PREVIOUS PART
---
(Part 3)
Esoknya di kampus, Rio mencari cara untuk membalas Shilla.
"Aaahh!!! Biasanya juga gue dapet seribu cara buat ngebales orang!! Ampe pusing milih cara buat milih!! Kenapa yang ini enggak??" tanya Rio kepada dirinya sendiri, setengah berteriak.
"Soalnya dia terlalu hebat buat lo bales, Yo! Nyadar napa?" sahut Gabriel.
"Makanya, jadi orang jangan suka nyari masalah! Kena batunya kan lo?" tanya Alvin. Rio diam saja, merenung.
"Diem deh lo!" ucap Gabriel.
"Au... baru nyadar kan?" sahut Alvin. Rio, sekali lagi, hanya diam, menatap Shilla yang lewat di depan matanya.
***
"Shill... beneran Shill bokap lo judi? Mabuk lagi!" tanya Sivia.
"Iya... malangnya hidupku..." jawab Shilla, mukanya memelas. Mereka pun masuk kelas, lalu duduk siap belajar. Dosen pun masuk tak lama kemudian, dan mereka pun tenggelam dalam pelajaran yang diberikan dosen. Shilla bahkan dapat mengusir semua kestressannya.
Pulangnya, Shilla melihat ayahnya berjudi dan mabuk lagi. Shilla membiarkannya. Hal ini terus terjadi selama beberapa bulan, Shilla dapat menjalani hidup seperti biasa.
Suatu hari, setelah setahun berlalu, Shilla sangat kaget saat pulang, karena ia melihat tulisan 'Rumah ini disegel' di depan rumahnya. Shilla melihat semua barang mereka sudah dikemas, kakaknya pingsan dan Keke menangis.
"Shilla, maafin ayah ya... ayah punya banyak hutang, karena sudah tidak bisa dilunasi, rumah ini disegel... maafin ayah ya" ucap ayah Shilla. Setelah mendengarnya Shilla kaget. Air matanya tumpah, tak bisa terbendung lagi. Shilla hanya berkata,
"Sekarang kita tinggal di mana?" tanya Shilla, suaranya serak.
"Ayah juga gak tau..." jawab ayahnya. Air mata Shilla sudah tidak terbendung lagi. Ia pun menangis sekencang yang ia bisa. Di sana, berdiri Rio yang melihat semua itu. Otak jahatnya langsung bekerja. Rasain lo! Liat aja, bentar lagi gue bakal ngebales semua perbuatan lo! Pikir Rio sambil tersenyum. Senyum yang akan dikeluarkan orang bila memikirkan sesuatu yang jahat. Sementara Shilla terus menangis meratapi nasib keluarganya.
***
Keesokan harinya, Shilla menceritakan hal itu kepada kedua sahabatnya, seperti biasa.
"Hah?? Trus sekarang lo tinggal di mana?" tanya Sivia khawatir.
"Gak tau..." jawab Shilla, matanya memerah karena membendung air mata. Namun, air matanya tak dapat di bendung lagi. Ia pun menangis, tetapi hanya air mata yang menunjukkannya, karena ia menangis tanpa suara. Dari kejauhan, Gabriel melihatnya. Ia hanya bisa diam, tak berbuat apa-apa. Sorot matanya menunjukkan kesedihan. Sedang Rio yang berdiri di dekatnya tersenyum nakal. Ia dan kedua sahabatnya pun menuju lapangan basket untuk bermain basket.
"Eh, Vin, Yel... gue udah dapet cara buat ngebales Shilla" ujar Rio, tersenyum puas.
"Udah gue bilang, lo tuh gak bisa ngebales dia, dia tuh terlalu tinggi statusnya!" hardik Gabriel.
"Sekarang gak. Soalnya, bokapnya tuh..." Rio menceritakan apa yang didengarnya di rumah Shilla.
"Wah! Hebat lo! Pinter amet!" komentar Alvin.
"Iya dong... Rio!" sahut Rio bangga. "Lo gak boleh kayak gitu!" hardik Gabriel, membanting bola basket karena emosi.
"Lo kenapa sih Yel? Perasaan lo aneh banget!" tanya Rio, menempelkan tangannya di dahi Gabriel.
"Gue gak sakit! Jangan sentuh gue!" teriak Gabriel, melepaskan tangan Rio dengan kasar.
"Lo kenapa sih? Jangan-jangan lo suka sama Shilla lagi!" ujar Alvin curiga. Gabriel melotot ke arahnya lalu pergi.
"Si Iyel napa sih?? Melotot kayak gitu... bikin gue takut aja!" kata Alvin.
"Au tuh!" sahut Rio, lalu berjalan ke kelasnya dengan raut wajah bingung.
***
Sementara itu di kelas Shilla, Sivia, dan Zahra, Sivia dan Zahra berusaha menenangkan Shilla.
"Shill... sabar ya..." ujar Sivia lembut, membelai rambutnya.
"Iya, kalo lo mau, lo bisa tinggal di rumah gue atau Via" hibur Zahra. Shilla hanya menanggapinya dengan terus menangis.
Dosen pun masuk, membanting pintu, membuat Shilla menghapus air matanya dan duduk tegak seperti biasa. Hebat juga ni dosen, bisa langsung nenangin Shilla! batin Sivia.
***
Pulangnya, Shilla di buntutin Rio seperti yang terjadi selama setahun belakangan ini. Shilla berjalan kaki, tidak seperti biasa, lalu berhenti di sebuah gubuk sederhana. Oh... jadi ini ni tempat tinggalnya Shilla sekarang? Haha, kalau yang lain pada tau gimana ya reaksi mereka? pikir Rio, tersenyum. Rio pun kaget karena ada yang menepuk pundaknya dari belakang.
"Heh, ngapain lo di sini?" tanya sebuah suara berat. Rio kaget dan langsung kabur... yang menepuk pundaknya hanya memandanginya. Ternyata itu hanya ayahnya Shilla, dan Shilla yang melihat Rio kabur, berlari meninggalkan motornya, tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi, karena Rio sudah berlari agak jauh, tak terlintas di pikiran Shilla bahwa Rio sudah tau semuanya.
***
Keesokan paginya, Shilla, Zahra dan Sivia duduk di kantin. Rio yang melihat hal tersebut langsung berjalan ke kantin, diikuti oleh kedua sahabatnya yang setia.
"Eh, yang ada di sini! Tau gak, gue tuh kemaren ngeliat ada gubuk kecil, terbuat dari bambu, atapnya jerami, pintunya dari bambu, jendela cuma ada 4... pokoknya jelek banget deh! Di jalan Suara Indah!" teriak Rio, tersenyum licik. Shilla beserta kedua temannya kaget.
"Gubuk jelek? Gusur aja! Gampang, kan?" celetuk salah seorang anak. Wajah Shilla langsung berubah menjadi pucat.
"O iya! Pinter juga lo! Gue bakal gusur tu gubuk yang udah bikin rusak mata gue! Paling minggu depanlah..." sahut Rio, membuat muka Shilla menjadi semakin pucat. Kedua sahabatnya yang panik berusaha menenangkan Shilla. Shilla hanya menanggapinya dengan air mata yang di lepaskannya di toilet cewek.
***
Seminggu pun berlalu... Shilla hidup semakin menderita, terutama karena Rio yang selalu meledeknya. Kakaknya yang biasanya ceria menjadi muram, seperti tak mau hidup lagi. Ayahnya selalu mabuk dan berjudi, menambah daftar hutangnya. Shilla pun akhirnya bekerja membanting tulang, berusaha menghidupi keluarganya kembali. Yang terkumpul sejauh ini hanya Rp50.000,00, padahal yang di butuhkan berjumlah Rp1.000.000.000. Shilla tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ia hanya terus-menerus bekerja untuk keluarganya, yang selalu ingin mengambil uangnya untuk kepentingan pribadi seperti ayahnya yang mengambilnya untuk membeli miras dan kakaknya yang mengambilnya untuk pergi ke salon atau hang out bersama teman-temannya. Shilla hanya bisa pasrah dan berdoa.
+++
(Part 4)
Suatu hari, Shilla pulang dari kampus berjalan kaki seperti biasa. Ia pulang hanya untuk mengganti bajunya dan langsung pergi ke tempat ia bekerja paruh waktu seperti biasa.
"Kak! Shilla pulang!!" teriak Shilla, lalu pergi ke kamar kecilnya. Ia mengganti bajunya sambil berpikir, gak biasanya kakak diem aja... biasanya kan dia cerewet minta duit ke gue.... pikir Shilla. Shilla yang telah selesai mengganti bajunya pun berjalan menuju kamar kakaknya yang ada di sebelahnya, lalu kaget.
"Kakak!! Kakak ngapain?!" teriak Shilla.
"Kakak mau bunuh diri... lagian ngapain hidup lagi? Orang kita udah miskin kayak gini... gak tahan lagi!" sahut kakaknya sambil memegang pisau di pergelangan tangannya, tepat di nadinya, jika ia memotong tepat di situ ia akan mengakhiri hidupnya.
"Kak!! Gak boleh gitu!! Kita pasti bakal cari cara buat bikin hidup kita kayak dulu!!" teriak Shilla lagi, berlari untuk mencegahnya.
"Gak perlu!" ujar kakaknya Shilla, lalu mengakhiri hidupnya. Kakaknya ambruk, pergelangan tangannya mengeluarkan darah sangat deras. Shilla terlambat menghampiri kakaknya untuk mencegahnya. Sekarang kakaknya ambruk, nafasnya tersenggal-senggal. Tak lama kemudian, nafas kakaknya berhenti. Shilla menundukkan kepalanya, berusaha mendengarkan detak jantung kakaknya. Tapi tidak ada yang terdengar. Jantung kakaknya telah berhenti. Shilla tak bisa lagi membendung air matanya, ia langsung menangis dan berteriak sekuat-kuatnya,
"KAKAK!!!!!!!!" teriakan itu membuat Rio yang sedang membuntutinya kaget. Ia memutuskan untuk pergi dan menjalankan rencananya besok pagi. Sementara Shilla terus menangisi kakaknya yang sudah meninggal dunia. Ia memutuskan untuk izin bolos kerja.
***
Paginya, Shilla, seperti biasa, menceritakan pengalamannya yang menyedihkan kepada kedua sahabatnya.
"Turut berduka ya" sahut Zahra. "
Gue juga" ujar Sivia. Shilla hanya mengangguk lemas, membuang muka.
"Woi!! Pengumuman pengumuman, gue mau kasih tau kalau gubuk jelek yang gue bilang tempo hari bakal gue runtuhin! Itu aja" teriak Rio sekeras-kerasnya. Mata Shilla membelalak. Sivia dan Zahra juga. Mereka sangat kaget, tentunya. Setelah mengatakan itu Rio langsung pergi begitu saja, puas melihat ekspresi Shilla.
Tak lama kemudian, Rio menarik tangan Shilla dengan kasar. Sivia dan Zahra berusaha mencegahnya, tetapi mereka tak kuasa karena dihadang oleh Alvin serta Gabriel. Shilla yang melihatnya hanya bisa pasrah, tetapi ia tetap meronta-ronta.
"Lepasin gue! Lo bisa gue laporin ke komnas HAM!! Lepasin!!" teriak Shilla. Rio hanya terus menariknya dengan keras. Ia membawa Shilla ke pojokan.
"Heh, gue tuh bawa elo ke sini soalnya gue mau bicara sama lo!" ujar Rio.
"Bicara apa?!" sahut Shilla, menyentakkan tangannya untuk membebaskan diri.
"Gue udah tau kalo gubuk reyot itu punya lo. Gue bakal ngancurin tempat tinggal tersayang lo itu kecuali..." ujar Rio.
"Kecuali apa?" potong Shilla.
"Kecuali lo mau minta maaf ke gue di kantin pas jam kosong, gue nunggu lo di sana" sahut Rio. Mata Shilla membelalak, lalu berkata,
"Oke, gue bakal minta maaf. Tapi kalau lo ngelakuin apa-apa sama rumah gue, awas lo!" ujar Shilla.
"Oke" sahut Rio singkat. Shilla pun pergi ke tempat kedua sahabatnya menunggu, lalu menceritakan apa yang dilakukan Rio.
"Kurang asem tu anak! Trus lo ngapain ntar?" komentar Zahra.
"Minta maaf, buat adek gue tersayang Keke" sahut Shilla. "Bokap lo gak dianggep gitu?" tanya Sivia.
"Iya, ngapain? Orang dia biang keladi dari semuanya" jawab Shilla. Sivia hanya menggelengkan kepalanya. Gimana pun juga kan dia tetep bokap lo, batin Sivia.
***
Di kantin
Shilla datang ke tempat Rio, Gabriel, dan Alvin duduk.
"Jadi lo dateng?" tanya Alvin.
"Iya, orang keliatan! Mata lo lo taro mana?" jawab Shilla. Zahra dan Sivia melihat semua itu dari meja mereka yang tidak jauh dari Rio, Gabriel, Alvin dan Shilla.
"Lo mau ngapain?" teriak Rio supaya semua orang menengok ke arahnya.
"Gue mau minta maaf" ujar Shilla.
"Ha? Apa? Gak denger gue! Yang kenceng dong!" ucap Rio. Shilla jadi jengkel.
"GUE MINTA MAAF KE LO ATAS APA YANG GUE LAKUIN!!" teriak Shilla di kuping Rio.
"Heh! kuping gue bukan toa!" ujar Rio jengkel.
"Lah, katanya lo gak denger, pas denger marah-marah! Lo mau apa, sih?" tanya Shilla. Rio jadi jengkel.
"Heh, lo pikir minta maaf kayak gitu gue puas, hah?" tanya Rio.
"Iya" jawab Shilla singkat.
"Lo salah" sahut Rio.
"Trus gue harus ngapain?" tanya Shilla. Rio berpikir sebentar, lalu mengeluarkan senyum liciknya.
"Cium kaki gue" ujar Rio.
"Ha? Gak salah tuh? Dari pada gue ngelakuin itu mending gue nyeritain masalah gue di depan seluruh anak kampus deh!" sahut Shilla. Senyum Rio makin mengembang. Shilla tidak memerhatikannya. Ia melihat ke arah kedua sahabatnya, yang sedang menempelkan tiga jari ke leher mereka, menandakan 'mati' dan menunjukhttp://www.blogger.com/img/blank.gifnya, menandakan 'lo'. Jika digabung, itu mengatakan 'MATI LO'. Shilla berpikir, lalu menutup mulutnya, kaget. Mati gue!! Mati!! Mati mati mati! pikir Shilla. "Lo punya dua pilihan, cium kaki gue atau nyeritain masalah lo" ujar Rio.
"Cium kaki lo" sahut Shilla.
"Gue berubah pikiran, lo harus ceritain masalah lo" ucap Rio. Wajah Shilla menjadi pucat. Yang lain tidak bisa apa-apa, sedang ia juga sama. Kalau ia menceritakan masalahnya, ia dalam masalah besar. Jika ia melakukan hal yang macam-macam, rumahnya diruntuhkan oleh Rio. Tuhan, apa yang harus kulakukan? pikirnya, memejamkan matanya.
---
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar