengalir di pipinya. "Maksud lo?" tanya Alvin. Air mata Oik mengalir semakin deras, ia menunduk dan berusaha menghentikan tangisannya. Tapi tidak bisa. Hatinya terlalu sakit. Alvin membimbing Oik ke bangku taman. Mereka berdua pun duduk. Alvin menunggu sampai Oik bisa tenang, lalu ia pun kembali dengan pertanyaannya. "Jadi, maksud lo apa?" tanya Alvin. Oik menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak menangis lagi, lalu mulai bercerita. "Lo tau Obiet?" tanyanya. Alvin mengangguk. "Iyalah. Sahabat lo kan?" tanya Alvin. "Iya. Lo tau gak, gue tuh gak pernah deket sama cowok. Gue gak pernah punya temen cowok, dan baru sekali ini gue akrab banget sama cowok" ungkapnya, mengenang masa-masa indahnya sambil tersenyum. Alvin mengerutkan dahi, bingung. "Trus kenapa lo bisa sahabatan sama Obiet?" tanya Alvin. "Soalnya..." jawab Oik, ia mencari kata-kata yang tepat. "Gue suka sama dia. Gue mau ngabisin banyak waktu sama dia. Dan dasar cewek nekat, gue deketin aja dia. Kita jadi sahabatan deh" sambungnya. "Trus? Kenapa dia nyakitin lo?" tanya Alvin. "Tau gak apa yang dia curhatin ke gue?" tanya Oik. "Apa?" tanya Alvin. "Zahra. Zahra inilah, itulah, dia cantiklah, dia baik bangetlah, dia segala-galanya yang Obiet mau! Bayangin, gue harus dengerin tentang perasaannya ke Zahra, padahal gue sakit banget! Gue yang bantuin dia buat deket sama Zahra, secara dia itu sobat gue" jawab Oik. "Kenapa lo bisa-bisanya ngelakuin itu? Kenapa lo gak bilang aja kalo lo suka sama dia? Lo kan gak perlu jadi sakit kayak gini" tanya Alvin. "Buat liat senyumnya. Gue seneng kalo dia seneng, gue sedih kalo dia sedih. Gue bakal ngorbanin perasaan gue ke dia kalau itu bisa ngebuat dia seneng. Gue bakal bantuin dia jadian sama Zahra walaupun gue sendiri sakit, karena gue terlalu cinta sama dia" jawab Oik. Alvin salut. "Gue salut sama lo Ik, gue tau pasti lo sakit banget, Zahra kan sahabat lo" tanggap Alvin. Oik mengangguk. "Makasih. Sekarang lo mau kan bantuin gue?" tanya Oik. Alvin mengangguk. "Bagus deh. Gue cabut ya, mau ke kelas. Dosen galak ntar marah lagi, kalo udah mampus gue" pamit Oik. "Gue ikut deh" sahut Alvin. Ia pun mengikuti Oik pergi.

Sepulang kampus

"Eh, gue cabut ya" pamit Rio. Semuanya mengangguk. Rio pun pergi. "Eh Vin, jangan kasih tau yang gue bilang ke lo ya, apalagi ke dia" ujar Oik, melirik ke arah Obiet. Alvin mengikuti arah lirikan Oik dan mengerti. "Tenang aja Ik, gue bakal jaga rahasia lo kok. Serahin aja ke gue" sahut Alvin. "Makasih Vin. Lo emang baik banget. Gue cabut ya" ujar Oik sambil tersenyum manis lalu pergi. Obiet bingung. "Kenapa sih si Oik?" tanya Obiet. "Au. Udah ya gue cabut" pamit Alvin. "Yah... ngeles lagi dia! Udah ah gue pulang juga!" gumam Obiet.

Rio

Rio memacu motornya cepat, dan akhirnya ia sampai juga di tempat tujuannya. Rumah Shilla. Ia turun dari motornya dan memencet bel. Pintu terbuka. Tampak Keke di depan mata Rio. "Kak Rio? Ngapain kak?" tanya Keke bingung. "Nyari Shilla" jawab Rio datar. "Loh? Kan kak Shilla ke kampus?" tanya Keke bingung. "Ke kampus? Dia gak masuk kampus! Makanya kakak nyariin dia, takut dia shock gara-gara Sivia" tanggap Rio. "Hah? Tapi tadi kak Shilla langsung pergi, katanya ada kuliah. Trus ngambil mobil dan pergi gak tau ke mana" ungkap Keke. "Berarti... Shilla ilang dong?" tanya Rio. "Ilang? Eh iya kak! Aduh, gimana nih kak?" tanya Keke panik. "Dasar. Baru mudeng dah ni anak... udah ah yuk ke motor gue, nyari Shilla" ujar Rio lalu memunggungi Keke dan bergegas ke motornya. Dasar kakak gak sopan! Yang jadi tamu siapa, tuan rumah siapa, malah gak sopan gitu! Awas, ntar gue bilangin ke kak Shilla kalo kakak suka sama dia! batin Keke jengkel lalu mengikuti Rio. Ia pun naik ke motor Rio, lalu Rio pun memacu motornya. "Kita ke mana kak?" tanya Keke. "Ke Chillate Cafe. Siapa tau dia ada di sana, kan katanya dia restoran itu restoran favoritnya dia" jawab Rio. "Kakak tau banget tentang kak Shilla" komentar Keke. "Kan dia sahabat gue" sahut Rio datar. "Sahabat atau pujaan hati?" goda Keke. Rio diam saja. Keke tertawa puas, berhasil memakai kartu asnya itu. "Kakak suka ya sama kak Shilla? Tenang aja kak, Keke restuin kok!" ledek Keke lagi. "Udah ah! Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah ngerti kayak gituan!" komentar Rio tidak sabar, lalu menghentikan motornya. "Udah nyampe! Awas ya lo, ngasih tau gue fitnah lo suka sama Alvin!" ancam Rio. "Yah... kakak. Make acara fitnah-fitnahan lagi! Kan nanti kak Shilla bakal tau juga kok!" keluh Keke. "Udah diem aja!" perintah Rio. Keke menurut. Rio mulai mencari Shilla. "Woi, lo cari di toilet cewek, siapa tau dia ada di sana. Gue nyari di sini" perintah Rio. Keke langsung bergegas ke toilet. Lalu ia keluar dengan tampang sedih. "Gak ada kak" ujarnya. "Gue juga gak ketemu. Nyari di mana lagi nih?" tanya Rio. "Rumah kak Sivia? Kos kak Zahra? Kreatif dikit napa!" jawab Keke. "Halah. Lo kendarain motor aja gak bisa!" ledek Rio. "Biarin, Keke kan cewek. Kalo cowok Keke udah pasti bisa!" tanggap Keke. Mereka pun berjalan menuju motor Rio. Rio pun memacu cepat motornya ke rumah Sivia. "Permisi tante, ehm, mau nanya, Shillanya ada?" tanya Rio dengan suara super lembutnya. Mamanya Sivia terpesona. "Ah, memangnya Shilla kenapa? Kok nyarinya di sini?" tanya mamanya Sivia. "Oh, tadi Shillanya gak masuk kampus tante, terus di rumahnya gak ada juga. Nah, kan Sivia sahabatnya, kali aja Shilla ada di sini" jawab Rio. "Wah, maaf ya, Shilla gak ada di sini. Mau apa sama Shilla? Kok nyariin?" tanya mamanya Sivia. "Mmm... mmm... dia nyariin" jawab Rio ngeles sambil menunjuk ke arah Keke. Mamanya Sivia manggut-manggut. "Hmm... ini siapa?" tanya mamanya Sivia. Buset dah, gue kayak diinterogasi polisi aja ya? Dari tadi ditanyain mulu! batin Rio. "Ini Keke, adiknya Shilla. Tadi pas saya kasih tau Shilla gak masuk kuliah dianya panik" jawab Rio. "Oh... ya udah, maaf ya gak bisa bantu" sahut mamanya Sivia. "Iya tante, makasih ya" sahut Rio, lalu bergegas ke motornya. Keke ngekor. "Gila ya kak, masa Keke sih yang digituin? Orang Keke aja gak mudeng pas kak Rio kasih tau, baru mudeng pas kakak bilang kalo kak Shilla ngilang!" tanya Keke jengkel. "Cari alesan buat ngeles. Udah gak usah cerewet lagi, yuk ah lanjut nyari Shillanya!" jawab Rio lalu memacu motornya. Mereka pun sampai juga di kos Zahra dan Oik. "Woi Ik, liat Shilla gak?" tanya Rio. "Enggak. Kenapa emangnya? Nyariin aja lo, perhatian banget sih calon cowoknya..." jawab Oik yang sedang menyiram bunga. "Mulai deh, kenapa sih kalo gue suka sama dia? Salah ya?" tanya Rio jengkel. Oik tertawa. "Eh iya, itu siapa? Wah, jangan-jangan lo mau nyelingkuhin si Shilla lagi!" tanya Oik curiga. "Ya enggaklah! Ini tuh adeknya Shilla, namanya Keke. Berguna juga dia, tapi gila ya anak zaman sekarang, udah ngerti masalah orang dewasa! Ckckck..." jawab Rio sambil menggeleng-gelengkan kepala di kata terakhir. Oik tertawa lagi. "Oh, kirain. Ya iyalah Yo, kan cewek tuh lebih cepet dewasanya daripada cowok... udah sana pergi, gue nitip salam buat Shilla" usirnya. "Huh, dasar cewek!" gerutu Rio. "Kakak sendiri juga sukanya sama cewek kan?" tanya Keke. "Ya iyalah! Gue masih normal tau!" jawab Rio. "Sekarang kita ke mana nih?" tanya Rio. "Ke... kuburan mantannya kak Shilla kali ya... kemarin kak Shilla teriak, 'Gabriel jahat!! Sumpah jahat lo Yel!!!' kayak orang stress. Gabriel itu nama mantannya kak Shilla kan?" tanya Keke. Rio mengangguk. Hatinya panas. Ia pun memacu motornya ke makam Gabriel.

Makam Gabriel

Rio memarkir motornya dan berlari ke makam Gabriel. Dilihatnya seorang cewek menangis di depan makam Gabriel. Mungkinkah itu... Shilla? "Shilla?" tanya Rio. Shilla menengok. Rio iba melihat wajahnya, matanya merah dan rambutnya acak-acakkan. "Rio? Keke?" tanya Shilla. Rio mengangguk. Shilla cepat-cepat menghapus air matanya dan merapikan rambutnya. "Ngapain lo di sini?" tanya Shilla. "Justru harusnya gue yang nanya lo kayak gitu! Kenapa lo bolos kampus trus malah ke sini, hah? Bilangnya mau ke kampus, tau-taunya lagi jenguk Gabriel. Gimana sih cara kerja otak lo?" hardik Rio. Air mata Shilla tumpah lagi. "Kak Rio! Tuh, kak Shillanya jadi nangis kan... tanggung jawab!" teriak Keke jengkel. Shilla menggeleng dan menghapus air matanya. "Gak usah Ke, emang kakak kok yang salah. Rio cuma khawatir" ujarnya. "Udah, sekarang jelasin kenapa lo bisa ngelakuin hal bodoh kayak gini!" perintah Rio. Shilla pun menurut. Ia menceritakan semuanya yang ada di kepalanya. Yang ada di pikiran Shilla adalah pengalaman saat ia berangkat tadi pagi. Ia masih ingat dengan jelas, dari tadi pagi sampai sekarang apa saja yang dialaminya.

Shilla memacu mobilnya ke Chillate Cafe. Ia ingin bolos kampus, soalnya dia masih shock. Ia memesan Shilolly dan meminumnya. Ia bersandar di kursinya. Ia berpikir, merenung. Ia memikirkan Zahra, Oik, Alvin, Obiet, dan Rio. Juga Sivia dan Gabriel. Ia berpikir, akankah ia mendapat pengganti Gabriel? Akankah Zahra dan Alvin bisa balikan lagi? Lalu, nanti Rio sama siapa? Oik sama Obiet juga sama siapa? Dan... pikirannya itu menyambung ke kematian Sivia. Sivia koma... itu berarti dia ketemu sama Iyel dong? Terus, si Iyel ngehasut Sivia ya buat nyusul dia? Si Iyel jahat banget!! Kan gue sama sobat-sobat gue udah mohon-mohon sama dia buat nyadarin Sivia, dan hasilnya? Lo jahat banget Yel! batin Shilla kesal. Ia pun membayar minumannya lalu pergi ke makam Gabriel. Sesampainya di sana ia pun memarkir mobilnya dan langsung bergegas ke makam Gabriel. "Heh Yel! Lo tuh bisa-bisanya ya! Gue sama Rio, Alvin sama Zahra udah mohon-mohon ke lo buat bantuin kita nyembuhin Sivia... tapi ternyata Sivia meninggal. Lo jahat banget sih Yel, lo gak peduliin permohonan kita dan lo malah ngeduluin diri lo sendiri! Lo jahat Yel, gue benci sama lo!" teriak Shilla, menuduh tak berarti. Ia pun menangis, lalu bertemulah ia dengan Rio dan Keke.

"... gitu ceritanya" ujar Shilla mengakhiri ceritanya. "Jadi lo ke sini cuma mau ngehardik Gabriel doang? Lo bolos kampus cuma gara-gara shock doang? Otak lo tuh kerjanya gimana sih? Lo tuh seharusnya nyadar dong, Gabriel gak bersalah. Ini semua tuh udah takdir Tuhan dan Gabriel pasti udah bantuin kita! Tapi Tuhan berkehendak lain, Sivia harus pergi. Ini udah direncanain Shill, dia gak bakal balik lagi ke sini!" hardik Rio. Air mata Shilla tumpah lagi. "Kak Rio!! Kakak ke sini tuh cuma buat ngehardik kak Shilla aja? Sana pergi! Dasar cowok! Bisanya bikin nangis cewek mulu! Pergi!" teriak Keke marah. Rio diam saja merenungi apa yang baru saja dilakukannya. "Kakak budek apa tuli sih? Pergi!!" teriak Keke lagi. Rio pun pasrah dan pergi menjauh, bersandar di pohon. Keke menghampiri kakaknya lalu mengusap punggungnya. "Sabar ya kak... kak Rio cuma khawatir aja sama kakak, jadinya stress kayak gitu. Sabar ya..." hiburnya. Rio berpangku tangan. Ia melirik sebelah kanannya dan... "Aaaaahhhh!!!" teriak Rio kaget.

(Part 29)
Rio langsung berlari menjauh dari pohon tersebut. Shilla dan Keke bingung, apa yang terjadi dengan Rio. Shilla berhenti menangis, lalu saat ia melihat apa yang membuat Rio begitu ketakutan, ia pun berteriak juga, dibarengi oleh Keke. "Aaaahhhh!!!!" teriak mereka sekeras-kerasnya. Mata mereka membelalak ketakutan. "Yel jangan hantuin kita Yel, jangan gentayangin kita Yel, jangan marah gara-gara gue marah-marah ke lo Yel, gue minta maaf Yel, sori!!" ujar Shilla ketakutan. Gabriel memandangi mereka dengan wajah marah. Tiba-tiba di sampingnya muncul Sivia entah dari mana. Ia menggandeng tangan Gabriel, berjalan, mereka pun menghilang. "Aaaahhhh!!!!! Hantuu!!!!!" teriak Rio, Keke, dan Shilla bersamaan. Mereka pun berlari sekencang-kencangnya ke mobil Shilla dan motor Rio diparkir, lalu naik ke kendaraan masing-masing. Yang cewek masuk mobil Shilla, Rio naik motornya. Mereka pun memacu kendaraan mereka sekencang-kencangnya ke rumah Shilla.

Rumah Shilla

Mereka langsung turun secepat mungkin, lalu mereka pun berlari masuk ke arah rumah Shilla. Tapi Rio langsung ngerem larinya pas di depan rumah Shilla. Shilla membuka pintu, Keke masuk. "Lo ngapain situ? Cepet masuk!" perintah Shilla, memberi isyarat agar Rio masuk. "Gak enak masuk rumah cewek. Emang gue siapa lo? Cowok bukan, keluarga bukan, lancang aja masuk rumah lo" jelas Rio. "Masuk aja! Lo sobat gue!" teriak Shilla, mengulangi isyarat yang sama. Rio pun mengangkat bahu dan berlari masuk ke rumah Shilla. Shilla pun masuk lalu menutup pintu. Nafas ketiga orang di situ ngos-ngosan, capek banget. Shilla pun bergabung dengan Keke dan Rio yang duduk di sofa ruang tamu. "Gila ya, serem abis" ujar Shilla. "Iya. Tapi kak Gabriel gak marah? Kan dia gak ganggu" tanya Keke. "Serah deh. Yang jelas serem" jawab Rio. "Eh eh, tapi gue baru tau loh, ada cowok takut sama hantu. Biasanya kan cowok berani" ujar Shilla mengalihkan pembicaraan. "Hus! Kak Shilla!" tegur Keke. Shilla mengangkat bahu. "Emang gitu kok kenyataannya" ujarnya. "Iya deh, lo sendiri juga takut. Lagian, gue kan gak ada bedanya ama cewek bego, bisanya nyalahin orang pas sahabatnya meninggal. Padahal kan emang udah takdir Tuhan" ujar Rio balas menyindir. Shilla menggerutu. Keke mengangkat bahu melihat kedua orang itu. "Ngomong-ngomong, kenapa kak Rio gak pulang? Kok malah ke sini?" tanya Keke. "Ngikut aja. Mang gak boleh?" tanya Rio. "Boleh-boleh aja sih" jawab Keke. "Oya Shill, lo besok HARUS masuk kampus, ampe enggak awas aja lo, gue panggilin si Gabriel!" ancam Rio, memberi penekanan pada kata 'harus'. "Gimana caranya? Lo kan juga takut sama hantu!" tanya Shilla. "Ya gue minta aja dia buat gak hantuin gue, lagian lo kan juga udah marahin dia. Impas deh" jawab Rio santai, memakan biskuit yang ada dalam toples di meja. "Eh enak nih, beli di mana?" tanya Rio. "Nyolong makanan aja kak Rio bisanya! Kalo mau beli nitip aja ke Keke, harganya 45 ribu satu toples, trus tambahin 5 ribu buat biaya ekstra beliin" jawab Keke. "Males! Mending ke tokonya langsung deh. Beli di mana?" Rio mengulang pertanyaannya. "Gak beli di mana-mana, gue yang masak" jawab Shilla. Rio langsung cengo, menjatuhkan toples biskuit. Untung saja Keke dengan sigap menangkapnya. "Hup! Eh kak Rio hati-hati dong, ini toples kaca harganya mahal!" ujar Keke. "Eh iya sori, cuma gak percaya aja, si Shilla yang buat? Kok enak sih?" tanya Rio. "Nyindir lo? Emang udah dari sononya gue jago masak!" tanggap Shilla. "Iya, Keke juga suka masakannya kak Shilla. Enak banget!" Keke menimpali. "Gila... eh pas ultah gue lo bikinin ya, enak banget. Tapi gue masih gak percaya kalo ini bikinan lo" ujar Rio. "Nyindir lo!" teriak Shilla. "Iya. Udah ya Shill, gue berangkat. Besok lo masuk loh, tenang aja, Sivia pasti bahagia, kan ada Iyel yang jagain dia di sana. Sabar ya, gue tau cobaan lo berat banget. Kalo ada apa-apa hubungin gue, mumpung yang lain masih ada masalah" ujar Rio dengan suara lembutnya. Shilla mencair, hatinya hangat. Suara Rio emang ampuh banget buat ngehibur cewek. "Besok lo ultah ya? Ngasih kado apa ya?" tanya Rio. "Udah cukup apa yang lo kasih ke gue Yo, lo udah ngehibur gue, nyadarin gue, trus lo udah ngertiin gue. Itu lebih dari cukup Yo" jawab Shilla tulus. Muka Rio memerah. "Udah ya gue pulang dulu!" pamit Rio lalu pergi. Shilla memandanginya sampai Rio menghilang dari pandangannya, benar-benar menghilang.

Keesokan harinya di kampus

"Hai!" sapa Shilla ceria. "Dateng juga lo!" celetuk Rio. "Iyalah, takut banget gue sama hantunya Iyel. Hii... sori Yel udah marahin elo!" gumamnya sendiri. Yang lain berpandang-pandangan kebingungan. "Mang kemaren ada apa sih?" tanya Alvin. "Jadi gini..." jawab Rio memulai ceritanya. "Hah? Gila serem abis!" komentar Oik mendengarnya. "Ya iyalah! Lagian, si Shilla bego banget sih! Ampe segitunya" tanggap Rio. Yang lain cuma manggut-manggut, apalagi Alvin. Ia hanya diam mematung. "Nyariin Zahra lo Vin?" tanya Oik. Satu kata 'Zahra' adalah kata yang mujarab, Alvin langsung tersadar dari lamunannya. "Mana Zahra?" tanya Alvin sambil celingak-celinguk. Oik menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ckckck... lo segitu cintanya sama Zahra Vin, ampe kayak gitu" komentar Oik. Alvin mengangkat bahu. "Zahra sakit. Kemaren sih udah sembuh, cuma dia butuh istiahat seharian, besok juga masuk lagi" ungkap Oik. "Oh" tanggap Alvin, wajahnya agak lega. "Gue mau bicara sama lo, berdua aja" ujar Oik, mendorong Alvin ke taman belakang. "Kok Oik jadi deket gitu ya sama Alvin?" tanya Obiet. "Suka-suka dia dong. Kenapa? Gak suka?" tanya Rio. "Gak, gak gitu sih. Penasaran aja. Lagian, dia kan sobat gue" jawab Obiet. "Serah deh. Gue mau ke kelas" ujar Shilla lalu pergi. Rio dan Obiet mengangkat bahu, lalu pergi ke kelas masing-masing.

Taman belakang

"Kenapa Ik?" tanya Alvin. "Jenguk Zahra" perintah Oik. "Hah?" tanya Alvin bingung. "Jenguk Zahra" jawab Oik, mengulangi perintahnya. "Kenapa gue harus jenguk dia?" tanya Alvin. "Lo bakal ngerti kalo lo ngelakuin itu. Plis, demi dia" jawab Oik memelas. Alvin terlihat seperti sedang berpikir. "Yah, kita liat aja nanti" ujar Alvin lalu melangkah pergi. Oik hanya bisa memandanginya, dalam hati ia berdoa.

Pulang kampus

Alvin langsung cabut. Ia memacu motornya ke arah kosan Zahra. Ia memasuki kos Zahra, berapa pun pasang mata yang melihat ke arahnya. Maklum, dia kan ganteng. Dia udah biasa sama situasi kayak gini. Toh kosnya Zahra memberi kebebasan buat siapa pun yang mau ke sana, asal gak lebih dari jam 6 sore. Di kamar Zahra, Zahra sedang memandangi sebuah foto yang dipasangi frame, foto Alvin. Ia duduk memeluk lututnya di atas kasurnya, tatapannya sedih memandangi foto tersebut. Pikirannya melayang ke kenangan-kenangan masa lalu mereka, kenangan-kenangan yang takkan terulang kembali. Lagu My Happy Ending-nya Avril Lavigne mengalun, membawa ia kepada kenangan pada malam api unggun tersebut. Hatinya jadi panas. "Alvin jahat!" teriaknya, membanting foto Alvin yang ia pegang. "Alvin kenapa harus jadi kayak gini? Kenapa hubungan kita jadi jauh? Kenapa harus ada Zevanna di hati lo? Kenapa kita harus pisah kayak gini? Alvin gue masih sayang sama lo, gue gak mau kehilangan lo Vin, gue gak mau pisah dari lo Vin, gue harus gimana? Gue gak tau apa yang harus gue lakuin... gue masih sayang sama lo Vin.... gue mau lo ada di sisi gue!!" teriak Zahra sekencang-kencangnya. Alvin yang baru saja akan membuka pintu dan masuk mematung di luar ruangan, tak percaya akan apa yang ia dengar. "Alvin, gue masih sayang sama lo!! Gue mau lo ada di sisi gue sekarang, gue mau lo hibur gue lagi, gue rindu sama lo, gue mau gombal-gombalan lagi sama lo, gue mau nge-date lagi sama lo, gue mau kita jadi kayak dulu lagi!!!" teriak Zahra lagi, lalu ia mulai menangis. Alvin tambah mematung. Lidahnya kelu. Ia jatuh terduduk di luar kamar, mendengarkan isak tangis Zahra yang menyayat hatinya. Ia tertunduk, tak percaya bahwa ia harus berada dalam situasi ini. Tapi inilah hidup. Tak pernah adil. 5 menit kemudian tangisan Zahra berhenti. Alvin menengok ke arah pintu, lalu berdiri. Perlahan dan penuh ragu-ragu ia membuka pintu lalu masuk. Dilihatnya Zahra yang tertidur, berbaring di atas kasur. Ia tidak memakai selimut, padahal AC-nya masih nyala. Posisinya juga acak-acakan. Alvin tersenyum, lalu ia menangkap sesuatu di matanya. Fotonya diatas lantai putih, dengan kaca framenya yang berserakan. Ia tersenyum, mendekatinya, lalu membereskan foto serta frame itu. Ia membuang kaca di tempat sampah dan menaruh fotonya di meja. Ia mengambil buku tulis Zahra, merobek selembar kertas, lalu menulis.

Untuk Zahra,

Maafin gue udah ngecewain dan nyakitin hati lo. Gue gak
bermaksud, lo harus percaya sama gue. Lo pasti tau siapa
gue, karena gue bagian dari kenangan lo. Jangan lupain gue, plis.
Maafin gue udah lancang masuk kamar lo. Gue juga denger
teriakan lo, dan gue minta maaf. Gue bakal nyelesein masalah
ini semampu gue, dan pasti bakal ada solusinya dan masalah
ini selesai. Maafin gue Zah.
-Alvin-

(Part 30)
Alvin membaca suratnya sekali lagi, tersenyum dan menggelengkan kepala, lalu merobeknya dan membuangnya ke tempat sampah. Ia pun menghampiri Zahra, membenarkan posisi tidur Zahra dan menyelimutinya. Ia pun mengambil kursi, menyeretnya ke samping tempat tidur Zahra, lalu duduk. Ia memerhatikan Zahra. Musik yang menggema di ruangan tersebut berubah menjadi Apalah Arti Cinta-nya She. Ia mendengarkannya dengan mata tertutup, dan tak lama kemudian ia membuka matanya dan menatap mata Zahra yang tertutup. Ia membelai lembut rambut Zahra. "Zah, gue janji bakal ngelurusin masalah ini. Gue janji bakal selalu bikin lo bahagia semampu gue, dan gue gak bakalan tega bikin lo sedih dan stress kayak gini. Lo cinta pertama gue Zah, dan itu gak bakal berubah. Lo harus tau gue suka sama lo dari dulu, pas kita masih SMA. Gue sayang sama lo Zah" ujar Alvin, menggelengkan kepalanya setelah mengucapkannya. "Bukan, gue cinta sama lo Zah" koreksinya. Ia pun bangkit dan mengecup kening Zahra. Ia menyentuh kening Zahra, dan kaget. Keningnya panas sekali. Ia buru-buru mengambil handuk kecilnya. Ia mencelupkan handuk tersebut dalam semangkuk air es yang ada di atas meja sebelah tempat tidur Zahra dan manaruhnya di atas kening Zahra. Ia membelai rambut Zahra sekali lagi lalu berjalan ke arah meja Zahra, mengambil iPod Zahra yang terletak di sana, lalu melihat apa yang dimainkan oleh benda tersebut. Playlist, judulnya 'Hati yang terluka'. My Happy Ending, Apalah Arti Cinta, Hati Yang Kau Sakiti, Diantara Mereka, Aku Bukan Untukmu. batin Alvin, membaca lagu-lagu yang ada di playlist tersebut. Gila ya, si Zahra sampe bikin playlist. Pasti dia sakit banget, Zah gue ngerasa bersalah ke lo... pikir Alvin lesu dan tertunduk. Ia pun mendongkak seraya musik berubah lagi menjadi Hati Yang Kau Sakiti-nya Rossa. Ia menghembuskan nafas, hatinya tersayat lagi. Ia menaruh iPod Zahra di tempat semula, membuka pintu, keluar dari kamar Zahra, menutup pintu lalu pergi. Oik yang mengintip tersenyum senang. Oik pun pergi ke kamarnya, sesampainya di sana ia menangis mengenang Obiet. Ia juga bingung harus apa, pasti Obiet akan sakit ketika melihat Alvin dan Zahra balikan lagi. Ia begitu bingung, hatinya sakit. Sakit yang luar biasa, lebih sakit daripada yang dirasanya sebelumnya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Oik cepat-cepat menghapus air matanya dan membuka pintu. Ia kaget melihat siapa yang mengetuk pintu. "Alvin?" tanyanya kaget, tak lebih dari bisikan. Alvin yang tadi memandangi pintu kamar Zahra melihat ke arahnya. "Iya. Siapa lagi? Setan?" tanya Alvin. Oik menggelengkan kepalanya cepat. Ia menghembuskan nafas lalu menatap Alvin. "Ngapain lo di sini? Gue kirain lo udah pergi" tanya Oik. "Lo harus ikut gue, sekarang. Lo mau kan si Zahra balik jadi kayak dulu? Lo harus ikut gue, gue tau gimana caranya" perintah Alvin. "Tapi..." ujar Oik. "Gak ada tapi-tapian! Ayo cepet!" ujar Alvin sambil menarik tangan Oik. "Iya iya ah! Bentar dulu, ada yang mau gue ambil" ujar Oik sambil menghentakan tangannya, masuk ke kamarnya, menyambar tasnya, lalu balik ke Alvin. Alvin bergegas ke motornya, diikuti oleh Oik. Ia pun naik, Oik mengikutinya, lalu ngebut ke tempat tujuannya. Chillate Cafe.

Chillate Cafe

Alvin langsung turun dari motornya, diikuti dengan Oik. "Lo ngapain bawa-bawa gue ke sini?" tanya Oik bingung. "Liat aja, gue butuh seseorang buat jadi saksi. Zahra kan percaya sama lo, jadi dia pasti bakalan percaya" jawab Alvin sambil memandang ke arah cafe tersebut, menuju ke arah sana. Brakk!! Pintu dibuka oleh Alvin dengan cara dibanting. Ia masuk, berhenti sebentar untuk memandang ke seluruh arah, mencari sosok yang dicarinya. Akhirnya matanya menangkap Zevanna dan teman-temannya yang melihat ke arahnya dengan tampang kaget. Dialah yang dicari Alvin. Spontan Alvin langsung menuju ke arah mereka, Oik ngekor. "Woi Zev, cowok lo tuh" tegur salah seorang temannya. "Iya ah, entar aja" tanggap Zevanna, berpura-pura melihat ke arah lain selain Alvin yang sedang menuju ke arahnya. Ia meneguk caklatenya. Alvin pun sampai ke tempatnya, lalu ia menarik kencang tangan Zevanna. "Au! Lo ngapain sih Vin?" tanya Zevanna sambil meronta-ronta, tapi tak bisa karena Alvin mencengkram tangannya kuat. Alvin masih saja menarik tangannya, tak peduli dengan Zevanna. Praanngg!! Gelas caklate Zevanna jatuh dan pecah. Zevanna ingin membersihkannya, tapi apa daya, Alvin menariknya kencang sekali. Hampir saja ia jatuh dan diseret Alvin. Tak ada pilihan lain selain mengikuti Alvin. Oik bingung, Alvin kan belum pernah berbuat sekasar ini ke cewek. Tapi ia mengikuti Alvin. Mereka bertiga pun sampai di pojok sepi Chillate Cafe. Alvin melepas pegangannya. "Lo ngapain ngaku-ngaku jadi cewek gue, hah?" tanya Alvin sambil berteriak. Nada suaranya marah. Oik semakin bingung. "Gak ada urusannya sama lo" jawab Zevanna santai. "Jawab gak?!" teriak Alvin emosi. "Enggak!" bentak Zevanna. Alvin mencengkram lengannya keras, Zevanna jadi lemas. "Au Vin, sakit Vin, lepasin! Iya iya gue kasih tau!" pinta Zevanna kesakitan. Oik menggelengkan kepalanya melihat kedua orang tersebut. Alvin melepaskan cengkramannya, Zevanna mengusap-usap lengannya. "Sakit tau!" ujarnya. Alvin diam saja, menunggu jawaban dari Zevanna. "Sebenernya, Obiet ngebayar gue buat ngelakuin itu" ujar Zevanna. Alvin dan Oik membelalak. "Obiet?!" tanya Oik tak percaya. "Iya. Udah ah, gue gak mau dicengkrem lagi. Sakit tau" jawab Zevanna lalu pergi. Oik terpaku, wajahnya pucat. "Sabar ya Ik" ujar Alvin. Oik tak menanggap, a menatap kosong ke arah lantai. "Gue gak percaya, gue tau kalau Obiet tuh cinta sama Zahra, tapi gak gue gak nyangka dai pake cara kotor kayak gini" ucap Oik sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Iya gue tau, tapi kenyataannya emang gitu" sahut Alvin. Oik memejamkan mata lalu membukanya dan menghembuskan nafas. "Yuk pergi, tapi mending bawa Zevanna deh, biar dia yang jelasin ke Zahra" ajaknya. "Pinter lo. Yuk" ujar Alvin setuju, lalu pergi ke tempat Zevanna berada. Alvin menarik tangan Zevanna. "Apaan lagi sih?" tanya Zevanna jengkel. "Ikut gue, lo harus bilang yang tadi ke Zahra" jawab Alvin. "Males!" tanggap Zevanna. Alvin mencengkram tangannya. "Au! Iya deh!" ujar Zevanna kesakitan. Alvin pun tersenyum, melepas cengkramannya dan pergi ke motornya. Oik dan Zevanna ngekor. Sesampainya di motor Alvin mereka bertiga berpisah. Oik naik taksi dan Alvin serta Zevanna naik motor Alvin. Mereka pun bertemu di kos Zahra dan Oik.

Kamar Zahra

Zahra terbangun, lalu menyentuh dahinya karena merasa ada sesuatu di atas situ. Ia melihat handuk Alvin. Ia kaget. Spontan ia memandang berkeliling, dan ia bertambah kaget. Ia bangkit, menaruh handuk di meja sebelahnya, lalu segera memeriksa kamarnya. Ia memeriksa lantai kamarnya, celingak-celinguk mencari pecahan kaca dan frame serta foto Alvin. Ketiga benda tersebut menghilang. Ia yakin bahwa ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ia memeriksa mejanya, dan menemukan foto Alvin. Ia semakin yakin bahwa ada seseorang yang memasuki kamarnya. Ia pun memeriksa handuk yang tadi mengompresnya, dan menemukan tulisan kecil yang dirajut memakai benang putih. "Alvin J. Sindunata... Alvin?" tanya Zahra kaget, menjatuhkan handuk kecil berwarna biru dongker itu. Alvin masuk kamar gue? Kok bisa? tanya Zahra dalam hati, nafasnya ngos-ngosan dan matanya membelalak. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarnya. Zahra membuka pintu, dan menemukan Alvin, Zevanna dan Oik di ambang pintu. Mukanya segera berubah menjadi sinis. "Ngapain lo ke sini? Mau pamerin cewek lo?" tanyanya menghardik. "Enggak, gue ke sini mau nyampein sesuatu, gue mau memperjelas masalah ini" jawab Alvin. "Bukannya semua udah jelas? Keluar dari kos gue lo berdua!" usir Zahra lalu menutup pintu. Tetapi hampir saja ia selesai melakukannya, Zevanna mencegahnya. "Gue dibayar sama Obiet buat ngaku-ngaku jadi pacar Alvin" ungkapnya. Zahra membelalak kaget. "Apa?" tanyanya. "Gue dibayar sama Obiet buat ngaku-ngaku jadi pacar Alvin" jawab Zevanna, mengulang ucapannya tadi. "O... Obiet?" tanya Zahra lagi. "Iya... sekarang udah jelas semua kan?" tanya Alvin tidak sabaran. Zahra mengangguk. "Sekarang, gue mau ngomong sama lo" ujar Alvin, mendekati Zahra. Zevanna mundur. Zahra menatap Alvin yang sedang berlutut dihadapannya dengan tatapan tak percaya. "Zah, lo tuh cinta pertama gue, dan sampai sekarang perasaan itu masih ada, gak berubah. Gue gak bisa hidup tanpa lo Zah, gue gak mau bikin lo sedih kayak dulu. Gue janji bakal bikin lo bahagia, dan gue janji kayak gitu sejak SMA, waktu pertama kali gue jatuh cinta sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue lagi, dan kali ini untuk selamanya?" tanya Alvin. Zahra menangis bahagia, lalu memeluk Alvin. "Iya Vin, gue terima. Gue gak bisa jauh dari lo Vin, dan gue janji, gue bakal selalu percaya sama lo sampai kapan pun" jawab Zahra. Alvin bingung, tapi ia bahagia. Zevanna terharu melihat kejadian ini. Setelah beberapa menit Zahra dan Alvin melepas pelukan mereka, dan Alvin merangkul Zahra setelah mereka berdua berdiri. "Makasih ya Zev, lo udah bantuin gue" ujar Alvin. "Sama-sama. Maafin gue ya, gue udah ngekhianatin lo. Tapi gue kasian sama Obiet" ucap Zevanna. "Gak pa pa kok, lagian lo udah ngasih kita pelajaran" tanggap Zahra tulus. Alvin mengangguk tanda setuju pada Zahra. "Makasih ya, kalian emang baik banget. Gue masih bisa jadi sahabat lo kan Vin?" tanya Zevanna. Alvin mengangguk sambil tersenyum. "Gue juga mau kok jadi sahabat lo" ujar Zahra. Zevanna tersenyum lalu memeluk mereka berdua. "Heh heh cowok gue jangan dipeluk-peluk!" ujar Zahra. "Gak pa pa lah Zah... kan sebagai sahabat" tanggap Zevanna tanpa melepaskan pelukannya. Zahra menggerutu. Zevanna tertawa lalu melepas pelukannya. "Sori Zah... eh gue pergi dulu ya, gue mau jemput temen-temen gue di chillate cafe" pamit Zevanna sambil melirik sinis ke arah Alvin. "Sori Zev... iya silahkan pergi!" ujar Alvin. "Dah..." ujar Zevanna sambil melambaikan tangannya. "Dah..." ujar Alvin dan Zahra bersamaan, membalas lambaian tangan Zevanna. Zevanna pun pergi. "Eh Vin, ke rumah Obiet yuk, aku mau denger penjelasan dari dia" ajak Zahra. "Yuk" tanggap Alvin setuju. Mereka pun pergi ke rumah Obiet naik motor Alvin, seperti biasa Zahra memeluk Alvin. Alvin pun tersenyum senang.

Rumah Obiet

Zahra memencet bel. "Iya sebentar" ujar sebuah suara. Pintu pun dibuka. "Eh, Alvin! Nyariin Obiet ya? Ayo masuk!" ajak ibu Obiet. "Iya tante, oya, kenalin, ini Zahra" ujar Alvin. "Oh, saya ibunya Obiet" ucap ibu Obiet sambil menjabat tangan Zahra. "Zahra" ujar Zahra. "Ini siapanya Alvin? Pacar ya?" tanya ibunya Obiet. Alvin nyengir kuda. "Ketauan tuh, pacar kamu cantik banget, pinter ya milih pacar!" komentar ibunya Obiet. "Hehe iya tante, Alvin gitu loh" tanggap Alvin narsis. "Udah yuk, masuk!" ajak ibunya Obiet sambil memasuki rumahnya. Mereka pun duduk di sofa ruang tamu rumah Obiet. "Bentar ya, tante panggilin dulu Obietnya" ujar ibunya Obiet sambil menaruh sebuah baki berisi dua buah gelas berisi jus jeruk dan sepiring kue brownies buatan sendiri. "Iya tante" tanggap Zahra sambil tersenyum. Ibu Obiet pun berjalan pergi. "Bukannya Obiet ngekos ya?" tanya Zahra setelah ibu Obiet menjauh. "Iya, dulu. Sekarang pindah lagi, ibunya pulang soalnya" jawab Alvin. "Kamu siapanya Obiet? Kok akrab banget sama ibunya Obiet?" tanya Zahra lagi. "Sepupunya. Hehe, kaget ya?" tanya Alvin. "Ya iyalah! Kok gak pernah cerita?" tanya Zahra. "Siapa suruh gak nanya" jawab Alvin lalu mencomot brownies dan memakannya. Zahra memandang sekeliling. "Aaa..." ujar Alvin. Zahra melihat ke arahnya, dan menemukan Alvin yang sedang memegang brownies, posenya seperti orang yang mau menyuapi anak kecil. Zahra mengerutkan dahinya. "Ayolah... udah lama gak suap-suapan!" ujar Alvin. Zahra mengangkat bahu lalu menyantap brownies yang disuapkan Alvin. "Ammm... enak kan?" tanya Alvin. Zahra mengangguk, wajahnya senang. Ia pun mengambil brownies dan menyuapi Alvin. Alvin menyambutnya dengan gembira. Tak lama kemudian ibunya Obiet datang dengan Obiet. "Waduh... udah mesra-mesraan aja nih! Rumah orang juga..." komentar ibunya Obiet sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Obiet membelalak melihat mereka berdua. "Biet, dateng juga lo! Gue sama Zahra ke sini mau minta penjelasan kenapa lo bisa ngelakuin itu!" ujar Alvin sambil bangkit. Zahra mengangguk, mulutnya penuh. "Maksud lo apa?" tanya Obiet sinis. "Maksud gue, kita minta penjelasan kenapa lo bisa-bisanya bayar Zeva buat ngaku-ngaku jadi pacar gue, padahal lo udah tau si Zahra cewek gue!" jawab Alvin panas. "Apa? Obiet! Kenapa?" tanya ibu Obiet kaget. "Tau dari mana lo?" tanya Obiet, tak memperdulikan ibunya. "Dari Zeva. Udah deh, lo gak usah boong, kedok lo tuh udah kebuka!" jawab Zahra sambil berdiri setelah menelan brownies yang ada di mulutnya. "Iya Biet, kenapa lo bisa-bisanya pake cara kotor gini? Gue tau lo suka sama Zahra, tapi gak perlu segitunya!" sahut Alvin. "Lo tanya kenapa? Karena lo tuh anak emas dan gue anak bawang di keluarga kita! Setiap keluarga kita ketemu, pasti pada bilang, 'Alvin dateng juga! Gimana kabarnya? Nilainya gimana?' dan sebagainya! Lo dapetin segalanya, mulai dari kerja ampe kuliah!" jawab Obiet stress. "Obiet!" tegur ibunya. "Bener kan? Aku tuh selalu jadi anak bawang dan dia jadi anak emas, ma! Dia dapetin segalanya, kerja, kuliah, keluarga, bahkan mama!" teriak Obiet kepada ibunya. "Gak usah ngebentak ibu lo deh Biet, dia gak ada sangkutannya!" ujar Alvin. "Oh ya? Tapi yang gue bilang itu bener, kan? Lo selalu dapetin segalanya yang gue mau! Kerjalah, kuliahlah, kasih sayang ibu guelah, bahkan Zahra! Lo dapetin Zahra! Padahal kan lo udah tau, gue suka sama Zahra dari SMA!!" bentak Obiet. "Obiet! Itu gak benar! Mama masih sayang sama kamu..." ujar ibunya Obiet. "Gak! Mama selalu ngutamain Alvin! Alvin boleh nginep di sinilah, Alvin inilah, itulah, sedangkan Obiet? Obiet gak boleh nginep di mana pun! Obiet selalu dibentak, mama selalu aja marah sama Obiet! Mama tuh gak sayang sama Obiet, mama sayangnya ke Alvin!" potong Obiet. "Itu mama lakuin karena mama sayang sama kamu, Biet..." ujar ibunya sambil menangis. "Enggak! Mama tuh gak peduli sama Obiet, mama tuh pedulinya sama Alvin! Udah ah, Obiet mau pergi! Ngapain Obiet tinggal di sini kalau gak ada yang peduli sama Obiet?" tanya Obiet sambil pergi dan membanting pintu. "Obiet! Obiet!" teriak ibunya memanggil Obiet. "Sabar ya tante..." hibur Zahra. Ibu Obiet menangis sejadi-jadinya. Zahra terus saja menghibur ibunya Obiet, Alvin mengambilkan minum. Tiba-tiba nafasnya ibunya Obiet patah-patah, lalu ibunya Obiet pun pingsan. Zahra panik. "Vin, Vin gimana ini?" tanya Zahra panik. "Udah udah tenang dulu, aku bakal nyari Obiet, pasti kalau Obiet balik, ibunya bakal siuman kok" jawab Alvin. Zahra pun berusaha tenang, lalu Alvin memacu motornya untuk mencari Obiet. Zahra masih saja panik, lalu ia pun menelefon Oik, siapa tau Oik bersama Obiet sekarang. "Halo?" tanya suara di seberang sana. "Ik? Ik lo harus bantu gue, ibunya Obiet pingsan dan Obiet gak tau ke mana, Ik Obiet ada sama lo gak?" tanya Zahra panik. "Gue gak kenal sama yang namanya Obiet, dia bukan siapa-siapa gue" jawab Oik lalu menutup telefon. "Ik? Ik? Halooo... Ik jangan dimatiin dong telefonnya!" ujar Zahra panik. Zahra pun menyimpan telefonnya di tas dan panik lagi, berusaha tenang.

Oik

Oik telah berkemas dan tiba di depan pagar kos saat Zahra menelefonnya. Setelah berbincang-bincang dengan Zahra ia pun pergi ke halte bus, tempat tujuannya. Ia ingin pergi dari situ dan melupakan Obiet untuk selama-lamanya. Sesampainya di halte, ia pun menunggu bus. Tiba-tiba Obiet datang. Obiet kaget melihat Oik di sana, lalu ia pun segera menghampiri Oik. "Ik! Keluarga gue ancur! Gue gak bisa dapetin Zahra, dan itu semua gara-gara lo Ik! Gara-gara lo Zahra jadi gak mau sama gue dan balikan sama Alvin, semua itu gara-gara lo! Gak ada satu pun yang sayang ya sama gue, bahkan nyokap gue sendiri! Asal lo tau ya Ik, gue tuh benci sama lo! Pergi dari hidup gue!" teriak Obiet menuduh Oik yang tidak bersalah. Oik pun menangis, hatinya sakit dituduh seperti ini oleh orang yang dicintainya. "Gue mau pergi! Gak ada yang sayang sama gue!" teriak Obiet lalu menyebrang jalan. Tubuh Oik bergetar, ia tak mampu lagi menahan semuanya. Pikirannya sama sekali kacau, sehingga tak sadar akan apa yang ia lakukan. "Tapi gue sayang sama lo Biet!" teriak Oik sambil menangis. Obiet berbalik. "Apa?" tanya Obiet. "Gue sayang sama lo! Gue cinta sama lo! Tapi apa? Lo gak bisa ngebales perasaan gue! Tiap hari yang lo bicarain tuh cuma Zahra, Zahra, dan Zahra! Gara-gara itu gue bantuin lo, soalnya gue mau ngeliat senyuman lo! Gue bahagia kalo lo bahagia! Dan gue rela ngelakuin apa aja buat ngeliat senyuman itu Biet, walau gue harus relain perasaan gue ke lo! Lo gak tau sebesar apa sakit yang gue tahan selama ini Biet, gue tuh jadi sahabat lo gara-gara gue suka sama lo! Gue gak bisa lagi nahan semuanya, gue gak bisa lupain lo, sebenci apa pun gue sama lo..." jawab Oik berteriak, 3 kalimat terakhir ia mulai lemas, lalu ia pun jatuh terduduk. Ia menangis sejadi-jadinya. Obiet pun berlari ke arahnya dan memeluknya. "Maafin gue Ik, gue gak tau kalo ternyata perasaan lo kayak gini ke gue, gue gak tau selama ini lo sakit gara-gara ini, pantesan lo gak mau cerita tentang cinta ke gue, pantesan... gue sayang sama lo Ik" ujarnya. "Gak, yang lo suka tuh Zahra, bukan gue" tanggap Oik tak percaya, menggelengkan kepalanya. "Iya, tapi gue bakal belajar untuk menggapai apa yang bisa gue gapai dan mengikhlaskan apa yang gak bisa gue gak bisa gapai... gue bakal belajar untuk sayang sama lo Ik, ajarin gue" ujar Obiet. Oik menangis.

Adrian Martadinata – Ajari Aku
Ajari aku ’tuk bisa
Menjadi yang engkau cinta
Agar ku bisa memiliki rasa
Yang luar biasa untukku dan untukmu
Ku harap engkau mengerti
Akan semua yang ku pinta
Karena kau cahaya hidupku, malamku
‘tuk terangi jalan ku yang berliku
Hanya engkau yang bisa
Hanya engkau yang tahu
Hanya engkau yang mengerti, semua inginku
[ajari aku 'tuk bisa mencintaimu]
[ajari aku 'tuk bisa mengerti kamu]
Mungkinkah semua akan terjadi pada diriku
Hanya engkau yang tahu
Ajari aku ’tuk bisa mencintaimu

(Part 31)
Suara lembut Obiet menenangkan Oik. Oik pun tersenyum dan memejamkan mata, menikmati pelukan Obiet. Tak peduli berapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. "Biet, lo kabur dari rumah ya?" tanya Oik, melepas pelukan Obiet dan menatap mata Obiet. "Iya, tau dari mana?" tanya Obiet bingung. "Tadi si Zahra nelfon, katanya nyokap lo pingsan" jawab Oik. Obiet membelalak. "Yang bener lo? Jangan bercanda deh!" tanya Obiet kaget. "Ngapain gue bercanda coba? Yuk ah ke rumah lo, siapa tau nyokap lo bisa siuman pas denger lo pulang" jawab Oik. "Yuk" tanggap Obiet setuju. Oik pun bangkit dan mengangkat tas-tasnya. "Sini gue bantuin" ujar Obiet, merebut salah satu dari dua tas Oik. Ketika ia menyentuh tangan Oik, hal yang tak pernah dilakukannya sebelumnya, jantungnya berdebar-debar. Lebih kencang dari yang dirasanya selama ini ke Zahra. Apalagi saat ia menatap mata Oik, jantungnya serasa ingin berhenti. Ia tak pernah menyadari, bahwa Oik yang selalu ada di sampingnya dan memberi dukungan padanya adalah gadis yang sangat cantik, lebih cantik dari yang pernah bisa ia sadari. Jangan bilang kalau selama ini gue suka sama dia, bukan ke Zahra. Bisa kacau tuh, apalagi gue udah pake cara kotor buat ngerebut si Zahra. Waduh... melayang sia-sia deh uang gue! pikir Obiet. "Eh gak usah!" sahut Oik, membuyarkan lamunan Obiet. "Udah ah, berat kan? Gue bawain satu doang kok, jadi lo masih bisa usaha" paksa Obiet, berusaha mengendalikan jantungnya dan suaranya yang bergetar. "Ya udah deh... kita ke sana naik apa?" tanya Oik. "Taksi aja. Yuk cepet, entar nyokap gue kenapa-napa lagi!" jawab Obiet. Oik mengangguk. Mereka pun segera menyetop taksi dan berangkat ke rumah Obiet.

Rumah Obiet

Obiet pun membuka pintu rumahnya lalu bergegas mencari ibunya. Ia pun menemukannya, pingsan di sofa ruang tamu, ditemani oleh Zahra. "Obiet! Lo dateng! Dari mana aja lo?" tanya Zahra panik. "Entar aja gue ceritain. Ma? Ma? Ini Obiet, ma... bangun!" jawab Obiet lalu mengguncang-guncangkan ibunya. Tak lama kemudian ibunya sadar. "Obiet? Obiet! Obiet kamu jangan gituin mama lagi nak..." ujar ibunya Obiet sambil memeluk anak semata wayangnya itu. "Maafin Obiet ma, Obiet janji gak bakal ngulangin lagi" ucap Obiet, meminta maaf ke ibunya. Ibunya pun mengangguk, matanya berlinang air mata. Kejadian itu sungguh mengharukan. Akan tetapi, Oik dan Zahra yang seharusnya terharu melihatnya malah duduk di sofa, makan brownies lezat dan ngegosip. Akhirnya ibu dan anak itu melepaskan pelukannya. "Gila ya lo berdua, lagi ada momen indah di sini lo berdua malah asyik aja!" komentar Obiet. "Serah deh. Kan kita punya waktu sendiri" tanggap Zahra cuek. Obiet merasa aneh, kenapa getaran yang selalu dirasakannya ketika Zahra berbicara tidak ada? "Lagian, lo sendiri kan yang bikin masalah? Kabur dari rumah gara-gara gituan doang. Childest banget sih" komentar Oik, memakan browniesnya. Obiet semakin kaget, getaran yang hilang tadi ditemukannya ketika Oik berbicara. Ia pun cepat-cepat menghilangkan getaran dan pertanyaan-pertanyaan yang melintas di kepalanya. "Iya iya sori deh, eh browniesnya enak ya?" tanya Obiet, berusaha mengalihkan pikiran. "Iya, enak banget loh!" jawab Oik, mengambil potongan brownies yang terakhir. "Ammm... enak banget! Masakan nyokap lo emang top Biet!" goda Oik, memakan browniesnya dengan gaya lebay. "Sini gue cobain" ujar Obiet, mengambil tangan Oik yang sedang memegang brownies lalu memakan browniesnya. "Eh?" tanya Oik, mukanya memerah. "Mmm... bener lo Ik, enak banget!" komentar Obiet sambil mengunyah brownies tersebut. Oik diam saja, salting. Ia menunduk untuk menyembunyikannya. "Biet, tanggung jawab tuh... si Oik jadi salting!" goda Zahra. Obiet tertawa, tawa yang disukai Oik. Oik semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang malu dan salting itu. Obiet duduk di samping Oik, lalu merangkulnya. Oik semakin salting, ia memejamkan mata, berusaha mengambalikan detak jantungnya yang serasa berhenti. Wajah Obiet pucat. Ia merasakan getaran yang sungguh-sungguh hebat, dan jantungnya berhenti. Jadi dugaannya benar. Yang ia sukai bukan Zahra, melainkan Oik. Dipikir-pikir, saat Zahra ada di deket gue Oik ada. Pas gue deg-degan samping Oik gue kira gue deg-degan mikirin Zahra. Emang gue beneran suka sama Oik ya? Oik yang cantik, yang selalu ngasih gue nasehat, selalu ngasih gue dukungan penuh... Ik ternyata gue emang sayang sama lo, bukan Zahra. Lagian, si Oik selalu ada di samping gue setiap gue ketemu Zahra. Jadi bener apa yang gue rasain? Arrgghh!! Cinta tuh rumit banget sih!! Gue ngerasa bersalah udah nyakitin lo Ik, batin Obiet sedih. Kayak mimpi aja... gue dirangkul Obiet! pikir Oik berulang-ulang. "Woi woi lo berdua jangan ngelamun! Entar kerasukan aja baru deh nyesel!" ujar Zahra, menjentikkan jarinya, membuat Oik dan Obiet tersadar dari lamunan mereka. "Nyokap lo bikinin makanan Biet, enak banget. Makan gih lo berdua!" perintah Zahra. Oik dan Obiet menurut. Mereka mengambil makanan lalu duduk. Mereka makan dalam diam, tak tau harus bicara apa. Mereka berusaha mengendalikan detak jantung mereka yang meloncat-loncat ingin terbang ke langit. Tanpa sadar makanan mereka habis. "Ik..." panggil Obiet ragu-ragu. "Hmm?" sahut Oik yang sedang minum. "Gue selama ini salah, ternyata yang gue suka tuh bukan Zahra, gue baru nyadar. Gue ternyata suka sama orang lain, dan orang ini selalu ada buat ngehibur gue, dukung gue, nasehatin gue, dan rela ngorbanin apa pun biar gue bahagia" ungkap Obiet, masih ada nada ragu-ragu dalam suaranya. "Hmm?" tanya Oik, masih minum. Dia gak mau natap Obiet, makanya dia pura-pura minum. Bukan maksud gue GR Biet, tapi itu gue ya? tanya Oik dalam hati. Obiet diam sebentar. "Dan orang itu ada di depan gue sekarang, lagi minum, namanya Oik Cahya Ramadlani" ungkap Obiet. Oik membelalak dan menyemburkan minumannya. Zahra yang kena. "Eh sori Zah, gak sengaja!! Kaget banget gue!" seru Oik panik. Zahra senyum maksa. "Gak pa pa kok" ujarnya. "Sori banget Zah, sori..." ujar Oik. Obiet ngakak. Oik menatapnya tajam. Obiet langsung berhenti. "Jadi intinya apa?" tanya Oik sinis. "Lo... lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Obiet terbata-bata karena gugup. Muka Oik langsung merah semerah kepiting rebus. Nafasnya serasa berhenti. Jantungnya juga. Ia serasa melayang ke langit ke tujuh... "Ik, lo terima gak?" tanya Obiet. Oik kembali ke dunia nyata, lalu ia tersenyum manis. Jantung Obiet serasa berhenti melihatnya. "Iya, gue terima kok" jawab Oik. "Yes!" teriak Obiet senang. Obiet pun memeluk Oik erat, sampai-sampai Oik gak bisa nafas. "Ehem..." ujar ibunya Obiet. Obiet pun segera melepas pelukannya. Oik lega, nafasnya tersenggal-senggal. "Ma, aku benci ma sama dia..." ujar Obiet, merangkul Oik. Oik menatapnya bingung. Obiet tertawa kecil. "Aku BENCI sama Oik... aku BENER-BENER CINTA sama dia..." sambungnya. Oik tersenyum lagi, lalu memeluk Obiet. "Aku mau jadi pacarnya, mama restuin Obiet kan?" tanya Obiet. "Gimana ya? Obiet mau pacaran sama anak yang sopan, ramah, baik, cantik, pinter, gimana mama mau nolak?" tanya ibunya Obiet. Obiet dan Oik pun tersenyum senang, dan mereka berpelukan. Sedang Zahra udah cabut, dijemput sama Alvin yang marah gara-gara dia udah nyari Obiet selama 4 jam, padahal Obiet udah ketemu.

Sementara itu, Shilla

Shilla kebanjiran kado dan kue, serta ucapan selamat ulang tahun. Memang, hari itu tanggal 25 Februari, hari ulang tahun Shilla. Bahkan, baju dan badannya sudah penuh dengan noda tepung, kecap, telur, dan susu, gara-gara 'surprise' dari teman-temannya itu. Untung dia sudah siap siaga, bawa baju ganti. Jadi tinggal ganti baju trus ciprat-cipratan sama air, pulang kampus mandi deh. Selesai dengan semua itu, ia ke tempat parkiran mobil dan menaiki mobilnya, lalu mengendarai mobilnya ke sekolah Keke. Hari ini Keke gak ada yang jemput, jadi dia dijemput sama Shilla. Sesampainya di sekolah Keke, ia pun celingak-celinguk mencari Keke. "Kak Shilla!" teriak sebuah suara yang dikenalnya. Itu suara Keke. Spontan ia menengok ke sumber suara, lalu menemukan Keke yang sedang menghampirinya. "Kakak akhirnya dateng juga... yuk ke rumah, udah laper nih. Masakin Keke yang enak-enak ya" ujarnya. "Iya iya... yuk. Kamu kenapa lama pulangnya?" tanya Shilla. "Latihan drama. Kan Keke jadi peran utama, jadi harus banyak latihan" jawab Keke. Shilla manggut-manggut. "Ini kakak lo Ke?" tanya seorang cowok. "Iya" jawab Keke singkat. "Cantik banget... beda sama lo Ke" komentar Deva, salah seorang temannya. "Jadi intinya gue jelek, gitu?" tanya Keke. "Iya. Udah gitu pemarah, kasar, jagonya main basket, gak pantes deh jadi cewek!" jawab Deva santai. Keke langsung menjitak kepalanya. Deva tertawa digituin. Keke pun memukul punggung Deva. "Au! Au sakit Ke!!" teriak Deva dengan nada pura-pura kesakitan. Keke malah memukulnya lebih kenceng. "Au! Sakit beneran Ke! Stop dong!!" teriak Deva. Keke masih terus memukulinya. "Eh udah udah! Yuk Ke, pulang!" lerai Shilla, menarik tangan Keke agar berhenti. Keke mengangguk. "Tuh Ke, jadi orang tuh yang baik kayak kakak lo! Gila ya, kakak lo tuh udah cantik, ramah, suaranya lembut, kebalikan dari lo deh Ke!" teriak Deva, masih saja meledek. Keke mengepalkan tangannya, lalu berjalan ke arah Deva tapi ditahan sama Shilla. "Udah, biarin aja. Yuk pulang, kakak udah laper nih, mau makan! Kamu juga mau makan kan?" tanya Shilla. Keke mengangguk. Mereka pun pulang.

Rumah Shilla

"Pa!! Shilla sama Keke pulang!!" teriak Shilla di dalem rumahnya kayak orang stress. "Paa!!" teriak Keke. Aneh, biasanya kan papa nyaut, kok sekarang enggak? tanya Shilla dan Keke dalam hati, bingung. Ia pun memeriksa kamar papanya. Keke ngekor. Sesampainya di sana, ia terbelalak kaget. Wajah cantiknya pucat. "Ppp.... papa?" tanya Shilla, air mata keluar dari matanya. "Gak mungkin kan kak? Ini gak terjadi kan kak?" tanya Keke, air matanya juga keluar. Mereka segera menghampiri papa mereka yang berbaring di kasurnya. Shilla terkenang masa lalunya, saat Gabriel meninggal dibunuh. Ia menemukan secarik kertas. Shilla membaca tulisan yang ada di atas kertas tersebut.
Happy Birthday Shilla!
-Paman Jo-

Shilla paham. Paman Jo memberinya kado, kado yang tak akan dilupakannya. Kado yang paling pahit. Shilla jatuh terduduk, menangis. Keke menahan air matanya, berusaha menghibur kakaknya itu, walaupun ia sendiri juga sangat sedih, sesedih kakaknya. "Kak, jangan nangis kak, ini udah takdir Tuhan..." hibur Keke terbata-bata karena menahan tangis. Kakaknya masih saja terus menangis. "Kak, jangan sedih kak, kita harus mengikhlaskan kepergian papa" ujarnya. Shilla masih saja menangis, walau ia sendiri tak mau. Terbalik, batinnya. Harusnya gue yang ngehibur dia, harusnya gue yang gak nangis. Harusnya gue bisa ngendaliin air mata ini, sama kayak adek gue, pikirnya. Tapi apa daya, air matanya terus saja mengucur deras. Keke terus saja menghiburnya. Keke pun tak tahan lagi. Ia menangis seperti Shilla, menangisi ayahnya yang dibunuh. Shilla menangis tambah deras, mengingat ayahnya dibunuh dengan cara yang sama seperti Gabriel, yaitu memberi lubang di paru-parunya. Kado dari paman Jo tersebut benar-benar menyakitkan.

(Part 32)
Keesokan harinya, baik Shilla maupun Keke tidak masuk kampus atau sekolah mereka. Semua teman-temannya sih biasa aja, paling-paling juga bolos. Kan udah biasa. Tapi Rio kelihatannya khawatir, hatinya gundah. Tak biasanya ia merasa seperti ini. Di kampus pikirannya melayang ke Shilla, khawatir. Temen-temennya dikacangin semua sama dia. Ia pun berusah mengalihkan pikirannya, dan sepulang kampus usahanya berhasil. "Lo kenapa sih Yo?" tanya Obiet. "Gak kenapa-napa. Khawatir aja sama Shilla, kok dia gak masuk ya? Kan dia yang paling cerewet kalo kita gak masuk atau telat" tanya Rio. "Bener juga lo Yo!" tanggap Alvin. "Tapi kan Shilla juga manusia, paling-paling dia sakit atau ada urusan" tanggap Zahra. Rio manggut-manggut. "Bener juga lo Zah... eh Biet, Ik, lo berdua ngapain gandengan tangan?" tanya Rio yang baru nyadar. Obiet merangkul Oik. "Kemaren kita resmi jadian" jawabnya. Rio cengo. "Hah? Lo resmi jadian? Kok gak dikasih tau? Eh, pajaknya mana nih?" tanya Rio. "Makanya, jangan ngelamunin Shilla terus! Mentang-mentang suka!" celetuk Oik. Obiet tertawa. "Gue udah ngasih tau lo pas jam kosong, tapi dikacangin. Ya udah, gue diem" jawab Obiet. "PJ-nya ntar, maunya sih jam kosong hari ini, tapi si Rionya ngelamun mulu ya udah. Daripada ditagih satu-satu kan mending sekalian. Shilla juga gak masuk" sambung Oik. Rio manggut-manggut lagi. Lalu ia menunduk, melihat ke arah bawah lama sekali. "Woi Yo, jangan ngelamun lagi!" tegur Zahra. Rio tersadar dari lamunannya. "Gila ya lo, sebesar apa sih cinta lo ke Shilla? Dari tadi yang lo lamunin Shilla... aja. Kita yang dikacangin!" tanya Alvin. Rio menatapnya sinis. "Yang jelas sebesar atau lebih dari cinta lo ke Zahra" jawab Rio. "Udah ya, gue cabut" pamit Rio. "Kita juga. Biet, bawa motor kan?" tanya Oik. "Iya. Yuk pulang" ajak Obiet. Oik pun menggandeng tangannya dan mereka pun pulang. "Zah, mau makan dulu?" tanya Alvin. "Mmm... ntar aja kalau udah malem Vin" jawab Zahra. "Yah, kalau gitu besok-besok aja deh. Ntar malem aku ada acara" keluh Alvin. Zahra prihatin dan merangkul Alvin. "Pulang yuk" ajak Alvin dengan nada sedih. Zahra menjadi merasa bersalah. "Yuk" ujar Zahra lemas. Alvin pun menggandeng tangan Zahra dan membawanya ke tempat motornya di parkir, lalu mengantarnya pulang.

2 hari kemudian

Shilla masih belum masuk ke sekolahnya, sudah genap 3 hari. Teman-temannya spontan khawatir, jangan-jangan Shilla kenapa-napa. Telefon sama SMS percuma, toh gak diangkat dan dibales sama dia. Tetapi, hari ini Keke masuk ke sekolahnya. Temen-temennya udah pada khawatir semua, apalagi Deva. "Ke! Lo ke mana aja? Kok gak masuk gak ada kabar? Latihan drama lo bolos, pada gak jadi tau!" sambut teman-temannya. Keke tersenyum paksa. Wajahnya pucat. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya, menandakan ia kurang tidur. "Ke? Muka lo kok pucet gitu? Lo kebanyakan nangis, ya? Lo kurang tidur, ya?" tanya Deva. "Wess... Deva... perhatian aja lo ama Keke" komentar yang lain. Deva tak menghiraukannya. Keke tersenyum paksa, lalu ia menggeleng. "Gak mungkin, lo aja senyum gak bisa, dipaksain! Udah sarapan?" tanya Deva lagi. Keke menggeleng lagi, lalu menyunggingkan senyum paksa selebar mungkin. "Hah? Lo harus sarapan dong, Ke... yuk ke kantin, gue beliin roti" ajak Deva. Keke tersenyum dan menggeleng. Ia pun berjalan terhuyung-huyung ke kelasnya. Deva semakin khawatir.

Pulang sekolah

Keke berjalan terhuyung-huyung keluar kelas, menuju perpustakaan sekolah. Ia menyebrangi lapangan basket, dan dunia serasa melayang, ia pusing... dan semuanya menjadi gelap. Ia ambruk. Untung saja kapten tim basket sekolahnya menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Semua orang yang ada di sana pun menggotong Keke ke UKS.

UKS

Tak lama kemudian Keke membuka matanya, lalu ia menyapu matanya ke sekeliling ruangan. Di mana gue sekarang? tanya Keke dalam hati. Ia memasang tampang bingung. "Lo ada di UKS. Pasti lo gak pernah ke sini, soalnya lo selalu jaga kesehatan lo" ujar sebuah suara, seperti bisa membaca pikiran Keke. Keke langsung menengok ke arah sumber suara. Lalu ia menemukan Deva diambang pintu UKS. "Kenapa..?" tanya Keke. "Lo pingsan tadi. Udah gue bilang, sarapan dulu. Lo gak makan berapa hari sih?" tanya Deva, bermaksud bercanda. Keke mengacungkan tangannya, membentuk angka tiga. "Lo gak makan 3 hari? Pantesan lo pucet kayak gitu! Nih, gue bawa roti sama air putih. Makan!" perintah Deva kaget, memberi sepotong roti dan aqua pada Keke. Keke menerimanya ia memakannya dengan lahap. "Laper kan lo? Makanya, tiap hari tuh makan, minimal sarapan sama 3 sendok nasi!" ujar Deva. "Cerewet lu" komentar Keke. "Biarin!" tanggap Deva. "Eh, bisa beliin gue lagi gak? Gue laper nih" tanya Keke. "Makanya, makan dong! 3 hari gak makan... gue aja kagak tahan kalo gak makan siang! Lo mau apa?" tanya Deva. "Makaroni. Nih duitnya" jawab Keke, memberi Deva uang. Deva pun pergi. Keke tak perlu menunggu lama, karena tak lama kemudian Deva kembali membawa makaroni pesanan Keke. Wajah Keke berseri-seri, ia pun makan dengan lahap. "Enak? Makanya, kalo rezeki tuh dimanfaatin, lo makanan aja gak dimakan. Pingsan lo yang ada" ujar Deva, menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala. "Sok dewasa lo!" komentar Keke. "Biarin! Tuh kan, abis makan langsung ada tenaga lagi. Tapi jangan dipake buat mukulin gue!" ucap Deva, memandang ke arah pintu UKS. "Iya, tapi lo beliin gue makaroni lagi" tanggap Keke. "Emangnya lo udah..." tanya Deva sambil melihat ke arah Keke. "Abis?" sambung Deva, kaget melihat makaroni Keke yang udah abis. "Gila! Lo cewek apa cowok, sih? 1 menit aja belom ada, makaroni semangkok lo udah abis!" komentar Deva heboh. "Cewek. Udah, beliin gue lagi! Laper nih, 3 hari kagak makan!" seru Keke heboh sendiri. "Ya udah, mana duitnya?" tanya Deva. "Ya elo yang keluar duit! Kan gue bilang beliin!" jawab Keke. "Enak aja!" tanggap Deva. "Lo mau gue pukulin?" tanya Keke. "Iya iya gue beliin... hii serem gue sama lo Ke!" komentar Deva sambil merinding. "Udah sana beliin! Yang cepet!" perintah Keke. Deva pun menurut. Tak lama kemudian dia masuk lagi, membawa makaroni sama cappuchinno. "Wess... dapet bonus nih gue?" tanya Keke. "Gak! Ni cappuchinno buat gue! Enak aja lo!" jawab Deva sambil memberi makaroni Keke. Keke makan dengan lahap. "Ke... emangnya lo kenapa gak masuk ampe 3 hari sih? Gak makan-makan lagi! Kurang tidur, trus lemes kayak gini" tanya Deva. Keke langsung berhenti makan, menaruh mangkuk makaroni di meja sebelahnya. Wajahnya pucat lagi. Deva panik. "Ke? Kok lo pucat lagi?" tanya Deva panik. Keke menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Ke? Lo kenapa? Gue salah apa?" tanya Deva, makin panik. Keke menggeleng dan mengusap matanya, menahan air mata yang akan keluar. Deva mengambil kursi dan duduk di sebelah kasur Keke. "Ke? Lo sebenernya kenapa?" tanya Deva. Keke menarik nafas panjang, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar. "Lo tau kan, kemaren kakak gue dateng buat jemput gue?" tanya Keke, suaranya serak. Deva mengangguk. "Lo tau gak, dia ultah?" tanya Keke lagi. Deva menggeleng. "Emang dia ultah?" tanya Deva. "Iya. Dia dapet banyak kado... termasuk dari paman Jo" jawab Keke. "Trus?" tanya Deva. Air mata Keke hampir keluar, tapi ia masih bisa menahannya. "Kado dari paman Jo... ayah gue dibunuh, caranya sama kayak pas dia ngebunuh kak Gabriel, mantannya kakak gue" jawab Keke, air matanya keluar. Deva shock. Keke menangis, walau tak begitu keras suaranya. "Kkkk... kakak gue yang paling shock. Dia langsung nangis, trus gak mau makan dan gak mau masakin gue. Gue juga sedih, kita berdua akhirnya nangis berdua, ampe lupa makan. Gak lupa sih, tapi kita terlalu sedih dan lemes buat makan. Gue masih mending, bisa masuk hari ini. Kakak gue? Katanya dia gak mau masuk kampus lagi" sambungnya dengan suara terisak. "Gue gak tau harus ngapain... gue masih kelas 8, kakak gue gak bisa diandalin, nyokap gue ilang gak tau kemana, dan gue gak ngerti dengan semua ini, gue belom gede, gue belom remaja" ujarnya, air matanya keluar lebih deras. Ia menekuk lututnya ke atas, menaruh tangannya di atas lututnya, lalu menangis, mukanya ditempelkan ke tangannya. Deva bingung harus apa. Dia juga gak ngerti harus gimana, dan dia masih shock. Apalagi dia harus melihat Keke menangis, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Selama ini yang dia lihat adalah Keke yang tegar, tomboi, dan kasar. Baru kali ini ia melihat sisi feminin dari Keke, walaupun ia tau bagian luar Keke terlihat seperti cewek. Mukanya manis, rambutnya hitam panjang bergelombang, matanya indah. Semua itulah yang membuat Deva jatuh cinta pada Keke pada pandangan pertama, dan semua itu juga yang membuat ia selalu membantu Keke sebisanya. Jantungnya tak karuan, dia tak tau harus apa. "Woi si Keke kenapa? Lo apain?" tanya sebuah suara. Deva menengok ke pintu UKS, tempat sumber suara itu berada. "Kakak siapa ya?" tanya Deva bingung. "Gue Alvin, ini cewek gue Zahra. Mau jemput Keke, sekalian nanya si Shilla kenapa. Si Keke lo apain?" tanya Alvin galak. Deva jadi ngeri. "Ggg... gak Deva apa-apain kok kak... ngomong-ngomong pacar kakak cantik ya" jawab Deva mengalihkan pembicaraan. "Emang. Mau apa lo? Gaet dia?" tanya Alvin galak. Deva jadi tambah ngeri. Buset dah... ni kakak serem amet. Pasti temennya kak Shilla. Hii... merinding gue! batin Deva. "Vin, jangan gitu dong, yang baik sama temennya Keke, entar diusir. Inget, kita tamu, lagian liat tuh, dia udah serem aja liat kamu! Lagian, mana mungkin sih dia gaet aku? Orang aku 11 tahun lebih tua" tegur Zahra. Gila ya, kenapa si kakak galak bisa dapetin pacar yang cantik trus lemah lembut kayak dia? Sumprut dah, sopan abis. Skak mat lu kakak galak!! batin Deva senang. "Iya ah..." tanggap Alvin ogah-ogahan. Keke langsung menghapus air matanya sejak Alvin dan Zahra datang. Ia pun duduk di kasurnya, kakinya diselonjorkan. "Eh, kak Alvin, kak Zahra. Ngapain ke sekolah Keke?" tanya Keke, tersenyum manis. "Mau nanya tentang Shilla, kok dia gak masuk ya ampe tiga hari?" tanya Zahra. "Entar aja jawabnya, kok lo tadi nangis?" tanya Alvin. Wajah Keke pucat lagi. "Emmm... emh..." ujarnya, bingung mencari alasan yang tepat. Ia tidak mau kedua sahabat kakaknya ini tau, belum saatnya. "Dia tadi nangis gara-gara dilabrak sama anak kelas 9, trus dipermaluin" jawab Deva. "Oh ya?" tanya Alvin curiga. "Iya, pokoknya tadi parah banget deh. Apalagi Keke kan sensitif, waduh tambah gawat deh" jawab Deva mantap. Keke memandang Deva dengan tatapan Makasih-Banyak-Udah-Bantuin-Gue. Deva memandangnya dengan tatapan Sama-Sama. "Emang dipermaluin sama siapa? Sini gue labrak!" tanya Alvin nafsu. "Gak usahlah kak, Keke kan cinta perdamaian. Biar Tuhan aja yang ngebales" jawab Keke. "Trus Keke kenapa di UKS?" tanya Zahra. "Keke cari tempat yang sepi buat nangis, kan di sini tempat paling sepi. Yang lainnya rame semua" jawab Deva. "Oh... kirain apa. Udah yuk, Keke pulang sama kita aja, sekalian jenguk Shilla" ajak Zahra. "Enggak ah kak, kakak pulang aja. Keke mau bareng Deva, udah janjian soalnya" tolak Keke. "Sama kita aja, sekalian jenguk Shilla soalnya. Masa' mau bolak-balik?" paksa Alvin. "Kak Shilla lagi gak mau diganggu. Kalo diganggu bisa-bisa dia ngamuk seharian. Entar Keke gak dimasakin apa-apa, trus gak makan. Mau?" tanya Keke dingin. "Oh... ya udah deh. Kita makan siang aja ya Vin? Aku laper" tanya Zahra. "Oke deh. Sampein salam kita ke kakak lo ya" pamit Alvin lalu pergi, menggandeng Zahra untuk mengikutinya. Setelah mereka jauh, Keke menangis lagi. "Duh Ke, jangan nangis dong... gue bingung nih. Gue kan gak pernah nanganin cewek nangis" pinta Deva. Keke berhenti menangis, tapi masih terisak. "Sori" ujarnya. "Gak apa-apa" tanggap Deva. "Gue emang beda sama kakak gue... gue tomboi, dia feminin. Gue gak sensi, tapi dia sensinya minta ampun. Gue bisa olahraga, dia gak bisa. Tapi cewek setomboi apa pun pasti juga bakal nangis kalo punya nasib kayak gue, apalagi gue gak bisa nyalahin kakak gue. Gue gak tega" ungkap Keke. "Udah, yang penting lo tenang dulu. Bokap lo udah lo makamin?" tanya Deva. Keke mengangguk. "Nah, yuk pulang. Inget, makan!" perintah Deva. Keke tersenyum lalu bangkit. "Iya deh" ujarnya, mengambil tasnya lalu pergi mengikuti Deva. Ia pun pulang ke rumahnya.

(Part 33)
"Udah nyampe, Ke" ujar Deva. "Iya. Makasih ya" tanggap Keke, turun dari mobil Deva. "Sabar ya Ke" ucap Deva. "Iya. Hati-hati di jalan ya" ujar Keke. Deva tersenyum, membuat Keke meleleh. Keke menunduk. "Udah ya Ke, gue pulang ke rumah" pamit Deva. "I... iya, makasih ya" sahut Keke gugup, masih menunduk. Deva pun memacu mobilnya ke rumahnya. Keke memerhatikan Deva, setelah Deva hilang dari pandangannya ia pun masuk ke rumahnya. Gue harus bisa tegar, udah cukup gue nangis. Gue harus mandiri, dan gak ngandalin orang lain mulu. Gila ya, gue laper. Padahal baru aja tadi makan! batin Keke. Ia pun berjalan ke arah dapur. Hmm... buat apa ya? Yang gampang-gampang aja deh! pikir Keke lalu membuka kulkas. Bikin telor aja, kan gampang. Diapain ya? Dadar aja deh! batinnya, mengambil sebutir telur dari kulkas. Ia memecahkannya, menaruh cairan yang ada di dalamnya ke dalam mangkuk, mengocoknya, lalu memasaknya. Ia pun mengambil nasi putih dan mulai makan. Setelah makan ia menghampiri kakaknya. Kakaknya masih menangis, tubuhnya lemas. "Kak, kakak makan ya? Keke buatin sesuatu" ujar Keke. Kakaknya menggeleng, lalu menangis lagi. "Kak, kakak gak boleh gini, entar kakak bakalan sakit dan mati kelaperan. Entar Keke gimana? Ini aja Keke gak ngerti harus gimana. Kakak kan kakaknya Keke, harusnya kakak yang ngasih tau Keke harus gimana. Keke masih kecil kak, masih kelas 8, umur 13. Belum remaja, gak seharusnya Keke pusing sendiri dan ngehibur kakak" ujar Keke. Shilla hanya terus menangis. "Tadi kak Alvin sama kak Zahra mampir ke sekolahnya Keke, katanya mau jemput Keke sekalian jenguk kakak. Kakak masuk kampus lagi ya?" pinta Keke. Shilla menggeleng. "Ya udah, tapi kakak harus makan" perintah Keke. Shilla masih menggeleng. "Kak, Keke harus gimana? Keke rindu sama kak Shilla yang dulu, yang masakin Keke tiap hari, ngebantuin Keke sama PR Keke, dan ngajak jalan Keke. Keke mau kak Shilla yang dulu, yang selalu ceria, bukan kak Shilla yang murung dan selalu nangis kayak gini! Kakak tuh nambah-nambahin stressnya Keke aja!" teriak Keke emosi lalu pergi. Shilla terus saja menangis, tetapi hatinya sakit. Keke benar, tapi ia tak bisa menahan air matanya keluar.

2 hari kemudian

Hari ini genap 5 hari Shilla gak masuk kampus. Rio jadi makin khawatir. Akhirnya ia memutuskan, hari ini ia harus mengunjungi Shilla. Sepulang dari kampus ia langsung menuju rumah Shilla dengan motornya itu. Ia tidak berkonsentrasi dengan motornya, yang ia masuk di pikirannya hanya Shilla.

Rumah Shilla

Rio menekan tombol bel. Tak lama kemudian pintu dibuka. "Eh, kak Rio. Ada apa?" tanya Keke yang membukakan pintu. "Lagi mau ke sini aja. Shillanya ada?" tanya Rio. Keke menengok ke belakang dengan muka khawatir. "Masuk aja kak" ujarnya. Rio pun memasuki rumah Shilla. Betapa kagetnya dia, di ruang tamu ada seorang cowok yang duduk di sofa. "Siapa Ke?" tanya cowok tersebut. "Kenalin, ini kak Rio. Kak Rio, ini Deva, temenku di sekolah" ujar Keke, memperkenalkan keduanya. "Rio" ujar Rio, mengulurkan tangannya. "Deva" ujar Deva, menjabat tangan Rio. "Duduk kak" perintah Keke. Rio menurut. Ia duduk di sebuah kursi. "Kak, Dev, Keke ke kak Shilla dulu ya" pamit Keke. "Emangnya si Shilla kenapa?" tanya Rio. "Lagi sakit" jawab Keke berbohong. "Sakit apa?" tanya Deva, pura-pura tidak tau apa-apa. "Demam" jawab Keke. "Udah ya, Keke ngurusin kak Shilla dulu" pamit Keke lalu pergi ke kamar Shilla.

Kamar Shilla

Keke masuk, lalu melihat kakaknya sedang menangis seperti biasa. Sebuah mangkuk berisi bubur tak disentuh Shilla, padahal bubur itu disiapkan oleh Keke supaya kakaknya makan. "Kak, makan ya... udah 5 hari kakak gak makan. Nanti sakit, ayo dimakan" ujar Keke. Shilla menggeleng. "Ayolah kak, liat tuh, kakak udah lemes. Ayo makan" paksa Keke. Shilla masih saja menggeleng. Keke menyendok bubur, lalu menyuapi kakaknya. "Ayo kak, buka mulutnya" ujarnya. Shilla mentup mulutnya rapat-rapat dan menggeleng. "Ayolah kak, kak Rio mampir tuh. Deva juga mampir. Malu dong" ujar Keke. Shilla menggeleng dan menangis lagi. "Ya udah, tapi nanti harus makan. Keke mau ngeladenin Deva sama kak Rio" pamit Keke lalu pergi ke ruang tamu.

Ruang tamu

"Gimana si Shilla?" tanya Rio. "Gak mau makan, nangis mulu" jawab Keke. "Nangis? Nangis kenapa?" tanya Rio bingung. Deva memberi pandangan Mampus-Lo-Ketauan-Sama-Dia ke Keke. Keke menutup mulutnya. "Si Shilla kenapa?" tanya Rio panik. Keke diam saja. Ia memandang Deva dengan tatapan Tolong-Dong. "Si Shilla kenapa?" tanya Rio setengah membentak. Deva membalas tatapan Keke dengan tatapan Sori-Gak-Bisa. Lalu ia mengubah tatapannya menjadi Gila-Ni-Kakak-Serem-Abis. "Si Shilla kenapa?!" teriak Rio. Keke dan Deva diam saja, takut. "Argh!" teriak Rio lalu menuju kamar Shilla. "Jangan kak! Cowok gak boleh masuk kamar cewek!" larang Keke. "Biarin!" teriak Rio lalu membuka pintu kamar Shilla. Betapa kagetnya ia melihat wajah Shilla yang pucat, matanya yang merah dan bengkak, rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya. "Shill? Shill lo kenapa?" tanya Rio sambil menghampiri Shilla. Menyadari ada Rio di kamarnya, Shilla berhenti menangis. "Shill, lo kenapa?" tanya Rio. Shilla diam saja. "Ashilla Zahrantiara, lo kenapa?" tanya Rio tegas. Shilla diam saja. "Lo gak makan-makan, ya?" tebak Rio. Shilla mengangguk lemah. Rio memandangi semangkuk bubur di atas meja. "Itu makanannya siapa?" tanya Rio. Shilla menunjuk ke arah dirinya. Rio mengambil mangkuk bubur tersebut. "Shill, makan ya" ujar Rio. Shilla menggeleng. "Ayolah... Alvin, Zahra, Oik, sama Obiet bakal sedih liat lo kayak gini mulu, semua temen lo kangen sama lo. Ayo makan" ucap Rio. Shilla diam saja. "Gue punya kabar terbaru tentang Oik, Obiet, Alvin sama Zahra loh" ungkap Rio. "Apaan?" tanya Shilla dengan suara serak dan lemah. "Kalau mau tau makan dulu" ujar Rio, memberikan bubur kepada Shilla. Shilla mengambilnya, tubuhnya lemas. Bubur yang dipegangnya hampir saja jatuh dan tumpah. "Siniin!" perintah Rio, merebut mangkuk bubur dari tangan Shilla dengan cepat. "Ntar jatoh ni mangkok, bisa nyendok gak lo?" tanya Rio. Shilla menggeleng lemas. Rio pun menyendok bubur tersebut. "Buka mulutnya!" perintah Rio. Shilla menurut. Rio pun menyuapi Shilla. Keke yang mengintip sedari tadi tersenyum, masalahnya beres.

Ruang tamu

"Gimana Ke?" tanya Deva. "Ya gitu deh. Kak Shilla akhirnya makan juga. Disuapin sama kak Rio tuh!" jawab Keke sambil cekikikan. Deva tertawa. Deva mencomot kue yang terhidang di meja. "Beli di mana lo? Enak banget!" tanya Deva. "Kak Shilla yang buat" jawab Keke, mengikuti Deva. "Hah? Kak Shilla yang buat? Gila enak abis!" komentar Deva. "Iya. Kak Shilla kan jago masak" ungkap Keke bangga. "Nah, kalo kak Shilla gue percaya. Kalo elo jago masak gue gak percaya" ujar Deva. "Kurang asem lo!" seru Keke. Deva tertawa, lalu mencomot lebih banyak kue. Keke mengikuti Deva. Tiba-tiba bel berbunyi. Deva melihat jam. "Bentar ya, gue bukain pintu dulu" ujar Keke sambil bangkit. Deva mengangguk. Setelah Keke pergi Deva tersenyum. Udah saatnya, pikir Deva senang. Di depan pintu, Keke bingung. "Tapi saya gak mesen ini!" seru Keke. "Tapi alamatnya tertuju ke sini, atas nama Gabrielle Angeline Thalitha Pangemanan" ucap salah seorang petugas. "Iya, tapi saya atau kakak saya gak mesen ini" ujar Keke, tetap bersikukuh dengan pendapatnya. "Maaf, mungkin ini kejutan. Terima kasih" pamit petugas tersebut lalu pergi. Keke bingung. Gue harus apain nih bunga, boneka, sama cokelat? Cokelat pengen gue makan, tapi kalau ini kiriman nyasar kan gak enak... ah bawa masuk dulu deh! pikir Keke lalu masuk. Ia ke ruang tamu lagi, membawa sebuah boneka teddy bear besar berwarna cokelat, sebuah buket bunga besar berisi bunga mawar dan lily, dan sebuah kotak cokelat berbentuk hati. Keke menaruhnya di meja. "Lo beli apaan? Gila, kok feminin abis?" tanya Deva, memperhatikan semua benda-benda tersebut. "Gak tau, ada yang ngirimin ke sini. Cokelatnya sih lumayan, tapi kalau kiriman nyasar kan repot sendiri" ujar Keke, duduk di samping Deva, bersandar. Ia memperhatikan ketiga benda tersebut. Deva menggerutu. Ternyata si Keke gak sadar! Huuhhh, segede bagong gitu masa gak keliatan sih? pikir Deva sebal. "Eh?" tanya Keke, langsung duduk tegak. "Kenapa Ke?" tanya Deva penuh harap. "Ini ada tulisan" jawab Keke, menunjuk ke arah boneka. Boneka tersebut sedang memegang sebuah hati, dan di hati itu ada tulisan. "I love you Keke" ujar Deva. "Iya, tulisannya itu" tanggap Keke, mengangkat boneka tersebut. Deva menggeleng. "Bukan" ujarnya. "Lo buta ya? Tulisannya tuh itu, baca deh" ucap Keke, menyodorkan boneka tersebut. "Iya gue tau itu tulisannya" ujar Deva. "Trus?" tanya Keke, memainkan boneka tersebut. Jantung Deva berdebar-debar. Ia menarik nafas panjang, lalu ia meraih kedua tangan Keke dan menggenggamnya. Ia menatap Keke tepat di matanya. Jantung Keke berdebar-debar tak karuan. "Sejak pertama kali gue ngeliat lo di MOS, gue jatuh cinta sama lo. Gue yang ngirimin semua ini ke lo, soalnya gue mau nyatain perasaan gue. Gue sayang sama lo Ke, gue cinta sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Deva. Keke mematung, tak tau harus berkata apa. Bahasa lainnya Speechless. Ia menatap mata Deva, jantungnya berdetak hebat. Apalagi saat ia mendengar Deva berbicara tadi, jantungnya berhenti seketika. Deva juga diam, menunggu jawaban dari Keke. Jantungnya berdetak hebat, semua yang ingin ia katakan selesai sudah. Sekarang tinggal jawaban dari Keke saja. "Ke, Dev, lo berdua ngapain?" tanya Shilla yang baru keluar dari kamarnya. Deva sama Keke tidak menghiraukannya, denger juga tidak. "Woi lo berdua ngapain??" teriak Rio. Deva dan Keke tersentak kaget. Deva melepas genggaman tangannya, ia dan Keke menengok ke Rio dan Shilla. "Eh kak Rio, kak Shilla... udah selesai makannya? Udah selesai nyuapin kak Shilla?" tanya Deva sambil nyengir. "Tau dari mana lo?" tanya Rio. "Mana kek... Deva gitu loh, tau hal-hal beginian..." jawab Deva narsis. "Eh, lucu amet nih boneka! Bunganya bagus deh, coklat lagi! Dari siapa Ke?" tanya Shilla, mengangkat boneka teddy bear. "I love you Keke... hayo, dari siapa?" tanya Shilla. Keke merebutnya. "Ini semua punya Keke, dari seseorang. Jangan sentuh, ntar kotor! Udah kak Shilla sama kak Rio ke mana gitu kek, Keke sama Deva mau ngomong empat mata" ucap Keke dingin, menggendong boneka, bunga, dan cokelat miliknya sekaligus. "Iya deh, tapi awas, jangan macem-macem lo berdua!" ancam Rio. "Ya ampun kak, kita gak segitunya kali!" tanggap Deva. "Serah deh, paling mereka juga mau kasmaran. Yuk Yo, kita keluar. Diusir" ajak Shilla sambil mendorong Rio ke teras rumahnya. Keke menahan nafas melihat mereka pergi. Setelah mereka hilang dari pandangan, Keke menghembuskan nafas lega. "Jadi Ke?" tanya Deva. Keke menaruh barang-barang bawaannya di meja, lalu mengatur letaknya. Hanya untuk memperpanjang waktu berfikirnya. Deva menunggu dengan sabar. Akhirnya Keke selesai mengatur barang bawaannya, dan ia pun berdiri menghadap Deva. Mukanya serius. Deva menyiapkan diri untuk mendengar jawaban penolakan. Tetapi yang terjadi adalah : Keke meneteskan air mata dan memeluk Deva. "Ke? Ke, lo kenapa?" tanya Deva. "Iya, Dev... gue mau jadi pacar lo" ujar Keke, tak menghiraukan pertanyaan Deva tadi. "Yang bener Ke?" tanya Deva kaget, melepaskan pelukan Keke dan menatapnya tepat di matanya. Keke mengangguk. Deva memeluknya lagi, wajahnya kaget bercampur senang. Tak lama kemudian Keke melepaskan pelukannya, lalu mengusap air matanya. Ia pun duduk di sofa. Deva duduk di samping Keke, lalu merangkulnya. Keke mencomot kue buatan kakaknya. "Laper Ke?" tanya Deva. Keke mengangguk. "Makan yuk" ajak Deva sambil bangkit. "Yuk. Makan apa?" tanya Keke sambil berdiri. "Serah kamu. Mau makan di mana? PIM?" tanya Deva. "Chillate Cafe aja" jawab Keke. Deva mengerutkan keningnya. "Di mana tuh?" tanya Deva. "Tanya aja sama kak Rio. Pas kak Shilla ngilang nyarinya ke situ, kayaknya enak deh. Jadi pengen nyoba" jawab Keke. "Oh ya udah, yuk keluar" ajak Deva, menggandeng tangan Keke. Keke tersenyum manis, lalu mereka berjalan ke teras rumah Keke. "Kak Rio!" teriak Deva, menghilangkan keheningan antara Shilla dan Rio. "Apaan?" tanya Rio, menengok ke arahnya. "Tunjukin dong, Chillate Cafe di mana!" seru Deva. "Mang kenapa?" tanya Rio. "Deva sama Keke mau makan di sana" jawab Keke. "Ngomong-ngomong kenapa kalian berdua pegangan tangan?" tanya Shilla. Deva dan Keke nyengir kuda. "Kita udah jadian" jawab Deva, merangkul Keke. Keke membentuk angka dua di tangannya, menandakan 'peace'. "Hah?!" tanya Shilla dan Rio berbarengan, kaget. Deva dan Keke tertawa. "Yah... keduluan adek sendiri, gak punya pacar gue. Nasib, nasib..." keluh Shilla. "Kita senasib Shill" ujar Rio. "Udah, kakak jadian sama kak Rio aja, gak ada yang ngelarang kok" ucap Keke. Shilla dan Rio diam saja. "Udah ah! Kak Rio, Chillate Cafe di mana?" tanya Deva. "Udah ntar gue ikut lo aja, jadi penunjuk jalan. Sekalian bayar PJ" ujar Rio santai. "Enak! Emang kakak siapa Keke sama Deva?" tanya Keke. "Temen" jawab Rio. "Gue bungkusin ya Yo, gue di sini aja" ujar Shilla. "Kakak mau mainin boneka, bunga, sama cokelatku ya? Gak boleh! Awas kalau sampe nyentuh, Keke sebarin aib kakak yang waktu itu" ancam Keke. Buset dah si Keke pake tau pikiran gue segala lagi! batin Shilla kesal. "Ya udah, kakak ikut aja ke sana" ujar Shilla pasrah. Mereka pun menuju mobil Deva.
(Part 34)
Chillate Cafe

Deva pegangan tangan sama Keke, bikin Rio gatel pingin pegangan tangan sama Shilla. Eh? Kok si Shilla aneh sih? Perasaan tadi ketawa, kok sekarang jadi diem gitu? Dia liat apa sih? tanya Rio dalam hati, mengikuti arah pandangan Shilla. Buset dah, apa asyiknya ngeliatin lantai? Paling juga ngiri sama adeknya. Huuh... kenapa sih gue yang udah umur 23 masih jomblo aja, eh si Deva sama Keke yang umurnya 14 sama 13 udah pacaran. Arrgghh ngiri gue! pikir Rio kesal. "Eh kak, kita duduk di sana aja" ujar Keke, mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar ke bahu Deva dan menunjuk ke arah sebuah meja. Shilla dan Rio mengangguk, lalu mereka segera berjalan ke meja tersebut. Deva duduk di samping Keke. "Gimana sih, orang pacaran kan duduknya madep-madepan, ini malah samping-sampingan. Dasar pasangan aneh" komentar Rio. "Kan itu biasanya. Ini kan ciri khas kita berdua, lagian kan lebih deket kalo kayak gini" tanggap Deva. "Bilang aja kak Rio ngiri, udah gede masih jomblo. Kita yang masih kecil udah pacaran, iya kan?" tanya Keke. Buset dah! Si Keke bisa baca pikiran ya? tanya Rio dalam hati. Rio tak menjawab. Deva sama Keke asyik sendiri. "Maaf, mau pesan apa?" tanya salah seorang pelayan. "Gue pesen ioffee sama ariumushroom" ujar Rio. Pelayan tersebut menulis, lalu menunggu. Rio menatap Keke dan Deva. "Woi lo berdua pesen apa?" tanya Rio setengah berteriak. "Eh iya! Keke pesen ifruitpunch sama khansian steak aja" jawab Keke kaget. "Kak Rio ngagetin aja deh... Deva mau vilate sama aizzoup" ujar Deva, lalu merangkul Keke. "Shill? Lo pesen apa?" tanya Rio lembut. Shilla tersentak kaget. "Apa Yo?" tanya Shilla. Rio senyum maksa. Jadi dari tadi dia bengong? Gila ya nasib gue lagi jelek! batin Rio sebal. "Lo pesen apa?" tanya Rio, mengulangi pertanyaannya. "Oh, gue pesen shilolly sama spicy vanyam crispy" jawab Shilla. Pelayan tadi menulis lagi. "Lo jangan bengong dong Shill" tegur Rio. "Sori, lagi mikirin sesuatu" ujar Shilla gugup. Rio mengangguk, tapi ia agak curiga. Ia pun menepis pemikiran itu. "Eh Ke, ntar di rumah kakak bagi cokelat ya?" tanya Shilla, mengalihkan pembicaraan. "Gak! Keke mau makan sama Deva!" larang Keke. "Aelah Ke, sama kakak sendiri juga! Ayolah, berbaik hati sedikit..." ujar Shilla memelas. "Gak boleh! Itu cokelat dari Deva, Keke gak mau ada orang yang makan kecuali Keke sama Deva!" seru Keke, tetap kukuh pada pendiriannya. "Dev... paksa Keke dong, calon kakak ipar nih... ntar pas nikah gak kakak restuin loh" ancam Shilla, menatap Deva dengan pandangan memelas. Sedang Keke memandangnya dengan pandangan Plis-Jangan-Diturutin. Deva jadi bingung. Ia memandangi kedua cewek itu dengan tampang bingung. Keke merasa kasihan, ia pun mengalah. "Iya deh, entar Keke kasih. Kasian Deva" ujarnya, memejamkan mata dan menghembuskan nafas. "Yes... Keke baik deh!" seru Shilla, memeluk Keke. "Kak, gak... bisa... nafas!!" ujar Keke. "Eh iya sori!" ujar Shilla, melepaskan pelukannya. "Tapi kak, di cokelat itu ada rahasia Deva kak" ujar Deva. Shilla memasang muka kecewa. "Yah..." keluhnya. "Sori ya kak" ucap Deva, meminta maaf pada Shilla. "Gak pa pa kok" ujar Shilla sambil tersenyum maksa. "Yes! Makasih Devaku..." sorak Keke, memeluk Deva. Deva memasang tampang senang. "Apa aja deh buat Keke" ujar Deva. Keke tersenyum senang. Shilla menggerutu. "Gila ya, zaman sekarang udah gokil! Anak kecil aja tau gimana caranya ngegombal" komentar Rio sebal. "Hebat kan kak? Eh udah dateng!" ujar Keke, melepaskan pelukannya dan duduk tegak, siap untuk makan. Setelah semua pesanan ditaruh di meja, mereka semua pun makan. "Ke, cobain dong" ujar Deva. Keke mengangguk, lalu mempersilahkan Deva untuk mencomot. "Suapin maksudku" jelas Deva. Keke tersedak. "Eh? Keke!" seru Deva kaget, memberi Keke minum. Keke pun minum. "Haah..." ujar Keke lega. Deva memperhatikannya. "Kenapa Ke?" tanya Rio. "Enggak kok, keselek doang. Nih Dev, Aaa..." ujar Keke, menyuapi Deva. Deva memakannya dengan senang hati. "Yah mesraan lagi. Jadi gak enak ganggu" komentar Shilla. "Ya udah, sana pergi!" usir Keke. Deva mengangkat jempolnya tanda setuju. "Yah diusir lagi! Yuk Yo" ajak Shilla sambil bangkit. "Kok gue ngikut? Kan elo yang diusir" tanya Rio. "Ya temenin guelah Yo, lo kan sahabat gue" pinta Shilla. Rio terdiam. Jadi dia cuma nganggep gue sahabat? Emang itu sih. Shilla... seandainya lo tau perasaan gue ke lo, batin Rio. "Ya udah deh" ujar Rio pasrah, mengikuti Shilla ke sebuah meja tak jauh dari situ. Keke dan Deva suap-suapan lagi, sukses membuat Rio cemburu dan memandangi mereka terus. Sedang Shilla terus saja melamun, memikirkan sesuatu.

Rumah Shilla

Rio, Keke dan Shilla turun. Deva masih di mobilnya, sekalian pulang. "Udah Dev, main aja sebentar lagi" ujar Keke. "Sori Ke, entar papa sama mamaku marah, apalagi pas denger aku abis main dari rumah cewekku" ucap Deva. "Oh ya udah deh, sampai ketemu besok ya" ujar Keke. "Iya, selamat malam Keke, tidur yang nyenyak ya" kata Deva. "Iya Dev, pasti. Aku malem ini pasti mimpiin kamu" ungkap Keke. "Aku juga, aku setiap hari mimpiin kamu" ungkap Deva. Muka Keke memerah. "Muka kamu merah tuh... udah ya, sampai ketemu besok" pamit Deva. "Iya Dev, dah..." ujar Keke, melambaikan tangannya. "Dah..." sahut Deva, balas melambaikan tangan. Deva pun pergi. "Buset dah, masih aja nyempet-nyempetin buat mesra-mesraan. Gue pulang deh" pamit Rio. "Iya kak. Makasih ya udah mampir!" sahut Keke. "Iya sama-sama. Eh Shill, masakin sesuatu yang enak dong besok, sebagai tanda maaf lo udah gak masuk 5 hari dan bikin khawatir semuanya" perintah Rio. Shilla mengangguk. "Bilang aja kak Rio mau makan masakannya kak Shilla!" celetuk Keke. Buset dah, ni anak beneran bisa baca pikiran orang ya? tanya Rio jengkel. "Kan saran doang, lagian si Shilla udah gak masuk 5 hari gak ngabarin, wajib dong minta maaf!" ujar Rio ngeles. "Halah, gak usah boong deh kak" desak Keke. "Udah udah diem, iya ntar gue buatin. Udah sana pergi" usir Shilla. "Yee... ngusir nih ceritanya? Dah.." pamit Rio sambil menaiki motornya dan pergi. Shilla memandangi Rio sampai pergi, lalu ia pun masuk ke rumahnya, diikuti oleh Keke. Sesampainya di rumah, Keke duduk di sofa ruang tamu. "Bagi cokelat ya Ke" ujar Shilla. "Iya, tapi entar. Abis Keke liat apa rahasianya Deva" sahut Keke. "Oh oke, kakak ganti baju dulu ya" ucap Shilla. Keke mengangguk. Shilla pun pergi ke kamarnya. Keke mengambil boneka pemberian Deva, lalu memeluknya. Betapa kagetnya ketika ia memencet perut boneka tersebut muncul sebuah suara. "Buat Keke dari Deva... love you forever Ke" ucap suara tersebut. Keke memencetnya lagi. Suara tersebut terdengar lagi. Keke tersenyum. Deva emang penuh kejutan orangnya, batinnya. Ia pun menaruh boneka tersebut di sampingnya, lalu mengambil bunga. Ini bunga beneran? Wah bagus banget! batin Keke kagum. Tiba-tiba ia menyadari ada surat yang diselipkan di salah satu bunga. Keke mengambilnya. Rawat bunga ini ya, bunga ini harus selalu hidup, pikir Keke, membaca tulisan di surat itu. Ia pun tersenyum lagi, semakin lebar. Ia menaruh bunga tersebut di samping bonekanya, lalu ia mengambil cokelat. Ia membuka kotaknya. Isinya satu cokelat besar berbentuk hati, bertuliskan "Keke, aku sayang kamu seumur hidupku. Aku gak mau ngelepasin kamu, dan cuma kamu yang ada di pikiranku. Aku memimpikanmu tiap malam, dan melihatmu saja aku sudah bahagia. Dimakan ya cokelatnya, jangan disimpen aja. Mubazir. Tidur yang nyenyak ya malam ini... Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. PS : Ini cokelat buatanku loh" ujar Shilla, membaca tulisan yang ada di cokelat tersebut. "Kyaa!!" teriak Keke. "Apa sih?" tanya Shilla. "Kakak kayak hantu aja, tiba-tiba ada di belakang Keke. Gak jadi Keke bagi cokelatnya kak, Keke mau makan sendiri. Ini buatan Deva soalnya" ujar Keke, menutup kotak cokelat tersebut dan membawa ketiga barangnya ke kamarnya. "Keke pelit!!" teriak Shilla. "Emang!" Keke balas berteriak. Shilla cemberut, lalu berjalan menuju kamarnya. Keke menutup pintu kamarnya dengan kaki, lalu menaruh barang bawaannya di meja. Ia mengambil vas bunga pemberian Shilla pada ulang tahunnya yang ke-12, menyusun bunga pemberian Deva di situ, lalu menaruhnya di meja. Ia duduk dan memandangi bunga itu selama semenit, lalu mengambil boneka teddy bearnya. Ia menaruhnya di kasur agar bisa ia peluk nanti saat tidur. Ia pun membuka kotak cokelatnya dan memandangi cokelatnya. Sayang banget ni cokelat dimakan... bagus banget sih. Ah gue potret aja, batin Keke. Ia pun memotret cokelat tersebut dengan kameranya, lalu memakannya dengan nikmat. Ia tersenyum, ternyata Deva jago buat cokelat. Setelah menghabiskan cokelatnya ia berganti baju dan berbaring di kasurnya. Ia memeluk boneka pemberian Deva. Ia memencet perut boneka tersebut. Suara Deva keluar lagi. Keke tersenyum senang, lalu ia memeluk boneka teddy bear itu erat-erat. Dan ia pun memejamkan mata, dan bermimpi tentang Deva dan barang-barang pemberiannya.

Keesokan harinya

Shilla dan Keke sarapan di ruang makan. Shilla telah pulih lagi, karena itu ia membuat sarapan berupa paella. "Mm... enak kak! Masakan kak Shilla emang top!" komentar Keke, memakan paellanya. Shilla tersenyum. Ia sedang memasukkan paella ke beberapa tempat makan untuk dibawa ke kampus. "Udah ya kak, Keke udah ditungguin Deva tuh!" pamit Keke setelah selesai makan. "Iya, tapi anterin kakak dulu ke kampus!" ujar Shilla. "Aelah kak, nanti Keke telat!" keluh Keke. "Makin lama kita debat, makin telat kamu masuknya" ujar Shilla santai, lalu memasukkan tempat-tempat makanan tadi ke tasnya. "Yuk" ajak Shilla, menuju pintu depan rumahnya. Mereka pun menghampiri Deva. "Hai Dev" sapa Keke. "Udah siap?" tanya Deva. "Udah, tapi kakakku mau ikut" jawab Keke. "Ngapain kakakmu ke sekolah kita?" tanya Deva kaget. "Bukan ke sekolah kalian, anterin ke kampus" jawab Shilla. "Hah? Ntar kita telat kak" ujar Deva. "Makin lama debat makin telat kalian. Udah ah buruan!" perintah Shilla, langsung naik mobil Deva. Keke menggerutu lalu naik juga. Sesampainya di kampus depan kampus, Shilla masih pengen godain pasangan di depannya ini gara-gara udah bikin dia ngiri. "Kak! Udah nyampe kak!" seru Deva. "Iya bentar, ini ada BBM (Blackberry Messenger, bukan Bahan Bakar Minyak)" sahut Shilla, memegang HPnya dan berlagak seolah-olah ada pesan masuk. Keke yang tak sabar langsung turun dari mobil Deva, lalu menyeret kakaknya keluar. "Au sakit Ke! Iya iya kakak keluar!" teriak Shilla kesakitan. "Makanya, gak usah sok lama-lamain deh!" ujar Keke, melepas tangannya. Buset dah, gue punya cewek garang amet! batin Deva ngeri. "Dasar! Sabar ya Dev, lo dapet cewek garangnya minta ampun. Ke, jangan mukulin Deva lo!" ancam Shilla. "Ngapain? Udah sana pergi hus hus!" usir Keke. Shilla pun menyambar tasnya, lalu turun dan pergi. Keke langsung naik lagi ke mobil Deva. Mobil Deva langsung melaju. "Ke, tadi kamu serem banget!" komentar Deva sambil begidik ngeri. Keke nyengir. "Masalahnya kalau gak digituin kak Shilla bakalan di situ mulu" ungkap Keke. Deva manggut-manggut.

(Part 35)
Mereka masuk sekolah sambil gandengan tangan, tak memperdulikan 100 pasang mata yang memerhatikan mereka. Setelah menaruh tas di kelas mereka langsung mojok berdua. Teman-teman seangkatan Keke menghampiri mereka. "Eh kak Deva, Ke, kalian berdua jadian ya?" tanya salah seorang teman mereka. "Iya" jawab Deva singkat, matanya masih memandangi Keke. Tangannya menggenggam tangan Keke erat, tak mau dilepaskan. "Gila ya, emang benci sama cinta tuh deket banget. Kan biasanya pada berantem, bisa-bisanya jadian sekarang" komentar ketua kelas 8D. "Ya serah lah, yang jelas dapet cewek paling sempurna" tanggap Deva cuek. "Wess mesranya... pajaknya pas istirahat ya" ujar teman yang lain. "Serah deh. Deva ini yang bayar" sahut Keke. Deva hanya diam memandangi Keke. "Kamu kenapa sih Dev? Kok ngeliatin aku mulu, emang ada yang aneh ya?" tanya Keke, melihat dirinya, berusaha menemukan apa yang aneh. "Iya Ke, ada yang aneh sama kamu" jawab Deva. "Hah? Apa Dev? Kok gak bilang dari tadi?" tanya Keke, makin heboh mencari apa yang ingin ditemukannya. "Aku penasaran Ke, kok kamu tuh cantik banget ya? Muka kamu lebih cantik dari pada semua cewek yang pernah aku liat, aura kamu itu lebih terang dari pada bintang yang paling terang, aku bersyukur bisa milikin kamu dalam hidupku" jawab Deva ngegombal. "Beuh, ngegombal ni anak. Ayo tinggalin mereka, gak baik gangguin pasangan kasmaran!" perintah ketua kelas 8C. Yang lainnya menurut karena keputusan anak tersebut selalu benar. Itulah kenapa dia bisa memecahkan rekor 8 kali berturut-turut jadi ketua kelas. Mereka langsung ke kelas masing-masing. "Akhirnya kita bisa berduaan Ke" ujar Deva. Keke tersenyum manis, senyum yang membuat Deva jatuh cinta padanya. "Oya Dev, kemarin aku nyobain cokelat kamu, enak banget. Kamu jago masak ya?" tanya Keke. "Iya. Aku buat cokelat itu sambil mikirin kamu, senyum kamu, wajah cantik kamu, terus ngebandingin sama bulan dan bintang. Aku jadi penasaran, bintang sama bulan purnama itu indah. Semua orang bilang begitu. Tapi kenapa kamu lebih indah dari itu semua?" tanya Deva, memandang ke arah langit. Keke menunduk malu, menyembunyikan kesaltingannya dan mukanya yang memerah. Kriinngg!!! Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa seluruh siswa harus masuk ke kelas masing-masing. "Yah, itu bel ganggu aja. Ya udah, aku ke kelasku dulu ya" pamit Deva. Keke mengangguk, wajahnya yang merah itu sudah menghilang. "Belajar yang serius ya Dev. Inget, UN tinggal beberapa bulan lagi" ujar Keke. "Iya Kekeku... kamu juga ya, walaupun kamu kelas 8. Siap-siap menerima serangan kelas 9 seperti aku sekarang" sahut Deva, mengecup pipi Keke. Pipi Keke memerah malu. Ia memeluk Deva, lalu mereka segera menuju kelas masing-masing, tak sabar menunggu saat istirahat.

Di kampus

"Halo semua" sapa Shilla dengan senyum manisnya. Yang di deket dia nengok semua. "Shilla? Lo kenapa gak masuk? Gila gue kangen berat sama lo!" teriak Zahra, memeluk sahabatnya itu. "Iya iya sori, gue lagi shock aja. Nih tanda maaf gue" ujar Shilla, mengeluarkan beberapa tempat makan bawaannya. "Ini buat lo, ini buat lo, yang ini buat lo, kalo yang ini buat lo, yang terakhir buat lo. Pas deh" ujar Shilla, membagikan barang bawaannya itu, satu anak satu. "Apa nih? Oh paella... enak nih Shill. Makasih" ujar Obiet. "Iya sama-sama. Oya Yo, si Keke pelit abis! Masa gue minta cokelatnya dikit gak dikasih, alesannya itu buatan Deva" gerutu Shilla. Rio tertawa. "Deva? Siapa tuh?" tanya Oik. "Pacarnya adek gue, baru jadian kemaren di rumah gue. Gila, gue ditinggal adek gue sendiri" jawab Shilla. "Iya tuh, bikin cemburu aja. Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah tau gimana caranya pacaran. Padahal baru umur 14 sama 13" timpal Rio. "Hah? 14? Siapa yang umurnya segitu? Setau gue si Keke tuh umurnya 11, kalo Deva umurnya 13" jelas Shilla. "Hah? Adek lo kelas 8 kan?" tanya Alvin. "Iya, tapi jangan salah sangka tu anak tuh pinter banget. Nemnya aja 30. Nilai sempurna" jawab Shilla. "Beda dong sama lo Shill" celetuk Rio. Shilla menatapnya tajam. "Maksud lo apa?" tanya Shilla sambil membentak. "Maksud gue, kan dia pinter, lo bego" jawab Rio santai. "Heh kalo ngomong tuh ngaca dulu dong, siapa sih yang dapet nilai 50 tes kemaren?" tanya Shilla menyindir Rio. "Itu kan gara-gara gue gak masuk 3 hari! Mana gue tau pelajarannya? Kan kimia gak kayak medis, gak diulang-ulang!" teriak Rio, tidak terima disindir Shilla. Shilla membuka mulut hendak membantah Rio. "Udah yuk masuk, entar dimarahin dosen lagi" lerai Oik. Semua pun menurut. Sesampainya di kelas, Shilla langsung disambut teman-temannya. Gara-gara terlalu ribut, mereka tak menyadari bahwa dosen galak sudah datang untuk mengajar kelas Shilla. Dosen tersebut menunggu. Sepuluh menit kemudian... "Kalian ini mau belajar tidak, sih? Cepat duduk di tempat masing-masing!" teriak dosen galak, kesabarannya habis. Secepat kilat semua langsung menurut. "Baiklah, karena kalian semua tidak menghormati, kalian harus membuat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal memiliki 50 lembar. Semua itu harus dikumpulkan besok" ujar dosen lantang. Gila, galak amet ni dosen! Sumpah ya, baru masuk langsung dapet hadiah kayak gini, gak bakalan gue lupain! batin Shilla.

Jam istirahat sekolah Keke dan Deva

"Ke, mana pajaknya?" tagih salah seorang teman Keke. "Kok nagih gituan ke gue? Ke Deva aja, orang dia yang bayarin ini" ujar Keke santai. "Ya kan kak Deva kakak kelas kita, masa iya sih kita samperin gitu aja trus nagih. Siapa kita?" tanya seorang temen yang lain. "Bilang aja pesan dari gue" Keke memberi saran. "Tuh kak Deva!" teriak salah seorang sahabat Keke sambil menunjuk Deva yang sedang lewat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Keke langsung melihat ke arah yang ditunjuk Irva, sahabatnya tadi. Deva menengok ke arah suara. Ia pun tersenyum, sukses membuat jantung Keke berdebar tak karuan. Deva menghampiri rombongan Keke, lalu menerobos kerumunan sampai bertemu dengan Keke. Ia pun langsung merangkul Keke. "Halo Ke, akhirnya kita ketemu juga. Aku sampai gak konsen ke pelajaran loh gara-gara mikirin kamu" sapanya sambil mengecup pipi Keke. Keke pun memeluknya. "Jangan gitu dong, entar kamu gak lulus UN loh" ujarnya. Deva tertawa. "Oya Dev, pajaknya kapan? Temen-temenku udah pada nagih nih" tanya Keke. "Sekarang. Tapi yang keciprat cuma sahabat kamu doang. Kalau semua temen kamu bisa bangkrut akunya" ungkap Deva, balas memeluk Keke. "Oh. Irva, lo ikut ya" ujar Keke. "Iya, yes ditraktir!" sorak Irva senang. "Yah... kita gak ditraktir deh" keluh teman-teman Keke yang lain. "Woi Dev! Sini lo! Jemput cewek lo lama amet!" teriak salah satu dari 3 sahabat Deva. "Berisik lo! Ini juga mau ke sana!" Deva balas berteriak. "Yuk Ke, sama lo... namanya siapa?" tanya Deva. "Irva" jawab Irva. "Iya, elo. Yuk ah, ntar sobat gue ngamuk" ujar Deva, menggandeng tangan Keke dan menuju ke tempat sahabat-sahabatnya berada. Irva ngekor. "Oh, jadi ini si Keke. Orang yang lo bilang cantik banget, senyumannya tuh senyuman yang paling manis sedunia," komentar salah satu sahabat Deva. "Matanya lebih bagus dari batu topaz, rambutnya bagus banget kayak orang di iklan shampoo," sambung sahabat Deva yang satunya lagi. "Orangnya item manis dan pinter banget, jago olahraga, jago akting dan nyanyi... Hmmff, hmmmff!" sambung sahabat Deva yang terakhir, yang bakal ngebocorin rahasia Deva lebih banyak kalau saja mulutnya gak disumpel sama Deva pake tisu satu bungkus. Keke terkikik, Deva tertunduk malu. Deva pun memandang sahabat-sahabatnya itu dengan tatapan Ngapain-Lo-Bocorin-Jelek-Banget-Sih-Lo. Ketiga sahabatnya ngakak, sahabat Deva yang mulutnya disumpel lupa kalau mulutnya lagi disumpel, akibatnya ditelanlah beberapa lembar tisu secara tak sengaja olehnya. "Uhuk! Uhuk!" ujarnya, menyemburkan tisu-tisu yang ada di mulutnya. Kini Deva yang ngakak. "Puuuhhh! Kurang asem lo Dev! Keselek gue!" teriak sahabat Deva yang mulutnya disumpel tadi. Deva masih aja ngakak. Tiba-tiba Keke pun memeluknya lalu mengecup pipinya. Pipi Deva memerah, ia kaget. "Makasih ya pujiannya" ujar Keke sambil tersenyum manis. Deva serasa terbang ke langit. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kantin, Irva ngekor. Mereka meninggalkan ketiga sahabat Deva yang sibuk mengurusi korban 'insiden keselek tisu'. Setelah selesai ketiga sahabat Deva langsung menyusul.

Di kantin

Mereka semua duduk dalam satu meja. Keke duduk di sebelah kanan Deva, Irva duduk di sebelah kanan Keke, dan ketiga sahabat Deva duduk di depan mereka. Deva memeluk Keke, menyandarkan kepala Keke di dadanya. Yang duduk semeja sama mereka berdua langsung pasang tampang mual. "Pesen apa?" tanya Deva. Mereka pun menyebutkan pesanan masing-masing. Setelah pesanan mereka datang, mereka pun makan. "Amm..." ujar Deva ketika disuapi oleh Keke. "Ih, kak Deva manja deh. Masa udah gede masih aja disuapin sama ceweknya? Ckckck.." komentar Irva, menggeleng-gelengkan kepalanya. "Biarin, yang jelas enak disuapin sama cewek. Apalagi yang nyuapin Keke" tanggap Deva cuek, di kalimat terakhir ia memandangi Keke dengan senyum nakal, bukan senyum manis seperti biasanya. Keke tertunduk malu. Deva merangkulnya. Mereka berenam pun melanjutkan makan.

Sepulang sekolah, Keke diantar Deva ke rumahnya. Sesampainya di rumah Keke, Keke langsung turun dari mobil Deva dan tersenyum manis. "Makasih Dev, mau mampir bentar?" tanya Keke. Deva meleleh melihat senyum Keke. Ia pun mengangguk. "Yuk Dev" ajak Keke, mengisyaratkan Deva untuk mengikutinya. Deva turun dari mobilnya dan mengikuti Keke masuk ke rumahnya. Seperti biasa, Deva duduk di sofa ruang tamu. Keke ke dapur, membuat minuman untuk Deva. Setelah selesai ia membawakan minuman buatannya itu ke ruang tamu tempat Deva berada. Ia pun menaruh dua gelas bawaannya yang berisi sirup jeruk di meja, lalu duduk di samping Deva. Deva merangkulnya. "Kak Shilla mana Ke? Katanya pulang cepet" tanya Deva. "Kok nyariin kak Shilla?" tanya Keke. "Kan aku mau makan, dan uangku diabisin sahabat aku gara-gara insiden keselek tisu itu, gitu doang kok ampe mesen berapa piring makanan sih?" gerutu Deva kesal. "Sabar Dev, bentar ya aku panggilin kak Shilla dulu" pamit Keke, lalu ia berjalan ke arah kamar kakaknya. Sesampainya di sana, ia mencari-cari kakaknya yang tidak ada di sana. "Kak? Kak Shilla Keke pulang! Ada Deva loh" teriak Keke di dalam kamar kakaknya sambil mencari-cari Shilla. "Kak? Kakak di mana? Katanya mau pulang cepet buat masakin Keke?" tanya Keke sambil teriak-teriak. "Kak? Keluar dong!" teriak Keke memaksa. "Kak!" teriak Keke, lalu terhenti ketika melihat secarik kertas yang dilipat, di atasnya tertulis 'Untuk Keke'. Keke memasang tampang bingung, lalu mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan membaca tulisan di dalamnya. Keke membelalak tak percaya, lalu mematung. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar dan membuat Deva khawatir. Tapi tetap saja, air matanya pun jatuh. Keke jatuh terduduk, ia menempelkan wajahnya di tangannya. Deva yang mendengar suara tangisan Keke spontan berlari ke arah kamar Shilla. Ditemukannya Keke yang sedang menangis di dalam kamar Shilla. Ia pun menghampiri Keke dan memeluknya. "Ke? Ke kamu kenapa?" tanya Deva khawatir, membelai rambut pacarnya. Keke terisak, memeluk Deva dan menangis di pelukannya. "Ke, kasih tau aku dong kamu kenapa" ujar Deva. "Kkk... kak Shilla..." ucap Keke, menurut pada Deva. "Kak Shilla? Kak Shilla kenapa Ke?" tanya Deva lembut. Tangisan Keke semakin menjadi-jadi, lalu ia menyerahkan surat dari Shilla. "Eh?" tanya Deva, menerima surat itu. Deva membacanya secepat kilat. "Eh Ke? Kamu serius? Gak bercanda kan?" tanya Deva. Keke mengangguk, lalu menangis lagi. Deva mematung, dan terjadi keheningan di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara tangisan Keke. "Halo? Kok sepi?" tanya sebuah suara di ruang tamu. Keke dan Deva tersentak kaget. "Woi siapa di sana?" tanya Deva sambil membentak. Pemilik suara tersebut menghampiri kamar Shilla. Ia membuka pintu. "Lah, kenapa ini? Kok Keke nangis?" tanyanya bingung. "Kak Rio? Kok bisa masuk?" tanya Deva. "Abis gak ada siapa-siapa, ya udah gue masuk aja. Mau nganterin makalahnya Shilla, ketinggalan di kampus" ujar Rio. Keke menangis semakin keras. "Keke kenapa Dev?" tanya Rio panik. "Kak Shilla..." jawab Deva memulai. "Shilla? Shilla kenapa?" tanya Rio semakin panik. "Kak Shilla pergi, kabur gak tau ke mana" jawab Deva. "Hah? gak mungkin, tau dari mana lo?" tanya Rio membentak. "Santai kak, nih buktinya" ujar Deva, memberikan surat dari Shilla. Rio membacanya. "Gak mungkin, gak mungkin" gumamnya berkali-kali. "Mungkin kak, ini udah terjadi. Deva yakin, kak Shilla gak mungkin nyiptain lelucon kayak gini, pasti ini serius kak" ujar Deva. Rio menatapnya, sorot matanya meminta belas kasihan. Deva mengangkat bahu, ia lalu kembali menenangkan Keke. Surat tersebut tertiup angin, terbang keluar jendela.

Keke,

Maafin kakak Ke, kakak harus ngelakuin ini. Kakak mau pergi,
gak tau ke mana. Yang jelas pergi jauh dari sini. Oke, kakak punya
tujuan. Tapi kamu gak boleh tau, ini rahasia kakak. Paman Jo memberi
surat kepada kakak, isinya bakal ngincar kakak. Kakak gak mau kamu
jadi korban seperti ayah dan Iyel, kakak gak mau kamu ninggalin kakak
seperti mereka. Maafin kakak, tapi kakak gak sanggup lagi melihat orang-
orang yang kakak sayang pergi ke dunia lain karena kakak. Maafin kakak
sekali lagi. Kakak yakin, Deva dan sahabat-sahabat kakak bisa jagain kamu.

NB : jangan cari kakak. Kakak gak bakal balik ke rumah kecuali kalau sudah aman.

-Shilla-


(Part 36)
Shilla berjalan menuju tempat tujuannya sambil menyeret koper di belakangnya. Ia celingak-celinguk, mencari bangunan yang akan ia tinggali. Akhirnya ia menemukannya, rumah beralamat Jl. Munako blok FB 13 nomor 60. Rumah ini... rumah masa kecilku. Dulu, setiap pagi adalah kebahagiaan dan keharmonisan keluarga. Rasa itu sungguh menyenangkan, rasa yang gak bakal gue rasain lagi, pikir Shilla merenung, memegang pagar tersebut, hendak membukanya. "Mau apa kamu di rumah kami?" tanya sebuah suara. Shilla menengok. Ia melihat seorang ibu-ibu dan anak kecilnya. "Itu rumah kami" ujarnya. "Oh. Ma... maaf" ucap Shilla. Ibu tersebut mengangguk, lalu membungkuk untuk menyamakan tinggi anaknya. "Kita buat roti ya hari ini" ujar ibu-ibu tersebut. Anak kecil itu merasa bahagia, membuat Shilla semakin murung. Ia pun memalingkan muka dan pergi, kali ini benar-benar tanpa arah. Walaupun gue tau, sia-sia aja gue ke sini, pikirnya, hatinya sakit. Tanpa ia sadari sekarang ia berada di sebuah tanah berisi pohon-pohon yang seperti hutan. Tempat itu tempat yang indah sekaligus menakutkan. Ia terus saja melangkah, tanpa tau ia menuju sebuah jurang, tapi tidak terlalu dalam. Ia terjatuh. "Kyaa!!" teriak Shilla, tapi tidak ada yang mendengarnya. Ia pun jatuh pingsan di bawah jurang. Tak ada yang bisa membantunya, tak ada yang melihatnya jatuh. Shilla kaget, tiba-tiba ia berada di sebuah ruangan hitam. "...La.. Shilla..." panggil sebuah suara. Shilla menengok ke belakangnya, tempat suara tersebut berasal. Ia pun melihat Gabriel dan Sivia ada di depannya, memakai baju putih-putih. Shilla membelalak. Setelah melalui keheningan selama beberapa saat, Shilla pun angkat bicara. "Yel, Siv, bawa gue tempat kalian, gue mau ke tempat kalian. Gue gak berguna di sini, gue cuma ngerepotin aja. Gue mau ke tempat lo berdua, gue kangen sama lo berdua" pinta Shilla memelas. Gabriel dan Sivia tersentuh, tapi mereka menggeleng. "Gak bisa Shill, masih banyak yang ngebutuhin lo di luar sana" ujar Gabriel. "Tapi..." Shilla hendak membantah, tetapi omongannya dipotong oleh Sivia. "Coba deh lo bayangin, kalau lo ngikut kita apa lo gak bakal ngerepotin? Inget, masih banyak sahabat-sahabat lo di luar sana, masih ada Keke sama Rio yang bakal jagain lo. Coba kalau lo ikut kita, apa Keke gak kasian, ditinggalin sendiri? Apa sahabat-sahabat kita bakal gak sedih dan cuek aja ngeliat lo pergi ninggalin mereka selamanya? Enggak, kan?" tanya Sivia, menusuk hati Shilla. Shilla terdiam. Sivia dan Gabriel tersenyum. "Lo gak bakal sendiri di sana, lo gak bakalan kesepian dan ngerepotin di luar sana" ujar Gabriel. "Inget Shill, masih banyak yang butuhin lo" ucap Sivia. "Tapi, gimana caranya gue bisa keluar dari sini?" tanya Shilla. Gabriel dan Sivia tersenyum. "Dari langit, akan kuberikan pelangi. Pas kamu membuka matamu, kamu pasti ngerti, masih banyak yang butuhin kamu, dan kamu gak sendirian" ujar Sivia. Shilla melongo. "Hah? Maksud lo apa?" tanya Shilla, tapi Gabriel dan Sivia sudah menghilang. "Shilla!" teriak sebuah suara. Shilla membuka matanya. "Ri... Rio?" tanya Shilla. Rio memeluknya. "Apaan sih" ujar Rio. "Kan kita udah janji, soal paman Jo kita usaha sama-sama" sambungnya. Shilla kaget, lalu ia pun teringat masa lalu ketika ia dan Rio selesai dioperasi cangkok liver (baca part 10), saat ia hanya berdua dengan Rio di ruangan itu, ia pun berjanji pada Rio untuk bersama-sama menghadapi paman Jo dan tidak akan berbuat konyol. Ia batu ingat, dan ia mengingkarinya. Padahal Shilla tak pernah mengingkari janjinya. Shilla tersenyum. "Sori Yo" ujarnya. Rio melepaskan pelukannya. "Kok lo bisa tau gue di sini?" tanya Shilla sambil berdiri. Ketika menengok, ia terdiam saking kagetnya. Di matanya terlihat pelangi besar, dan ujung pelangi itu menunjuk ke arahnya. Rio mengikuti pandangan Shilla, lalu tersenyum. "Itu dia yang bawa gue ke sini. Gue tau dari Keke, rumah masa kecil lo di mana. Gue ngeliat catetan lo yang ngelingkarin tulisan rumah masa kecil lo. Gue nemu di kamar lo. Ya udah, gue ke sana. Gue gak ngeliat lo, ya udah. Trus pelangi itu muncul, ya gue ikutin aja, gak tau deh kenapa" ujar Rio, masih memandangi pelangi tersebut. Dari langit, akan kuberikan pelangi. Pas kamu membuka matamu, kamu pasti ngerti, masih banyak yang butuhin kamu, dan kamu gak sendirian, batin Shilla, mengulangi apa yang dikatakan Sivia. Tunggu dulu. Kamu gak sendirian itu maksudnya... Rio? tanya Shilla dalam hati, menengok ke arah Rio. Rio tak menyadarinya. Ia masih tak sadar saat Shilla memandanginya. Rio memejamkan mata lalu melihat ke arahnya. "Yuk pulang" ajak Rio. Shilla mengangguk dan tersenyum. Rio pun berjalan, Shilla mengikuti. Sampailah mereka di rumah masa kecil Shilla. "Eh?" tanya Shilla. Rio tersenyum. "Gue jelasin ke tante ini kenapa lo bisa ke sini, trus gue tanya ke dia lo ke mana" ujar Rio. Shilla mengangguk, mukanya masih bingung. "Kak, maaf ya tadi udah ngusir kakak. Kita gak tau kenapa kakak ke sini" ujar seorang anak kecil. Shilla tersenyum. "Gak apa-apa kok, lagian kakak juga gak jelas, tiba-tiba mau masuk ke rumah orang" sahut Shilla. Mereka semua diam, tak tau harus apa. "Dia ingin lo masuk rumahnya" ujar Rio, memecah keheningan. "Eh?" tanya Shilla lagi. "Ayo" ajak Rio, menarik tangan Shilla. Shilla pasrah.

Di dalam rumah masa kecil Shilla

"Silahkan, ini minumannya" ujar seorang ibu-ibu. "Eh, gak usah tante" tolak Shilla. Rio menyenggolnya, lalu menatapnya dengan pandangan Udah-Terima-Aja. Shilla pasrah, lalu menerima minuman dari ibu tersebut. "Makasih, bu..." ujar Shilla, memberikan pandangan bingung. Tak tau harus memanggil ibu tersebut dengan panggilan apa. "Winda. Tante Winda" ujar ibu tersebut. "Oh, makasih tante" koreksi Shilla. Ia pun meneguk minumannya sampai habis, lalu menaruhya di meja yang terdapat di depannya. "Rumah ini tak kami ubah sedikit pun, sangat nyaman ditinggali" komentar tante Winda. "Apalagi pojok itu, itu, dan dapurnya. Sangat nyaman berada di sana" sambung tante Winda, menunjuk tempat yang ia sebutkan. Shilla melihat apa yang ditunjuk tante Winda, dan tersenyum. Ia berjalan ke arah sebuah pojok yang ditunjuk tante Winda. "Ini tempat kursi malas kesukaan papa" jelas Shilla, mengengang masa lalunya. "Dulu, papa suka membaca koran di sini sambil meminum secangkir kopi buatan mama" sambungnya, mengengang masa lalunya. Ia pun berjalan ke arah pojok yang satunya lagi. "Itu tempat di mana grand piano kita di letakkan" ungkapnya. "Dulu, Keke, adikku, memainkan piano setiap pagi. Not-not yang ia mainkan sangat indah, menambah keceriaan kita di pagi hari" jelasnya, masih mengenang masa lalunya. Ia pun berjalan ke arah dapur. Ia tersenyum, mengelus meja tempat kompor diletakkan. "Setiap pagi aku dan mama memasak di sini, dengan harapan papa dan Keke akan memakannya dan berkata 'enak', dan tersenyum begitu itu terjadi setiap pagi" ujarnya, mengelus perabot dapur yang lain. Tante Winda dan Rio tersenyum melihat Shilla yang mengenang masa lalunya. Shilla pun melihat sebuah mangkuk berisi adonan kue. "Ini apa?" tanya Shilla, menyantuh mangkuk tersebut. Tante Winda menengok. "Oh, itu adonan kue. Tante ingin membuat roti, tapi proses fermentasinya belum selesai" jelas tante Winda. Shilla tersenyum. "Ada loh, roti yang tidak perlu memakai proses fermentasi" ujarnya. "Oh ya?" tanya anak kecil. "Iya. Mau kakak buatkan?" tanya Shilla. Anak kecil tersebut mengangguk penuh semangat. Shilla tersenyum melihatnya. "Tante, boleh Shilla pinjam dapurnya dan bahan-bahannya?" tanya Shilla. "Eh? Tapi kamu kan tamu" ujar tante Winda bingung. "Ini permintaanku" ujar Shilla. "Baiklah" ucap tante Winda pasrah. Shilla pun tersenyum senang lalu mengambil bahan-bahan untuk kue. "Rasa plain. Cocok" ujar Shilla, memegang sebuah yoghurt dan mencicipinya. Ia pun mengambil bahan dan alat lain, lalu mulai memasak. Rio tersenyum dibuatnya. "Selesai!" sorak Shilla beberapa saat kemudian. "Wah!" seru anak tersebut. Shilla pun mengambil pisau roti dan memotong-motong roti buatannya, lalu membagikannya ke tante Winda, anak kecil tersebut, dan Rio. Ia pun mengambil satu potong dan memakannya. "Wah, enak sekali!" komentar tante Winda. "Iya kak, enak banget! Kapan-kapan kakak ke sini lagi ya, terus masakin makanan yang enak" ujar anak kecil tersebut. Shilla tertawa. "Oke deh. Kakak pulang dulu ya tante, kamu..?" tanya Shilla, bermaksud menanyakan namanya. "Ourel" jawab Ourel. "Iya, Ourel. Kakak sama kak Rio pulang dulu ya, adik kakak udah nungguin" pamit Shilla. "Oh iya, sekali lagi makasih ya" ujar tante Winda. "Sama-sama tante" ucap Shilla, lalu pergi mengikuti Rio keluar rumah tante Winda dan anaknya. Mereka berdua pun pulang.

Rumah Shilla

Rio membunyikan bel rumah Shilla. Tak ada jawaban dan tindakan dari dalam rumah. Rio membunyikan bel lagi. Ia semakin jengkel gara-gara gak ada jawaban atau tindakan lagi. Ia pun membunyikan bel lagi. Dan lagi, dan lagi, dan lagi... "Udahlah Yo, masuk aja. Rumah gue juga" ujar Shilla tak sabaran. Rio membuka pintu pagar. "Sialan, dikunci" keluh Rio. Shilla mendorong Rio menjauhi pagarnya, lalu ia mengambil kunci rumahnya dan membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya. Rio memutar-mutar bola matanya secara dramatis lalu mengikuti Shilla.

Di dalam rumah Shilla

"Yo, si Keke mana?" tanya Shilla bingung, padahal tadi Rio bilang kalau Deva mampir. Harusnya ada di ruang tamu, soalnya gak mungkin kalau di kamar Keke. Keke kan kukuh pada pendiriannya, cowok gak boleh masuk kamarnya. "Sini, ikut gue" ujar Rio, menuju kamar Shilla. "Kok kamar gue?" tanya Shilla. Rio tak menjawab, ia membuka pintu kamar. Shilla membelalak kaget melihat Deva memeluk Keke. Keke tidak menangis lagi, air matanya sudah kering. "Woi ngapain mesra-mesraan di kamar kakak?" tanya Shilla sambil berteriak. "Kak Shilla? Kak Shilla!" teriak Keke girang, melepaskan pelukan Deva lalu berlari memeluk kakaknya. "Makasih kak Rio" ujarnya. "Sama-sama" sahut Rio. Shilla megap-megap gak bisa nafas. "Kkk... Ke.. kakak gak bisa nafas" ucap Shilla. "Sori kak" ujar Keke, melepaskan pelukannya. Lalu ia menatap tajam kakaknya. "Kakak, kakak tuh konyol banget, sih! Kakak mikir dong, kalau kakak pergi Keke tinggal sama siapa? Masa Keke tinggal sendiri? Papa kan udah gak ada!" bentak Keke. "Sori Ke, kakak gak mikir sampe ke situ" ujar Shilla. Keke ngambek. Deva merangkulnya. Wajah Keke menjadi biasa lagi. "Ya udah kak, Keke sama Deva laper. Masakin sesuatu gih" perintah Keke. "Iya deh... mau dimasakkin apa?" tanya Shilla. "Mmm..." ucap Keke, memasang pose berfikir. "Spaghetti neopolitan" jawab Deva, memegang bahu Keke. Keke tersenyum melihat Deva. Deva tersenyum balik. "Hoek..." ujar Shilla dan Rio bersamaan, memasang pose muntah. Keke dan Deva tertawa. "Ya udah sana kak, hus hus sana ke dapur!" usir Keke. "Gimana sih, gue yang punya kamar gue yang diusir" gerutu Shilla sambil pergi. "Yah Shill, ntar gue muntah nih ngeliat pasangan satu ini!" teriak Rio manja. Keke dan Deva menatapnya tajam. "Ya udah kalo gak mau muntah sana temenin kak Shilla! Sekalian cari kesempatan. Sana pergi hus-hus!" usir Keke. "Iya deh..." ujar Rio pasrah, membuka pintu kamar Shilla dan menyusul Shilla ke dapur. Keke sama Deva gombal-gombalan di kamar Shilla.

Dapur

Shilla sedang menyiapkan bahan-bahan ketika Rio masuk. "Ngapain di sini?" tanya Shilla. "Lo tega bener ninggalin gue sama pasangan satu itu, yang ada gue muntah kali" ujar Rio. Shilla tertawa, membuat jantung Rio berdetak tak karuan. "Sori deh Yo... mau bantuin gue?" tanya Shilla. Rio mengangguk. "Dari pada gue gak ada kerjaan?" ujarnya. "Nih, lo potong jadi dua, terus lo iris" perintah Shilla, menyiapkan talenan dan pisau di depan Rio, lalu menaruh bawang bombay di atas talenan. "Kalo udah selesai, lo potong ini jadi dua, bersiin dalemnya, trus lo iris" perintah Shilla, meletakkan paprika di samping bawang bombay. Rio mengangguk, lalu berusaha mengikuti Shilla. Sedang Shilla memanaskan air untuk merebus spaghetti, setelah mendidih barulah ia memasukkan spaghetti. Ia pun menghampiri Rio untuk mengawasi pekerjaan Rio. "Bisa Yo?" tanya Shilla. Rio kaget. "Eh, bisa kok" ujarnya, jantungnya berdegup kencang. "Mmm, lumayan buat amatir" komentar Shilla, melihat hasil potongan Rio. Rio hanya mengangguk, hatinya senang sekali dipuji Shilla. Walaupun itu hanya sebuah pujian kecil. Rio semakin bersemangat memotong paprika, sehingga ia pun tidak hati-hati. "Au!" ujarnya, meletakkan pisau dan memegang tangannya. "Kenapa Yo?" tanya Shilla, menengok ke arah Rio. "Eh, gak apa-apa kok" ujarnya, menyembunyikan sebelah tangannya. "Lo kenapa?" tanya Shilla lagi. "Gak apa-apa" jawab Rio. Shilla memerhatikan Rio dari atas sampai bawah. Ia menganggukan dagunya ke arah tangan Rio yang disembunyikan. "Tangan lo kenapa?" tanya Shilla. "Eh, gak kenapa-napa kok, udah lanjutin aja masaknya" ujar Rio. Shilla menghampiri Rio, lalu menarik tangan Rio yang disembunyikan Rio di balik punggungnya. Rio pasrah. "Tangan lo kok luka Yo?" tanya Shilla, menatap mata Rio. "Kepotong tadi" jawab Rio, mengalihkan pandangan. "Beuh, hati-hati dong makanya" ujar Shilla lalu pergi. Tak lama kemudian Shilla masuk lagi ke dapur membawa kotak P3K. "Sini gue obatin" perintah Shilla, memberikan isyarat agar Rio menjulurkan tangannya. Rio pasrah, ia pun menuruti Shilla. Shilla memegang tangan Rio dan mengobati lukanya. "Yo" panggil Shilla. "Hmm?" sahut Rio. "Tau gak, gue dulu juga sering luka kayak gini" ungkap Shilla. "Eh?" tanya Rio. "Iya. Nyokap gue yang ngajarin gue masak, dan pas gue pertama kali dapet tugas kayak gini gue luka" jawab Shilla, memejamkan mata untuk mengenang masa lalunya. "Tapi gue gak bakal nyerah, dan alhasil gue bisa masak seperti sekarang. Beda sama Keke, pas dia luka dia langsung ngeluh dan gak mau nerusin" sambung Shilla. Rio menatapnya. "Dan gue bersyukur gue gak nyerah, soalnya gue jadi bisa masakin Keke, Deva, sahabat-sahabat kita, dan lo" ujar Shilla membuka mata dan menatap Rio. Rio diam saja, tak tau harus merasa apa atau bilang apa. "Udah selese nih. Kita tukeran kerja ya, gue motong paprika sama bawang, lo ngurus spaghetti. Inget ya, bungkusannya bilang 5 menit, tapi harus dikurangin 1 menit jadi 4 menit. Tinggal semenit lagi, udah 3 menit ngerebusnya" jelas Shilla. Rio mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia pun segera melakukan pekerjaannya. Shilla juga, dengan cepat ia melakukan tugasnya. 30 detik kemudian ia selesai. "Gimana Yo?" tanya Shilla. "Setengah menit lagi" jawab Rio, melihat ke arah jam tangannya lalu melihat Shilla. "Udah selesai?" tanya Rio. Shilla mengangguk. "Cepet amet" komentar Rio. "Iya dong, kan gue udah biasa" ujar Shilla. Rio tersenyum. Lalu ia melirik jamnya, dan ia segera mengangkat spaghetti rebusannya. "Taro di mana?" tanya Rio. "Di sini" jawab Shilla, mengangkat sebuah mangkuk. Setelah itu, mereka mulai memasak lagi, sampai akhirnya selesai. "Akhirnya jadi juga... yuk Yo, bantuin gue nganterin ini ke Deva sama Keke" ajak Shilla, mengangkat 2 piring. Rio mengangguk lalu mengangkat 2 piring lainnya, lalu pergi mengikuti Shilla ke kamarnya. Sesampainya di sana, mereka menemukan Keke sama Deva yang lagi gombal-gombalan. "Cinta itu seperti matahari, saat awal sangat indah seperti matahari saat fajar. Di saat tengah kita menikmati, matahari itu tepat berada di atas kita, menyinari kita dengan cahayanya. Ketika mulai menghilang, matahari itu terbenam dan memancarkan cahayanya yang sangat indah, dan hari pun berubah menjadi malam yang sangat gelap. Tetapi, aku harap matahari kita tidak akan terbenam, melainkan terus berada di puncak, menyinari kita dengan cahayanya, dan kau akan menjadi milikku selamanya" ujar Deva panjang lebar. Keke tersenyum. "Aku harap juga begitu, karena cintaku hanya kepadamu dan tak akan kulepaskan ikatan kita kecuali terpaksa" tanggap Keke. Deva tersenyum. "Kalau begitu, pakailah ini sebagai tanda ikatan kita berdua" ujar Deva, mengulurkan liontin dengan tali perak dan bandul hati merah. Keke memasang tampang terkejut bercampur senang. Keke pun mengambil liontin tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya, ada foto Keke dan Deva yang diambil pas jalan-jalan di Chillate Cafe kemarin. Juga tulisan 'K+D = <3 selamanya'. Keke membelalak senang. "Makasih Dev, aku seneng banget. Setelah dapet beruang lucu yang nyimpen suara kamu, bunga-bunga indah, sama cokelat asli buatan kamu, aku juga dapet liontin ini. Makasih ya, aku seneng banget" ucap Keke, memeluk Deva dan menggenggam liontinnya erat-erat. "Woi, berdua ngegombal aja. Eh, tapi gombalan lo bagus banget Dev, dapet dari mana?" tanya Rio yang penasaran. "Dari hati, lah... kan Deva gak ngegombal doang, tapi ngungkapin pikiran Deva tadi malem" jawab Deva. "Ye elah lo Yo, mau ngebentak apa nanya? Nih spaghettinya, makannya harus di luar, gak boleh di kamar kakak" perintah Shilla. Keke dan Deva pun menurut, mereka membawa piringnya keluar, ke ruang tamu. "Kita makan di teras yuk" ajak Rio. Shilla mengangguk

Di teras

"Ternyata udah malem ya" gumam Shilla. Rio mengangguk, lalu duduk di kursi teras dan memakan spaghettinya. Enak, batin Rio. Rasa khas Shilla, sambungnya, masih di dalam hati. Shilla duduk di sebelahnya, lalu memakan spaghetti bagiannya. Mereka makan dalam diam. Tak lama kemudian mereka pun selesai makan. Shilla bergetar, memeluk tubuhnya. "Dingin ya Yo" ujarnya. "Eh? Gak kerasa tuh" ujar Rio. "Ya... lo kan pake jaket, gue enggak" ucap Shilla sambil manatap tajam ke arah Rio. Rio melepas jaketnya, lalu memakaikan jaketnya pada Shilla. Shilla tersentak kaget. "Eh? Lo gak kedinginan Yo?" tanya Shilla. "Enggak lah. Gue kan kebal kayak ginian. Lagian lo kan lebih butuh dari pada gue" jawab Rio lalu tersenyum. Shilla membalas senyumannya. "Trus kenapa lo pake jaket tadi?" tanya Shilla. "Au deh, lagi mood aja" jawab Rio sambil memandangi bintang di langit malam. Shilla menggenggam erat kedua lengannya, tak mau melepaskan jaket tersebut. Entah kenapa, jaket yang tak begitu tebal mampu membuatnya merasa hangat, padahal di situ dingin sekali. Memakai jaket tebal baru bisa merasa lumayan hangat. Shilla melirik ke arah Rio yang memandangi bintang. Shilla memandangi Rio, bermaksud mengajaknya masuk ke rumahnya. Tetapi, yang terjadi ia malah terdiam melihat Rio yang begitu serius mengamati rasi bintang. Rio melihat ke arahnya lalu tersenyum manis yang membuat jantung Shilla berdebar-debar tak karuan. "Yuk masuk" ajaknya, yang sukses membuat Shilla salting. "E.. eh.. i, iya" sahutnya, terbata-bata karena gugup. Wajahnya memerah. "Shill? Lo gak pa pa kan?" tanya Rio, menempelkan punggung tangannya di kening Shilla. Shilla melihat wajah Rio yang, untuk pertama kalinya, ia akui sangat ganteng. Jantung Shilla serasa berhenti. Rio melihat ke arahnya, tepat di matanya. Mereka tak berani bergerak, detakan jantung mereka tak terkontrol. Apa... batin Shilla. Apa mungkin gue suka sama Rio? tanya Shilla dalam hati.

(Part 37)
"Kak, Deva mau pulang..." ucap Deva sambil membuka pintu teras. Kata-katanya terhenti melihat Shilla dan Rio. Ia mematung, memegang gagang pintu. Keke menghampirinya dari belakang. "Kenapa Dev..." baru saja Keke ingin bertanya, ia melihat Rio dan Shilla. Keke tertawa kecil. "Selamat ya kak Rio, makin maju aja" ucap Keke. "Ngawur! Ya udah Shill, Ke, gue ama Deva pulang dulu" pamit Rio lalu pergi begitu saja. "Dah Ke, ketemu besok lagi ya" pamit Deva sambil mengecup kening Keke. Keke tersenyum senang. Deva pun keluar dari rumah Keke dan Shilla, menuju mobilnya, menaikinya, lalu pergi. "Romantis amet sih lo berdua" komentar Shilla. "Iyalah. Oya, Keke dikasih ini loh" ucap Keke, lalu memamerkan liontin pemberian Deva. Dibukanya, dan Shilla manyun melihatnya. "Panasin kakak ya?!" tanya Shilla sambil berteriak. "100 buat kakak, 1000 buat Keke!" sorak Keke. "Arrgghh!!" gerutu Shilla lalu memasuk ke kamarnya. Keke tertawa melihat kakaknya, mengingat kejadian tadi, lalu masuk ke dalam rumahnya dan memasuki kamarnya. Ia pun tidur dan bermimpi indah.

Keesokan harinya di kampus Shilla

"Halo Shill... katanya lo kabur dari rumah ya?" tanya Zahra. Shilla nyengir. "Iya" jawabnya singkat. "Kenapa?" tanya Oik. "Mmm... tau deh kenapa" jawab Shilla. "Halo semuanya" sapa sebuah suara dari belakang Shilla. Shilla berbalik badan, dan menemukan Rio di belakangnya. "E.. e.. eh... Rio" ucapnya, wajahnya memerah. Shilla menunduk untuk menyembunyikannya. Zahra menatap Shilla lalu nyengir. Oik menatapnya, lalu menatap Shilla, dan ikutan nyengir. "Kenapa sih? Ih pada gila, gue kabur deh daripada ketuleran!" ucap Rio lalu pergi. Oik dan Zahra memandangi Rio, ketika mereka sudah yakin mereka pun menghadap Shilla. "Jadi?" tanya Oik. Shilla memasang pandangan bingung. "Lo suka sama Rio?" tanya Zahra, sukses membuat muka Shilla memerah kembali. "E.. eh.. itu.. emh, eh.." ucap Shilla, berusaha mencari alasan yang tepat. Matanya melirik-lirik ke segala arah, takut melihat mata Zahra dan Oik. "Ketauan tuh dari muka lo..." goda Oik. "Haha iya bener tuh" tanggap Zahra. Shilla menghela nafas panjang. "Iya. Awas, jangan bilang siapa-siapa, termasuk cowok lo!" ancam Shilla. Zahra dan Oik bertos ria, lalu menatap Shilla lagi. "Iya... oya, kasih tau Via ya" Zahra mengingatkan Shilla. Wajah Shilla berubah menjadi sedih dan murung. Zahra jadi merasa bersalah. "Iyalah" tanggap Shilla, tersenyum paksa. "Gimana kabar adek lo sama... em. Siapa namanya?" tanya Oik, mengalihkan pembicaraan. "Keke?" tanya Shilla. "Bukan, yang satu lagi, yang lo ceritain kemaren" ujar Oik. "Oh, Deva? Baik aja, kemaren mereka gombal-gombalan di kamar gue. Makin nakal aja" ucap Shilla, menggelengkan kepalanya. "Oh" tanggap Oik. "Udah yuk masuk kelas, ntar dosen galak marah lagi kayak kemaren. Lo udah selesai makalahnya?" tanya Zahra sambil berjalan, diikuti oleh Shilla di sampingnya. Oik pergi ke kelasnya. "Iyalah, gue kerja 4 jam tuh!" jawab Shilla. "Buset dah, 4 jam? Gue aja 10 jam ada kali!" komentar Zahra. "Ya itulah bedanya, gue anak pinter dan lo enggak terlalu" tanggap Shilla. "Kejam lo! Lo apa aja?" tanya Zahra. "Ya gitu deh. Penyakit..." jawab Shilla. Mereka pun berbincang-bincang, dan masih terus begitu di kelas mereka. Mereka baru diam saat dosen galak masuk. Pelajaran hari itu pun dimulai.

Pulang kampus

"Zah, Ik, mau ikut gue ke makamnya Via?" tanya Shilla. Zahra dan Oik mengangguk. "Kita ikut dong, udah lama gak kunjungin makamnya Via, ntar dia marah lagi gak pernah dikunjungin" ucap Alvin, membawa Rio dan Obiet di belakangnya. "Serah lu deh" tanggap Shilla, membuang muka agar tak melihat Rio. Ia takut mukanya akan memerah. "Ya udah, yuk jalan!" perintah Obiet, dan semua menurut. Shilla memakai mobilnya sendiri, Rio memakai motornya, Oik nebeng di motor Obiet dan Zahra nebeng di motornya Alvin. Melajulah mereka ke makam Sivia, yang tempatnya di sebelah makam Gabriel.

Makam Sivia

"Halo Siv... kita dateng buat jenguk lo. Maaf ya kita gak dateng, soalnya banyak masalah. Sori ya" ucap Shilla. "Iya, maafin kita" timpal Rio. Yang lain hanya tersenyum. Mereka pun segera duduk dan berdoa. Setelah sesi berdoa selesai, mereka pun diam. "Eh, itu apa?" tanya Oik. "Apaan Ik?" tanya Obiet. Oik mengambil dua buah surat dari dalam vas bunga. Ia pun membacakannya. "Shilla, ini gue Sivia. Sori kalau ngagetin, tapi Iel juga gini ke gue kok. Dan gue sama sekali gak takut. Itu sebabnya gue ceria, soalnya tiap gue ke sini terus ngomong ini-itu, pasti dibales sama dia pake surat seperti ini. Nah, kalau lo ada masalah lo curhat aja ke gue, besok ke sini lagi buat baca surat dari gue. Gimana kabar temen-temen semua?" ucap Oik, membacakan surat tersebut. Shilla memucat, Rio membelalak, Alvin dan Zahra penasaran, Oik dan Obiet kaget. Semuanya memandang Shilla. "Eh, ehm. Kabar temen-temen semua baik kok, pada kangen doang. Oke, kalau ada masalah gue bakal curhat kok ke lo" ucap Shilla. Semua sahabatnya tersenyum, lalu memandang ke arah Oik. Shilla menghembuskan nafas lega. Oik sibuk lagi membaca surat yang kedua. "Shilla, lo jahat banget sih. Kan lo udah janji, abis pemakaman gue lo ke makam gue terus ngambil surat... udah gue bilang kan? Jahat lo Shill, udah gue tungguin juga! Baca surat dari Iel" ujar Oik, membacakan surat Sivia yang kedua. Semuanya segera menatap Shilla lagi. Shilla nyengir. "Sori Siv, gue lupa. Kan udah gue bilang, banyak masalah. Surat dari Iel? Bentar" ucap Shilla, bangkit dan mengambil surat yang ada di dalam vas bunga makam Iel. "Untuk Shilla dan Rio, halo aja deh. Oya, gue mesti bilangin ke kalian, sumpah kalian nyebelin abis. Shill, lo udah bolos kampus cuma pengen ngebentak gue doang? Bener-bener lo. Itu sih gue maafin, orang stress gak usah dimarahin. Maklumin aja... yang gue sebelin, kurang asem ya lo berdua sama Keke kabur begitu liat gue! Via aja ngeliat gue juga gak kabur... malah curhat dia. Awas lo berdua, gue gentayangin lo!" ucap Shilla, membacakan surat dari Iel. "Hiaa... sori Yel, jangan gentayangin gue, yang ada gue ketakutan nih, sori banget Yel..." ucap Shilla dengan nada ketakutan. "Iya Yel, gue minta ampun sama lo... maafin gue! Plis jangan gentayangin gue, sumpah gue takut Yel!" ucap Rio sambil gemetaran. Oik, Zahra, Obiet, dan Alvin spontan ngakak. "Kok cowok takut hantu?" tanya Zahra, lalu ngakak lagi. Rio menatap mereka berempat tajam. Akhirnya mereka berempat berhenti tertawa. "Oya Siv, Yel, si Oik sama Obiet jadian loh! Si Alvin sama Zahra balikan, Zevanna udah ngakuin semuanya. Keke sama Deva, kakak kelasnya, udah jadian, sumpah romantis abis si Deva. Udah ngasih boneka yang kalau dipencet perutnya bunyi 'I love you Keke', trus ngasih bunga, ngasih cokelat bikinannya lagi! Trus kemarin, si Keke dikasih liontin bagus banget, isinya foto Keke sama Deva, trus gombalannya itu hebat loh, tentang matahari-matahari gitu. Bagus deh" ungkap Shilla panjang lebar. "Trus, kemaren si Shilla kabur dengan konyolnya, katanya takut sama paman Jo" timpal Rio. Shilla menginjaknya. "Au!" erang Rio. "Mereka udah tau!" bisik Shilla. "Iya, trus dosen galak makin galak. Masa gara-gara sekelas ribut dan gak meratiin pas dia masuk nyuruh kita buat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal 50 lembar!" ucap Zahra ikut-ikutan. "Terus, si Rio dapet nilai 50 loh" timpal Alvin. "Itu gak usah disinggung-singgung!" teriak Rio. Mereka pun berbincang-bincang, tak terasa sudah 2 jam mereka di situ. "Woi, udah 2 jam nih, pulang yuk" ajak Obiet. Semua cewek memandanginya. "Yuk" ucap Oik setuju, tersenyum manis. Shilla memandangi mereka semua. "Belum kasih tau?" tanya Zahra. Shilla menggeleng. "Mana mungkin. Kan masalah cewek" jelas Shilla. Alvin, Rio, dan Obiet mengangguk tanda mengerti, lalu pergi. "Kita tinggalin dulu ya" ujar Oik, menepuk pundak Shilla lalu pergi, diikuti oleh Zahra. Shilla menunggu sampai mereka cukup jauh, lalu menghela nafas. "Siv, Yel, gue pengen ngaku sama lo" ucap Shilla memulai, lalu menghela nafas panjang. "Gue... gue suka sama Rio, baru mulai semalem" ungkap Shilla. Ia pun berdiri terpaku di tempat. Tiba-tiba terasa semilir angin di telinga kanannya. "Kalau Rio, gue gak apa-apa. Mulai saat ini berbahagialah, Shilla" terdengar suara lembut seiring dengan angin tersebut, yang Shilla kenali sebagai suara Gabriel. "Eh?" tanyanya. Lalu terasa olehnya semilir angin di telinga kirinya. "Dia pasti bakal jagain lo, dan selalu ada di sisi lo saat lo butuh. Gue yakin, dia gak bakal ngecewain lo" ucap sebuah suara lembut, suara Sivia. Shilla terpaku selama beberapa saat. Ia pun sadar, dan menengok ke kanan, dan melihat pohon bersejarah tersebut. Ia melihat Gabriel dan Sivia sedang berpegangan tangan, dan melambaikan tangan ke arahnya. Gabriel mengacungkan jempolnya, lalu angin mengelilingi mereka, terlihat beberapa daun yang mengelilingi mereka, dan angin itu pun berhenti. Seketika itu Sivia dan Gabriel menghilang dari pandangan. Shilla tersenyum. Ia pun bergabung dengan teman-temannya yang berkumpul di mobil. Setelah itu Mereka semua pulang.

(Part 38)
Sesampainya di rumah, Shilla terkejut melihat sepucuk surat yang tergeletak di depan kamarnya. Spontan ia mengambil surat itu dan membacanya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Isi surat itu memang singkat, jelas dan padat. Tetapi itu cukup untuk membuat Shilla ketakutan. Ia membaca surat itu lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tetapi surat itu tidak berubah, kata-katanya tetap sama. Ia bersandar di dinding, shock, nafasnya tersenggal-senggal. ia melirik surat itu dan membacanya sekali lagi.
Keke berada di tangan kami. Kalau ingin dia kembali ambillah dia di tempat rekonstruksi bangunan
di jalan suara indah.
-Paman Jo, Om Dave-

Shilla memejamkan mata dan membukanya, berharap semua ini hanyalah mimpi. Tetapi ini nyata. Ia pun menyambar kunci mobil dan langsung pergi menuju rekonstruksi bangunan di Jl. Suara Indah.

Rekonstruksi bangunan, Jl. Suara Indah

Shilla turun dari mobil dan memasuki rekonstruksi bangunan yang kosong itu. Ia celingak-celinguk, berharap bisa menemukan Keke. "Datang juga kau, Shilla" ucap sebuah suara. Shilla berbalik untuk melihat siapa yang mengucapkannya. "Paman Jo?" tanya Shilla sambil berbisik. "Ikat dia!" perintah paman Jo. 3 orang yang berbaju hitam-hitam pun menurut. Mereka menggenggam sebuah tambang dan mengikat tangan Shilla dengan itu. "Lepasin gue! Lepasin!" teriak Shilla sambil meronta-ronta. "Mana Keke?" tanya Shilla, pasrah dengan tangannya yang diikat. Paman Jo tertawa lepas. "Kau percaya saja dengan surat itu?! Tidak bisa dipercaya!" seru paman Jo sambil tertawa. Segerombolan orang yang memakai baju hitam-hitam pun tertawa. Paman Jo bahkan mengeluarkan air mata. Akhirnya sesi tertawa pun selesai. "Kenapa paman melakukan hal ini?!" tanya Shilla sambil berteriak. "Kenapa?! Kau masih tanya kenapa?! Karena kamu, Ashilla Zahrantiara, telah membunuh anakku!" teriak paman Jo emosi. "Aku gak membunuh dia! Dia yang bunuh diri karena ditolak!" seru Shilla, membela diri. "Itu sama saja! Kau membunuhnya! Dasar pembunuh!" teriak paman Jo. "Enggak! Bukannya paman yang pembunuh?! Paman telah membunuh ayah dan sahabatku!" teriak Shilla, air matanya tumpah. "Diam! Diam atau kau kubunuh?!" tanya paman Jo. "Bunuh aku. Bunuh! Biar aku bisa mengakhiri seluruh penderitaanku di sini, dan bertemu dengan ayah dan sahabatku!" jawab Shilla. Paman Jo tertawa kecil. "Berubah pikiran. Aku tidak akan pernah membunuhmu!" ucap paman Jo. Shilla menatapnya. "Siksa dia!" perintah paman Jo. Segerombolan laki-laki berbaju hitam pun menurut. Mereka menjambak, memukul, menendang, dan sebagainya. "KYAAAA!!!!" teriak Shilla kesakitan. Bajunya juga robek-robek. Paman Jo melihatnya dengan pandangan sinis, masih belum puas. "Harus lebih sakit lagi! Apa ini?! Ini bukan menyiksa! Yang bener dong!" teriak paman Jo. Segerombolan laki-laki yang sedang menyiksa Shilla pun menurut. Salah satu dari mereka mengambil sebuah cambuk berduri. Yang lain memegangi tangan dan kaki Shilla agar tidak kabur. Lalu orang yang mengambil cambuk tersebut mulai mencambuki Shilla. "AHHHH!!! KYAAA!! SAKIT! HENTIKAN!!" teriak Shilla berulang kali. Namun orang tersebut tak berhenti mencambuk, malah ia mencambuk Shilla makin keras. Shilla meneteskan air mata. Tak lama kemudian cambukkan itu berhenti. Shilla menangis, kaki dan tangannya di lepaskan. Lalu dua orang laki-laki mengambil dua ekor kuda, satu diikat di tangan kanan Shilla dan satu diikat di tangan kirinya. Shilla kaget. "Eh?" tanyanya. Lalu kuda tersebut mulai berlari bersamaan. Shilla berteriak meraung-raung, kesakitan. Seseorang yang lewat mendengar teriakannya. Orang tersebut langsung memasuki konstruksi bangunan tersebut dan memotong tali yang menghubungkan Shilla dengan kuda. Kedua kuda itu lari. "Siapa kau...?" tanya paman Jo, tetapi omongannya terpotong. Orang tersebut memukulinya. Tak lama kemudian paman Jo jatuh terkapar tak berdaya. Shilla tak dapat melihat dengan jelas, ia masih pusing. Lalu segerombolan laki-laki pun menghampiri orang yang telah menolong Shilla dan memukulinya. Orang tersebut menghindar dengan cepat, lalu memukuli mereka satu-persatu. Tak lama kemudian mereka semua telah tergeletak tak berdaya di atas tanah. Tetapi orang yang paling besar dan kekar diantara mereka menaiki konstruksi tersebut, yang hanya berupa kerangka besi yang tersambung. Ia pun mengangkat salah satu kerangka besi, bersiap menjatuhkannya. Dibawahnya ada Shilla yang sedang berusaha berdiri. "Shill? Lo gak apa-apa?" tanya orang yang menolongnya itu. Shilla kenal betul dengan suara tersebut. "Rio?" bisiknya. Rio menghampirinya, jaraknya sekitar 20 meter. Tiba-tiba Rio melihat ada orang yang menjatuhkan kerangka besi yang siap menghantam Shilla di kepala, dengan kecepatan jatuhnya kerangka itu bisa membunuh Shilla dalam sekejap. Rio pun berlari secepat yang ia mampu untuk menyelamatkan Shilla. Shilla masih pusing, ia tidak menyadarinya. Dan semua ini berlalu dengan sangat cepat baginya : Rio tak bisa berlari untuk menyelamatkan Shilla di waktu yang tepat, maka ia pun melompat. Shilla jatuh karena terdorong oleh Rio yang juga jatuh dalam keadaan tengkurap. Shilla jatuh cukup jauh dari tempatnya semula, tangannya lecet karena bergesekkan dengan aspal. Dilihatnya Rio, dan kerangka besi itu pun jatuh, tepat di atas kaki Rio. "AHHHH!!" jerit Rio, darah dari kakinya keluar banyak sekali. (coba deh ini jadi film, pasti adegan ini bakal dijadiin slow motion. Jadi banyanginnya slow motion ya) Shilla tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia bangkit dan menghampiri Rio, duduk di samping kepala Rio. Ia terduduk lemas, mengelus rambut Rio. Air matanya menitik. "Rio kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Shilla. Rio menggenggam tangan Shilla erat. "Karena gue gak mau lo pergi ninggalin gue" jawab Rio. "Tapi gak gini dong sebagai gantinya" ucap Shilla. "Buat lo, apa aja bakal gue lakuin. Walaupun gue harus lompat dari atas gunung berapi ke dalemnya yang ada lavanya, gue bakal lakuin. Asal itu bisa buat lo seneng atau selamat, gue rela. Gue... gue sayang sama lo Shill, udah sejak lama" ungkap Rio. Air mata Shilla mengalir semakin deras. "Argh!" ucap Rio kesakitan. "Akhirnya gue bisa ungkapin itu ke lo Shill, di akhir hidup gue" sambungnya, menutup matanya. "Rio, Rio jangan pergi!!" teriak Shilla. "Gue sayang sama lo Yo, gue gak mau kehilangan lo! Jangan pergi!" teriak Shilla lagi, air matanya mengalir sangat deras. Tiba-tiba terdengar suara pistol yang disiapkan untuk menembak di belakang kepala Shilla. Terasa oleh Shilla sesuatu ditempelkan di belakang kepalanya. Pasti pistol. "Kau sudah terpojok" ucap sebuah suara. "Shilla" sambung suara tersebut. "Kata-kata terakhir?" tanya suara tersebut. Shilla tak peduli. Ia hanya ingin bersama Rio sekarang, dan memberi tau dia tentang betapa Shilla sangat mencintainya. "Om Dave" ucap Shilla, pikirannya melayang ke Rio. "Dulu kita selalu bersama dan akrab. Sekarang aku mempunyai permintaan terakhir, bunuh aku" sambungnya. Tangan om Dave bergetar, Shilla mengetahuinya karena pistol yang ditempelkan di belakang kepalanya bergetar. "Kenapa? Takut? Pasti masih terkenang masa-masa indah kita, sebagai ponakan dan paman" ucap Shilla. Tangan om Dave bergetar semakin hebat. "Aku tau om pasti gak bisa bunuh aku" ucap Shilla. Om Dave pun menjatuhkan pistolnya. "Berhenti! Ini polisi!" teriak sebuah suara. Shilla menoleh. Terlihat sekelompok polisi mengacungkan pistol. Shilla tau, mulai saat itu ia akan terbebas dari siksaan yang ia terima selama ini.

Akhirnya semuanya jelas. Paman Jo yang tidak sudi ditangkap pun bunuh diri dengan meminum racun yang tersimpan di giginya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia tertangkap. Sekelompok laki-laki itu divonis penjara 12 tahun. Om Dave divonis penjara 5 tahun. Shilla pun bebas dari cengkraman paman Jo. Tetapi ia tak peduli, ia hanya ingin Rio. Setelah penjahat-penjahat keji itu ditangkap Rio dan Shilla dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ternyata Rio masih hidup, hanya saja ia mengalami kelumpuhan di kaki. Shilla juga tidak apa-apa, ia hanya luka-luka. Hari itu Shilla datang menjenguk Rio, ia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Sedang Rio belum karena kakinya masih dalam perawatan. Rio tersenyum. "Halo Yo, udah baikan?" tanya Shilla dengan senyum di wajahnya. Rio hanya mengangguk. "Mau jalan-jalan?" tanya Shilla. Rio tersenyum, lalu mengangguk. Shilla pun mendorong kursi roda milik Rio ke samping tempat tidur Rio dan membantu Rio. Ia pun mendorong kursi roda Rio keluar kamar, menuju taman rumah sakit. Sesampainya di sana mereka hanya diam, keheningan menyelimuti mereka. "Yo" panggil Shilla, memecah keheningan. Rio menatapnya. "Makasih ya udah nyelamatin gue" ucap Shilla. Rio hanya mengangguk. Terjadi keheningan di antara mereka lagi. "Mmm... jadi bener Yo?" tanya Shilla. "Apaan?" tanya Rio balik. "Yang lo bilang ke gue" jawab Shilla. "Yang mana?" tanya Rio. "Yang... lo sayang sama gue" jawab Shilla. Rio diam. "Lo gak denger apa kata gue pas lo pingsan?" tanya Shilla. Rio menggeleng. "Kan gue pingsan, masa iya sih gue denger" ucapnya. Shilla tersenyum kecil. "Gue bilang, gue gak mau lo pergi. Gue... gue juga sayang sama lo" ungkap Shilla, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Rio menatapnya. "Bener?!" tanya Rio kegirangan. Shilla mengangguk. Rio memeluknya erat. "Ri... o... gu... e... gak... bisa... na... fas!!" ucap Shilla terbata-bata. Rio melepaskan pelukannya. "Ehm. Lo masih sayang sama gue?" tanya Rio. Shilla mengangguk. "Bener?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi. "Walaupun lo tau keadaan gue sekarang?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi. "Walaupun gue sekarang lumpuh dan gak bisa jagain lo lagi?" tanya Rio. Shilla mengangguk. "Gue gak peduli, mau lo lumpuh, buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik, atau kutilan, gue gak peduli. Hati gue ada di lo dan gue gak mau ngubah kenyataan itu" jelas Shilla. "Tapi gue gak buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik dan kutilan. Gue cuma lumpuh" protes Rio. "Kan perumpamaan" ucap Shilla. "Jadi?" tanya Rio. "Apa?" tanya Shilla. "Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Rio. "Banget" jawab Shilla. "Jadi udah resmi?" tanya Rio. "Resmi apaan?" tanya Shilla. "Kita pacaran" jawab Rio. "Iya. Dengan cara yang tidak romantis dan sangat polos sekali" jawab Shilla. "Sori Shill..." ucap Rio. Shilla memeluknya dari belakang. "Gak apa-apa. Yang jelas aku punya kamu sekarang" ujar Shilla. "Makasih Shill" ucap Rio. Shilla tersenyum, menikmati hangatnya pelukannya pada Rio.

Keesokan harinya

Rio boleh pulang hari itu. Shilla menjemputnya. Ketika memasuki kamar rawat inap Rio, betapa kagetnya ia melihat kamar itu disulap menjadi indah. Kasur tempat tidur Rio di tutupi dengan seprai merah, dengan mawar-mawar yang membentuk hati di atasnya. Seluruh lantai ditutupi oleh kelopak-kelopak bunga, didominasi oleh warna merah. Meja-meja diletakkan vas-vas bunga berisi bunga mawar merah dan hitam, tapi lebih banyakan bunga mawar merah. Di mana-mana terlihat lilin kecil nan gemuk dinyalakan, dan ruangan di sana gelap. Hanya terlihat cahaya remang-remang dari lilin. Di sofa merah tergeletak sebuah gaun berwarna hitam dengan pita merah terang di pinggangnya sebagai ikat pinggang. Tersedia bando dan sepatu high heels warna merah, dan surat bertuliskan 'Pakai'. Shilla terpesona, lalu mengambil gaun dan ke toilet untuk memakainya. Suasana hatinya senang, firasatnya baik. Setelah ia memakai semuanya, ia pun menunggu di tengah-tengah ruangan. Tiba-tiba matanya ditutup oleh sebuah kain. Shilla membukanya, dan tampaklah Rio di hadapannya. Ia memakai jas hitam dan duduk di atas kursi roda, tersenyum. "Rio? Ada apa ini?" tanya Shilla, memandang sekelilingnya. "Emm... kemarin kan kamu minta yang romantis, nah aku kasih" jawab Rio. "Tapi kan kita udah resmi pacaran? Gak bisa diulang lagi dong" ucap Shilla. Rio tertawa kecil, lalu menggeleng. "Bukan peresmian kita jadian kayak kemarin, bukan, bukan itu" ucapnya. "Terus apa?" tanya Shilla. Rio mendesah. "Kalau aja aku bisa berlutut... hhh. Udahlah" keluh Rio. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari kantungnya. "Ashilla Zahrantiara, maukah kamu... menjadi istriku?" tanya Rio, membuka kotak yang ia keluarkan dari kantungnya tadi. Terlihat sebuah cincin indah di dalamnya. Shilla terperanjat. "Maafin aku, aku tau ini terlalu cepet. Tapi... aku mau mencintai kamu seumur hidupku, aku pingin menghabiskan seluruh sisa hidup aku sama kamu. Lagian kan kita udah umur 22 tahun, udah gede" ucap Rio. Shilla pun memulihkan diri dari kekagetannya, lalu mengangguk. "Iya, aku mau" ucapnya. Rio kegirangan, hampir saja ia melompat. Lalu ia mengambil cincin dan memakaikannya di jari Shilla. Lalu ia mengecup tangan Shilla. Shilla hanya tertawa kecil. "Mau kuantar?" tawar Rio. Shilla tersenyum lalu duduk di pangkuan Rio, menyamping (kayak tanda plus... + yang vertikal Rio yang horizontal Shilla. Gak ngerti nonton glee yang wheels), tangannya dikalungkan ke leher Rio. Rio pun tersenyum dan menggerakkan kursi rodanya keluar kamar, mengantar Shilla ke lobby. Mereka pun mengabarkan kabar gembira ini, dan mendapat kabar bahwa Alvin dan Zahra serta Oik dan Obiet juga akan menikah. Mereka pun menikah pada tanggal, waktu dan tempat yang sama, alias tiga sekaligus.

Sebulan setelah mereka menikah

Rio, Shilla, Alvin, Zahra, Oik dan Obiet janjian mau ketemuan, mau foto-foto bareng. Sekalian, nyalurin bakat narsis mereka. Gak ada yang narsis sih. Paling cuma Obiet. Gak penting banget deh. Mereka pun sampai di lokasi, lalu segera menyiapkan alat-alat foto dan lain-lain. Setelah siap, mereka makan dulu, habis itu foto. Setelah itu mereka tinggal menunggu hasil foto deh. Trus pulang ke rumah masing-masing. Dua hari kemudian, mereka cetak foto. Setelah selesai, yang cewek ribut pada mau liat hasil. Biasalah, cewek kan gak mau kelau gak keliatan cantik. Shilla pun membuka amplop foto tersebut, lalu mengeluarkan selembar foto. Ada 6 lembar foto di situ, dan itu semua sama. Satu orang satu. Shilla memerhatikan foto itu sambil senyam-senyum sendiri melihat ia dan Rio. Lalu pandangannya beralih ke semua peserta foto lainnya. Kemudian, matanya menangkap satu pemandangan aneh. Ia berkali-kali menggosok matanya, tetapi tetap saja, gambar itu masih sama. Wajahnya pun pucat, ia menggenggam erat foto tersebut. Ia menatap Rio. "Kenapa Shill?" tanya Rio, mendorong kursi rodanya untuk menghampiri Shilla. Shilla menunjukkan foto itu dengan tangan bergetar. "Kenapa Shill? Bagus kok hasilnya" ucap Rio, memandangi foto Rio dan Shilla. Shilla menggeleng, lalu menunjuk ke sebuah tempat yang membuatnya pucat. "Eh?" tanya Rio saat melihatnya. "Kenapa sih?" tanya yang lain penasaran. Shilla menunjukkan foto itu, menunjuk pojok yang menyeramkan itu. Seketika wajah yang lain pucat melihatnya. "Ada apa sih?" tanya petugas cetak foto yang ikut-ikutan. Shilla menunjukkan foto itu. Menurut petugas tersebut, tidak ada yang aneh sama sekali. Menurut penglihatannya, di sebelah kanan ada Rio dan Shilla, Shilla sedang memeluk Rio dari belakang. Di sebelah kiri ada Alvin dan Zahra, Alvin sedang bersandar ke sebuah pohon yang agak besar, memeluk Zahra dan menyandarkan kepala Zahra di dadanya. Di tengah, tepatnya sebuah pohon yang besar, terlihat sebuah ayunan yang tergantung di dahan. Oik duduk di sana, Obiet berdiri di belakangnya. Dan... di tengah-tengah, terlihat Sivia dan Gabriel, sepertinya dalam posisi berdansa. Mereka berdiri dekat sekali, Gabriel memegang pinggang Sivia dan mengecup kening Sivia. Sivia hanya tersipu malu dan menunduk. Di sekeliling mereka bercahaya, dan seperti ada angin yang menerbangkan daun yang berguguran di sekeliling mereka. "Kenapa? Ini kan bagus banget" ucap petugas itu. Alvin menggeleng kuat-kuat. "Mereka.... mereka berdua, yang ditengah ini, udah meninggal dunia" ucap Alvin, menunjuk Sivia dan Gabriel. Petugas tersebut membelalak. "Kapan?" tanya petugas tersebut. "Udah lama, kira-kira 2 bulan yang lalu" jawab Alvin. "Ambil foto ini kapan?" tanya petugas cetak foto itu lagi. "Kemarin lusa" jawab Rio. Petugas itu diam. "Ya udah, kita pamit dulu deh" ujar Oik. Yang lainnya mengangguk. Mereka pun membayar harga cetak foto dan pergi dari toko tersebut. "Eh, kita kasih fotonya ke Iel sama Via yuk" ajak Oik. "Yuk" tanggap yang lain. Mereka pun pergi ke makam Sivia dan Gabriel. Sesampainya di sana mereka langsung menuju makam sahabat mereka itu. "Via! Iel! Udah tau, kan? Kita udah nikah semua?" tanya Obiet bersemangat. "Udah!! Kita berkali-kali ngulang, sampai ngasih undangan pernikahan kita segala!" teriak Zahra yang bosan. "Nyantai bu..." ucap Rio. "Oya, kita mau ngasih ini" ucap Oik, memberikan foto itu, lalu memasukkannya di pot bunga makam Gabriel dan Sivia. "Nah. Ada lagi?" tanya Obiet. "Iya" jawab Rio. Semua menatapnya. "Apaan?" tanya Oik. "Gue lupa bilang, gue benciiii... sama elo, Shill!" ucap Rio. "Kok?" tanya Shilla. "Gue bener-bener cinta sama elo, Shill" jelas Rio sambil tertawa. "Nah, kalau begitu aku juga benci sama kamu Zah" ucap Alvin ikut-ikutan. "Copycat lo semua, kan paling pertama gue. Aku benci sama kamu Ik" ucap Obiet. "Ucapinnya yang bener, dong! Gak enak kalau dibilang gue benci sama lo" ujar Shilla. Rio, Alvin dan Obiet nyengir. "Aku bener-bener cinta sama kamu!" teriak mereka keras-keras, saat itu juga ada angin lembut yang lewat, dan meneriakkan hal yang sama. Suara Gabriel. Yang cewek tertawa. "Nah, ada lagi?" tanya Rio. Yang lain menggeleng. Mereka pun pulang, dengan hati yang bahagia dan tenang. Mereka penasaran, seperti apa mereka yang akan datang, dan seperti apa anak-anak mereka nanti...

THE END

2 komentar:

  1. haii boleh minta follow back blognya ga? http://asriredityanistory.blogspot.com/ heh makkasih yaa

    BalasHapus