PREVIOUS PART
---
(Part 27)
Tubuh Shilla bergetar hebat, air matanya mengalir di pipinya, deras sekali. Rio yang tidak sengaja lewat di depannya bingung dan menghampirinya.
"Shill, lo kenapa?" tanyanya. Shilla menunjuk Sivia.
"Sss... Sivia..." bisiknya, hampir saja tak terdengar oleh Rio. Lalu tubuh Shilla bergetar semakin hebat, ia pun pingsan.
"Shill? Shilla!! Woi tolongin!!" teriak Rio. Semuanya langsung menghampirinya. "Nih, gue nitip Shilla. Panggil ambulans sekarang!" perintahnya.
"Lah, Shilla kan gak kenapa-napa, pingsan doang kan dia?" tanya Alvin bingung.
"Bukan buat Shilla, buat Sivia!" jawab Rio, menunjuk ke arah Sivia yang tergeletak tak berdaya. Yang lainnya melihat ke arah Rio menunjuk, lalu mata mereka membelalak. Wajah Zahra pucat.
"Sss... Sivia?" bisiknya.
"Udah gak usah kaget, cepet panggil ambulans! Gue bawa Shilla ke tenda guru" perintah Rio. Alvin segera mengambil hand phonenya dan menelepon ambulans. Zahra jatuh terduduk, mukanya pucat. Butiran air mata keluar dan mengalir di pipinya. Ia memeluk lututnya dan menangis. Obiet merasa iba. Ia menghampiri Zahra dan menghiburnya.
"Tenang Zah, Sivia pasti bakal sembuh kok" ujarnya, membelai punggung Zahra. Zahra menangis semakin keras. Oik melihatnya, lalu pergi. Ia tidak sanggup menahan sakit. Zahra akhirnya menghentikan tangisannya. Ia melirik Alvin, lalu Zevanna langsung memeluk Alvin. Tangis Zahra keluar lagi, lalu ia pun menyusul Oik ke tendanya. Alvin kehilangan kesabarannya.
"Zevanna! Lo tuh gak usah panas-panasin gue lagi deh! Sana pergi aja!" teriak Alvin, mendorong Zevanna sampai jatuh. Ia pun pergi. Zevanna menggerutu. Tak lama kemudian ambulans datang. Mereka membawa Sivia ke dalam mobil dan pergi. Guru menenangkan mereka, lalu memberi pengumuman.
"Anak-anak, karena Sivia mengalami kecelakaan, kemping kita akan diberhentikan dan semua boleh pulang" ungkapnya. Ada yang senang dan ada yang mengeluh. Mereka pun menuju mobil dan motor mereka lalu pergi.
***
Di tenda guru
Rio membaringkan Shilla. Guru-guru pun panik dan mulai mengobati Shilla. Setelah mendengar cerita Rio mereka langsung pergi ke arah mobil mereka, menuju rumah sakit terdekat.
"Rio, ibu mau pergi, jagain Shilla ya. Jangan macem-macem!" pamit salah satu dosen.
"Ya ampun bu, gak percaya banget sih sama saya!" sahut Rio. Dosen tersebut langsung pergi, tak mempedulikan omongan Rio.
"Gila ya, kacang mahal banget!" komentar Rio sambil menggelengkan kepalanya. Ia pun berbalik menghadap Shilla. Ia membelai lembut rambutnya, memperhatikan wajahnya. Gila Shill, lo cantik banget! Gue emang gak salah naksir orang ya... batin Rio. Tiba-tiba Shilla siuman.
"Sivia mana?" tanyanya panik.
"Udah di bawa ambulans, yuk cabut. Udah pada pulang, katanya kemping bubar. Untung aja gak ada upacara penutupan lagi..." jawab Rio, mengusap-usap dadanya.
"Oh. Zahra sama Oik?" tanya Shilla lagi.
"Gak tau. Tanya aja sama Alvin" jawab Rio.
"Iya deh... yuk cabut" ajak Shilla, berdiri. Rio setuju, lalu menyampirkan tasnya dan mengikuti Shilla menuju tenda.
***
Tenda kelompok Shilla, Zahra dan Oik
Rio menunggu di luar.
"Masuk aja kali Yo, nyantai" ujar Shilla.
"Gak enak, sama aja gue masuk kamar cewek. Banyak hal-hal yang luar biasa pribadi di sana, tempat privasinya cewek deh!" tolak Rio.
"Iya deh, tunggu aja. Siapa yang nangis ya?" tanya Shilla. Rio mengangkat bahu.
"Cari tau aja sendiri" jawabnya. Shilla masuk.
"Zah? Ik? Lo berdua kenapa?" tanya Shilla histeris.
"Ntar gue ceritain" jawab Zahra, masih terisak. Oik mengangguk tanda setuju pada Zahra. Shilla pun menurut, mengambil tasnya lalu menghampiri Zahra dan Oik.
"Udah, lo berdua tenang aja dulu" Shilla memberikan nasehat. Zahra dan Oik mengangguk, lalu mengambil tas dan mengikuti Shilla keluar tenda.
"Rio? Tadi kenapa gak masuk?" tanya Oik.
"Gak enak masuk ke sana. Kayak mau masuk kamar cewek, kan tempat privasi lo lo semua" jawab Rio. Zahra mengangguk.
"Yo, lo bawa mobil apa motor?" tanya Oik.
"Mobil" jawab Rio.
"Kita nebeng ya" pinta Oik. Rio mengangguk.
"Gila ya, gue disuruh bawa tiga cewek. Di cap apa nih gue?" gumam Rio.
"Udah ah, yuk! Gue mau pulang" ujar Shilla tidak sabaran.
"Iya ah, bawel amet dah ni anak satu" sahut Rio.
"Serah" ujar Shilla. Mereka pun berjalan ke tempat mobil Rio diparkir. Semua penumpang naik, lalu Rio memacu mobilnya.
"Woi Yo cepet!" ujar Oik.
"Iya iya, dasar cewek, bawel semua!" gumam Rio. Yang disindir cuek.
***
"Woi udah nyampe tuh!" teriak Rio di depan rumah Shilla.
"Iya, makasih ya Yo" ujar Shilla lembut. Rio seperti sudah terbang ke langit ke tujuh. Shilla pun turun dan masuk ke rumahnya. Rio menunggu lalu mobil itu jalan lagi. Oik terlihat seperti sedang berpikir.
"Eh Yo, lo suka sama Shilla ya?" tanya Oik. Muka Rio memerah.
"Eng... enggak kok!" jawab Rio, berusaha ngeles.
"Hah? Lo suka sama Shilla Yo? Ik lo hebat bener, gue aja yang deket sama dia gak nyadar!" Zahra bertanya kepada Rio dan memuji Oik.
"Haha, gampang kali ditebak!" sahut Oik.
"Udah ah, jangan ribut lo pada! Awas aja kalo sampe di kasih tau ke siapa pun!" ancam Rio. Tawa Oik dan Zahra meledak.
"Udah berhenti ketawa! Udah nyampe tuh!" teriak Rio.
"Iya ah.. dah Shilla!" sahut Zahra sambil turun dari mobil Rio, diikuti dengan Oik.
"Iya, sampai ketemu lagi, Shilla! hati-hati di jalan, Shilla! Dah, Shilla! Jangan ngebut, Shilla!" ledek Oik. Rio menggerutu dan pergi. Zahra dan Oik ketawa lagi.
"Eh Ik, kenapa kita gak sekalian ke rumah sakit aja ya?" tanya Zahra.
"O iya, yuk ke sana, naik taksi aja. Gak jauh kok" jawab Oik. Zahra mengangguk dan memanggil taksi. Oik dan Zahra pun naik taksi, mereka pun menuju rumah sakit tempat Sivia dirawat.
***
Di rumah sakit, kamar 4123
Oik dan Zahra masuk, lalu muka mereka kusut lagi. Ternyata ada Alvin dan Obiet di sana.
"Gimana kabar Via?" tanya Oik sinis. Obiet bingung. Biasanya kan si Oik ceria, kok jadi sinis sih kayak gini? batin Obiet.
"Gak terlalu baik. Dia koma" jawab Alvin singkat. Oik dan Zahra menghampiri Sivia. Mereka diam saja, bingung harus bilang apa. Mereka pun hanya bisa menangis. Tiba-tiba Zahra memeluk Alvin, tidak sadar akan apa yang ia lakukan. Air matanya mengalir deras, Oik juga menangis. Zahra merasa hangat, hatinya tentram. Obiet cemburu. Sedang Alvin bingung, harus menikmati atau melepas pelukan Zahra ini. Tapi keputusannya untuk tidak mengganggu Zahra sudah bulat, ia pun dengan berat hati melepaskan pelukan Zahra pelan. Zahra baru sadar akan apa yang dilakukannya. Alvin menggelengkan kepalanya lalu pergi. Zahra menangis lagi. Obiet menghampirinya, lalu membelai lembut punggungnya. Zahra menepisnya lalu pergi, diikuti dengan Oik. Obiet pun menggerutu. Zahra dan Oik pun pulang ke kosan mereka.
***
Sementara itu, Rio pergi ke kuburan Gabriel. Ia memarkir mobilnya lalu menuju kuburan Gabriel. Sesampainya di sana, ia duduk.
"Yel, gue ke sini cuma mau bilang, Sivia koma. Gue tau pasti dia ketemu lo, dan plis. Plis bentu dia buat siuman, gue juga gak tega ngeliat Shilla. Shilla sampe pingsan, Yel" ujarnya. Ia memandangi kuburan Gabriel, lalu mendesah dan melihat ke arah yang lain. Ia kebetulan melirik ke arah kanan, lalu menemukan sebuah pohon. Di pohon itu terlihat sosok sahabatnya, Gabriel. Ia tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia mengucek-ucek matanya, dan tetap saja yang terlihat adalah sosok sahabatnya itu. Gabriel terlihat seperti sedang tertawa, lalu menghadap ke arah Rio. Wajahnya serius. Ia pun mengacungkan jempolnya tanda setuju, lalu berjalan dan menghilang. Rio melongo. Tak lama kemudian ia pun sadar, lalu segera pergi menuju mobilnya.
***
Sudah 3 hari Sivia koma. Rio, Shilla, Alvin, dan Zahra bolak-balik ke kampus-kuburan Gabriel-rumah sakit-dan rumah. Mereka juga senantiasa berdoa agar Sivia cepat sembuh dan kembali seperti dulu. Akhirnya, setelah menunggu lama Sivia bangun. Ia lemas. Wajah yang melihatnya berseri-seri gembira. Tetapi setelah mendengar perkataan Sivia itu, mereka tertunduk lemas. Yang cewek mulai menangis, tak sanggup menahan shock dan sedih yang melanda di hati mereka.
+++
(Part 28)
Sivia membuka matanya. Wajahnya pucat, tenaganya seperti sudah terkuras.
"Semuanya..." panggilnya, tak lebih dari bisikan. Yang lain menghampirinya.
"Ma... af... ya... gu... e... u... dah... gak... ku... at..." ujarnya memulai.
"Gak Siv, lo pasti kuat, lo pasti bakal sembuh!" seru Zahra.
"Ma... af..." sahut Sivia.
"Vin... Zah... gue... min... ta... ma... sa... lah... lo... bi... sa... ce... pet... sele... sai..." pintanya.
"Dan Shilla... ka... lau... u... dah... sele... sai... pe... ma... ka... man... gu... e... lo... ha... rus... da... teng... besok... kannya..." sambungnya.
"Li... hat... pot... bunga... yang... a... da... di... ku... bu... ran... gu.. e..." ujarnya. Shilla meneteskan air mata.
"Se... mu... a... nya... ba... ik... ba... ik... ya... tan... pa... gu... e..." pesannya.
"Ma... af... gu... e... u... dah... gak... ku... at... la... gi" sambungnya lemah, lalu kedua mata indahnya tertutup untuk selamanya. Nafasnya berhenti. Garis yang terlihat di alat penunjuk detak jantung di sebelahnya hanya sebuah garis horizontal polos, tidak ada garis turun-naik yang seharusnya terlihat di sana, menandakan bahwa jantungnya berhenti. Air mata Zahra tumpah. Mereka semua memeluk tubuh Sivia yang mulai dingin. Yang cowok shock. Mereka berempat tak menyangka bahwa dua sahabat mereka pergi meninggalkan mereka, apalagi Shilla. Ia sudah ditinggal oleh kakaknya, lalu ibunya pergi entah ke mana. Ia menangis sejadi-jadinya. Pintu pun terbuka, mama dan papa Sivia masuk. Mereka bingung.
"Ada apa ini?" tanya papa Sivia.
"Sivia, Sivia..." jawab Zahra, lalu mulutnya tertutup. Ia tak mampu mengatakan kata selanjutnya.
"Sivia kenapa?" tanya mamanya Sivia.
"Sivia meninggal, om, tante. Ia telah pergi jauh, meninggalkan kita" jawab Alvin.
"A... apa?" tanya mama dan papanya Sivia, lalu menghampiri Sivia. Air mata mama Sivia jatuh.
"Gak mungkin, gak mungkin, gak mungkin! Pa, Via gak meninggal kan pa, bilang kalau Sivia gak meninggal!" teriak mamanya Sivia. Papanya Sivia menggeleng.
"Maaf ma, ini udah takdir Tuhan. Kita harus ikhlasin Via pergi" ujar papanya Sivia. Mamanya Sivia menangis semakin deras, lalu memeluk tubuh anaknya itu.
"Via... mama gak percaya kamu udah pergi..." ucapnya. Suasana di ruangan itu diliputi dengan kesedihan dan duka, tentang mereka yang harus melepas kepergian sahabat, anak, teman, juga pemberi solusi mereka. Mereka harus menerima kenyataan bahwa Sivia sudah pergi, pergi meninggalkan dia dan menyusul Gabriel.
"Selamat tinggal Siv, kita gak bakal lupain lo" ujar Rio, lalu ia, Shilla, Alvin dan Zahra pergi.
***
Keesokan harinnya di kampus
Shilla gak masuk, juga Zahra. Suasana di kampus diliputi duka. Rio bingung kenapa Shilla gak masuk, padahal kan dia yang paling cerewet kalau ada yang telat ataupun gak masuk. Ia pun bertanya kepada Oik.
"Ik, si Shilla kenapa gak masuk?" tanyanya.
"Gak tau. Jenguk aja di rumahnya" jawab Oik. Rio mengangguk lalu pergi. Alvin juga bingung, kenapa Zahra gak masuk. Padahal, walaupun dia tidak mengganggu Zahra lagi, setidaknya ia bisa memandanginya sesuka hatinya kan? Alvin masih celingak-celinguk nyari Zahra, tapi dari tadi gak ketemu-temu. Tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya.
"Nyariin Zahra?" tanya Oik.
"Gak kok" jawab Alvin, membuang mukanya.
"Alah, jujur aja deh. Gue tau lo masih sayang kan sama dia?" tanya Oik. Alvin tak menjawab.
"Heh, jawab dong" perintahnya.
"Oke, gue masih sayang sama dia. Salah?" jawab Alvin pasrah.
"Gak kok. Justru bagus" jawab Oik.
"Lo mau gue balikan sama dia?" tanya Alvin. Oik mengangguk.
"Lupain aja deh. Kita tuh udah putus, dan gue udah relain dia. Pasti ini yang terbaik buat dia" ujar Alvin. Oik jadi panas.
"Jadi gitu, hah? Lo nyerahin dia buat orang lain, gitu? Apa itu yang lo bilang cinta? Apa lo beneran cinta sama dia?" tanya Oik panas.
"Iya" jawab Alvin singkat.
"Lo tuh gak bisa baca mukanya dia ya, dia tuh masih sayang sama lo! Dia tuh mau balikan sama lo! Lo tau gak kenapa dia sekarang jadi nangis? Karena dia tuh stress, dia masih sayang sama lo tapi dia benci sama lo. Cewek mana sih yang gak shock kayak dia? Lo tuh seharusnya nyadar dong!" teriak Oik. Untung mereka ada di taman belakang, jadi gak ada orang yang dengerin mereka.
"Ya jadi gue harus gimana? Gue berusaha biar dia percaya sama gue dia malah ngusir-ngusir gue, pas gue jauhin kayak gini dia malah jadi gitu. Gue juga bingung Ik! Gue tuh mau yang terbaik buat dia, kalau gini caranya mana bisa?" teriak Alvin stress.
"Ya lo tuh harus berusaha yakinin Zahra dong, karena gue tau lo gak mungkin nyakitin dia kayak gitu!" seru Oik.
"Gue udah berusaha Ik, gue udah nyoba! Tapi apa hasilnya? Dia selalu ngusir gue, dia selalu nyuekin gue, dia jadi marah sama gue, gimana gue gak bingung?" tanya Alvin.
"Lo belum berusaha sepenuhnya, gue yakin!" tanggap Oik.
"Lo tuh keras kepala banget sih! Emangnya gue balikan sama Zahra tuh penting ya buat lo?" tanya Alvin.
"Gue gak butuh lo balikan sama Zahra. Yang gue butuhin tuh Zahra yang dulu, Zahra yang ceria, Zahra yang selalu bisa selesain masalah gue. Gue juga gak mau hidup dia ancur gara-gara cowok, gue gak mau hati dia sakit kayak..." jawab Oik, ucapannya terhenti.
"Kayak siapa?" tanya Alvin.
"Kkkk... kayak..." ujar Oik menunduk.
"Kayak siapa? Jawab dong!" perintah Alvin panas.
"Kayak... gue" ucap Oik, tak lebih dari bisikan. Alvin membelalak tak percaya.
"Kayak lo?" tanya Alvin. Oik mengangguk, air matanya mulai mengalir di pipinya.
"Maksud lo?" tanya Alvin. Air mata Oik mengalir semakin deras, ia menunduk dan berusaha menghentikan tangisannya. Tapi tidak bisa. Hatinya terlalu sakit. Alvin membimbing Oik ke bangku taman. Mereka berdua pun duduk. Alvin menunggu sampai Oik bisa tenang, lalu ia pun kembali dengan pertanyaannya.
"Jadi, maksud lo apa?" tanya Alvin. Oik menghela nafas panjang, berusaha untuk tidak menangis lagi, lalu mulai bercerita.
"Lo tau Obiet?" tanyanya. Alvin mengangguk.
"Iyalah. Sahabat lo kan?" tanya Alvin.
"Iya. Lo tau gak, gue tuh gak pernah deket sama cowok. Gue gak pernah punya temen cowok, dan baru sekali ini gue akrab banget sama cowok" ungkapnya, mengenang masa-masa indahnya sambil tersenyum. Alvin mengerutkan dahi, bingung.
"Trus kenapa lo bisa sahabatan sama Obiet?" tanya Alvin.
"Soalnya..." jawab Oik, ia mencari kata-kata yang tepat.
"Gue suka sama dia. Gue mau ngabisin banyak waktu sama dia. Dan dasar cewek nekat, gue deketin aja dia. Kita jadi sahabatan deh" sambungnya.
"Trus? Kenapa dia nyakitin lo?" tanya Alvin.
"Tau gak apa yang dia curhatin ke gue?" tanya Oik.
"Apa?" tanya Alvin. "Zahra. Zahra inilah, itulah, dia cantiklah, dia baik bangetlah, dia segala-galanya yang Obiet mau! Bayangin, gue harus dengerin tentang perasaannya ke Zahra, padahal gue sakit banget! Gue yang bantuin dia buat deket sama Zahra, secara dia itu sobat gue" jawab Oik.
"Kenapa lo bisa-bisanya ngelakuin itu? Kenapa lo gak bilang aja kalo lo suka sama dia? Lo kan gak perlu jadi sakit kayak gini" tanya Alvin.
"Buat liat senyumnya. Gue seneng kalo dia seneng, gue sedih kalo dia sedih. Gue bakal ngorbanin perasaan gue ke dia kalau itu bisa ngebuat dia seneng. Gue bakal bantuin dia jadian sama Zahra walaupun gue sendiri sakit, karena gue terlalu cinta sama dia" jawab Oik. Alvin salut.
"Gue salut sama lo Ik, gue tau pasti lo sakit banget, Zahra kan sahabat lo" tanggap Alvin. Oik mengangguk.
"Makasih. Sekarang lo mau kan bantuin gue?" tanya Oik. Alvin mengangguk.
"Bagus deh. Gue cabut ya, mau ke kelas. Dosen galak ntar marah lagi, kalo udah mampus gue" pamit Oik.
"Gue ikut deh" sahut Alvin. Ia pun mengikuti Oik pergi.
***
Sepulang kampus
"Eh, gue cabut ya" pamit Rio. Semuanya mengangguk. Rio pun pergi.
"Eh Vin, jangan kasih tau yang gue bilang ke lo ya, apalagi ke dia" ujar Oik, melirik ke arah Obiet. Alvin mengikuti arah lirikan Oik dan mengerti.
"Tenang aja Ik, gue bakal jaga rahasia lo kok. Serahin aja ke gue" sahut Alvin.
"Makasih Vin. Lo emang baik banget. Gue cabut ya" ujar Oik sambil tersenyum manis lalu pergi. Obiet bingung.
"Kenapa sih si Oik?" tanya Obiet.
"Au. Udah ya gue cabut" pamit Alvin.
"Yah... ngeles lagi dia! Udah ah gue pulang juga!" gumam Obiet.
***
Rio
Rio memacu motornya cepat, dan akhirnya ia sampai juga di tempat tujuannya. Rumah Shilla. Ia turun dari motornya dan memencet bel. Pintu terbuka. Tampak Keke di depan mata Rio.
"Kak Rio? Ngapain kak?" tanya Keke bingung.
"Nyari Shilla" jawab Rio datar.
"Loh? Kan kak Shilla ke kampus?" tanya Keke bingung.
"Ke kampus? Dia gak masuk kampus! Makanya kakak nyariin dia, takut dia shock gara-gara Sivia" tanggap Rio.
"Hah? Tapi tadi kak Shilla langsung pergi, katanya ada kuliah. Trus ngambil mobil dan pergi gak tau ke mana" ungkap Keke.
"Berarti... Shilla ilang dong?" tanya Rio.
"Ilang? Eh iya kak! Aduh, gimana nih kak?" tanya Keke panik.
"Dasar. Baru mudeng dah ni anak... udah ah yuk ke motor gue, nyari Shilla" ujar Rio lalu memunggungi Keke dan bergegas ke motornya. Dasar kakak gak sopan! Yang jadi tamu siapa, tuan rumah siapa, malah gak sopan gitu! Awas, ntar gue bilangin ke kak Shilla kalo kakak suka sama dia! batin Keke jengkel lalu mengikuti Rio. Ia pun naik ke motor Rio, lalu Rio pun memacu motornya.
"Kita ke mana kak?" tanya Keke.
"Ke Chillate Cafe. Siapa tau dia ada di sana, kan katanya dia restoran itu restoran favoritnya dia" jawab Rio.
"Kakak tau banget tentang kak Shilla" komentar Keke.
"Kan dia sahabat gue" sahut Rio datar.
"Sahabat atau pujaan hati?" goda Keke. Rio diam saja. Keke tertawa puas, berhasil memakai kartu asnya itu.
"Kakak suka ya sama kak Shilla? Tenang aja kak, Keke restuin kok!" ledek Keke lagi.
"Udah ah! Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah ngerti kayak gituan!" komentar Rio tidak sabar, lalu menghentikan motornya.
"Udah nyampe! Awas ya lo, ngasih tau gue fitnah lo suka sama Alvin!" ancam Rio.
"Yah... kakak. Make acara fitnah-fitnahan lagi! Kan nanti kak Shilla bakal tau juga kok!" keluh Keke.
"Udah diem aja!" perintah Rio. Keke menurut. Rio mulai mencari Shilla.
"Woi, lo cari di toilet cewek, siapa tau dia ada di sana. Gue nyari di sini" perintah Rio. Keke langsung bergegas ke toilet. Lalu ia keluar dengan tampang sedih.
"Gak ada kak" ujarnya.
"Gue juga gak ketemu. Nyari di mana lagi nih?" tanya Rio.
"Rumah kak Sivia? Kos kak Zahra? Kreatif dikit napa!" jawab Keke.
"Halah. Lo kendarain motor aja gak bisa!" ledek Rio.
"Biarin, Keke kan cewek. Kalo cowok Keke udah pasti bisa!" tanggap Keke. Mereka pun berjalan menuju motor Rio. Rio pun memacu cepat motornya ke rumah Sivia.
"Permisi tante, ehm, mau nanya, Shillanya ada?" tanya Rio dengan suara super lembutnya. Mamanya Sivia terpesona.
"Ah, memangnya Shilla kenapa? Kok nyarinya di sini?" tanya mamanya Sivia.
"Oh, tadi Shillanya gak masuk kampus tante, terus di rumahnya gak ada juga. Nah, kan Sivia sahabatnya, kali aja Shilla ada di sini" jawab Rio.
"Wah, maaf ya, Shilla gak ada di sini. Mau apa sama Shilla? Kok nyariin?" tanya mamanya Sivia.
"Mmm... mmm... dia nyariin" jawab Rio ngeles sambil menunjuk ke arah Keke. Mamanya Sivia manggut-manggut.
"Hmm... ini siapa?" tanya mamanya Sivia. Buset dah, gue kayak diinterogasi polisi aja ya? Dari tadi ditanyain mulu! batin Rio.
"Ini Keke, adiknya Shilla. Tadi pas saya kasih tau Shilla gak masuk kuliah dianya panik" jawab Rio.
"Oh... ya udah, maaf ya gak bisa bantu" sahut mamanya Sivia.
"Iya tante, makasih ya" sahut Rio, lalu bergegas ke motornya. Keke ngekor.
"Gila ya kak, masa Keke sih yang digituin? Orang Keke aja gak mudeng pas kak Rio kasih tau, baru mudeng pas kakak bilang kalo kak Shilla ngilang!" tanya Keke jengkel.
"Cari alesan buat ngeles. Udah gak usah cerewet lagi, yuk ah lanjut nyari Shillanya!" jawab Rio lalu memacu motornya. Mereka pun sampai juga di kos Zahra dan Oik.
"Woi Ik, liat Shilla gak?" tanya Rio.
"Enggak. Kenapa emangnya? Nyariin aja lo, perhatian banget sih calon cowoknya..." jawab Oik yang sedang menyiram bunga.
"Mulai deh, kenapa sih kalo gue suka sama dia? Salah ya?" tanya Rio jengkel. Oik tertawa.
"Eh iya, itu siapa? Wah, jangan-jangan lo mau nyelingkuhin si Shilla lagi!" tanya Oik curiga.
"Ya enggaklah! Ini tuh adeknya Shilla, namanya Keke. Berguna juga dia, tapi gila ya anak zaman sekarang, udah ngerti masalah orang dewasa! Ckckck..." jawab Rio sambil menggeleng-gelengkan kepala di kata terakhir. Oik tertawa lagi.
"Oh, kirain. Ya iyalah Yo, kan cewek tuh lebih cepet dewasanya daripada cowok... udah sana pergi, gue nitip salam buat Shilla" usirnya.
"Huh, dasar cewek!" gerutu Rio.
"Kakak sendiri juga sukanya sama cewek kan?" tanya Keke.
"Ya iyalah! Gue masih normal tau!" jawab Rio.
"Sekarang kita ke mana nih?" tanya Rio.
"Ke... kuburan mantannya kak Shilla kali ya... kemarin kak Shilla teriak, 'Gabriel jahat!! Sumpah jahat lo Yel!!!' kayak orang stress. Gabriel itu nama mantannya kak Shilla kan?" tanya Keke. Rio mengangguk. Hatinya panas. Ia pun memacu motornya ke makam Gabriel.
***
Makam Gabriel
Rio memarkir motornya dan berlari ke makam Gabriel. Dilihatnya seorang cewek menangis di depan makam Gabriel. Mungkinkah itu... Shilla?
"Shilla?" tanya Rio. Shilla menengok. Rio iba melihat wajahnya, matanya merah dan rambutnya acak-acakkan.
"Rio? Keke?" tanya Shilla. Rio mengangguk. Shilla cepat-cepat menghapus air matanya dan merapikan rambutnya.
"Ngapain lo di sini?" tanya Shilla.
"Justru harusnya gue yang nanya lo kayak gitu! Kenapa lo bolos kampus trus malah ke sini, hah? Bilangnya mau ke kampus, tau-taunya lagi jenguk Gabriel. Gimana sih cara kerja otak lo?" hardik Rio. Air mata Shilla tumpah lagi.
"Kak Rio! Tuh, kak Shillanya jadi nangis kan... tanggung jawab!" teriak Keke jengkel. Shilla menggeleng dan menghapus air matanya.
"Gak usah Ke, emang kakak kok yang salah. Rio cuma khawatir" ujarnya.
"Udah, sekarang jelasin kenapa lo bisa ngelakuin hal bodoh kayak gini!" perintah Rio. Shilla pun menurut. Ia menceritakan semuanya yang ada di kepalanya. Yang ada di pikiran Shilla adalah pengalaman saat ia berangkat tadi pagi. Ia masih ingat dengan jelas, dari tadi pagi sampai sekarang apa saja yang dialaminya.
***
Shilla memacu mobilnya ke Chillate Cafe. Ia ingin bolos kampus, soalnya dia masih shock. Ia memesan Shilolly dan meminumnya. Ia bersandar di kursinya. Ia berpikir, merenung. Ia memikirkan Zahra, Oik, Alvin, Obiet, dan Rio. Juga Sivia dan Gabriel. Ia berpikir, akankah ia mendapat pengganti Gabriel? Akankah Zahra dan Alvin bisa balikan lagi? Lalu, nanti Rio sama siapa? Oik sama Obiet juga sama siapa? Dan... pikirannya itu menyambung ke kematian Sivia. Sivia koma... itu berarti dia ketemu sama Iyel dong? Terus, si Iyel ngehasut Sivia ya buat nyusul dia? Si Iyel jahat banget!! Kan gue sama sobat-sobat gue udah mohon-mohon sama dia buat nyadarin Sivia, dan hasilnya? Lo jahat banget Yel! batin Shilla kesal. Ia pun membayar minumannya lalu pergi ke makam Gabriel. Sesampainya di sana ia pun memarkir mobilnya dan langsung bergegas ke makam Gabriel.
"Heh Yel! Lo tuh bisa-bisanya ya! Gue sama Rio, Alvin sama Zahra udah mohon-mohon ke lo buat bantuin kita nyembuhin Sivia... tapi ternyata Sivia meninggal. Lo jahat banget sih Yel, lo gak peduliin permohonan kita dan lo malah ngeduluin diri lo sendiri! Lo jahat Yel, gue benci sama lo!" teriak Shilla, menuduh tak berarti. Ia pun menangis, lalu bertemulah ia dengan Rio dan Keke.
***
"... gitu ceritanya" ujar Shilla mengakhiri ceritanya.
"Jadi lo ke sini cuma mau ngehardik Gabriel doang? Lo bolos kampus cuma gara-gara shock doang? Otak lo tuh kerjanya gimana sih? Lo tuh seharusnya nyadar dong, Gabriel gak bersalah. Ini semua tuh udah takdir Tuhan dan Gabriel pasti udah bantuin kita! Tapi Tuhan berkehendak lain, Sivia harus pergi. Ini udah direncanain Shill, dia gak bakal balik lagi ke sini!" hardik Rio. Air mata Shilla tumpah lagi.
"Kak Rio!! Kakak ke sini tuh cuma buat ngehardik kak Shilla aja? Sana pergi! Dasar cowok! Bisanya bikin nangis cewek mulu! Pergi!" teriak Keke marah. Rio diam saja merenungi apa yang baru saja dilakukannya.
"Kakak budek apa tuli sih? Pergi!!" teriak Keke lagi. Rio pun pasrah dan pergi menjauh, bersandar di pohon. Keke menghampiri kakaknya lalu mengusap punggungnya.
"Sabar ya kak... kak Rio cuma khawatir aja sama kakak, jadinya stress kayak gitu. Sabar ya..." hiburnya. Rio berpangku tangan. Ia melirik sebelah kanannya dan...
"Aaaaahhhh!!!" teriak Rio kaget.
---
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar