PREVIOUS PART
---
(Part 37)
"Kak, Deva mau pulang..." ucap Deva sambil membuka pintu teras. Kata-katanya terhenti melihat Shilla dan Rio. Ia mematung, memegang gagang pintu. Keke menghampirinya dari belakang.
"Kenapa Dev..." baru saja Keke ingin bertanya, ia melihat Rio dan Shilla. Keke tertawa kecil.
"Selamat ya kak Rio, makin maju aja" ucap Keke.
"Ngawur! Ya udah Shill, Ke, gue ama Deva pulang dulu" pamit Rio lalu pergi begitu saja.
"Dah Ke, ketemu besok lagi ya" pamit Deva sambil mengecup kening Keke. Keke tersenyum senang. Deva pun keluar dari rumah Keke dan Shilla, menuju mobilnya, menaikinya, lalu pergi.
"Romantis amet sih lo berdua" komentar Shilla.
"Iyalah. Oya, Keke dikasih ini loh" ucap Keke, lalu memamerkan liontin pemberian Deva. Dibukanya, dan Shilla manyun melihatnya.
"Panasin kakak ya?!" tanya Shilla sambil berteriak.
"100 buat kakak, 1000 buat Keke!" sorak Keke.
"Arrgghh!!" gerutu Shilla lalu memasuk ke kamarnya. Keke tertawa melihat kakaknya, mengingat kejadian tadi, lalu masuk ke dalam rumahnya dan memasuki kamarnya. Ia pun tidur dan bermimpi indah.
***
Keesokan harinya di kampus Shilla
"Halo Shill... kemaren-kemaren lo kabur dari rumah ya?" tanya Zahra. Shilla nyengir.
"Iya" jawabnya singkat.
"Kenapa? Kita semua khawatir banget loh..." tanya Oik.
"Mmm... tau deh kenapa" jawab Shilla.
"Halo semuanya" sapa sebuah suara dari belakang Shilla. Shilla berbalik badan, dan menemukan Rio di belakangnya.
"E.. e.. eh... Rio" ucapnya, wajahnya memerah. Shilla menunduk untuk menyembunyikannya. Zahra menatap Shilla lalu nyengir. Oik menatapnya, lalu menatap Shilla, dan ikutan nyengir.
"Kenapa sih? Ih pada gila, gue kabur deh daripada ketuleran!" ucap Rio lalu pergi. Oik dan Zahra memandangi Rio, ketika mereka sudah yakin mereka pun menghadap Shilla.
"Jadi?" tanya Oik. Shilla memasang pandangan bingung.
"Lo suka sama Rio?" tanya Zahra, sukses membuat muka Shilla memerah kembali.
"E.. eh.. itu.. emh, eh.." ucap Shilla, berusaha mencari alasan yang tepat. Matanya melirik-lirik ke segala arah, takut melihat mata Zahra dan Oik.
"Ketauan tuh dari muka lo..." goda Oik.
"Haha iya bener tuh" tanggap Zahra. Shilla menghela nafas panjang.
"Iya. Awas, jangan bilang siapa-siapa, termasuk cowok lo!" ancam Shilla. Zahra dan Oik bertos ria, lalu menatap Shilla lagi.
"Iya... oya, kasih tau Via ya" Zahra mengingatkan Shilla. Wajah Shilla berubah menjadi sedih dan murung. Zahra jadi merasa bersalah.
"Iyalah" tanggap Shilla, tersenyum paksa.
"Gimana kabar adek lo sama... em. Siapa namanya?" tanya Oik, mengalihkan pembicaraan.
"Keke?" tanya Shilla.
"Bukan, yang satu lagi, yang lo ceritain tempo hari" ujar Oik.
"Oh, Deva? Baik aja, kemaren mereka gombal-gombalan di kamar gue. Makin nakal aja" ucap Shilla, menggelengkan kepalanya.
"Oh" tanggap Oik.
"Udah yuk masuk kelas, ntar dosen galak marah lagi kayak kemaren. Lo udah selesai makalahnya?" tanya Zahra sambil berjalan, diikuti oleh Shilla di sampingnya. Oik pergi ke kelasnya.
"Iyalah, gue kerja 4 jam tuh!" jawab Shilla.
"Buset dah, 4 jam? Gue aja 10 jam ada kali!" komentar Zahra.
"Ya itulah bedanya, gue anak pinter dan lo enggak terlalu" tanggap Shilla.
"Kejam lo! Lo apa aja?" tanya Zahra.
"Ya gitu deh. Penyakit..." jawab Shilla. Mereka pun berbincang-bincang, dan masih terus begitu di kelas mereka. Mereka baru diam saat dosen galak masuk. Pelajaran hari itu pun dimulai.
***
Pulang kampus
"Zah, Ik, mau ikut gue ke makamnya Via?" tanya Shilla. Zahra dan Oik mengangguk.
"Kita ikut dong, udah lama gak kunjungin makamnya Via, ntar dia marah lagi gak pernah dikunjungin" ucap Alvin, membawa Rio dan Obiet di belakangnya.
"Serah lu deh" tanggap Shilla, membuang muka agar tak melihat Rio. Ia takut mukanya akan memerah.
"Ya udah, yuk jalan!" perintah Obiet, dan semua menurut. Shilla memakai mobilnya sendiri, Rio memakai motornya, Oik nebeng di motor Obiet dan Zahra nebeng di motornya Alvin. Melajulah mereka ke makam Sivia, yang tempatnya di sebelah makam Gabriel.
***
Makam Sivia
"Halo Siv... kita dateng buat jenguk lo. Maaf ya kita gak dateng, soalnya banyak masalah. Sori ya" ucap Shilla.
"Iya, maafin kita" timpal Rio. Yang lain hanya tersenyum. Mereka pun segera duduk dan berdoa. Setelah sesi berdoa selesai, mereka pun diam.
"Eh, itu apa?" tanya Oik.
"Apaan Ik?" tanya Obiet. Oik mengambil dua buah surat dari dalam vas bunga. Ia pun membacakannya.
"Shilla, ini gue Sivia. Sori kalau ngagetin, tapi Iel juga gini ke gue kok. Dan gue sama sekali gak takut. Itu sebabnya gue ceria, soalnya tiap gue ke sini terus ngomong ini-itu, pasti dibales sama dia pake surat seperti ini. Nah, kalau lo ada masalah lo curhat aja ke gue, besok ke sini lagi buat baca surat dari gue. Gimana kabar temen-temen semua?" ucap Oik, membacakan surat tersebut. Shilla memucat, Rio membelalak, Alvin dan Zahra penasaran, Oik dan Obiet kaget. Semuanya memandang Shilla.
"Eh, ehm. Kabar temen-temen semua baik kok, pada kangen doang. Oke, kalau ada masalah gue bakal curhat kok ke lo" ucap Shilla. Semua sahabatnya tersenyum, lalu memandang ke arah Oik. Shilla menghembuskan nafas lega. Oik sibuk lagi membaca surat yang kedua.
"Shilla, lo jahat banget sih. Kan lo udah janji, abis pemakaman gue lo ke makam gue terus ngambil surat... udah gue bilang kan? Jahat lo Shill, udah gue tungguin juga! Baca surat dari Iel" ujar Oik, membacakan surat Sivia yang kedua. Semuanya segera menatap Shilla lagi. Shilla nyengir.
"Sori Siv, gue lupa. Kan udah gue bilang, banyak masalah. Surat dari Iel? Bentar" ucap Shilla, bangkit dan mengambil surat yang ada di dalam vas bunga makam Iel.
"Untuk Shilla dan Rio, halo aja deh. Oya, gue mesti bilangin ke kalian, sumpah kalian nyebelin abis. Shill, lo udah bolos kampus cuma pengen ngebentak gue doang? Bener-bener lo. Itu sih gue maafin, orang stress gak usah dimarahin. Maklumin aja... yang gue sebelin, kurang asem ya lo berdua sama Keke kabur begitu liat gue! Via aja ngeliat gue juga gak kabur... malah curhat dia. Awas lo berdua, gue gentayangin lo!" ucap Shilla, membacakan surat dari Iel.
"Hiaa... sori Yel, jangan gentayangin gue, yang ada gue ketakutan nih, sori banget Yel..." ucap Shilla dengan nada ketakutan.
"Iya Yel, gue minta ampun sama lo... maafin gue! Plis jangan gentayangin gue, sumpah gue takut Yel!" ucap Rio sambil gemetaran. Oik, Zahra, Obiet, dan Alvin spontan ngakak.
"Kok cowok takut hantu?" tanya Zahra, lalu ngakak lagi. Rio menatap mereka berempat tajam. Akhirnya mereka berempat berhenti tertawa.
"Oya Siv, Yel, si Oik sama Obiet jadian loh! Si Alvin sama Zahra balikan, Zevanna udah ngakuin semuanya. Keke sama Deva, kakak kelasnya, udah jadian, sumpah romantis abis si Deva. Udah ngasih boneka yang kalau dipencet perutnya bunyi 'I love you Keke', trus ngasih bunga, ngasih cokelat bikinannya lagi! Trus kemarin, si Keke dikasih liontin bagus banget, isinya foto Keke sama Deva, trus gombalannya itu hebat loh, tentang matahari-matahari gitu. Bagus deh" ungkap Shilla panjang lebar.
"Trus, kemaren si Shilla kabur dengan konyolnya, katanya takut sama paman Jo" timpal Rio. Shilla menginjaknya.
"Au!" erang Rio.
"Mereka udah tau!" bisik Shilla.
"Iya, trus dosen galak makin galak. Masa gara-gara sekelas ribut dan gak meratiin pas dia masuk nyuruh kita buat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal 50 lembar!" ucap Zahra ikut-ikutan.
"Terus, si Rio dapet nilai 50 loh" timpal Alvin.
"Itu gak usah disinggung-singgung!" teriak Rio. Mereka pun berbincang-bincang, tak terasa sudah 2 jam mereka di situ.
"Woi, udah 2 jam nih, pulang yuk" ajak Obiet. Semua cewek memandanginya.
"Yuk" ucap Oik setuju, tersenyum manis. Shilla memandangi mereka semua.
"Belum kasih tau?" tanya Zahra. Shilla menggeleng.
"Mana mungkin. Kan masalah cewek" jelas Shilla. Alvin, Rio, dan Obiet mengangguk tanda mengerti, lalu pergi.
"Kita tinggalin dulu ya" ujar Oik, menepuk pundak Shilla lalu pergi, diikuti oleh Zahra. Shilla menunggu sampai mereka cukup jauh, lalu menghela nafas.
"Siv, Yel, gue pengen ngaku sama lo" ucap Shilla memulai, lalu menghela nafas panjang.
"Gue... gue suka sama Rio, baru mulai semalem" ungkap Shilla. Ia pun berdiri terpaku di tempat. Tiba-tiba ada surat yang jatuh menimpa kepalanya.
"Kalau Rio, gue gak apa-apa. Mulai saat ini berbahagialah, Shilla. Gabriel" ucap Shilla, membaca surat tersebut. ia tersenyum kecil. tiba-tiba satu amplop lain jatuh di atas kepalanya.
"Dia pasti bakal jagain lo, dan selalu ada di sisi lo saat lo butuh. Gue yakin, dia gak bakal ngecewain lo" ucap Shilla, membaca surat yang kedua. Ia pun menengok ke kanan dan melihat pohon bersejarah tersebut. Ia melihat Gabriel dan Sivia sedang berpegangan tangan, dan melambaikan tangan ke arahnya. Gabriel mengacungkan jempolnya, lalu angin mengelilingi mereka, terlihat beberapa daun yang mengelilingi mereka, dan angin itu pun berhenti. Seketika itu Sivia dan Gabriel menghilang dari pandangan. Shilla tersenyum. Ia pun bergabung dengan teman-temannya yang berkumpul di mobil. Setelah itu Mereka semua pulang.
+++
(Part 38)
Sesampainya di rumah, Shilla terkejut melihat sepucuk surat yang tergeletak di depan kamarnya. Spontan ia mengambil surat itu dan membacanya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Isi surat itu memang singkat, jelas dan padat. Tetapi itu cukup untuk membuat Shilla ketakutan. Ia membaca surat itu lagi. Dan lagi. Dan lagi. Dan lagi. Tetapi surat itu tidak berubah, kata-katanya tetap sama. Ia bersandar di dinding, shock, nafasnya tersenggal-senggal. ia melirik surat itu dan membacanya sekali lagi.
Keke berada di tangan kami. Kalau ingin dia kembali ambillah dia di tempat rekonstruksi bangunan
di jalan suara indah.
-Paman Jo, Om Dave-
Shilla memejamkan mata dan membukanya, berharap semua ini hanyalah mimpi. Tetapi ini nyata. Ia pun menyambar kunci mobil dan langsung pergi menuju rekonstruksi bangunan di Jl. Suara Indah.
***
Rekonstruksi bangunan, Jl. Suara Indah
Shilla turun dari mobil dan memasuki rekonstruksi bangunan yang kosong itu. Ia celingak-celinguk, berharap bisa menemukan Keke.
"Datang juga kau, Shilla" ucap sebuah suara. Shilla berbalik untuk melihat siapa yang mengucapkannya.
"Paman Jo?" tanya Shilla sambil berbisik.
"Ikat dia!" perintah paman Jo. 3 orang yang berbaju hitam-hitam pun menurut. Mereka menggenggam sebuah tambang dan mengikat tangan Shilla dengan itu.
"Lepasin gue! Lepasin!" teriak Shilla sambil meronta-ronta.
"Mana Keke?" tanya Shilla, pasrah dengan tangannya yang diikat. Paman Jo tertawa lepas.
"Kau percaya saja dengan surat itu?! Tidak bisa dipercaya!" seru paman Jo sambil tertawa. Segerombolan orang yang memakai baju hitam-hitam pun tertawa. Paman Jo bahkan mengeluarkan air mata. Akhirnya sesi tertawa pun selesai.
"Kenapa paman melakukan hal ini?!" tanya Shilla sambil berteriak.
"Kenapa?! Kau masih tanya kenapa?! Karena kamu, Ashilla Zahrantiara, telah membunuh anakku!" teriak paman Jo emosi.
"Aku gak membunuh dia! Dia yang bunuh diri karena ditolak!" seru Shilla, membela diri.
"Itu sama saja! Kau membunuhnya! Dasar pembunuh!" teriak paman Jo.
"Enggak! Bukannya paman yang pembunuh?! Paman telah membunuh ayah dan sahabatku!" teriak Shilla, air matanya tumpah.
"Diam! Diam atau kau kubunuh?!" tanya paman Jo.
"Bunuh aku. Bunuh! Biar aku bisa mengakhiri seluruh penderitaanku di sini, dan bertemu dengan ayah dan sahabatku!" jawab Shilla. Paman Jo tertawa kecil.
"Berubah pikiran. Aku tidak akan pernah membunuhmu!" ucap paman Jo. Shilla menatapnya.
"Siksa dia!" perintah paman Jo. Segerombolan laki-laki berbaju hitam pun menurut. Mereka menjambak, memukul, menendang, dan sebagainya.
"KYAAAA!!!!" teriak Shilla kesakitan. Bajunya juga robek-robek. Paman Jo melihatnya dengan pandangan sinis, masih belum puas.
"Harus lebih sakit lagi! Apa ini?! Ini bukan menyiksa! Yang bener dong!" teriak paman Jo. Segerombolan laki-laki yang sedang menyiksa Shilla pun menurut. Salah satu dari mereka mengambil sebuah cambuk berduri. Yang lain memegangi tangan dan kaki Shilla agar tidak kabur. Lalu orang yang mengambil cambuk tersebut mulai mencambuki Shilla.
"AHHHH!!! KYAAA!! SAKIT! HENTIKAN!!" teriak Shilla berulang kali. Namun orang tersebut tak berhenti mencambuk, malah ia mencambuk Shilla makin keras. Shilla meneteskan air mata. Tak lama kemudian cambukkan itu berhenti. Shilla menangis, kaki dan tangannya di lepaskan. Lalu dua orang laki-laki mengambil dua ekor kuda, satu diikat di tangan kanan Shilla dan satu diikat di tangan kirinya. Shilla kaget.
"Eh?" tanyanya. Lalu kuda tersebut mulai berlari bersamaan. Shilla berteriak meraung-raung, kesakitan. Seseorang yang lewat mendengar teriakannya. Orang tersebut langsung memasuki konstruksi bangunan tersebut dan memotong tali yang menghubungkan Shilla dengan kuda. Kedua kuda itu lari.
"Siapa kau...?" tanya paman Jo, tetapi omongannya terpotong. Orang tersebut memukulinya. Tak lama kemudian paman Jo jatuh terkapar tak berdaya. Shilla tak dapat melihat dengan jelas, ia masih pusing. Lalu segerombolan laki-laki pun menghampiri orang yang telah menolong Shilla dan memukulinya. Orang tersebut menghindar dengan cepat, lalu memukuli mereka satu-persatu. Tak lama kemudian mereka semua telah tergeletak tak berdaya di atas tanah. Tetapi orang yang paling besar dan kekar diantara mereka menaiki konstruksi tersebut, yang hanya berupa kerangka besi yang tersambung. Ia pun mengangkat salah satu kerangka besi, bersiap menjatuhkannya. Dibawahnya ada Shilla yang sedang berusaha berdiri.
"Shill? Lo gak apa-apa?" tanya orang yang menolongnya itu. Shilla kenal betul dengan suara tersebut.
"Rio?" bisiknya. Rio menghampirinya, jaraknya sekitar 20 meter. Tiba-tiba Rio melihat ada orang yang menjatuhkan kerangka besi yang siap menghantam Shilla di kepala, dengan kecepatan jatuhnya kerangka itu bisa membunuh Shilla dalam sekejap. Rio pun berlari secepat yang ia mampu untuk menyelamatkan Shilla. Shilla masih pusing, ia tidak menyadarinya. Dan semua ini berlalu dengan sangat cepat baginya : Rio tak bisa berlari untuk menyelamatkan Shilla di waktu yang tepat, maka ia pun melompat. Shilla jatuh karena terdorong oleh Rio yang juga jatuh dalam keadaan tengkurap. Shilla jatuh cukup jauh dari tempatnya semula, tangannya lecet karena bergesekkan dengan aspal. Dilihatnya Rio, dan kerangka besi itu pun jatuh, tepat di atas kaki Rio.
"ARRGGHHHH!!" jerit Rio, darah dari kakinya keluar banyak sekali. (coba deh ini jadi film, pasti adegan ini bakal dijadiin slow motion. Jadi banyanginnya slow motion ya) Shilla tak percaya akan apa yang ia lihat. Ia bangkit dan menghampiri Rio, duduk di samping kepala Rio. Ia terduduk lemas, mengelus rambut Rio. Air matanya menitik.
"Rio kenapa lo ngelakuin ini?" tanya Shilla. Rio menggenggam tangan Shilla erat.
"Karena gue gak mau lo pergi ninggalin gue" jawab Rio.
"Tapi gak gini dong sebagai gantinya" ucap Shilla.
"Buat lo, apa aja bakal gue lakuin. Walaupun gue harus lompat dari atas gunung berapi ke dalemnya yang ada lavanya, gue bakal lakuin. Asal itu bisa buat lo seneng atau selamat, gue rela. Gue... gue sayang sama lo Shill, udah sejak lama" ungkap Rio. Air mata Shilla mengalir semakin deras.
"Argh!" ucap Rio kesakitan.
"Akhirnya gue bisa ungkapin itu ke lo Shill, di akhir hidup gue" sambungnya, menutup matanya.
"Rio, Rio jangan pergi!!" teriak Shilla.
"Gue sayang sama lo Yo, gue gak mau kehilangan lo! Jangan pergi!" teriak Shilla lagi, air matanya mengalir sangat deras. Tiba-tiba terdengar suara pistol yang disiapkan untuk menembak di belakang kepala Shilla. Terasa oleh Shilla sesuatu ditempelkan di belakang kepalanya. Pasti pistol.
"Kau sudah terpojok" ucap sebuah suara.
"Shilla" sambung suara tersebut.
"Kata-kata terakhir?" tanya suara tersebut. Shilla tak peduli. Ia hanya ingin bersama Rio sekarang, dan memberi tau dia tentang betapa Shilla sangat mencintainya.
"Om Dave" ucap Shilla, pikirannya melayang ke Rio.
"Dulu kita selalu bersama dan akrab. Sekarang aku mempunyai permintaan terakhir, bunuh aku" sambungnya. Tangan om Dave bergetar, Shilla mengetahuinya karena pistol yang ditempelkan di belakang kepalanya bergetar.
"Kenapa? Takut? Pasti masih terkenang masa-masa indah kita, sebagai ponakan dan paman" ucap Shilla. Tangan om Dave bergetar semakin hebat.
"Aku tau om pasti gak bisa bunuh aku" ucap Shilla. Om Dave pun menjatuhkan pistolnya.
"Berhenti! Ini polisi!" teriak sebuah suara. Shilla menoleh. Terlihat sekelompok polisi mengacungkan pistol. Shilla tau, mulai saat itu ia akan terbebas dari siksaan yang ia terima selama ini.
***
Akhirnya semuanya jelas. Paman Jo yang tidak sudi ditangkap pun bunuh diri dengan meminum racun yang tersimpan di giginya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau ia tertangkap. Sekelompok laki-laki itu divonis penjara 12 tahun. Om Dave divonis penjara 5 tahun. Shilla pun bebas dari cengkraman paman Jo. Tetapi ia tak peduli, ia hanya ingin Rio. Setelah penjahat-penjahat keji itu ditangkap Rio dan Shilla dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ternyata Rio masih hidup, hanya saja ia mengalami kelumpuhan di kaki. Shilla juga tidak apa-apa, ia hanya luka-luka. Hari itu Shilla datang menjenguk Rio, ia sudah bisa keluar dari rumah sakit. Sedang Rio belum karena kakinya masih dalam perawatan. Rio tersenyum.
"Halo Yo, udah baikan?" tanya Shilla dengan senyum di wajahnya. Rio hanya mengangguk.
"Mau jalan-jalan?" tanya Shilla. Rio tersenyum, lalu mengangguk. Shilla pun mendorong kursi roda milik Rio ke samping tempat tidur Rio dan membantu Rio. Ia pun mendorong kursi roda Rio keluar kamar, menuju taman rumah sakit. Sesampainya di sana mereka hanya diam, keheningan menyelimuti mereka.
"Yo" panggil Shilla, memecah keheningan. Rio menatapnya.
"Makasih ya udah nyelamatin gue" ucap Shilla. Rio hanya mengangguk. Terjadi keheningan di antara mereka lagi.
"Mmm... jadi bener Yo?" tanya Shilla.
"Apaan?" tanya Rio balik.
"Yang lo bilang ke gue" jawab Shilla.
"Yang mana?" tanya Rio.
"Yang... lo sayang sama gue" jawab Shilla. Rio diam.
"Lo gak denger apa kata gue pas lo pingsan?" tanya Shilla. Rio menggeleng.
"Kan gue pingsan, masa iya sih gue denger" ucapnya. Shilla tersenyum kecil.
"Gue bilang, gue gak mau lo pergi. Gue... gue juga sayang sama lo" ungkap Shilla, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Rio menatapnya.
"Bener?!" tanya Rio kegirangan. Shilla mengangguk. Rio memeluknya erat.
"Ri... o... gu... e... gak... bisa... na... fas!!" ucap Shilla terbata-bata. Rio melepaskan pelukannya.
"Ehm. Lo masih sayang sama gue?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Bener?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi.
"Walaupun lo tau keadaan gue sekarang?" tanya Rio. Shilla mengangguk lagi.
"Walaupun gue sekarang lumpuh dan gak bisa jagain lo lagi?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Gue gak peduli, mau lo lumpuh, buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik, atau kutilan, gue gak peduli. Hati gue ada di lo dan gue gak mau ngubah kenyataan itu" jelas Shilla.
"Tapi gue gak buta, tuli, bisu, punya 3 mata, kulit bersisik dan kutilan. Gue cuma lumpuh" protes Rio.
"Kan perumpamaan" ucap Shilla. Rio tertawa.
"Jadi?" tanya Rio.
"Apa?" tanya Shilla.
"Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Rio.
"Banget" jawab Shilla.
"Jadi udah resmi?" tanya Rio.
"Resmi apaan?" tanya Shilla.
"Kita pacaran" jawab Rio.
"Iya. Dengan cara yang tidak romantis dan sangat polos sekali" jawab Shilla.
"Sori Shill..." ucap Rio. Shilla memeluknya dari belakang.
"Gak apa-apa. Yang jelas aku punya kamu sekarang" ujar Shilla.
"Makasih Shill" ucap Rio. Shilla tersenyum, menikmati hangatnya pelukannya pada Rio.
***
Keesokan harinya
Rio boleh pulang hari itu. Shilla menjemputnya. Ketika memasuki kamar rawat inap Rio, betapa kagetnya ia melihat kamar itu disulap menjadi indah. Kasur tempat tidur Rio di tutupi dengan seprai merah, dengan mawar-mawar yang membentuk hati di atasnya. Seluruh lantai ditutupi oleh kelopak-kelopak bunga, didominasi oleh warna merah. Meja-meja diletakkan vas-vas bunga berisi bunga mawar merah dan hitam, tapi lebih banyakan bunga mawar merah. Di mana-mana terlihat lilin kecil nan gemuk dinyalakan, dan ruangan di sana gelap. Hanya terlihat cahaya remang-remang dari lilin. Di sofa merah tergeletak sebuah gaun berwarna hitam dengan pita merah terang di pinggangnya sebagai ikat pinggang. Tersedia bando dan sepatu high heels warna merah, dan surat bertuliskan 'Pakai'. Shilla terpesona, lalu mengambil gaun dan ke toilet untuk memakainya. Suasana hatinya senang, firasatnya baik. Setelah ia memakai semuanya, ia pun menunggu di tengah-tengah ruangan. Tiba-tiba matanya ditutup oleh sebuah kain. Shilla membukanya, dan tampaklah Rio di hadapannya. Ia memakai jas hitam dan duduk di atas kursi roda, tersenyum.
"Rio? Ada apa ini?" tanya Shilla, memandang sekelilingnya.
"Emm... kemarin kan kamu minta yang romantis, nah aku kasih" jawab Rio.
"Tapi kan kita udah resmi pacaran? Gak bisa diulang lagi dong" ucap Shilla. Rio tertawa kecil, lalu menggeleng.
"Bukan peresmian kita jadian kayak kemarin, bukan, bukan itu" ucapnya.
"Terus apa?" tanya Shilla. Rio mendesah.
"Kalau aja aku bisa berlutut... hhh. Udahlah" keluh Rio. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari kantungnya.
"Ashilla Zahrantiara, maukah kamu... menjadi istriku?" tanya Rio, membuka kotak yang ia keluarkan dari kantungnya tadi. Terlihat sebuah cincin indah di dalamnya. Shilla terperanjat.
"Maafin aku, aku tau ini terlalu cepet. Tapi... aku mau mencintai kamu seumur hidupku, aku pingin menghabiskan seluruh sisa hidup aku sama kamu. Lagian kan kita udah umur 22 tahun, udah gede" ucap Rio. Shilla pun memulihkan diri dari kekagetannya, lalu mengangguk.
"Iya, aku mau" ucapnya. Rio kegirangan, hampir saja ia melompat. Lalu ia mengambil cincin dan memakaikannya di jari Shilla. Lalu ia mengecup tangan Shilla. Shilla hanya tertawa kecil.
"Mau kuantar?" tawar Rio. Shilla tersenyum lalu duduk di pangkuan Rio, menyamping (kayak tanda plus... + yang horizontal Rio yang vertikal Shilla), tangannya dikalungkan ke leher Rio. Rio pun tersenyum dan menggerakkan kursi rodanya keluar kamar, mengantar Shilla ke lobby. Mereka pun mengabarkan kabar gembira ini, dan mendapat kabar bahwa Alvin dan Zahra serta Oik dan Obiet juga akan menikah. Mereka pun menikah pada tanggal, waktu dan tempat yang sama, alias tiga sekaligus.
***
Sebulan setelah mereka menikah
Rio, Shilla, Alvin, Zahra, Oik dan Obiet janjian mau ketemuan, mau foto-foto bareng. Sekalian, nyalurin bakat narsis mereka. Gak ada yang narsis sih. Paling cuma Obiet. Gak penting banget deh. Mereka pun sampai di lokasi, lalu segera menyiapkan alat-alat foto dan lain-lain. Setelah siap, mereka makan dulu, habis itu foto. Setelah itu mereka tinggal menunggu hasil foto deh. Trus pulang ke rumah masing-masing. Dua hari kemudian, mereka cetak foto. Setelah selesai, yang cewek ribut pada mau liat hasil. Biasalah, cewek kan gak mau kelau gak keliatan cantik. Shilla pun membuka amplop foto tersebut, lalu mengeluarkan selembar foto. Ada 6 lembar foto di situ, dan itu semua sama. Satu orang satu. Shilla memerhatikan foto itu sambil senyam-senyum sendiri melihat ia dan Rio. Lalu pandangannya beralih ke semua peserta foto lainnya. Kemudian, matanya menangkap satu pemandangan aneh. Ia berkali-kali menggosok matanya, tetapi tetap saja, gambar itu masih sama. Wajahnya pun pucat, ia menggenggam erat foto tersebut. Ia menatap Rio.
"Kenapa Shill?" tanya Rio, mendorong kursi rodanya untuk menghampiri Shilla. Shilla menunjukkan foto itu dengan tangan bergetar.
"Kenapa Shill? Bagus kok hasilnya" ucap Rio, memandangi foto Rio dan Shilla. Shilla menggeleng, lalu menunjuk ke sebuah tempat yang membuatnya pucat.
"Eh?" tanya Rio saat melihatnya.
"Kenapa sih?" tanya yang lain penasaran. Shilla menunjukkan foto itu, menunjuk pojok yang menyeramkan itu. Seketika wajah yang lain pucat melihatnya.
"Ada apa sih?" tanya petugas cetak foto yang ikut-ikutan. Shilla menunjukkan foto itu. Menurut petugas tersebut, tidak ada yang aneh sama sekali. Menurut penglihatannya, di sebelah kanan ada Rio dan Shilla, Shilla sedang memeluk Rio dari belakang. Di sebelah kiri ada Alvin dan Zahra, Alvin sedang bersandar ke sebuah pohon yang agak besar, memeluk Zahra dan menyandarkan kepala Zahra di dadanya. Di tengah, tepatnya sebuah pohon yang besar, terlihat sebuah ayunan yang tergantung di dahan. Oik duduk di sana, Obiet berdiri di belakangnya. Dan... di tengah-tengah, terlihat Sivia dan Gabriel, sepertinya dalam posisi berdansa. Mereka berdiri dekat sekali, Gabriel memegang pinggang Sivia dan mengecup kening Sivia. Sivia hanya tersipu malu dan menunduk. Di sekeliling mereka bercahaya, dan seperti ada angin yang menerbangkan daun yang berguguran di sekeliling mereka.
"Kenapa? Ini kan bagus banget" ucap petugas itu. Alvin menggeleng kuat-kuat.
"Mereka.... mereka berdua, yang ditengah ini, udah meninggal dunia" ucap Alvin, menunjuk Sivia dan Gabriel. Petugas tersebut membelalak.
"Kapan?" tanya petugas tersebut.
"Udah lama, kira-kira 2 bulan yang lalu" jawab Alvin.
"Ambil foto ini kapan?" tanya petugas cetak foto itu lagi.
"Kemarin lusa" jawab Rio. Petugas itu diam.
"Ya udah, kita pamit dulu deh" ujar Oik. Yang lainnya mengangguk. Mereka pun membayar harga cetak foto dan pergi dari toko tersebut.
"Eh, kita kasih fotonya ke Iel sama Via yuk" ajak Oik.
"Yuk" tanggap yang lain. Mereka pun pergi ke makam Sivia dan Gabriel. Sesampainya di sana mereka langsung menuju makam sahabat mereka itu.
"Via! Iel! Udah tau, kan? Kita udah nikah semua?" tanya Obiet bersemangat.
"Udah!! Kita berkali-kali ngulang, sampai ngasih undangan pernikahan kita segala!" teriak Zahra yang bosan.
"Nyantai bu..." ucap Rio.
"Oya, kita mau ngasih ini" ucap Oik, memberikan foto itu, lalu memasukkannya di pot bunga makam Gabriel dan Sivia.
"Nah. Ada lagi?" tanya Obiet.
"Iya" jawab Rio. Semua menatapnya.
"Apaan?" tanya Oik.
"Gue lupa bilang, gue benciiii... sama elo, Shill!" ucap Rio.
"Kok?" tanya Shilla.
"Gue bener-bener cinta sama elo, Shill" jelas Rio sambil tertawa.
"Nah, kalau begitu aku juga benci sama kamu Zah" ucap Alvin ikut-ikutan.
"Copycat lo semua, kan paling pertama gue. Aku benci sama kamu Ik" ucap Obiet.
"Ucapinnya yang bener, dong! Gak enak kalau dibilang gue benci sama lo" ujar Shilla. Rio, Alvin dan Obiet nyengir.
"Aku bener-bener cinta sama kamu!" teriak mereka keras-keras, saat itu juga ada angin lembut yang lewat, dan meneriakkan hal yang sama. Suara Gabriel. Yang cewek tertawa.
"Nah, ada lagi?" tanya Rio. Yang lain menggeleng. Mereka pun pulang, dengan hati yang bahagia dan tenang. Mereka penasaran, seperti apa mereka yang akan datang, dan seperti apa anak-anak mereka nanti...
THE END
Sabtu, 11 Juni 2011
Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 37 dan END
Label:
cerbung,
Gue Benciiii... Sama Lo
Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 35 & 36
PREVIOUS PART
---
(Part 35)
Mereka masuk sekolah sambil gandengan tangan, tak memperdulikan 100 pasang mata yang memerhatikan mereka. Setelah menaruh tas di kelas mereka langsung mojok berdua. Teman-teman seangkatan Keke menghampiri mereka.
"Eh kak Deva, Ke, kalian berdua jadian ya?" tanya salah seorang teman mereka.
"Iya" jawab Deva singkat, matanya masih memandangi Keke. Tangannya menggenggam tangan Keke erat, tak mau dilepaskan.
"Gila ya, emang benci sama cinta tuh deket banget. Kan biasanya pada berantem, bisa-bisanya jadian sekarang" komentar ketua kelas 8D.
"Ya serah lah, yang jelas dapet cewek paling sempurna" tanggap Deva cuek.
"Wess mesranya... pajaknya pas istirahat ya" ujar teman yang lain.
"Serah deh. Deva ini yang bayar" sahut Keke. Deva hanya diam memandangi Keke.
"Kamu kenapa sih Dev? Kok ngeliatin aku mulu, emang ada yang aneh ya?" tanya Keke, melihat dirinya, berusaha menemukan apa yang aneh.
"Iya Ke, ada yang aneh sama kamu" jawab Deva.
"Hah? Apa Dev? Kok gak bilang dari tadi?" tanya Keke, makin heboh mencari apa yang ingin ditemukannya.
"Aku penasaran Ke, kok kamu tuh cantik banget ya? Muka kamu lebih cantik dari pada semua cewek yang pernah aku liat, aura kamu itu lebih terang dari pada bintang yang paling terang, aku bersyukur bisa milikin kamu dalam hidupku" jawab Deva ngegombal.
"Beuh, ngegombal ni anak. Ayo tinggalin mereka, gak baik gangguin pasangan kasmaran!" perintah ketua kelas 8C. Yang lainnya menurut karena keputusan anak tersebut selalu benar. Itulah kenapa dia bisa memecahkan rekor 8 kali berturut-turut jadi ketua kelas. Mereka langsung ke kelas masing-masing.
"Akhirnya kita bisa berduaan Ke" ujar Deva. Keke tersenyum manis, senyum yang membuat Deva jatuh cinta padanya.
"Oya Dev, kemarin aku nyobain cokelat kamu, enak banget. Kamu jago masak ya?" tanya Keke.
"Iya. Aku buat cokelat itu sambil mikirin kamu, senyum kamu, wajah cantik kamu, terus ngebandingin sama bulan dan bintang. Aku jadi penasaran, bintang sama bulan purnama itu indah. Semua orang bilang begitu. Tapi kenapa kamu lebih indah dari itu semua?" tanya Deva, memandang ke arah langit. Keke menunduk malu, menyembunyikan kesaltingannya dan mukanya yang memerah. Kriinngg!!! Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa seluruh siswa harus masuk ke kelas masing-masing.
"Yah, itu bel ganggu aja. Ya udah, aku ke kelasku dulu ya" pamit Deva. Keke mengangguk, wajahnya yang merah itu sudah menghilang.
"Belajar yang serius ya Dev. Inget, UN tinggal beberapa bulan lagi" ujar Keke.
"Iya Kekeku... kamu juga ya, walaupun kamu kelas 8. Siap-siap menerima serangan kelas 9 seperti aku sekarang" sahut Deva, mengecup pipi Keke. Pipi Keke memerah malu. Ia memeluk Deva, lalu mereka segera menuju kelas masing-masing, tak sabar menunggu saat istirahat.
***
Di kampus
"Halo semua" sapa Shilla dengan senyum manisnya. Yang di deket dia nengok semua.
"Shilla? Lo kenapa gak masuk? Gila gue kangen berat sama lo!" teriak Zahra, memeluk sahabatnya itu.
"Iya iya sori, gue lagi shock aja. Nih tanda maaf gue" ujar Shilla, mengeluarkan beberapa tempat makan bawaannya.
"Ini buat lo, ini buat lo, yang ini buat lo, kalo yang ini buat lo, yang terakhir buat lo. Pas deh" ujar Shilla, membagikan barang bawaannya itu, satu anak satu.
"Apa nih? Oh paella... enak nih Shill. Makasih" ujar Obiet.
"Iya sama-sama. Oya Yo, si Keke pelit abis! Masa gue minta cokelatnya dikit gak dikasih, alesannya itu buatan Deva" gerutu Shilla. Rio tertawa.
"Deva? Siapa tuh?" tanya Oik.
"Pacarnya adek gue, baru jadian kemaren di rumah gue. Gila, gue ditinggal adek gue sendiri" jawab Shilla.
"Iya tuh, bikin cemburu aja. Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah tau gimana caranya pacaran. Padahal baru umur 14 sama 13" timpal Rio.
"Hah? 14? Siapa yang umurnya segitu? Setau gue si Keke tuh umurnya 11, kalo Deva umurnya 13" jelas Shilla.
"Hah? Adek lo kelas 8 kan?" tanya Alvin.
"Iya, tapi jangan salah sangka tu anak tuh pinter banget. Nemnya aja 30. Nilai sempurna" jawab Shilla.
"Beda dong sama lo Shill" celetuk Rio. Shilla menatapnya tajam.
"Maksud lo apa?" tanya Shilla sambil membentak.
"Maksud gue, kan dia pinter, lo bego" jawab Rio santai.
"Heh kalo ngomong tuh ngaca dulu dong, siapa sih yang dapet nilai 50 tes kemaren?" tanya Shilla menyindir Rio.
"Itu kan gara-gara gue gak masuk 3 hari! Mana gue tau pelajarannya? Kan kimia gak kayak medis, gak diulang-ulang!" teriak Rio, tidak terima disindir Shilla. Shilla membuka mulut hendak membantah Rio.
"Udah yuk masuk, entar dimarahin dosen lagi" lerai Oik. Semua pun menurut.
***
Sesampainya di kelas, Shilla langsung disambut teman-temannya. Gara-gara terlalu ribut, mereka tak menyadari bahwa dosen galak sudah datang untuk mengajar kelas Shilla. Dosen tersebut menunggu. Sepuluh menit kemudian...
"Kalian ini mau belajar tidak, sih? Cepat duduk di tempat masing-masing!" teriak dosen galak, kesabarannya habis. Secepat kilat semua langsung menurut.
"Baiklah, karena kalian semua tidak menghormati, kalian harus membuat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal memiliki 50 lembar. Semua itu harus dikumpulkan besok" ujar dosen lantang. Gila, galak amet ni dosen! Sumpah ya, baru masuk langsung dapet hadiah kayak gini, gak bakalan gue lupain! batin Shilla.
***
Jam istirahat sekolah Keke dan Deva
"Ke, mana pajaknya?" tagih salah seorang teman Keke.
"Kok nagih gituan ke gue? Ke Deva aja, orang dia yang bayarin ini" ujar Keke santai.
"Ya kan kak Deva kakak kelas kita, masa iya sih kita samperin gitu aja trus nagih. Siapa kita?" tanya seorang temen yang lain.
"Bilang aja pesan dari gue" Keke memberi saran.
"Tuh kak Deva!" teriak salah seorang sahabat Keke sambil menunjuk Deva yang sedang lewat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Keke langsung melihat ke arah yang ditunjuk Irva, sahabatnya tadi. Deva menengok ke arah suara. Ia pun tersenyum, sukses membuat jantung Keke berdebar tak karuan. Deva menghampiri rombongan Keke, lalu menerobos kerumunan sampai bertemu dengan Keke. Ia pun langsung merangkul Keke.
"Halo Ke, akhirnya kita ketemu juga. Aku sampai gak konsen ke pelajaran loh gara-gara mikirin kamu" sapanya sambil mengecup pipi Keke. Keke pun memeluknya.
"Jangan gitu dong, entar kamu gak lulus UN loh" ujarnya. Deva tertawa.
"Oya Dev, pajaknya kapan? Temen-temenku udah pada nagih nih" tanya Keke.
"Sekarang. Tapi yang keciprat cuma sahabat kamu doang. Kalau semua temen kamu bisa bangkrut akunya" ungkap Deva, balas memeluk Keke.
"Oh. Irva, lo ikut ya" ujar Keke.
"Iya, yes ditraktir!" sorak Irva senang.
"Yah... kita gak ditraktir deh" keluh teman-teman Keke yang lain.
"Woi Dev! Sini lo! Jemput cewek lo lama amet!" teriak salah satu dari 3 sahabat Deva.
"Berisik lo! Ini juga mau ke sana!" Deva balas berteriak.
"Yuk Ke, sama lo... namanya siapa?" tanya Deva.
"Irva" jawab Irva.
"Iya, elo. Yuk ah, ntar sobat gue ngamuk" ujar Deva, menggandeng tangan Keke dan menuju ke tempat sahabat-sahabatnya berada. Irva ngekor.
"Oh, jadi ini si Keke. Orang yang lo bilang cantik banget, senyumannya tuh senyuman yang paling manis sedunia," komentar salah satu sahabat Deva.
"Matanya lebih bagus dari batu topaz, rambutnya bagus banget kayak orang di iklan shampoo," sambung sahabat Deva yang satunya lagi.
"Orangnya item manis dan pinter banget, jago olahraga, jago akting dan nyanyi... Hmmff, hmmmff!" sambung sahabat Deva yang terakhir, yang bakal ngebocorin rahasia Deva lebih banyak kalau saja mulutnya gak disumpel sama Deva pake tisu satu bungkus. Keke terkikik, Deva tertunduk malu. Deva pun memandang sahabat-sahabatnya itu dengan tatapan Ngapain-Lo-Bocorin-Jelek-Banget-Sih-Lo. Ketiga sahabatnya ngakak, sahabat Deva yang mulutnya disumpel lupa kalau mulutnya lagi disumpel, akibatnya ditelanlah beberapa lembar tisu secara tak sengaja olehnya.
"Uhuk! Uhuk!" ujarnya, menyemburkan tisu-tisu yang ada di mulutnya. Kini Deva yang ngakak.
"Puuuhhh! Kurang asem lo Dev! Keselek gue!" teriak sahabat Deva yang mulutnya disumpel tadi. Deva masih aja ngakak. Tiba-tiba Keke pun memeluknya lalu mengecup pipinya. Pipi Deva memerah, ia kaget.
"Makasih ya pujiannya" ujar Keke sambil tersenyum manis. Deva serasa terbang ke langit. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kantin, Irva ngekor. Mereka meninggalkan ketiga sahabat Deva yang sibuk mengurusi korban 'insiden keselek tisu'. Setelah selesai ketiga sahabat Deva langsung menyusul.
***
Di kantin
Mereka semua duduk dalam satu meja. Keke duduk di sebelah kanan Deva, Irva duduk di sebelah kanan Keke, dan ketiga sahabat Deva duduk di depan mereka. Deva memeluk Keke, menyandarkan kepala Keke di dadanya. Yang duduk semeja sama mereka berdua langsung pasang tampang mual.
"Pesen apa?" tanya Deva. Mereka pun menyebutkan pesanan masing-masing. Setelah pesanan mereka datang, mereka pun makan.
"Amm..." ujar Deva ketika disuapi oleh Keke.
"Ih, kak Deva manja deh. Masa udah gede masih aja disuapin sama ceweknya? Ckckck.." komentar Irva, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Biarin, yang jelas enak disuapin sama cewek. Apalagi yang nyuapin Keke" tanggap Deva cuek, di kalimat terakhir ia memandangi Keke dengan senyum nakal, bukan senyum manis seperti biasanya. Keke tertunduk malu. Deva merangkulnya. Mereka berenam pun melanjutkan makan.
***
Sepulang sekolah, Keke diantar Deva ke rumahnya. Sesampainya di rumah Keke, Keke langsung turun dari mobil Deva dan tersenyum manis.
"Makasih Dev, mau mampir bentar?" tanya Keke. Deva meleleh melihat senyum Keke. Ia pun mengangguk.
"Yuk Dev" ajak Keke, mengisyaratkan Deva untuk mengikutinya. Deva turun dari mobilnya dan mengikuti Keke masuk ke rumahnya. Seperti biasa, Deva duduk di sofa ruang tamu. Keke ke dapur, membuat minuman untuk Deva. Setelah selesai ia membawakan minuman buatannya itu ke ruang tamu tempat Deva berada. Ia pun menaruh dua gelas bawaannya yang berisi sirup jeruk di meja, lalu duduk di samping Deva. Deva merangkulnya.
"Kak Shilla mana Ke? Katanya pulang cepet" tanya Deva.
"Kok nyariin kak Shilla?" tanya Keke.
"Kan aku mau makan, dan uangku diabisin sahabat aku gara-gara insiden keselek tisu itu, gitu doang kok ampe mesen berapa piring makanan sih?" gerutu Deva kesal.
"Sabar Dev, bentar ya aku panggilin kak Shilla dulu" pamit Keke, lalu ia berjalan ke arah kamar kakaknya. Sesampainya di sana, ia mencari-cari kakaknya yang tidak ada di sana.
"Kak? Kak Shilla Keke pulang! Ada Deva loh" teriak Keke di dalam kamar kakaknya sambil mencari-cari Shilla.
"Kak? Kakak di mana? Katanya mau pulang cepet buat masakin Keke?" tanya Keke sambil teriak-teriak.
"Kak? Keluar dong!" teriak Keke memaksa.
"Kak!" teriak Keke, lalu terhenti ketika melihat secarik kertas yang dilipat, di atasnya tertulis 'Untuk Keke'. Keke memasang tampang bingung, lalu mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan membaca tulisan di dalamnya. Keke membelalak tak percaya, lalu mematung. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar dan membuat Deva khawatir. Tapi tetap saja, air matanya pun jatuh. Keke jatuh terduduk, ia menempelkan wajahnya di tangannya. Deva yang mendengar suara tangisan Keke spontan berlari ke arah kamar Shilla. Ditemukannya Keke yang sedang menangis di dalam kamar Shilla. Ia pun menghampiri Keke dan memeluknya.
"Ke? Ke kamu kenapa?" tanya Deva khawatir, membelai rambut pacarnya. Keke terisak, memeluk Deva dan menangis di pelukannya.
"Ke, kasih tau aku dong kamu kenapa" ujar Deva.
"Kkk... kak Shilla..." ucap Keke, menurut pada Deva.
"Kak Shilla? Kak Shilla kenapa Ke?" tanya Deva lembut. Tangisan Keke semakin menjadi-jadi, lalu ia menyerahkan surat dari Shilla.
"Eh?" tanya Deva, menerima surat itu. Deva membacanya secepat kilat.
"Eh Ke? Kamu serius? Gak bercanda kan?" tanya Deva. Keke mengangguk, lalu menangis lagi. Deva mematung, dan terjadi keheningan di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara tangisan Keke.
"Halo? Kok sepi?" tanya sebuah suara di ruang tamu. Keke dan Deva tersentak kaget.
"Woi siapa di sana?" tanya Deva sambil membentak. Pemilik suara tersebut menghampiri kamar Shilla. Ia membuka pintu.
"Lah, kenapa ini? Kok Keke nangis?" tanyanya bingung.
"Kak Rio? Kok bisa masuk?" tanya Deva.
"Abis gak ada siapa-siapa, ya udah gue masuk aja. Mau nganterin makalahnya Shilla, ketinggalan di kampus" ujar Rio. Keke menangis semakin keras.
"Keke kenapa Dev?" tanya Rio panik.
"Kak Shilla..." jawab Deva memulai.
"Shilla? Shilla kenapa?" tanya Rio semakin panik.
"Kak Shilla pergi, kabur gak tau ke mana" jawab Deva.
"Hah? gak mungkin, tau dari mana lo?" tanya Rio membentak.
"Santai kak, nih buktinya" ujar Deva, memberikan surat dari Shilla. Rio membacanya.
"Gak mungkin, gak mungkin" gumamnya berkali-kali.
"Mungkin kak, ini udah terjadi. Deva yakin, kak Shilla gak mungkin nyiptain lelucon kayak gini, pasti ini serius kak" ujar Deva. Rio menatapnya, sorot matanya meminta belas kasihan. Deva mengangkat bahu, ia lalu kembali menenangkan Keke. Surat tersebut tertiup angin, terbang keluar jendela.
Keke,
Maafin kakak Ke, kakak harus ngelakuin ini. Kakak mau pergi, gak tau ke mana. Yang jelas pergi jauh dari sini. Oke, kakak punya tujuan. Tapi kamu gak boleh tau, ini rahasia kakak.
Paman Jo memberi surat kepada kakak, isinya bakal ngincar kakak. Kakak gak mau kamu jadi korban seperti ayah dan Iyel, kakak gak mau kamu ninggalin kakak seperti mereka.
Maafin kakak, tapi kakak gak sanggup lagi melihat orang-orang yang kakak sayang pergi ke dunia lain karena kakak.
Maafin kakak sekali lagi. Kakak yakin, Deva dan sahabat-sahabat kakak bisa jagain kamu.
NB : jangan cari kakak. Kakak gak bakal balik ke rumah kecuali kalau sudah aman.
-Shilla-
+++
(Part 36)
Shilla berjalan menuju tempat tujuannya sambil menyeret koper di belakangnya. Ia celingak-celinguk, mencari bangunan yang akan ia tinggali. Akhirnya ia menemukannya, apartemen beralamat Jl. Munako blok FB 13 nomor 60. Apartemen yang sudah disewanya jauh-jauh hari, in case ada kejadian kayak gini.
Setelah sampai ia pun menaruh tasnya dan meringkuk di pojokan, memikirkan apa yang telah ia tinggalkan. Alvin, Zahra, Keke, dan... Rio.
Rio. entah kenapa, nama itu mampu membuat jantungnya seolah tertusuk oleh belati perak. Mengapa ia tidak menyadari hal ini sebelumnya? ia menyayangi Rio. Dan bukan hanya sekedar rasa sayang sahabat, melainkan rasa sayang dari seorang cewek ke cowok. Yah, namun apalah artinya penyadaran itu kalau ia tidak akan menemuinya lagi? Pedih memang.
Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Ia merogoh kantungnya dan membaca layarnya.
Rio is Calling...
Senyum kecil tersungging di bibirnya. Panjang umur banget ni anak, baru aja dipikirin langsung menelepon saja, pikirnya. Masih tersenyum, ia menaruh benda itu di sampingnya, lalu membiarkannya berbunyi. Sedang ia hanya membenamkan mukanya ke lutut, menangis.
3 hari berlalu dengan sangat cepat tanpa ada yang berubah. Shilla masih saja membenamkan kepala dalam lututnya, dan telepon genggamnya berkali-kali berbunyi tanpa ia angkat.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Shilla mengangkat wajahnya, lalu memerhatikan pintu. Tidak ada apa-apa. Terdengar suara ketukan lagi. Shilla pun berdiri lalu menyisir rambutnya dengan tangan sembari berjalan ke arah pintu. Ia membukanya, dan wajah Rio langsung muncul. Mata Shilla membelalak. Ia memerhatikan pemuda yang berdiri di depannya dari atas sampai bawah. Rio berantakan. Bajunya masih sama dengan yang dipakainya di kampus tempo hari, hanya saja jauh lebih kotor. Rambutnya acak-acakan. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung celana jeansnya, dan ekspresinya marah. Itu jelas.
"Boleh masuk?" tanyanya dengan nada amarah tertahan. Spontan Shilla mengangguk dan mempersilahkan ia masuk. Rio pun berjalan masuk. Shilla menutup pintu.
"Apa maksud lo?" tanya Rio marah. Shilla terkejut bercampur bingung.
"Maksud?" tanya Shilla dengan suara serak.
"Apa maksud lo ninggalin kehidupan lo gitu aja?! Ninggalin kuliah lo, gue, Alvin Zahra, Oik Obiet, Deva, KEKE! Keke Shill, lo tau gimana hancurnya dia?? Dia tuh masih kecil Shill, masih 11 tahun! Lo kira dia bisa nyari uang buat hidup? Lo kira dia bisa masak?? Gue tau lo takut sama Paman Jo, tapi at least lo mikirin hal-hal dasar kayak gitu dong! Lo seharusnya diskusi dulu sama temen-temen lo, jangan ngambil keputusan tiba-tiba kayak gini..." bentak Rio. Shilla tersentak kaget.
"Gu, gue gak mikir sejauh itu..." sahut Shilla dengan suara kecil. Rio , lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan stress.
"Halaaahhh!!" teriaknya. Shilla menunduk.
"Terus kenapa lo gak ngangkat telepon dari kita semua? Kita semua tuhnelpon lo berkali-kali, SMS berkali-kali, lonya gak jawab-jawab. Kenapa?" tanyanya. Shilla mengangkat bahu.
"I guess i want to stay hidden" ucapnya serak. Rio menoleh ke arahnya.
"Gue tau lo lagi hancur. Tapi tolong, jangan pernah kabur kayak gini lagi. Kita semua takut elo kenapa-napa. Kalau lo cemas atau apa, lo bisa kok diskusi ama kita semua. Kita bakal selalu ada buat lo" ucapnya sembari memeluk Shilla. Shilla balas memeluknya, lalu menangis. Rio hanya diam.
"Nah. Pulang yuk?" ajaknya setelah Shilla agak tenang. Shilla pun mengangguk, lalu mengambil tas-tasnya.
"Omong-omong kenapa lo bisa nemuin gue?" tanya Shilla. Rio tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita yang sangat dicintainya itu.
"Anggep aja gue jago nyari orang" jawabnya. Shilla tersenyum kecil.
"Kalau udah lulus kuliah jadi detektif aja" usul Shilla. Rio tertawa.
"Iya deh, gue pertimbangin" ucap Rio. Shilla hanya tersenyum kepadanya.
***
Rumah Shilla
Rio membunyikan bel rumah Shilla. Tak ada jawaban dan tindakan dari dalam rumah. Rio membunyikan bel lagi. Ia semakin jengkel gara-gara gak ada jawaban atau tindakan lagi. Ia pun membunyikan bel lagi. Dan lagi, dan lagi, dan lagi...
"Udahlah Yo, masuk aja. Rumah gue juga" ujar Shilla tak sabaran. Rio membuka pintu pagar.
"Sialan, dikunci" keluh Rio. Shilla mendorong Rio menjauhi pagarnya, lalu ia mengambil kunci rumahnya dan membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya. Rio memutar-mutar bola matanya secara dramatis lalu mengikuti Shilla.
***
Di dalam rumah Shilla
"Yo, si Keke mana?" tanya Shilla bingung, padahal tadi Rio bilang kalau Deva mampir. Harusnya ada di ruang tamu, soalnya gak mungkin kalau di kamar Keke. Keke kan kukuh pada pendiriannya, cowok gak boleh masuk kamarnya.
"Sini, ikut gue" ujar Rio, menuju kamar Shilla.
"Kok kamar gue?" tanya Shilla. Rio tak menjawab, ia membuka pintu kamar. Shilla membelalak kaget melihat Deva memeluk Keke. Keke tidak menangis lagi, air matanya sudah kering.
"Woi ngapain mesra-mesraan di kamar kakak?" tanya Shilla sambil berteriak.
"Kak Shilla? Kak Shilla!" teriak Keke girang, melepaskan pelukan Deva lalu berlari memeluk kakaknya.
"Makasih kak Rio" ujarnya.
"Sama-sama" sahut Rio. Shilla megap-megap gak bisa nafas.
"Kkk... Ke.. kakak gak bisa nafas" ucap Shilla.
"Sori kak" ujar Keke, melepaskan pelukannya. Lalu ia menatap tajam kakaknya.
"Kakak, kakak tuh konyol banget, sih! Kakak mikir dong, kalau kakak pergi Keke tinggal sama siapa? Masa Keke tinggal sendiri? Papa kan udah gak ada!" bentak Keke.
"Sori Ke, kakak gak mikir sampe ke situ" ujar Shilla. Keke ngambek. Deva merangkulnya. Wajah Keke menjadi biasa lagi.
"Ya udah kak, Keke sama Deva laper. Masakin sesuatu gih" perintah Keke.
"Iya deh... mau dimasakkin apa?" tanya Shilla.
"Mmm..." ucap Keke, memasang pose berfikir.
"Spaghetti neopolitan" jawab Deva, memegang bahu Keke. Keke tersenyum melihat Deva. Deva tersenyum balik.
"Hoek..." ujar Shilla dan Rio bersamaan, memasang pose muntah. Keke dan Deva tertawa.
"Ya udah sana kak, hus hus sana ke dapur!" usir Keke.
"Gimana sih, gue yang punya kamar gue yang diusir" gerutu Shilla sambil pergi.
"Yah Shill, ntar gue muntah nih ngeliat pasangan satu ini!" teriak Rio manja. Keke dan Deva menatapnya tajam.
"Ya udah kalo gak mau muntah sana temenin kak Shilla! Sekalian cari kesempatan. Sana pergi hus-hus!" usir Keke. "Iya deh..." ujar Rio pasrah, membuka pintu kamar Shilla dan menyusul Shilla ke dapur. Keke sama Deva gombal-gombalan di kamar Shilla.
***
Dapur
Shilla sedang menyiapkan bahan-bahan ketika Rio masuk.
"Ngapain di sini?" tanya Shilla.
"Lo tega bener ninggalin gue sama pasangan satu itu, yang ada gue muntah kali" ujar Rio. Shilla tertawa, membuat jantung Rio berdetak tak karuan.
"Sori deh Yo... mau bantuin gue?" tanya Shilla. Rio mengangguk.
"Dari pada gue gak ada kerjaan?" ujarnya.
"Nih, lo potong jadi dua, terus lo iris" perintah Shilla, menyiapkan talenan dan pisau di depan Rio, lalu menaruh bawang bombay di atas talenan.
"Kalo udah selesai, lo potong ini jadi dua, bersiin dalemnya, trus lo iris" perintah Shilla, meletakkan paprika di samping bawang bombay. Rio mengangguk, lalu berusaha mengikuti Shilla. Sedang Shilla memanaskan air untuk merebus spaghetti, setelah mendidih barulah ia memasukkan spaghetti. Ia pun menghampiri Rio untuk mengawasi pekerjaan Rio.
"Bisa Yo?" tanya Shilla. Rio kaget.
"Eh, bisa kok" ujarnya, jantungnya berdegup kencang.
"Mmm, lumayan buat amatir" komentar Shilla, melihat hasil potongan Rio. Rio hanya mengangguk, hatinya senang sekali dipuji Shilla. Walaupun itu hanya sebuah pujian kecil. Rio semakin bersemangat memotong paprika, sehingga ia pun tidak hati-hati.
"Au!" ujarnya, meletakkan pisau dan memegang tangannya.
"Kenapa Yo?" tanya Shilla, menengok ke arah Rio.
"Eh, gak apa-apa kok" ujarnya, menyembunyikan sebelah tangannya.
"Lo kenapa?" tanya Shilla lagi.
"Gak apa-apa" jawab Rio. Shilla memerhatikan Rio dari atas sampai bawah. Ia menganggukan dagunya ke arah tangan Rio yang disembunyikan.
"Tangan lo kenapa?" tanya Shilla.
"Eh, gak kenapa-napa kok, udah lanjutin aja masaknya" ujar Rio. Shilla menghampiri Rio, lalu menarik tangan Rio yang disembunyikan Rio di balik punggungnya. Rio pasrah.
"Tangan lo kok luka Yo?" tanya Shilla, menatap mata Rio.
"Kepotong tadi" jawab Rio, mengalihkan pandangan.
"Beuh, hati-hati dong makanya" ujar Shilla lalu pergi. Tak lama kemudian Shilla masuk lagi ke dapur membawa kotak P3K.
"Sini gue obatin" perintah Shilla, memberikan isyarat agar Rio menjulurkan tangannya. Rio pasrah, ia pun menuruti Shilla. Shilla memegang tangan Rio dan mengobati lukanya.
"Yo" panggil Shilla.
"Hmm?" sahut Rio.
"Tau gak, gue dulu juga sering luka kayak gini" ungkap Shilla.
"Eh?" tanya Rio.
"Iya. Nyokap gue yang ngajarin gue masak, dan pas gue pertama kali dapet tugas kayak gini gue luka" jawab Shilla, memejamkan mata untuk mengenang masa lalunya.
"Tapi gue gak bakal nyerah, dan alhasil gue bisa masak seperti sekarang. Beda sama Keke, pas dia luka dia langsung ngeluh dan gak mau nerusin" sambung Shilla. Rio menatapnya.
"Dan gue bersyukur gue gak nyerah, soalnya gue jadi bisa masakin Keke, Deva, sahabat-sahabat kita, dan lo" ujar Shilla membuka mata dan menatap Rio. Rio diam saja, tak tau harus merasa apa atau bilang apa.
"Udah selese nih. Kita tukeran kerja ya, gue motong paprika sama bawang, lo ngurus spaghetti. Inget ya, bungkusannya bilang 5 menit, tapi harus dikurangin 1 menit jadi 4 menit. Tinggal semenit lagi, udah 3 menit ngerebusnya" jelas Shilla. Rio mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia pun segera melakukan pekerjaannya. Shilla juga, dengan cepat ia melakukan tugasnya. 30 detik kemudian ia selesai.
"Gimana Yo?" tanya Shilla.
"Setengah menit lagi" jawab Rio, melihat ke arah jam tangannya lalu melihat Shilla.
"Udah selesai?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Cepet amet" komentar Rio.
"Iya dong, kan gue udah biasa" ujar Shilla. Rio tersenyum. Lalu ia melirik jamnya, dan ia segera mengangkat spaghetti rebusannya.
"Taro di mana?" tanya Rio.
"Di sini" jawab Shilla, mengangkat sebuah mangkuk. Setelah itu, mereka mulai memasak lagi, sampai akhirnya selesai.
"Akhirnya jadi juga... yuk Yo, bantuin gue nganterin ini ke Deva sama Keke" ajak Shilla, mengangkat 2 piring. Rio mengangguk lalu mengangkat 2 piring lainnya, lalu pergi mengikuti Shilla ke kamarnya. Sesampainya di sana, mereka menemukan Keke sama Deva yang lagi gombal-gombalan.
"Cinta itu seperti matahari, saat awal sangat indah seperti matahari saat fajar. Di saat tengah kita menikmati, matahari itu tepat berada di atas kita, menyinari kita dengan cahayanya. Ketika mulai menghilang, matahari itu terbenam dan memancarkan cahayanya yang sangat indah, dan hari pun berubah menjadi malam yang sangat gelap. Tetapi, aku harap matahari kita tidak akan terbenam, melainkan terus berada di puncak, menyinari kita dengan cahayanya, dan kau akan menjadi milikku selamanya" ujar Deva panjang lebar. Keke tersenyum.
"Aku harap juga begitu, karena cintaku hanya kepadamu dan tak akan kulepaskan ikatan kita kecuali terpaksa" tanggap Keke. Deva tersenyum.
"Kalau begitu, pakailah ini sebagai tanda ikatan kita berdua" ujar Deva, mengulurkan liontin dengan tali perak dan bandul hati merah. Keke memasang tampang terkejut bercampur senang. Keke pun mengambil liontin tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya, ada foto Keke dan Deva yang diambil pas jalan-jalan di Chillate Cafe kemarin. Juga tulisan 'K+D = <3 selamanya'. Keke membelalak senang.
"Makasih Dev, aku seneng banget. Setelah dapet beruang lucu yang nyimpen suara kamu, bunga-bunga indah, sama cokelat asli buatan kamu, aku juga dapet liontin ini. Makasih ya, aku seneng banget" ucap Keke, memeluk Deva dan menggenggam liontinnya erat-erat.
"Woi, berdua ngegombal aja. Eh, tapi gombalan lo bagus banget Dev, dapet dari mana?" tanya Rio yang penasaran.
"Dari hati, lah... kan Deva gak ngegombal doang, tapi ngungkapin pikiran Deva tadi malem" jawab Deva.
"Ye elah lo Yo, mau ngebentak apa nanya? Nih spaghettinya, makannya harus di luar, gak boleh di kamar kakak" perintah Shilla. Keke dan Deva pun menurut, mereka membawa piringnya keluar, ke ruang tamu.
"Kita makan di teras yuk" ajak Rio. Shilla mengangguk
***
Di teras
"Ternyata udah malem ya" gumam Shilla. Rio mengangguk, lalu duduk di kursi teras dan memakan spaghettinya. Enak, batin Rio. Rasa khas Shilla, sambungnya, masih di dalam hati. Shilla duduk di sebelahnya, lalu memakan spaghetti bagiannya. Mereka makan dalam diam. Tak lama kemudian mereka pun selesai makan. Shilla bergetar, memeluk tubuhnya.
"Dingin ya Yo" ujarnya.
"Eh? Gak kerasa tuh" ujar Rio.
"Ya... lo kan pake jaket, gue enggak" ucap Shilla sambil manatap tajam ke arah Rio. Rio melepas jaketnya, lalu memakaikan jaketnya pada Shilla. Shilla tersentak kaget.
"Eh? Lo gak kedinginan Yo?" tanya Shilla.
"Enggak lah. Gue kan kebal kayak ginian. Lagian lo kan lebih butuh dari pada gue" jawab Rio lalu tersenyum. Shilla membalas senyumannya.
"Trus kenapa lo pake jaket tadi?" tanya Shilla.
"Au deh, lagi mood aja" jawab Rio sambil memandangi bintang di langit malam. Shilla menggenggam erat kedua lengannya, tak mau melepaskan jaket tersebut. Entah kenapa, jaket yang tak begitu tebal mampu membuatnya merasa hangat, padahal di situ dingin sekali. Memakai jaket tebal baru bisa merasa lumayan hangat. Shilla melirik ke arah Rio yang memandangi bintang. Shilla memandangi Rio, bermaksud mengajaknya masuk ke rumahnya. Tetapi, yang terjadi ia malah terdiam melihat Rio yang begitu serius mengamati rasi bintang. Rio melihat ke arahnya lalu tersenyum manis yang membuat jantung Shilla berdebar-debar tak karuan.
"Yuk masuk" ajaknya, yang sukses membuat Shilla salting.
"E.. eh.. i, iya" sahutnya, terbata-bata karena gugup. Wajahnya memerah.
"Shill? Lo gak pa pa kan?" tanya Rio, menempelkan punggung tangannya di kening Shilla. Shilla melihat wajah Rio yang, untuk pertama kalinya, ia akui sangat ganteng. Jantung Shilla serasa berhenti. Rio melihat ke arahnya, tepat di matanya. Mereka tak berani bergerak, detakan jantung mereka tak terkontrol.
Apa... batin Shilla. Apa mungkin gue suka sama Rio? tanya Shilla dalam hati.
---
LAST PART
---
(Part 35)
Mereka masuk sekolah sambil gandengan tangan, tak memperdulikan 100 pasang mata yang memerhatikan mereka. Setelah menaruh tas di kelas mereka langsung mojok berdua. Teman-teman seangkatan Keke menghampiri mereka.
"Eh kak Deva, Ke, kalian berdua jadian ya?" tanya salah seorang teman mereka.
"Iya" jawab Deva singkat, matanya masih memandangi Keke. Tangannya menggenggam tangan Keke erat, tak mau dilepaskan.
"Gila ya, emang benci sama cinta tuh deket banget. Kan biasanya pada berantem, bisa-bisanya jadian sekarang" komentar ketua kelas 8D.
"Ya serah lah, yang jelas dapet cewek paling sempurna" tanggap Deva cuek.
"Wess mesranya... pajaknya pas istirahat ya" ujar teman yang lain.
"Serah deh. Deva ini yang bayar" sahut Keke. Deva hanya diam memandangi Keke.
"Kamu kenapa sih Dev? Kok ngeliatin aku mulu, emang ada yang aneh ya?" tanya Keke, melihat dirinya, berusaha menemukan apa yang aneh.
"Iya Ke, ada yang aneh sama kamu" jawab Deva.
"Hah? Apa Dev? Kok gak bilang dari tadi?" tanya Keke, makin heboh mencari apa yang ingin ditemukannya.
"Aku penasaran Ke, kok kamu tuh cantik banget ya? Muka kamu lebih cantik dari pada semua cewek yang pernah aku liat, aura kamu itu lebih terang dari pada bintang yang paling terang, aku bersyukur bisa milikin kamu dalam hidupku" jawab Deva ngegombal.
"Beuh, ngegombal ni anak. Ayo tinggalin mereka, gak baik gangguin pasangan kasmaran!" perintah ketua kelas 8C. Yang lainnya menurut karena keputusan anak tersebut selalu benar. Itulah kenapa dia bisa memecahkan rekor 8 kali berturut-turut jadi ketua kelas. Mereka langsung ke kelas masing-masing.
"Akhirnya kita bisa berduaan Ke" ujar Deva. Keke tersenyum manis, senyum yang membuat Deva jatuh cinta padanya.
"Oya Dev, kemarin aku nyobain cokelat kamu, enak banget. Kamu jago masak ya?" tanya Keke.
"Iya. Aku buat cokelat itu sambil mikirin kamu, senyum kamu, wajah cantik kamu, terus ngebandingin sama bulan dan bintang. Aku jadi penasaran, bintang sama bulan purnama itu indah. Semua orang bilang begitu. Tapi kenapa kamu lebih indah dari itu semua?" tanya Deva, memandang ke arah langit. Keke menunduk malu, menyembunyikan kesaltingannya dan mukanya yang memerah. Kriinngg!!! Bel sekolah berbunyi, menandakan bahwa seluruh siswa harus masuk ke kelas masing-masing.
"Yah, itu bel ganggu aja. Ya udah, aku ke kelasku dulu ya" pamit Deva. Keke mengangguk, wajahnya yang merah itu sudah menghilang.
"Belajar yang serius ya Dev. Inget, UN tinggal beberapa bulan lagi" ujar Keke.
"Iya Kekeku... kamu juga ya, walaupun kamu kelas 8. Siap-siap menerima serangan kelas 9 seperti aku sekarang" sahut Deva, mengecup pipi Keke. Pipi Keke memerah malu. Ia memeluk Deva, lalu mereka segera menuju kelas masing-masing, tak sabar menunggu saat istirahat.
***
Di kampus
"Halo semua" sapa Shilla dengan senyum manisnya. Yang di deket dia nengok semua.
"Shilla? Lo kenapa gak masuk? Gila gue kangen berat sama lo!" teriak Zahra, memeluk sahabatnya itu.
"Iya iya sori, gue lagi shock aja. Nih tanda maaf gue" ujar Shilla, mengeluarkan beberapa tempat makan bawaannya.
"Ini buat lo, ini buat lo, yang ini buat lo, kalo yang ini buat lo, yang terakhir buat lo. Pas deh" ujar Shilla, membagikan barang bawaannya itu, satu anak satu.
"Apa nih? Oh paella... enak nih Shill. Makasih" ujar Obiet.
"Iya sama-sama. Oya Yo, si Keke pelit abis! Masa gue minta cokelatnya dikit gak dikasih, alesannya itu buatan Deva" gerutu Shilla. Rio tertawa.
"Deva? Siapa tuh?" tanya Oik.
"Pacarnya adek gue, baru jadian kemaren di rumah gue. Gila, gue ditinggal adek gue sendiri" jawab Shilla.
"Iya tuh, bikin cemburu aja. Gila ya anak zaman sekarang, kecil-kecil udah tau gimana caranya pacaran. Padahal baru umur 14 sama 13" timpal Rio.
"Hah? 14? Siapa yang umurnya segitu? Setau gue si Keke tuh umurnya 11, kalo Deva umurnya 13" jelas Shilla.
"Hah? Adek lo kelas 8 kan?" tanya Alvin.
"Iya, tapi jangan salah sangka tu anak tuh pinter banget. Nemnya aja 30. Nilai sempurna" jawab Shilla.
"Beda dong sama lo Shill" celetuk Rio. Shilla menatapnya tajam.
"Maksud lo apa?" tanya Shilla sambil membentak.
"Maksud gue, kan dia pinter, lo bego" jawab Rio santai.
"Heh kalo ngomong tuh ngaca dulu dong, siapa sih yang dapet nilai 50 tes kemaren?" tanya Shilla menyindir Rio.
"Itu kan gara-gara gue gak masuk 3 hari! Mana gue tau pelajarannya? Kan kimia gak kayak medis, gak diulang-ulang!" teriak Rio, tidak terima disindir Shilla. Shilla membuka mulut hendak membantah Rio.
"Udah yuk masuk, entar dimarahin dosen lagi" lerai Oik. Semua pun menurut.
***
Sesampainya di kelas, Shilla langsung disambut teman-temannya. Gara-gara terlalu ribut, mereka tak menyadari bahwa dosen galak sudah datang untuk mengajar kelas Shilla. Dosen tersebut menunggu. Sepuluh menit kemudian...
"Kalian ini mau belajar tidak, sih? Cepat duduk di tempat masing-masing!" teriak dosen galak, kesabarannya habis. Secepat kilat semua langsung menurut.
"Baiklah, karena kalian semua tidak menghormati, kalian harus membuat 30 makalah tentang penyakit kelima indra tubuh dan organ dalam, masing-masing makalah minimal memiliki 50 lembar. Semua itu harus dikumpulkan besok" ujar dosen lantang. Gila, galak amet ni dosen! Sumpah ya, baru masuk langsung dapet hadiah kayak gini, gak bakalan gue lupain! batin Shilla.
***
Jam istirahat sekolah Keke dan Deva
"Ke, mana pajaknya?" tagih salah seorang teman Keke.
"Kok nagih gituan ke gue? Ke Deva aja, orang dia yang bayarin ini" ujar Keke santai.
"Ya kan kak Deva kakak kelas kita, masa iya sih kita samperin gitu aja trus nagih. Siapa kita?" tanya seorang temen yang lain.
"Bilang aja pesan dari gue" Keke memberi saran.
"Tuh kak Deva!" teriak salah seorang sahabat Keke sambil menunjuk Deva yang sedang lewat, tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Keke langsung melihat ke arah yang ditunjuk Irva, sahabatnya tadi. Deva menengok ke arah suara. Ia pun tersenyum, sukses membuat jantung Keke berdebar tak karuan. Deva menghampiri rombongan Keke, lalu menerobos kerumunan sampai bertemu dengan Keke. Ia pun langsung merangkul Keke.
"Halo Ke, akhirnya kita ketemu juga. Aku sampai gak konsen ke pelajaran loh gara-gara mikirin kamu" sapanya sambil mengecup pipi Keke. Keke pun memeluknya.
"Jangan gitu dong, entar kamu gak lulus UN loh" ujarnya. Deva tertawa.
"Oya Dev, pajaknya kapan? Temen-temenku udah pada nagih nih" tanya Keke.
"Sekarang. Tapi yang keciprat cuma sahabat kamu doang. Kalau semua temen kamu bisa bangkrut akunya" ungkap Deva, balas memeluk Keke.
"Oh. Irva, lo ikut ya" ujar Keke.
"Iya, yes ditraktir!" sorak Irva senang.
"Yah... kita gak ditraktir deh" keluh teman-teman Keke yang lain.
"Woi Dev! Sini lo! Jemput cewek lo lama amet!" teriak salah satu dari 3 sahabat Deva.
"Berisik lo! Ini juga mau ke sana!" Deva balas berteriak.
"Yuk Ke, sama lo... namanya siapa?" tanya Deva.
"Irva" jawab Irva.
"Iya, elo. Yuk ah, ntar sobat gue ngamuk" ujar Deva, menggandeng tangan Keke dan menuju ke tempat sahabat-sahabatnya berada. Irva ngekor.
"Oh, jadi ini si Keke. Orang yang lo bilang cantik banget, senyumannya tuh senyuman yang paling manis sedunia," komentar salah satu sahabat Deva.
"Matanya lebih bagus dari batu topaz, rambutnya bagus banget kayak orang di iklan shampoo," sambung sahabat Deva yang satunya lagi.
"Orangnya item manis dan pinter banget, jago olahraga, jago akting dan nyanyi... Hmmff, hmmmff!" sambung sahabat Deva yang terakhir, yang bakal ngebocorin rahasia Deva lebih banyak kalau saja mulutnya gak disumpel sama Deva pake tisu satu bungkus. Keke terkikik, Deva tertunduk malu. Deva pun memandang sahabat-sahabatnya itu dengan tatapan Ngapain-Lo-Bocorin-Jelek-Banget-Sih-Lo. Ketiga sahabatnya ngakak, sahabat Deva yang mulutnya disumpel lupa kalau mulutnya lagi disumpel, akibatnya ditelanlah beberapa lembar tisu secara tak sengaja olehnya.
"Uhuk! Uhuk!" ujarnya, menyemburkan tisu-tisu yang ada di mulutnya. Kini Deva yang ngakak.
"Puuuhhh! Kurang asem lo Dev! Keselek gue!" teriak sahabat Deva yang mulutnya disumpel tadi. Deva masih aja ngakak. Tiba-tiba Keke pun memeluknya lalu mengecup pipinya. Pipi Deva memerah, ia kaget.
"Makasih ya pujiannya" ujar Keke sambil tersenyum manis. Deva serasa terbang ke langit. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kantin, Irva ngekor. Mereka meninggalkan ketiga sahabat Deva yang sibuk mengurusi korban 'insiden keselek tisu'. Setelah selesai ketiga sahabat Deva langsung menyusul.
***
Di kantin
Mereka semua duduk dalam satu meja. Keke duduk di sebelah kanan Deva, Irva duduk di sebelah kanan Keke, dan ketiga sahabat Deva duduk di depan mereka. Deva memeluk Keke, menyandarkan kepala Keke di dadanya. Yang duduk semeja sama mereka berdua langsung pasang tampang mual.
"Pesen apa?" tanya Deva. Mereka pun menyebutkan pesanan masing-masing. Setelah pesanan mereka datang, mereka pun makan.
"Amm..." ujar Deva ketika disuapi oleh Keke.
"Ih, kak Deva manja deh. Masa udah gede masih aja disuapin sama ceweknya? Ckckck.." komentar Irva, menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Biarin, yang jelas enak disuapin sama cewek. Apalagi yang nyuapin Keke" tanggap Deva cuek, di kalimat terakhir ia memandangi Keke dengan senyum nakal, bukan senyum manis seperti biasanya. Keke tertunduk malu. Deva merangkulnya. Mereka berenam pun melanjutkan makan.
***
Sepulang sekolah, Keke diantar Deva ke rumahnya. Sesampainya di rumah Keke, Keke langsung turun dari mobil Deva dan tersenyum manis.
"Makasih Dev, mau mampir bentar?" tanya Keke. Deva meleleh melihat senyum Keke. Ia pun mengangguk.
"Yuk Dev" ajak Keke, mengisyaratkan Deva untuk mengikutinya. Deva turun dari mobilnya dan mengikuti Keke masuk ke rumahnya. Seperti biasa, Deva duduk di sofa ruang tamu. Keke ke dapur, membuat minuman untuk Deva. Setelah selesai ia membawakan minuman buatannya itu ke ruang tamu tempat Deva berada. Ia pun menaruh dua gelas bawaannya yang berisi sirup jeruk di meja, lalu duduk di samping Deva. Deva merangkulnya.
"Kak Shilla mana Ke? Katanya pulang cepet" tanya Deva.
"Kok nyariin kak Shilla?" tanya Keke.
"Kan aku mau makan, dan uangku diabisin sahabat aku gara-gara insiden keselek tisu itu, gitu doang kok ampe mesen berapa piring makanan sih?" gerutu Deva kesal.
"Sabar Dev, bentar ya aku panggilin kak Shilla dulu" pamit Keke, lalu ia berjalan ke arah kamar kakaknya. Sesampainya di sana, ia mencari-cari kakaknya yang tidak ada di sana.
"Kak? Kak Shilla Keke pulang! Ada Deva loh" teriak Keke di dalam kamar kakaknya sambil mencari-cari Shilla.
"Kak? Kakak di mana? Katanya mau pulang cepet buat masakin Keke?" tanya Keke sambil teriak-teriak.
"Kak? Keluar dong!" teriak Keke memaksa.
"Kak!" teriak Keke, lalu terhenti ketika melihat secarik kertas yang dilipat, di atasnya tertulis 'Untuk Keke'. Keke memasang tampang bingung, lalu mengambil kertas tersebut, membuka lipatannya, dan membaca tulisan di dalamnya. Keke membelalak tak percaya, lalu mematung. Ia berusaha keras menahan air matanya agar tidak keluar dan membuat Deva khawatir. Tapi tetap saja, air matanya pun jatuh. Keke jatuh terduduk, ia menempelkan wajahnya di tangannya. Deva yang mendengar suara tangisan Keke spontan berlari ke arah kamar Shilla. Ditemukannya Keke yang sedang menangis di dalam kamar Shilla. Ia pun menghampiri Keke dan memeluknya.
"Ke? Ke kamu kenapa?" tanya Deva khawatir, membelai rambut pacarnya. Keke terisak, memeluk Deva dan menangis di pelukannya.
"Ke, kasih tau aku dong kamu kenapa" ujar Deva.
"Kkk... kak Shilla..." ucap Keke, menurut pada Deva.
"Kak Shilla? Kak Shilla kenapa Ke?" tanya Deva lembut. Tangisan Keke semakin menjadi-jadi, lalu ia menyerahkan surat dari Shilla.
"Eh?" tanya Deva, menerima surat itu. Deva membacanya secepat kilat.
"Eh Ke? Kamu serius? Gak bercanda kan?" tanya Deva. Keke mengangguk, lalu menangis lagi. Deva mematung, dan terjadi keheningan di antara mereka. Yang terdengar hanyalah suara tangisan Keke.
"Halo? Kok sepi?" tanya sebuah suara di ruang tamu. Keke dan Deva tersentak kaget.
"Woi siapa di sana?" tanya Deva sambil membentak. Pemilik suara tersebut menghampiri kamar Shilla. Ia membuka pintu.
"Lah, kenapa ini? Kok Keke nangis?" tanyanya bingung.
"Kak Rio? Kok bisa masuk?" tanya Deva.
"Abis gak ada siapa-siapa, ya udah gue masuk aja. Mau nganterin makalahnya Shilla, ketinggalan di kampus" ujar Rio. Keke menangis semakin keras.
"Keke kenapa Dev?" tanya Rio panik.
"Kak Shilla..." jawab Deva memulai.
"Shilla? Shilla kenapa?" tanya Rio semakin panik.
"Kak Shilla pergi, kabur gak tau ke mana" jawab Deva.
"Hah? gak mungkin, tau dari mana lo?" tanya Rio membentak.
"Santai kak, nih buktinya" ujar Deva, memberikan surat dari Shilla. Rio membacanya.
"Gak mungkin, gak mungkin" gumamnya berkali-kali.
"Mungkin kak, ini udah terjadi. Deva yakin, kak Shilla gak mungkin nyiptain lelucon kayak gini, pasti ini serius kak" ujar Deva. Rio menatapnya, sorot matanya meminta belas kasihan. Deva mengangkat bahu, ia lalu kembali menenangkan Keke. Surat tersebut tertiup angin, terbang keluar jendela.
Keke,
Maafin kakak Ke, kakak harus ngelakuin ini. Kakak mau pergi, gak tau ke mana. Yang jelas pergi jauh dari sini. Oke, kakak punya tujuan. Tapi kamu gak boleh tau, ini rahasia kakak.
Paman Jo memberi surat kepada kakak, isinya bakal ngincar kakak. Kakak gak mau kamu jadi korban seperti ayah dan Iyel, kakak gak mau kamu ninggalin kakak seperti mereka.
Maafin kakak, tapi kakak gak sanggup lagi melihat orang-orang yang kakak sayang pergi ke dunia lain karena kakak.
Maafin kakak sekali lagi. Kakak yakin, Deva dan sahabat-sahabat kakak bisa jagain kamu.
NB : jangan cari kakak. Kakak gak bakal balik ke rumah kecuali kalau sudah aman.
-Shilla-
+++
(Part 36)
Shilla berjalan menuju tempat tujuannya sambil menyeret koper di belakangnya. Ia celingak-celinguk, mencari bangunan yang akan ia tinggali. Akhirnya ia menemukannya, apartemen beralamat Jl. Munako blok FB 13 nomor 60. Apartemen yang sudah disewanya jauh-jauh hari, in case ada kejadian kayak gini.
Setelah sampai ia pun menaruh tasnya dan meringkuk di pojokan, memikirkan apa yang telah ia tinggalkan. Alvin, Zahra, Keke, dan... Rio.
Rio. entah kenapa, nama itu mampu membuat jantungnya seolah tertusuk oleh belati perak. Mengapa ia tidak menyadari hal ini sebelumnya? ia menyayangi Rio. Dan bukan hanya sekedar rasa sayang sahabat, melainkan rasa sayang dari seorang cewek ke cowok. Yah, namun apalah artinya penyadaran itu kalau ia tidak akan menemuinya lagi? Pedih memang.
Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Ia merogoh kantungnya dan membaca layarnya.
Rio is Calling...
Senyum kecil tersungging di bibirnya. Panjang umur banget ni anak, baru aja dipikirin langsung menelepon saja, pikirnya. Masih tersenyum, ia menaruh benda itu di sampingnya, lalu membiarkannya berbunyi. Sedang ia hanya membenamkan mukanya ke lutut, menangis.
3 hari berlalu dengan sangat cepat tanpa ada yang berubah. Shilla masih saja membenamkan kepala dalam lututnya, dan telepon genggamnya berkali-kali berbunyi tanpa ia angkat.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Shilla mengangkat wajahnya, lalu memerhatikan pintu. Tidak ada apa-apa. Terdengar suara ketukan lagi. Shilla pun berdiri lalu menyisir rambutnya dengan tangan sembari berjalan ke arah pintu. Ia membukanya, dan wajah Rio langsung muncul. Mata Shilla membelalak. Ia memerhatikan pemuda yang berdiri di depannya dari atas sampai bawah. Rio berantakan. Bajunya masih sama dengan yang dipakainya di kampus tempo hari, hanya saja jauh lebih kotor. Rambutnya acak-acakan. Tangannya dimasukkan ke dalam kantung celana jeansnya, dan ekspresinya marah. Itu jelas.
"Boleh masuk?" tanyanya dengan nada amarah tertahan. Spontan Shilla mengangguk dan mempersilahkan ia masuk. Rio pun berjalan masuk. Shilla menutup pintu.
"Apa maksud lo?" tanya Rio marah. Shilla terkejut bercampur bingung.
"Maksud?" tanya Shilla dengan suara serak.
"Apa maksud lo ninggalin kehidupan lo gitu aja?! Ninggalin kuliah lo, gue, Alvin Zahra, Oik Obiet, Deva, KEKE! Keke Shill, lo tau gimana hancurnya dia?? Dia tuh masih kecil Shill, masih 11 tahun! Lo kira dia bisa nyari uang buat hidup? Lo kira dia bisa masak?? Gue tau lo takut sama Paman Jo, tapi at least lo mikirin hal-hal dasar kayak gitu dong! Lo seharusnya diskusi dulu sama temen-temen lo, jangan ngambil keputusan tiba-tiba kayak gini..." bentak Rio. Shilla tersentak kaget.
"Gu, gue gak mikir sejauh itu..." sahut Shilla dengan suara kecil. Rio , lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dengan stress.
"Halaaahhh!!" teriaknya. Shilla menunduk.
"Terus kenapa lo gak ngangkat telepon dari kita semua? Kita semua tuhnelpon lo berkali-kali, SMS berkali-kali, lonya gak jawab-jawab. Kenapa?" tanyanya. Shilla mengangkat bahu.
"I guess i want to stay hidden" ucapnya serak. Rio menoleh ke arahnya.
"Gue tau lo lagi hancur. Tapi tolong, jangan pernah kabur kayak gini lagi. Kita semua takut elo kenapa-napa. Kalau lo cemas atau apa, lo bisa kok diskusi ama kita semua. Kita bakal selalu ada buat lo" ucapnya sembari memeluk Shilla. Shilla balas memeluknya, lalu menangis. Rio hanya diam.
"Nah. Pulang yuk?" ajaknya setelah Shilla agak tenang. Shilla pun mengangguk, lalu mengambil tas-tasnya.
"Omong-omong kenapa lo bisa nemuin gue?" tanya Shilla. Rio tersenyum dan mengacak-acak rambut wanita yang sangat dicintainya itu.
"Anggep aja gue jago nyari orang" jawabnya. Shilla tersenyum kecil.
"Kalau udah lulus kuliah jadi detektif aja" usul Shilla. Rio tertawa.
"Iya deh, gue pertimbangin" ucap Rio. Shilla hanya tersenyum kepadanya.
***
Rumah Shilla
Rio membunyikan bel rumah Shilla. Tak ada jawaban dan tindakan dari dalam rumah. Rio membunyikan bel lagi. Ia semakin jengkel gara-gara gak ada jawaban atau tindakan lagi. Ia pun membunyikan bel lagi. Dan lagi, dan lagi, dan lagi...
"Udahlah Yo, masuk aja. Rumah gue juga" ujar Shilla tak sabaran. Rio membuka pintu pagar.
"Sialan, dikunci" keluh Rio. Shilla mendorong Rio menjauhi pagarnya, lalu ia mengambil kunci rumahnya dan membuka pintu pagar, lalu masuk ke dalam rumahnya. Rio memutar-mutar bola matanya secara dramatis lalu mengikuti Shilla.
***
Di dalam rumah Shilla
"Yo, si Keke mana?" tanya Shilla bingung, padahal tadi Rio bilang kalau Deva mampir. Harusnya ada di ruang tamu, soalnya gak mungkin kalau di kamar Keke. Keke kan kukuh pada pendiriannya, cowok gak boleh masuk kamarnya.
"Sini, ikut gue" ujar Rio, menuju kamar Shilla.
"Kok kamar gue?" tanya Shilla. Rio tak menjawab, ia membuka pintu kamar. Shilla membelalak kaget melihat Deva memeluk Keke. Keke tidak menangis lagi, air matanya sudah kering.
"Woi ngapain mesra-mesraan di kamar kakak?" tanya Shilla sambil berteriak.
"Kak Shilla? Kak Shilla!" teriak Keke girang, melepaskan pelukan Deva lalu berlari memeluk kakaknya.
"Makasih kak Rio" ujarnya.
"Sama-sama" sahut Rio. Shilla megap-megap gak bisa nafas.
"Kkk... Ke.. kakak gak bisa nafas" ucap Shilla.
"Sori kak" ujar Keke, melepaskan pelukannya. Lalu ia menatap tajam kakaknya.
"Kakak, kakak tuh konyol banget, sih! Kakak mikir dong, kalau kakak pergi Keke tinggal sama siapa? Masa Keke tinggal sendiri? Papa kan udah gak ada!" bentak Keke.
"Sori Ke, kakak gak mikir sampe ke situ" ujar Shilla. Keke ngambek. Deva merangkulnya. Wajah Keke menjadi biasa lagi.
"Ya udah kak, Keke sama Deva laper. Masakin sesuatu gih" perintah Keke.
"Iya deh... mau dimasakkin apa?" tanya Shilla.
"Mmm..." ucap Keke, memasang pose berfikir.
"Spaghetti neopolitan" jawab Deva, memegang bahu Keke. Keke tersenyum melihat Deva. Deva tersenyum balik.
"Hoek..." ujar Shilla dan Rio bersamaan, memasang pose muntah. Keke dan Deva tertawa.
"Ya udah sana kak, hus hus sana ke dapur!" usir Keke.
"Gimana sih, gue yang punya kamar gue yang diusir" gerutu Shilla sambil pergi.
"Yah Shill, ntar gue muntah nih ngeliat pasangan satu ini!" teriak Rio manja. Keke dan Deva menatapnya tajam.
"Ya udah kalo gak mau muntah sana temenin kak Shilla! Sekalian cari kesempatan. Sana pergi hus-hus!" usir Keke. "Iya deh..." ujar Rio pasrah, membuka pintu kamar Shilla dan menyusul Shilla ke dapur. Keke sama Deva gombal-gombalan di kamar Shilla.
***
Dapur
Shilla sedang menyiapkan bahan-bahan ketika Rio masuk.
"Ngapain di sini?" tanya Shilla.
"Lo tega bener ninggalin gue sama pasangan satu itu, yang ada gue muntah kali" ujar Rio. Shilla tertawa, membuat jantung Rio berdetak tak karuan.
"Sori deh Yo... mau bantuin gue?" tanya Shilla. Rio mengangguk.
"Dari pada gue gak ada kerjaan?" ujarnya.
"Nih, lo potong jadi dua, terus lo iris" perintah Shilla, menyiapkan talenan dan pisau di depan Rio, lalu menaruh bawang bombay di atas talenan.
"Kalo udah selesai, lo potong ini jadi dua, bersiin dalemnya, trus lo iris" perintah Shilla, meletakkan paprika di samping bawang bombay. Rio mengangguk, lalu berusaha mengikuti Shilla. Sedang Shilla memanaskan air untuk merebus spaghetti, setelah mendidih barulah ia memasukkan spaghetti. Ia pun menghampiri Rio untuk mengawasi pekerjaan Rio.
"Bisa Yo?" tanya Shilla. Rio kaget.
"Eh, bisa kok" ujarnya, jantungnya berdegup kencang.
"Mmm, lumayan buat amatir" komentar Shilla, melihat hasil potongan Rio. Rio hanya mengangguk, hatinya senang sekali dipuji Shilla. Walaupun itu hanya sebuah pujian kecil. Rio semakin bersemangat memotong paprika, sehingga ia pun tidak hati-hati.
"Au!" ujarnya, meletakkan pisau dan memegang tangannya.
"Kenapa Yo?" tanya Shilla, menengok ke arah Rio.
"Eh, gak apa-apa kok" ujarnya, menyembunyikan sebelah tangannya.
"Lo kenapa?" tanya Shilla lagi.
"Gak apa-apa" jawab Rio. Shilla memerhatikan Rio dari atas sampai bawah. Ia menganggukan dagunya ke arah tangan Rio yang disembunyikan.
"Tangan lo kenapa?" tanya Shilla.
"Eh, gak kenapa-napa kok, udah lanjutin aja masaknya" ujar Rio. Shilla menghampiri Rio, lalu menarik tangan Rio yang disembunyikan Rio di balik punggungnya. Rio pasrah.
"Tangan lo kok luka Yo?" tanya Shilla, menatap mata Rio.
"Kepotong tadi" jawab Rio, mengalihkan pandangan.
"Beuh, hati-hati dong makanya" ujar Shilla lalu pergi. Tak lama kemudian Shilla masuk lagi ke dapur membawa kotak P3K.
"Sini gue obatin" perintah Shilla, memberikan isyarat agar Rio menjulurkan tangannya. Rio pasrah, ia pun menuruti Shilla. Shilla memegang tangan Rio dan mengobati lukanya.
"Yo" panggil Shilla.
"Hmm?" sahut Rio.
"Tau gak, gue dulu juga sering luka kayak gini" ungkap Shilla.
"Eh?" tanya Rio.
"Iya. Nyokap gue yang ngajarin gue masak, dan pas gue pertama kali dapet tugas kayak gini gue luka" jawab Shilla, memejamkan mata untuk mengenang masa lalunya.
"Tapi gue gak bakal nyerah, dan alhasil gue bisa masak seperti sekarang. Beda sama Keke, pas dia luka dia langsung ngeluh dan gak mau nerusin" sambung Shilla. Rio menatapnya.
"Dan gue bersyukur gue gak nyerah, soalnya gue jadi bisa masakin Keke, Deva, sahabat-sahabat kita, dan lo" ujar Shilla membuka mata dan menatap Rio. Rio diam saja, tak tau harus merasa apa atau bilang apa.
"Udah selese nih. Kita tukeran kerja ya, gue motong paprika sama bawang, lo ngurus spaghetti. Inget ya, bungkusannya bilang 5 menit, tapi harus dikurangin 1 menit jadi 4 menit. Tinggal semenit lagi, udah 3 menit ngerebusnya" jelas Shilla. Rio mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia pun segera melakukan pekerjaannya. Shilla juga, dengan cepat ia melakukan tugasnya. 30 detik kemudian ia selesai.
"Gimana Yo?" tanya Shilla.
"Setengah menit lagi" jawab Rio, melihat ke arah jam tangannya lalu melihat Shilla.
"Udah selesai?" tanya Rio. Shilla mengangguk.
"Cepet amet" komentar Rio.
"Iya dong, kan gue udah biasa" ujar Shilla. Rio tersenyum. Lalu ia melirik jamnya, dan ia segera mengangkat spaghetti rebusannya.
"Taro di mana?" tanya Rio.
"Di sini" jawab Shilla, mengangkat sebuah mangkuk. Setelah itu, mereka mulai memasak lagi, sampai akhirnya selesai.
"Akhirnya jadi juga... yuk Yo, bantuin gue nganterin ini ke Deva sama Keke" ajak Shilla, mengangkat 2 piring. Rio mengangguk lalu mengangkat 2 piring lainnya, lalu pergi mengikuti Shilla ke kamarnya. Sesampainya di sana, mereka menemukan Keke sama Deva yang lagi gombal-gombalan.
"Cinta itu seperti matahari, saat awal sangat indah seperti matahari saat fajar. Di saat tengah kita menikmati, matahari itu tepat berada di atas kita, menyinari kita dengan cahayanya. Ketika mulai menghilang, matahari itu terbenam dan memancarkan cahayanya yang sangat indah, dan hari pun berubah menjadi malam yang sangat gelap. Tetapi, aku harap matahari kita tidak akan terbenam, melainkan terus berada di puncak, menyinari kita dengan cahayanya, dan kau akan menjadi milikku selamanya" ujar Deva panjang lebar. Keke tersenyum.
"Aku harap juga begitu, karena cintaku hanya kepadamu dan tak akan kulepaskan ikatan kita kecuali terpaksa" tanggap Keke. Deva tersenyum.
"Kalau begitu, pakailah ini sebagai tanda ikatan kita berdua" ujar Deva, mengulurkan liontin dengan tali perak dan bandul hati merah. Keke memasang tampang terkejut bercampur senang. Keke pun mengambil liontin tersebut, lalu membukanya. Di dalamnya, ada foto Keke dan Deva yang diambil pas jalan-jalan di Chillate Cafe kemarin. Juga tulisan 'K+D = <3 selamanya'. Keke membelalak senang.
"Makasih Dev, aku seneng banget. Setelah dapet beruang lucu yang nyimpen suara kamu, bunga-bunga indah, sama cokelat asli buatan kamu, aku juga dapet liontin ini. Makasih ya, aku seneng banget" ucap Keke, memeluk Deva dan menggenggam liontinnya erat-erat.
"Woi, berdua ngegombal aja. Eh, tapi gombalan lo bagus banget Dev, dapet dari mana?" tanya Rio yang penasaran.
"Dari hati, lah... kan Deva gak ngegombal doang, tapi ngungkapin pikiran Deva tadi malem" jawab Deva.
"Ye elah lo Yo, mau ngebentak apa nanya? Nih spaghettinya, makannya harus di luar, gak boleh di kamar kakak" perintah Shilla. Keke dan Deva pun menurut, mereka membawa piringnya keluar, ke ruang tamu.
"Kita makan di teras yuk" ajak Rio. Shilla mengangguk
***
Di teras
"Ternyata udah malem ya" gumam Shilla. Rio mengangguk, lalu duduk di kursi teras dan memakan spaghettinya. Enak, batin Rio. Rasa khas Shilla, sambungnya, masih di dalam hati. Shilla duduk di sebelahnya, lalu memakan spaghetti bagiannya. Mereka makan dalam diam. Tak lama kemudian mereka pun selesai makan. Shilla bergetar, memeluk tubuhnya.
"Dingin ya Yo" ujarnya.
"Eh? Gak kerasa tuh" ujar Rio.
"Ya... lo kan pake jaket, gue enggak" ucap Shilla sambil manatap tajam ke arah Rio. Rio melepas jaketnya, lalu memakaikan jaketnya pada Shilla. Shilla tersentak kaget.
"Eh? Lo gak kedinginan Yo?" tanya Shilla.
"Enggak lah. Gue kan kebal kayak ginian. Lagian lo kan lebih butuh dari pada gue" jawab Rio lalu tersenyum. Shilla membalas senyumannya.
"Trus kenapa lo pake jaket tadi?" tanya Shilla.
"Au deh, lagi mood aja" jawab Rio sambil memandangi bintang di langit malam. Shilla menggenggam erat kedua lengannya, tak mau melepaskan jaket tersebut. Entah kenapa, jaket yang tak begitu tebal mampu membuatnya merasa hangat, padahal di situ dingin sekali. Memakai jaket tebal baru bisa merasa lumayan hangat. Shilla melirik ke arah Rio yang memandangi bintang. Shilla memandangi Rio, bermaksud mengajaknya masuk ke rumahnya. Tetapi, yang terjadi ia malah terdiam melihat Rio yang begitu serius mengamati rasi bintang. Rio melihat ke arahnya lalu tersenyum manis yang membuat jantung Shilla berdebar-debar tak karuan.
"Yuk masuk" ajaknya, yang sukses membuat Shilla salting.
"E.. eh.. i, iya" sahutnya, terbata-bata karena gugup. Wajahnya memerah.
"Shill? Lo gak pa pa kan?" tanya Rio, menempelkan punggung tangannya di kening Shilla. Shilla melihat wajah Rio yang, untuk pertama kalinya, ia akui sangat ganteng. Jantung Shilla serasa berhenti. Rio melihat ke arahnya, tepat di matanya. Mereka tak berani bergerak, detakan jantung mereka tak terkontrol.
Apa... batin Shilla. Apa mungkin gue suka sama Rio? tanya Shilla dalam hati.
---
LAST PART
Label:
cerbung,
Gue Benciiii... Sama Lo
Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 33 & 34
PREVIOUS PART
---
(Part 33)
"Udah nyampe, Ke" ujar Deva.
"Iya. Makasih ya" tanggap Keke, turun dari mobil Deva.
"Sabar ya Ke" ucap Deva.
"Iya. Hati-hati di jalan ya" ujar Keke. Deva tersenyum, membuat Keke meleleh. Keke menunduk.
"Udah ya Ke, gue pulang ke rumah" pamit Deva.
"I... iya, makasih ya" sahut Keke gugup, masih menunduk. Deva pun memacu mobilnya ke rumahnya. Keke memerhatikan Deva, setelah Deva hilang dari pandangannya ia pun masuk ke rumahnya. Gue harus bisa tegar, udah cukup gue nangis. Gue harus mandiri, dan gak ngandalin orang lain mulu. Gila ya, gue laper. Padahal baru aja tadi makan! batin Keke. Ia pun berjalan ke arah dapur. Hmm... buat apa ya? Yang gampang-gampang aja deh! pikir Keke lalu membuka kulkas. Bikin telor aja, kan gampang. Diapain ya? Dadar aja deh! batinnya, mengambil sebutir telur dari kulkas. Ia memecahkannya, menaruh cairan yang ada di dalamnya ke dalam mangkuk, mengocoknya, lalu memasaknya. Ia pun mengambil nasi putih dan mulai makan. Setelah makan ia menghampiri kakaknya. Kakaknya masih menangis, tubuhnya lemas.
"Kak, kakak makan ya? Keke buatin sesuatu" ujar Keke. Kakaknya menggeleng, lalu menangis lagi.
"Kak, kakak gak boleh gini, entar kakak bakalan sakit dan mati kelaperan. Entar Keke gimana? Ini aja Keke gak ngerti harus gimana. Kakak kan kakaknya Keke, harusnya kakak yang ngasih tau Keke harus gimana. Keke masih kecil kak, masih kelas 8, umur 13. Belum remaja, gak seharusnya Keke pusing sendiri dan ngehibur kakak" ujar Keke. Shilla hanya terus menangis.
"Tadi kak Alvin sama kak Zahra mampir ke sekolahnya Keke, katanya mau jemput Keke sekalian jenguk kakak. Kakak masuk kampus lagi ya?" pinta Keke. Shilla menggeleng.
"Ya udah, tapi kakak harus makan" perintah Keke. Shilla masih menggeleng.
"Kak, Keke harus gimana? Keke rindu sama kak Shilla yang dulu, yang masakin Keke tiap hari, ngebantuin Keke sama PR Keke, dan ngajak jalan Keke. Keke mau kak Shilla yang dulu, yang selalu ceria, bukan kak Shilla yang murung dan selalu nangis kayak gini! Kakak tuh nambah-nambahin stressnya Keke aja!" teriak Keke emosi lalu pergi. Shilla terus saja menangis, tetapi hatinya sakit. Keke benar, tapi ia tak bisa menahan air matanya keluar.
***
2 hari kemudian
Hari ini genap 5 hari Shilla gak masuk kampus. Rio jadi makin khawatir. Akhirnya ia memutuskan, hari ini ia harus mengunjungi Shilla. Sepulang dari kampus ia langsung menuju rumah Shilla dengan motornya itu. Ia tidak berkonsentrasi dengan motornya, yang ia masuk di pikirannya hanya Shilla.
***
Rumah Shilla
Rio menekan tombol bel. Tak lama kemudian pintu dibuka.
"Eh, kak Rio. Ada apa?" tanya Keke yang membukakan pintu.
"Lagi mau ke sini aja. Shillanya ada?" tanya Rio. Keke menengok ke belakang dengan muka khawatir.
"Masuk aja kak" ujarnya. Rio pun memasuki rumah Shilla. Betapa kagetnya dia, di ruang tamu ada seorang cowok yang duduk di sofa.
"Siapa Ke?" tanya cowok tersebut.
"Kenalin, ini kak Rio. Kak Rio, ini Deva, temenku di sekolah" ujar Keke, memperkenalkan keduanya.
"Rio" ujar Rio, mengulurkan tangannya.
"Deva" ujar Deva, menjabat tangan Rio.
"Duduk kak" perintah Keke. Rio menurut. Ia duduk di sebuah kursi.
"Kak, Dev, Keke ke kak Shilla dulu ya" pamit Keke.
"Emangnya si Shilla kenapa?" tanya Rio.
"Lagi sakit" jawab Keke berbohong.
"Sakit apa?" tanya Deva, pura-pura tidak tau apa-apa.
"Demam" jawab Keke. "Udah ya, Keke ngurusin kak Shilla dulu" pamit Keke lalu pergi ke kamar Shilla.
***
Kamar Shilla
Keke masuk, lalu melihat kakaknya sedang menangis seperti biasa. Sebuah mangkuk berisi bubur tak disentuh Shilla, padahal bubur itu disiapkan oleh Keke supaya kakaknya makan.
"Kak, makan ya... udah 5 hari kakak gak makan. Nanti sakit, ayo dimakan" ujar Keke. Shilla menggeleng.
"Ayolah kak, liat tuh, kakak udah lemes. Ayo makan" paksa Keke. Shilla masih saja menggeleng. Keke menyendok bubur, lalu menyuapi kakaknya.
"Ayo kak, buka mulutnya" ujarnya. Shilla mentup mulutnya rapat-rapat dan menggeleng.
"Ayolah kak, kak Rio mampir tuh. Deva juga mampir. Malu dong" ujar Keke. Shilla menggeleng dan menangis lagi.
"Ya udah, tapi nanti harus makan. Keke mau ngeladenin Deva sama kak Rio" pamit Keke lalu pergi ke ruang tamu.
***
Ruang tamu
"Gimana si Shilla?" tanya Rio.
"Gak mau makan, nangis mulu" jawab Keke.
"Nangis? Nangis kenapa?" tanya Rio bingung. Deva memberi pandangan Mampus-Lo-Ketauan-Sama-Dia ke Keke. Keke menutup mulutnya.
"Si Shilla kenapa?" tanya Rio panik. Keke diam saja. Ia memandang Deva dengan tatapan Tolong-Dong.
"Si Shilla kenapa?" tanya Rio setengah membentak. Deva membalas tatapan Keke dengan tatapan Sori-Gak-Bisa. Lalu ia mengubah tatapannya menjadi Gila-Ni-Kakak-Serem-Abis.
"Si Shilla kenapa?!" teriak Rio. Keke dan Deva diam saja, takut.
"Argh!" teriak Rio lalu menuju kamar Shilla.
"Jangan kak! Cowok gak boleh masuk kamar cewek!" larang Keke.
"Biarin!" teriak Rio lalu membuka pintu kamar Shilla. Betapa kagetnya ia melihat wajah Shilla yang pucat, matanya yang merah dan bengkak, rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya.
"Shill? Shill lo kenapa?" tanya Rio sambil menghampiri Shilla. Menyadari ada Rio di kamarnya, Shilla berhenti menangis.
"Shill, lo kenapa?" tanya Rio. Shilla diam saja.
"Ashilla Zahrantiara, lo kenapa?" tanya Rio tegas. Shilla diam saja.
"Lo gak makan-makan, ya?" tebak Rio. Shilla mengangguk lemah. Rio memandangi semangkuk bubur di atas meja.
"Itu makanannya siapa?" tanya Rio. Shilla menunjuk ke arah dirinya. Rio mengambil mangkuk bubur tersebut.
"Shill, makan ya" ujar Rio. Shilla menggeleng.
"Ayolah... Alvin, Zahra, Oik, sama Obiet bakal sedih liat lo kayak gini mulu, semua temen lo kangen sama lo. Ayo makan" ucap Rio. Shilla diam saja.
"Gue punya kabar terbaru tentang Oik, Obiet, Alvin sama Zahra loh" ungkap Rio.
"Apaan?" tanya Shilla dengan suara serak dan lemah.
"Kalau mau tau makan dulu" ujar Rio, memberikan bubur kepada Shilla. Shilla mengambilnya, tubuhnya lemas. Bubur yang dipegangnya hampir saja jatuh dan tumpah.
"Siniin!" perintah Rio, merebut mangkuk bubur dari tangan Shilla dengan cepat.
"Ntar jatoh ni mangkok, bisa nyendok gak lo?" tanya Rio. Shilla menggeleng lemas. Rio pun menyendok bubur tersebut.
"Buka mulutnya!" perintah Rio. Shilla menurut. Rio pun menyuapi Shilla. Keke yang mengintip sedari tadi tersenyum, masalahnya beres.
***
Ruang tamu
"Gimana Ke?" tanya Deva.
"Ya gitu deh. Kak Shilla akhirnya makan juga. Disuapin sama kak Rio tuh!" jawab Keke sambil cekikikan. Deva tertawa. Deva mencomot kue yang terhidang di meja.
"Beli di mana lo? Enak banget!" tanya Deva.
"Kak Shilla yang buat" jawab Keke, mengikuti Deva.
"Hah? Kak Shilla yang buat? Gila enak abis!" komentar Deva.
"Iya. Kak Shilla kan jago masak" ungkap Keke bangga. "Nah, kalo kak Shilla gue percaya. Kalo elo jago masak gue gak percaya" ujar Deva.
"Kurang asem lo!" seru Keke. Deva tertawa, lalu mencomot lebih banyak kue. Keke mengikuti Deva. Tiba-tiba bel berbunyi. Deva melihat jam.
"Bentar ya, gue bukain pintu dulu" ujar Keke sambil bangkit. Deva mengangguk. Setelah Keke pergi Deva tersenyum. Udah saatnya, pikir Deva senang. Di depan pintu, Keke bingung.
"Tapi saya gak mesen ini!" seru Keke.
"Tapi alamatnya tertuju ke sini, atas nama Gabrielle Angeline Thalitha Pangemanan" ucap salah seorang petugas.
"Iya, tapi saya atau kakak saya gak mesen ini" ujar Keke, tetap bersikukuh dengan pendapatnya.
"Maaf, mungkin ini kejutan. Terima kasih" pamit petugas tersebut lalu pergi. Keke bingung. Gue harus apain nih bunga, boneka, sama cokelat? Cokelat pengen gue makan, tapi kalau ini kiriman nyasar kan gak enak... ah bawa masuk dulu deh! pikir Keke lalu masuk. Ia ke ruang tamu lagi, membawa sebuah boneka teddy bear besar berwarna cokelat, sebuah buket bunga besar berisi bunga mawar dan lily, dan sebuah kotak cokelat berbentuk hati. Keke menaruhnya di meja.
"Lo beli apaan? Gila, kok feminin abis?" tanya Deva, memperhatikan semua benda-benda tersebut.
"Gak tau, ada yang ngirimin ke sini. Cokelatnya sih lumayan, tapi kalau kiriman nyasar kan repot sendiri" ujar Keke, duduk di samping Deva, bersandar. Ia memperhatikan ketiga benda tersebut. Deva menggerutu. Ternyata si Keke gak sadar! Huuhhh, segede bagong gitu masa gak keliatan sih? pikir Deva sebal.
"Eh?" tanya Keke, langsung duduk tegak.
"Kenapa Ke?" tanya Deva penuh harap.
"Ini ada tulisan" jawab Keke, menunjuk ke arah boneka. Boneka tersebut sedang memegang sebuah hati, dan di hati itu ada tulisan.
"I love you Keke" ujar Deva.
"Iya, tulisannya itu" tanggap Keke, mengangkat boneka tersebut. Deva menggeleng.
"Bukan" ujarnya.
"Lo buta ya? Tulisannya tuh itu, baca deh" ucap Keke, menyodorkan boneka tersebut.
"Iya gue tau itu tulisannya" ujar Deva.
"Trus?" tanya Keke, memainkan boneka tersebut. Jantung Deva berdebar-debar. Ia menarik nafas panjang, lalu ia meraih kedua tangan Keke dan menggenggamnya. Ia menatap Keke tepat di matanya. Jantung Keke berdebar-debar tak karuan.
"Sejak pertama kali gue ngeliat lo di MOS, gue jatuh cinta sama lo. Gue yang ngirimin semua ini ke lo, soalnya gue mau nyatain perasaan gue. Gue sayang sama lo Ke, gue cinta sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Deva. Keke mematung, tak tau harus berkata apa. Bahasa lainnya Speechless. Ia menatap mata Deva, jantungnya berdetak hebat. Apalagi saat ia mendengar Deva berbicara tadi, jantungnya berhenti seketika. Deva juga diam, menunggu jawaban dari Keke. Jantungnya berdetak hebat, semua yang ingin ia katakan selesai sudah. Sekarang tinggal jawaban dari Keke saja.
"Ke, Dev, lo berdua ngapain?" tanya Shilla yang baru keluar dari kamarnya. Deva sama Keke tidak menghiraukannya, denger juga tidak.
"Woi lo berdua ngapain??" teriak Rio. Deva dan Keke tersentak kaget. Deva melepas genggaman tangannya, ia dan Keke menengok ke Rio dan Shilla.
"Eh kak Rio, kak Shilla... udah selesai makannya? Udah selesai nyuapin kak Shilla?" tanya Deva sambil nyengir.
"Tau dari mana lo?" tanya Rio.
"Mana kek... Deva gitu loh, tau hal-hal beginian..." jawab Deva narsis.
"Eh, lucu amet nih boneka! Bunganya bagus deh, coklat lagi! Dari siapa Ke?" tanya Shilla, mengangkat boneka teddy bear.
"I love you Keke... hayo, dari siapa?" tanya Shilla. Keke merebutnya.
"Ini semua punya Keke, dari seseorang. Jangan sentuh, ntar kotor! Udah kak Shilla sama kak Rio ke mana gitu kek, Keke sama Deva mau ngomong empat mata" ucap Keke dingin, menggendong boneka, bunga, dan cokelat miliknya sekaligus.
"Iya deh, tapi awas, jangan macem-macem lo berdua!" ancam Rio.
"Ya ampun kak, kita gak segitunya kali!" tanggap Deva.
"Serah deh, paling mereka juga mau kasmaran. Yuk Yo, kita keluar. Diusir" ajak Shilla sambil mendorong Rio ke teras rumahnya. Keke menahan nafas melihat mereka pergi. Setelah mereka hilang dari pandangan, Keke menghembuskan nafas lega.
"Jadi Ke?" tanya Deva. Keke menaruh barang-barang bawaannya di meja, lalu mengatur letaknya. Hanya untuk memperpanjang waktu berfikirnya. Deva menunggu dengan sabar. Akhirnya Keke selesai mengatur barang bawaannya, dan ia pun berdiri menghadap Deva. Mukanya serius. Deva menyiapkan diri untuk mendengar jawaban penolakan. Tetapi yang terjadi adalah : Keke meneteskan air mata dan memeluk Deva.
"Ke? Ke, lo kenapa?" tanya Deva.
"Iya, Dev... gue mau jadi pacar lo" ujar Keke, tak menghiraukan pertanyaan Deva tadi.
"Yang bener Ke?" tanya Deva kaget, melepaskan pelukan Keke dan menatapnya tepat di matanya. Keke mengangguk. Deva memeluknya lagi, wajahnya kaget bercampur senang. Tak lama kemudian Keke melepaskan pelukannya, lalu mengusap air matanya. Ia pun duduk di sofa. Deva duduk di samping Keke, lalu merangkulnya. Keke mencomot kue buatan kakaknya.
"Laper Ke?" tanya Deva. Keke mengangguk.
"Makan yuk" ajak Deva sambil bangkit.
"Yuk. Makan apa?" tanya Keke sambil berdiri.
"Serah kamu. Mau makan di mana? PIM?" tanya Deva.
"Chillate Cafe aja" jawab Keke. Deva mengerutkan keningnya.
"Di mana tuh?" tanya Deva.
"Tanya aja sama kak Rio. Pas kak Shilla ngilang nyarinya ke situ, kayaknya enak deh. Jadi pengen nyoba" jawab Keke.
"Oh ya udah, yuk keluar" ajak Deva, menggandeng tangan Keke. Keke tersenyum manis, lalu mereka berjalan ke teras rumah Keke.
"Kak Rio!" teriak Deva, menghilangkan keheningan antara Shilla dan Rio.
"Apaan?" tanya Rio, menengok ke arahnya.
"Tunjukin dong, Chillate Cafe di mana!" seru Deva.
"Mang kenapa?" tanya Rio.
"Deva sama Keke mau makan di sana" jawab Keke.
"Ngomong-ngomong kenapa kalian berdua pegangan tangan?" tanya Shilla. Deva dan Keke nyengir kuda.
"Kita udah jadian" jawab Deva, merangkul Keke. Keke membentuk angka dua di tangannya, menandakan 'peace'.
"Hah?!" tanya Shilla dan Rio berbarengan, kaget. Deva dan Keke tertawa.
"Yah... keduluan adek sendiri, gak punya pacar gue. Nasib, nasib..." keluh Shilla.
"Kita senasib Shill" ujar Rio.
"Udah, kakak jadian sama kak Rio aja, gak ada yang ngelarang kok" ucap Keke. Shilla dan Rio diam saja.
"Udah ah! Kak Rio, Chillate Cafe di mana?" tanya Deva.
"Udah ntar gue ikut lo aja, jadi penunjuk jalan. Sekalian bayar PJ" ujar Rio santai.
"Enak! Emang kakak siapa Keke sama Deva?" tanya Keke.
"Temen" jawab Rio.
"Gue bungkusin ya Yo, gue di sini aja" ujar Shilla.
"Kakak mau mainin boneka, bunga, sama cokelatku ya? Gak boleh! Awas kalau sampe nyentuh, Keke sebarin aib kakak yang waktu itu" ancam Keke. Buset dah si Keke pake tau pikiran gue segala lagi! batin Shilla kesal.
"Ya udah, kakak ikut aja ke sana" ujar Shilla pasrah. Mereka pun menuju mobil Deva.
+++
(Part 34)
Chillate Cafe
Deva pegangan tangan sama Keke, bikin Rio gatel pingin pegangan tangan sama Shilla. Eh? Kok si Shilla aneh sih? Perasaan tadi ketawa, kok sekarang jadi diem gitu? Dia liat apa sih? tanya Rio dalam hati, mengikuti arah pandangan Shilla. Buset dah, apa asyiknya ngeliatin lantai? Paling juga ngiri sama adeknya. Huuh... kenapa sih gue yang udah umur 23 masih jomblo aja, eh si Deva sama Keke yang umurnya 14 sama 13 udah pacaran. Arrgghh ngiri gue! pikir Rio kesal.
"Eh kak, kita duduk di sana aja" ujar Keke, mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar ke bahu Deva dan menunjuk ke arah sebuah meja. Shilla dan Rio mengangguk, lalu mereka segera berjalan ke meja tersebut. Deva duduk di samping Keke.
"Gimana sih, orang pacaran kan duduknya madep-madepan, ini malah samping-sampingan. Dasar pasangan aneh" komentar Rio.
"Kan itu biasanya. Ini kan ciri khas kita berdua, lagian kan lebih deket kalo kayak gini" tanggap Deva.
"Bilang aja kak Rio ngiri, udah gede masih jomblo. Kita yang masih kecil udah pacaran, iya kan?" tanya Keke. Buset dah! Si Keke bisa baca pikiran ya? tanya Rio dalam hati. Rio tak menjawab. Deva sama Keke asyik sendiri.
"Maaf, mau pesan apa?" tanya salah seorang pelayan.
"Gue pesen ioffee sama ariumushroom" ujar Rio. Pelayan tersebut menulis, lalu menunggu. Rio menatap Keke dan Deva.
"Woi lo berdua pesen apa?" tanya Rio setengah berteriak.
"Eh iya! Keke pesen ifruitpunch sama khansian steak aja" jawab Keke kaget.
"Kak Rio ngagetin aja deh... Deva mau vilate sama aizzoup" ujar Deva, lalu merangkul Keke.
"Shill? Lo pesen apa?" tanya Rio lembut. Shilla tersentak kaget.
"Apa Yo?" tanya Shilla. Rio senyum maksa. Jadi dari tadi dia bengong? Gila ya nasib gue lagi jelek! batin Rio sebal.
"Lo pesen apa?" tanya Rio, mengulangi pertanyaannya.
"Oh, gue pesen shilolly sama spicy vanyam crispy" jawab Shilla. Pelayan tadi menulis lagi.
"Lo jangan bengong dong Shill" tegur Rio.
"Sori, lagi mikirin sesuatu" ujar Shilla gugup. Rio mengangguk, tapi ia agak curiga. Ia pun menepis pemikiran itu.
"Eh Ke, ntar di rumah kakak bagi cokelat ya?" tanya Shilla, mengalihkan pembicaraan.
"Gak! Keke mau makan sama Deva!" larang Keke.
"Aelah Ke, sama kakak sendiri juga! Ayolah, berbaik hati sedikit..." ujar Shilla memelas.
"Gak boleh! Itu cokelat dari Deva, Keke gak mau ada orang yang makan kecuali Keke sama Deva!" seru Keke, tetap kukuh pada pendiriannya.
"Dev... paksa Keke dong, calon kakak ipar nih... ntar pas nikah gak kakak restuin loh" ancam Shilla, menatap Deva dengan pandangan memelas. Sedang Keke memandangnya dengan pandangan Plis-Jangan-Diturutin. Deva jadi bingung. Ia memandangi kedua cewek itu dengan tampang bingung. Keke merasa kasihan, ia pun mengalah.
"Iya deh, entar Keke kasih. Kasian Deva" ujarnya, memejamkan mata dan menghembuskan nafas.
"Yes... Keke baik deh!" seru Shilla, memeluk Keke.
"Kak, gak... bisa... nafas!!" ujar Keke.
"Eh iya sori!" ujar Shilla, melepaskan pelukannya.
"Tapi kak, di cokelat itu ada rahasia Deva kak" ujar Deva. Shilla memasang muka kecewa.
"Yah..." keluhnya.
"Sori ya kak" ucap Deva, meminta maaf pada Shilla.
"Gak pa pa kok" ujar Shilla sambil tersenyum maksa.
"Yes! Makasih Devaku..." sorak Keke, memeluk Deva. Deva memasang tampang senang.
"Apa aja deh buat Keke" ujar Deva. Keke tersenyum senang. Shilla menggerutu.
"Gila ya, zaman sekarang udah gokil! Anak kecil aja tau gimana caranya ngegombal" komentar Rio sebal.
"Hebat kan kak? Eh udah dateng!" ujar Keke, melepaskan pelukannya dan duduk tegak, siap untuk makan. Setelah semua pesanan ditaruh di meja, mereka semua pun makan.
"Ke, cobain dong" ujar Deva. Keke mengangguk, lalu mempersilahkan Deva untuk mencomot.
"Suapin maksudku" jelas Deva. Keke tersedak.
"Eh? Keke!" seru Deva kaget, memberi Keke minum. Keke pun minum.
"Haah..." ujar Keke lega. Deva memperhatikannya.
"Kenapa Ke?" tanya Rio.
"Enggak kok, keselek doang. Nih Dev, Aaa..." ujar Keke, menyuapi Deva. Deva memakannya dengan senang hati.
"Yah mesraan lagi. Jadi gak enak ganggu" komentar Shilla.
"Ya udah, sana pergi!" usir Keke. Deva mengangkat jempolnya tanda setuju.
"Yah diusir lagi! Yuk Yo" ajak Shilla sambil bangkit.
"Kok gue ngikut? Kan elo yang diusir" tanya Rio.
"Ya temenin guelah Yo, lo kan sahabat gue" pinta Shilla. Rio terdiam. Jadi dia cuma nganggep gue sahabat? Emang itu sih. Shilla... seandainya lo tau perasaan gue ke lo, batin Rio.
"Ya udah deh" ujar Rio pasrah, mengikuti Shilla ke sebuah meja tak jauh dari situ. Keke dan Deva suap-suapan lagi, sukses membuat Rio cemburu dan memandangi mereka terus. Sedang Shilla terus saja melamun, memikirkan sesuatu.
***
Rumah Shilla
Rio, Keke dan Shilla turun. Deva masih di mobilnya, sekalian pulang.
"Udah Dev, main aja sebentar lagi" ujar Keke.
"Sori Ke, entar papa sama mamaku marah, apalagi pas denger aku abis main dari rumah cewekku" ucap Deva.
"Oh ya udah deh, sampai ketemu besok ya" ujar Keke.
"Iya, selamat malam Keke, tidur yang nyenyak ya" kata Deva.
"Iya Dev, pasti. Aku malem ini pasti mimpiin kamu" ungkap Keke.
"Aku juga, aku setiap hari mimpiin kamu" ungkap Deva. Muka Keke memerah.
"Muka kamu merah tuh... udah ya, sampai ketemu besok" pamit Deva.
"Iya Dev, dah..." ujar Keke, melambaikan tangannya.
"Dah..." sahut Deva, balas melambaikan tangan. Deva pun pergi.
"Buset dah, masih aja nyempet-nyempetin buat mesra-mesraan. Gue pulang deh" pamit Rio.
"Iya kak. Makasih ya udah mampir!" sahut Keke.
"Iya sama-sama. Eh Shill, masakin sesuatu yang enak dong besok, sebagai tanda maaf lo udah gak masuk 5 hari dan bikin khawatir semuanya" perintah Rio. Shilla mengangguk.
"Bilang aja kak Rio mau makan masakannya kak Shilla!" celetuk Keke. Buset dah, ni anak beneran bisa baca pikiran orang ya? tanya Rio jengkel.
"Kan saran doang, lagian si Shilla udah gak masuk 5 hari gak ngabarin, wajib dong minta maaf!" ujar Rio ngeles.
"Halah, gak usah boong deh kak" desak Keke.
"Udah udah diem, iya ntar gue buatin. Udah sana pergi" usir Shilla.
"Yee... ngusir nih ceritanya? Dah.." pamit Rio sambil menaiki motornya dan pergi. Shilla memandangi Rio sampai pergi, lalu ia pun masuk ke rumahnya, diikuti oleh Keke. Sesampainya di rumah, Keke duduk di sofa ruang tamu.
"Bagi cokelat ya Ke" ujar Shilla.
"Iya, tapi entar. Abis Keke liat apa rahasianya Deva" sahut Keke.
"Oh oke, kakak ganti baju dulu ya" ucap Shilla. Keke mengangguk. Shilla pun pergi ke kamarnya. Keke mengambil boneka pemberian Deva, lalu memeluknya. Betapa kagetnya ketika ia memencet perut boneka tersebut muncul sebuah suara.
"Buat Keke dari Deva... love you forever Ke" ucap suara tersebut. Keke memencetnya lagi. Suara tersebut terdengar lagi. Keke tersenyum. Deva emang penuh kejutan orangnya, batinnya. Ia pun menaruh boneka tersebut di sampingnya, lalu mengambil bunga. Ini bunga beneran? Wah bagus banget! batin Keke kagum. Tiba-tiba ia menyadari ada surat yang diselipkan di salah satu bunga. Keke mengambilnya.
Rawat bunga ini ya, bunga ini harus selalu hidup, pikir Keke, membaca tulisan di surat itu. Ia pun tersenyum lagi, semakin lebar. Ia menaruh bunga tersebut di samping bonekanya, lalu ia mengambil cokelat. Ia membuka kotaknya. Isinya satu cokelat besar berbentuk hati, bertuliskan
"Keke, aku sayang kamu seumur hidupku. Aku gak mau ngelepasin kamu, dan cuma kamu yang ada di pikiranku. Aku memimpikanmu tiap malam, dan melihatmu saja aku sudah bahagia. Dimakan ya cokelatnya, jangan disimpen aja. Mubazir. Tidur yang nyenyak ya malam ini... Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. PS : Ini cokelat buatanku loh" ujar Shilla, membaca tulisan yang ada di cokelat tersebut.
"Kyaa!!" teriak Keke.
"Apa sih?" tanya Shilla.
"Kakak kayak hantu aja, tiba-tiba ada di belakang Keke. Gak jadi Keke bagi cokelatnya kak, Keke mau makan sendiri. Ini buatan Deva soalnya" ujar Keke, menutup kotak cokelat tersebut dan membawa ketiga barangnya ke kamarnya.
"Keke pelit!!" teriak Shilla.
"Emang!" Keke balas berteriak. Shilla cemberut, lalu berjalan menuju kamarnya. Keke menutup pintu kamarnya dengan kaki, lalu menaruh barang bawaannya di meja. Ia mengambil vas bunga pemberian Shilla pada ulang tahunnya yang ke-12, menyusun bunga pemberian Deva di situ, lalu menaruhnya di meja. Ia duduk dan memandangi bunga itu selama semenit, lalu mengambil boneka teddy bearnya. Ia menaruhnya di kasur agar bisa ia peluk nanti saat tidur. Ia pun membuka kotak cokelatnya dan memandangi cokelatnya. Sayang banget ni cokelat dimakan... bagus banget sih. Ah gue potret aja, batin Keke. Ia pun memotret cokelat tersebut dengan kameranya, lalu memakannya dengan nikmat. Ia tersenyum, ternyata Deva jago buat cokelat.
Setelah menghabiskan cokelatnya ia berganti baju dan berbaring di kasurnya. Ia memeluk boneka pemberian Deva. Ia memencet perut boneka tersebut. Suara Deva keluar lagi. Keke tersenyum senang, lalu ia memeluk boneka teddy bear itu erat-erat. Dan ia pun memejamkan mata, dan bermimpi tentang Deva dan barang-barang pemberiannya.
***
Keesokan harinya
Shilla dan Keke sarapan di ruang makan. Shilla telah pulih lagi, karena itu ia membuat sarapan berupa paella.
"Mm... enak kak! Masakan kak Shilla emang top!" komentar Keke, memakan paellanya. Shilla tersenyum. Ia sedang memasukkan paella ke beberapa tempat makan untuk dibawa ke kampus.
"Udah ya kak, Keke udah ditungguin Deva tuh!" pamit Keke setelah selesai makan.
"Iya, tapi anterin kakak dulu ke kampus!" ujar Shilla.
"Aelah kak, nanti Keke telat!" keluh Keke.
"Makin lama kita debat, makin telat kamu masuknya" ujar Shilla santai, lalu memasukkan tempat-tempat makanan tadi ke tasnya.
"Yuk" ajak Shilla, menuju pintu depan rumahnya. Mereka pun menghampiri Deva.
"Hai Dev" sapa Keke.
"Udah siap?" tanya Deva.
"Udah, tapi kakakku mau ikut" jawab Keke.
"Ngapain kakakmu ke sekolah kita?" tanya Deva kaget.
"Bukan ke sekolah kalian, anterin ke kampus" jawab Shilla.
"Hah? Ntar kita telat kak" ujar Deva.
"Makin lama debat makin telat kalian. Udah ah buruan!" perintah Shilla, langsung naik mobil Deva. Keke menggerutu lalu naik juga.
Sesampainya di kampus depan kampus, Shilla masih pengen godain pasangan di depannya ini gara-gara udah bikin dia ngiri.
"Kak! Udah nyampe kak!" seru Deva.
"Iya bentar, ini ada BBM (Blackberry Messenger, bukan Bahan Bakar Minyak)" sahut Shilla, memegang HPnya dan berlagak seolah-olah ada pesan masuk. Keke yang tak sabar langsung turun dari mobil Deva, lalu menyeret kakaknya keluar.
"Au sakit Ke! Iya iya kakak keluar!" teriak Shilla kesakitan.
"Makanya, gak usah sok lama-lamain deh!" ujar Keke, melepas tangannya. Buset dah, gue punya cewek garang amet! batin Deva ngeri.
"Dasar! Sabar ya Dev, lo dapet cewek garangnya minta ampun. Ke, jangan mukulin Deva lo!" ancam Shilla.
"Ngapain? Udah sana pergi hus hus!" usir Keke. Shilla pun menyambar tasnya, lalu turun dan pergi. Keke langsung naik lagi ke mobil Deva. Mobil Deva langsung melaju.
"Ke, tadi kamu serem banget!" komentar Deva sambil begidik ngeri. Keke nyengir.
"Masalahnya kalau gak digituin kak Shilla bakalan di situ mulu" ungkap Keke. Deva manggut-manggut.
---
NEXT PART
---
(Part 33)
"Udah nyampe, Ke" ujar Deva.
"Iya. Makasih ya" tanggap Keke, turun dari mobil Deva.
"Sabar ya Ke" ucap Deva.
"Iya. Hati-hati di jalan ya" ujar Keke. Deva tersenyum, membuat Keke meleleh. Keke menunduk.
"Udah ya Ke, gue pulang ke rumah" pamit Deva.
"I... iya, makasih ya" sahut Keke gugup, masih menunduk. Deva pun memacu mobilnya ke rumahnya. Keke memerhatikan Deva, setelah Deva hilang dari pandangannya ia pun masuk ke rumahnya. Gue harus bisa tegar, udah cukup gue nangis. Gue harus mandiri, dan gak ngandalin orang lain mulu. Gila ya, gue laper. Padahal baru aja tadi makan! batin Keke. Ia pun berjalan ke arah dapur. Hmm... buat apa ya? Yang gampang-gampang aja deh! pikir Keke lalu membuka kulkas. Bikin telor aja, kan gampang. Diapain ya? Dadar aja deh! batinnya, mengambil sebutir telur dari kulkas. Ia memecahkannya, menaruh cairan yang ada di dalamnya ke dalam mangkuk, mengocoknya, lalu memasaknya. Ia pun mengambil nasi putih dan mulai makan. Setelah makan ia menghampiri kakaknya. Kakaknya masih menangis, tubuhnya lemas.
"Kak, kakak makan ya? Keke buatin sesuatu" ujar Keke. Kakaknya menggeleng, lalu menangis lagi.
"Kak, kakak gak boleh gini, entar kakak bakalan sakit dan mati kelaperan. Entar Keke gimana? Ini aja Keke gak ngerti harus gimana. Kakak kan kakaknya Keke, harusnya kakak yang ngasih tau Keke harus gimana. Keke masih kecil kak, masih kelas 8, umur 13. Belum remaja, gak seharusnya Keke pusing sendiri dan ngehibur kakak" ujar Keke. Shilla hanya terus menangis.
"Tadi kak Alvin sama kak Zahra mampir ke sekolahnya Keke, katanya mau jemput Keke sekalian jenguk kakak. Kakak masuk kampus lagi ya?" pinta Keke. Shilla menggeleng.
"Ya udah, tapi kakak harus makan" perintah Keke. Shilla masih menggeleng.
"Kak, Keke harus gimana? Keke rindu sama kak Shilla yang dulu, yang masakin Keke tiap hari, ngebantuin Keke sama PR Keke, dan ngajak jalan Keke. Keke mau kak Shilla yang dulu, yang selalu ceria, bukan kak Shilla yang murung dan selalu nangis kayak gini! Kakak tuh nambah-nambahin stressnya Keke aja!" teriak Keke emosi lalu pergi. Shilla terus saja menangis, tetapi hatinya sakit. Keke benar, tapi ia tak bisa menahan air matanya keluar.
***
2 hari kemudian
Hari ini genap 5 hari Shilla gak masuk kampus. Rio jadi makin khawatir. Akhirnya ia memutuskan, hari ini ia harus mengunjungi Shilla. Sepulang dari kampus ia langsung menuju rumah Shilla dengan motornya itu. Ia tidak berkonsentrasi dengan motornya, yang ia masuk di pikirannya hanya Shilla.
***
Rumah Shilla
Rio menekan tombol bel. Tak lama kemudian pintu dibuka.
"Eh, kak Rio. Ada apa?" tanya Keke yang membukakan pintu.
"Lagi mau ke sini aja. Shillanya ada?" tanya Rio. Keke menengok ke belakang dengan muka khawatir.
"Masuk aja kak" ujarnya. Rio pun memasuki rumah Shilla. Betapa kagetnya dia, di ruang tamu ada seorang cowok yang duduk di sofa.
"Siapa Ke?" tanya cowok tersebut.
"Kenalin, ini kak Rio. Kak Rio, ini Deva, temenku di sekolah" ujar Keke, memperkenalkan keduanya.
"Rio" ujar Rio, mengulurkan tangannya.
"Deva" ujar Deva, menjabat tangan Rio.
"Duduk kak" perintah Keke. Rio menurut. Ia duduk di sebuah kursi.
"Kak, Dev, Keke ke kak Shilla dulu ya" pamit Keke.
"Emangnya si Shilla kenapa?" tanya Rio.
"Lagi sakit" jawab Keke berbohong.
"Sakit apa?" tanya Deva, pura-pura tidak tau apa-apa.
"Demam" jawab Keke. "Udah ya, Keke ngurusin kak Shilla dulu" pamit Keke lalu pergi ke kamar Shilla.
***
Kamar Shilla
Keke masuk, lalu melihat kakaknya sedang menangis seperti biasa. Sebuah mangkuk berisi bubur tak disentuh Shilla, padahal bubur itu disiapkan oleh Keke supaya kakaknya makan.
"Kak, makan ya... udah 5 hari kakak gak makan. Nanti sakit, ayo dimakan" ujar Keke. Shilla menggeleng.
"Ayolah kak, liat tuh, kakak udah lemes. Ayo makan" paksa Keke. Shilla masih saja menggeleng. Keke menyendok bubur, lalu menyuapi kakaknya.
"Ayo kak, buka mulutnya" ujarnya. Shilla mentup mulutnya rapat-rapat dan menggeleng.
"Ayolah kak, kak Rio mampir tuh. Deva juga mampir. Malu dong" ujar Keke. Shilla menggeleng dan menangis lagi.
"Ya udah, tapi nanti harus makan. Keke mau ngeladenin Deva sama kak Rio" pamit Keke lalu pergi ke ruang tamu.
***
Ruang tamu
"Gimana si Shilla?" tanya Rio.
"Gak mau makan, nangis mulu" jawab Keke.
"Nangis? Nangis kenapa?" tanya Rio bingung. Deva memberi pandangan Mampus-Lo-Ketauan-Sama-Dia ke Keke. Keke menutup mulutnya.
"Si Shilla kenapa?" tanya Rio panik. Keke diam saja. Ia memandang Deva dengan tatapan Tolong-Dong.
"Si Shilla kenapa?" tanya Rio setengah membentak. Deva membalas tatapan Keke dengan tatapan Sori-Gak-Bisa. Lalu ia mengubah tatapannya menjadi Gila-Ni-Kakak-Serem-Abis.
"Si Shilla kenapa?!" teriak Rio. Keke dan Deva diam saja, takut.
"Argh!" teriak Rio lalu menuju kamar Shilla.
"Jangan kak! Cowok gak boleh masuk kamar cewek!" larang Keke.
"Biarin!" teriak Rio lalu membuka pintu kamar Shilla. Betapa kagetnya ia melihat wajah Shilla yang pucat, matanya yang merah dan bengkak, rambutnya acak-acakan, tubuhnya kurus, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya.
"Shill? Shill lo kenapa?" tanya Rio sambil menghampiri Shilla. Menyadari ada Rio di kamarnya, Shilla berhenti menangis.
"Shill, lo kenapa?" tanya Rio. Shilla diam saja.
"Ashilla Zahrantiara, lo kenapa?" tanya Rio tegas. Shilla diam saja.
"Lo gak makan-makan, ya?" tebak Rio. Shilla mengangguk lemah. Rio memandangi semangkuk bubur di atas meja.
"Itu makanannya siapa?" tanya Rio. Shilla menunjuk ke arah dirinya. Rio mengambil mangkuk bubur tersebut.
"Shill, makan ya" ujar Rio. Shilla menggeleng.
"Ayolah... Alvin, Zahra, Oik, sama Obiet bakal sedih liat lo kayak gini mulu, semua temen lo kangen sama lo. Ayo makan" ucap Rio. Shilla diam saja.
"Gue punya kabar terbaru tentang Oik, Obiet, Alvin sama Zahra loh" ungkap Rio.
"Apaan?" tanya Shilla dengan suara serak dan lemah.
"Kalau mau tau makan dulu" ujar Rio, memberikan bubur kepada Shilla. Shilla mengambilnya, tubuhnya lemas. Bubur yang dipegangnya hampir saja jatuh dan tumpah.
"Siniin!" perintah Rio, merebut mangkuk bubur dari tangan Shilla dengan cepat.
"Ntar jatoh ni mangkok, bisa nyendok gak lo?" tanya Rio. Shilla menggeleng lemas. Rio pun menyendok bubur tersebut.
"Buka mulutnya!" perintah Rio. Shilla menurut. Rio pun menyuapi Shilla. Keke yang mengintip sedari tadi tersenyum, masalahnya beres.
***
Ruang tamu
"Gimana Ke?" tanya Deva.
"Ya gitu deh. Kak Shilla akhirnya makan juga. Disuapin sama kak Rio tuh!" jawab Keke sambil cekikikan. Deva tertawa. Deva mencomot kue yang terhidang di meja.
"Beli di mana lo? Enak banget!" tanya Deva.
"Kak Shilla yang buat" jawab Keke, mengikuti Deva.
"Hah? Kak Shilla yang buat? Gila enak abis!" komentar Deva.
"Iya. Kak Shilla kan jago masak" ungkap Keke bangga. "Nah, kalo kak Shilla gue percaya. Kalo elo jago masak gue gak percaya" ujar Deva.
"Kurang asem lo!" seru Keke. Deva tertawa, lalu mencomot lebih banyak kue. Keke mengikuti Deva. Tiba-tiba bel berbunyi. Deva melihat jam.
"Bentar ya, gue bukain pintu dulu" ujar Keke sambil bangkit. Deva mengangguk. Setelah Keke pergi Deva tersenyum. Udah saatnya, pikir Deva senang. Di depan pintu, Keke bingung.
"Tapi saya gak mesen ini!" seru Keke.
"Tapi alamatnya tertuju ke sini, atas nama Gabrielle Angeline Thalitha Pangemanan" ucap salah seorang petugas.
"Iya, tapi saya atau kakak saya gak mesen ini" ujar Keke, tetap bersikukuh dengan pendapatnya.
"Maaf, mungkin ini kejutan. Terima kasih" pamit petugas tersebut lalu pergi. Keke bingung. Gue harus apain nih bunga, boneka, sama cokelat? Cokelat pengen gue makan, tapi kalau ini kiriman nyasar kan gak enak... ah bawa masuk dulu deh! pikir Keke lalu masuk. Ia ke ruang tamu lagi, membawa sebuah boneka teddy bear besar berwarna cokelat, sebuah buket bunga besar berisi bunga mawar dan lily, dan sebuah kotak cokelat berbentuk hati. Keke menaruhnya di meja.
"Lo beli apaan? Gila, kok feminin abis?" tanya Deva, memperhatikan semua benda-benda tersebut.
"Gak tau, ada yang ngirimin ke sini. Cokelatnya sih lumayan, tapi kalau kiriman nyasar kan repot sendiri" ujar Keke, duduk di samping Deva, bersandar. Ia memperhatikan ketiga benda tersebut. Deva menggerutu. Ternyata si Keke gak sadar! Huuhhh, segede bagong gitu masa gak keliatan sih? pikir Deva sebal.
"Eh?" tanya Keke, langsung duduk tegak.
"Kenapa Ke?" tanya Deva penuh harap.
"Ini ada tulisan" jawab Keke, menunjuk ke arah boneka. Boneka tersebut sedang memegang sebuah hati, dan di hati itu ada tulisan.
"I love you Keke" ujar Deva.
"Iya, tulisannya itu" tanggap Keke, mengangkat boneka tersebut. Deva menggeleng.
"Bukan" ujarnya.
"Lo buta ya? Tulisannya tuh itu, baca deh" ucap Keke, menyodorkan boneka tersebut.
"Iya gue tau itu tulisannya" ujar Deva.
"Trus?" tanya Keke, memainkan boneka tersebut. Jantung Deva berdebar-debar. Ia menarik nafas panjang, lalu ia meraih kedua tangan Keke dan menggenggamnya. Ia menatap Keke tepat di matanya. Jantung Keke berdebar-debar tak karuan.
"Sejak pertama kali gue ngeliat lo di MOS, gue jatuh cinta sama lo. Gue yang ngirimin semua ini ke lo, soalnya gue mau nyatain perasaan gue. Gue sayang sama lo Ke, gue cinta sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Deva. Keke mematung, tak tau harus berkata apa. Bahasa lainnya Speechless. Ia menatap mata Deva, jantungnya berdetak hebat. Apalagi saat ia mendengar Deva berbicara tadi, jantungnya berhenti seketika. Deva juga diam, menunggu jawaban dari Keke. Jantungnya berdetak hebat, semua yang ingin ia katakan selesai sudah. Sekarang tinggal jawaban dari Keke saja.
"Ke, Dev, lo berdua ngapain?" tanya Shilla yang baru keluar dari kamarnya. Deva sama Keke tidak menghiraukannya, denger juga tidak.
"Woi lo berdua ngapain??" teriak Rio. Deva dan Keke tersentak kaget. Deva melepas genggaman tangannya, ia dan Keke menengok ke Rio dan Shilla.
"Eh kak Rio, kak Shilla... udah selesai makannya? Udah selesai nyuapin kak Shilla?" tanya Deva sambil nyengir.
"Tau dari mana lo?" tanya Rio.
"Mana kek... Deva gitu loh, tau hal-hal beginian..." jawab Deva narsis.
"Eh, lucu amet nih boneka! Bunganya bagus deh, coklat lagi! Dari siapa Ke?" tanya Shilla, mengangkat boneka teddy bear.
"I love you Keke... hayo, dari siapa?" tanya Shilla. Keke merebutnya.
"Ini semua punya Keke, dari seseorang. Jangan sentuh, ntar kotor! Udah kak Shilla sama kak Rio ke mana gitu kek, Keke sama Deva mau ngomong empat mata" ucap Keke dingin, menggendong boneka, bunga, dan cokelat miliknya sekaligus.
"Iya deh, tapi awas, jangan macem-macem lo berdua!" ancam Rio.
"Ya ampun kak, kita gak segitunya kali!" tanggap Deva.
"Serah deh, paling mereka juga mau kasmaran. Yuk Yo, kita keluar. Diusir" ajak Shilla sambil mendorong Rio ke teras rumahnya. Keke menahan nafas melihat mereka pergi. Setelah mereka hilang dari pandangan, Keke menghembuskan nafas lega.
"Jadi Ke?" tanya Deva. Keke menaruh barang-barang bawaannya di meja, lalu mengatur letaknya. Hanya untuk memperpanjang waktu berfikirnya. Deva menunggu dengan sabar. Akhirnya Keke selesai mengatur barang bawaannya, dan ia pun berdiri menghadap Deva. Mukanya serius. Deva menyiapkan diri untuk mendengar jawaban penolakan. Tetapi yang terjadi adalah : Keke meneteskan air mata dan memeluk Deva.
"Ke? Ke, lo kenapa?" tanya Deva.
"Iya, Dev... gue mau jadi pacar lo" ujar Keke, tak menghiraukan pertanyaan Deva tadi.
"Yang bener Ke?" tanya Deva kaget, melepaskan pelukan Keke dan menatapnya tepat di matanya. Keke mengangguk. Deva memeluknya lagi, wajahnya kaget bercampur senang. Tak lama kemudian Keke melepaskan pelukannya, lalu mengusap air matanya. Ia pun duduk di sofa. Deva duduk di samping Keke, lalu merangkulnya. Keke mencomot kue buatan kakaknya.
"Laper Ke?" tanya Deva. Keke mengangguk.
"Makan yuk" ajak Deva sambil bangkit.
"Yuk. Makan apa?" tanya Keke sambil berdiri.
"Serah kamu. Mau makan di mana? PIM?" tanya Deva.
"Chillate Cafe aja" jawab Keke. Deva mengerutkan keningnya.
"Di mana tuh?" tanya Deva.
"Tanya aja sama kak Rio. Pas kak Shilla ngilang nyarinya ke situ, kayaknya enak deh. Jadi pengen nyoba" jawab Keke.
"Oh ya udah, yuk keluar" ajak Deva, menggandeng tangan Keke. Keke tersenyum manis, lalu mereka berjalan ke teras rumah Keke.
"Kak Rio!" teriak Deva, menghilangkan keheningan antara Shilla dan Rio.
"Apaan?" tanya Rio, menengok ke arahnya.
"Tunjukin dong, Chillate Cafe di mana!" seru Deva.
"Mang kenapa?" tanya Rio.
"Deva sama Keke mau makan di sana" jawab Keke.
"Ngomong-ngomong kenapa kalian berdua pegangan tangan?" tanya Shilla. Deva dan Keke nyengir kuda.
"Kita udah jadian" jawab Deva, merangkul Keke. Keke membentuk angka dua di tangannya, menandakan 'peace'.
"Hah?!" tanya Shilla dan Rio berbarengan, kaget. Deva dan Keke tertawa.
"Yah... keduluan adek sendiri, gak punya pacar gue. Nasib, nasib..." keluh Shilla.
"Kita senasib Shill" ujar Rio.
"Udah, kakak jadian sama kak Rio aja, gak ada yang ngelarang kok" ucap Keke. Shilla dan Rio diam saja.
"Udah ah! Kak Rio, Chillate Cafe di mana?" tanya Deva.
"Udah ntar gue ikut lo aja, jadi penunjuk jalan. Sekalian bayar PJ" ujar Rio santai.
"Enak! Emang kakak siapa Keke sama Deva?" tanya Keke.
"Temen" jawab Rio.
"Gue bungkusin ya Yo, gue di sini aja" ujar Shilla.
"Kakak mau mainin boneka, bunga, sama cokelatku ya? Gak boleh! Awas kalau sampe nyentuh, Keke sebarin aib kakak yang waktu itu" ancam Keke. Buset dah si Keke pake tau pikiran gue segala lagi! batin Shilla kesal.
"Ya udah, kakak ikut aja ke sana" ujar Shilla pasrah. Mereka pun menuju mobil Deva.
+++
(Part 34)
Chillate Cafe
Deva pegangan tangan sama Keke, bikin Rio gatel pingin pegangan tangan sama Shilla. Eh? Kok si Shilla aneh sih? Perasaan tadi ketawa, kok sekarang jadi diem gitu? Dia liat apa sih? tanya Rio dalam hati, mengikuti arah pandangan Shilla. Buset dah, apa asyiknya ngeliatin lantai? Paling juga ngiri sama adeknya. Huuh... kenapa sih gue yang udah umur 23 masih jomblo aja, eh si Deva sama Keke yang umurnya 14 sama 13 udah pacaran. Arrgghh ngiri gue! pikir Rio kesal.
"Eh kak, kita duduk di sana aja" ujar Keke, mengangkat kepalanya yang sedari tadi bersandar ke bahu Deva dan menunjuk ke arah sebuah meja. Shilla dan Rio mengangguk, lalu mereka segera berjalan ke meja tersebut. Deva duduk di samping Keke.
"Gimana sih, orang pacaran kan duduknya madep-madepan, ini malah samping-sampingan. Dasar pasangan aneh" komentar Rio.
"Kan itu biasanya. Ini kan ciri khas kita berdua, lagian kan lebih deket kalo kayak gini" tanggap Deva.
"Bilang aja kak Rio ngiri, udah gede masih jomblo. Kita yang masih kecil udah pacaran, iya kan?" tanya Keke. Buset dah! Si Keke bisa baca pikiran ya? tanya Rio dalam hati. Rio tak menjawab. Deva sama Keke asyik sendiri.
"Maaf, mau pesan apa?" tanya salah seorang pelayan.
"Gue pesen ioffee sama ariumushroom" ujar Rio. Pelayan tersebut menulis, lalu menunggu. Rio menatap Keke dan Deva.
"Woi lo berdua pesen apa?" tanya Rio setengah berteriak.
"Eh iya! Keke pesen ifruitpunch sama khansian steak aja" jawab Keke kaget.
"Kak Rio ngagetin aja deh... Deva mau vilate sama aizzoup" ujar Deva, lalu merangkul Keke.
"Shill? Lo pesen apa?" tanya Rio lembut. Shilla tersentak kaget.
"Apa Yo?" tanya Shilla. Rio senyum maksa. Jadi dari tadi dia bengong? Gila ya nasib gue lagi jelek! batin Rio sebal.
"Lo pesen apa?" tanya Rio, mengulangi pertanyaannya.
"Oh, gue pesen shilolly sama spicy vanyam crispy" jawab Shilla. Pelayan tadi menulis lagi.
"Lo jangan bengong dong Shill" tegur Rio.
"Sori, lagi mikirin sesuatu" ujar Shilla gugup. Rio mengangguk, tapi ia agak curiga. Ia pun menepis pemikiran itu.
"Eh Ke, ntar di rumah kakak bagi cokelat ya?" tanya Shilla, mengalihkan pembicaraan.
"Gak! Keke mau makan sama Deva!" larang Keke.
"Aelah Ke, sama kakak sendiri juga! Ayolah, berbaik hati sedikit..." ujar Shilla memelas.
"Gak boleh! Itu cokelat dari Deva, Keke gak mau ada orang yang makan kecuali Keke sama Deva!" seru Keke, tetap kukuh pada pendiriannya.
"Dev... paksa Keke dong, calon kakak ipar nih... ntar pas nikah gak kakak restuin loh" ancam Shilla, menatap Deva dengan pandangan memelas. Sedang Keke memandangnya dengan pandangan Plis-Jangan-Diturutin. Deva jadi bingung. Ia memandangi kedua cewek itu dengan tampang bingung. Keke merasa kasihan, ia pun mengalah.
"Iya deh, entar Keke kasih. Kasian Deva" ujarnya, memejamkan mata dan menghembuskan nafas.
"Yes... Keke baik deh!" seru Shilla, memeluk Keke.
"Kak, gak... bisa... nafas!!" ujar Keke.
"Eh iya sori!" ujar Shilla, melepaskan pelukannya.
"Tapi kak, di cokelat itu ada rahasia Deva kak" ujar Deva. Shilla memasang muka kecewa.
"Yah..." keluhnya.
"Sori ya kak" ucap Deva, meminta maaf pada Shilla.
"Gak pa pa kok" ujar Shilla sambil tersenyum maksa.
"Yes! Makasih Devaku..." sorak Keke, memeluk Deva. Deva memasang tampang senang.
"Apa aja deh buat Keke" ujar Deva. Keke tersenyum senang. Shilla menggerutu.
"Gila ya, zaman sekarang udah gokil! Anak kecil aja tau gimana caranya ngegombal" komentar Rio sebal.
"Hebat kan kak? Eh udah dateng!" ujar Keke, melepaskan pelukannya dan duduk tegak, siap untuk makan. Setelah semua pesanan ditaruh di meja, mereka semua pun makan.
"Ke, cobain dong" ujar Deva. Keke mengangguk, lalu mempersilahkan Deva untuk mencomot.
"Suapin maksudku" jelas Deva. Keke tersedak.
"Eh? Keke!" seru Deva kaget, memberi Keke minum. Keke pun minum.
"Haah..." ujar Keke lega. Deva memperhatikannya.
"Kenapa Ke?" tanya Rio.
"Enggak kok, keselek doang. Nih Dev, Aaa..." ujar Keke, menyuapi Deva. Deva memakannya dengan senang hati.
"Yah mesraan lagi. Jadi gak enak ganggu" komentar Shilla.
"Ya udah, sana pergi!" usir Keke. Deva mengangkat jempolnya tanda setuju.
"Yah diusir lagi! Yuk Yo" ajak Shilla sambil bangkit.
"Kok gue ngikut? Kan elo yang diusir" tanya Rio.
"Ya temenin guelah Yo, lo kan sahabat gue" pinta Shilla. Rio terdiam. Jadi dia cuma nganggep gue sahabat? Emang itu sih. Shilla... seandainya lo tau perasaan gue ke lo, batin Rio.
"Ya udah deh" ujar Rio pasrah, mengikuti Shilla ke sebuah meja tak jauh dari situ. Keke dan Deva suap-suapan lagi, sukses membuat Rio cemburu dan memandangi mereka terus. Sedang Shilla terus saja melamun, memikirkan sesuatu.
***
Rumah Shilla
Rio, Keke dan Shilla turun. Deva masih di mobilnya, sekalian pulang.
"Udah Dev, main aja sebentar lagi" ujar Keke.
"Sori Ke, entar papa sama mamaku marah, apalagi pas denger aku abis main dari rumah cewekku" ucap Deva.
"Oh ya udah deh, sampai ketemu besok ya" ujar Keke.
"Iya, selamat malam Keke, tidur yang nyenyak ya" kata Deva.
"Iya Dev, pasti. Aku malem ini pasti mimpiin kamu" ungkap Keke.
"Aku juga, aku setiap hari mimpiin kamu" ungkap Deva. Muka Keke memerah.
"Muka kamu merah tuh... udah ya, sampai ketemu besok" pamit Deva.
"Iya Dev, dah..." ujar Keke, melambaikan tangannya.
"Dah..." sahut Deva, balas melambaikan tangan. Deva pun pergi.
"Buset dah, masih aja nyempet-nyempetin buat mesra-mesraan. Gue pulang deh" pamit Rio.
"Iya kak. Makasih ya udah mampir!" sahut Keke.
"Iya sama-sama. Eh Shill, masakin sesuatu yang enak dong besok, sebagai tanda maaf lo udah gak masuk 5 hari dan bikin khawatir semuanya" perintah Rio. Shilla mengangguk.
"Bilang aja kak Rio mau makan masakannya kak Shilla!" celetuk Keke. Buset dah, ni anak beneran bisa baca pikiran orang ya? tanya Rio jengkel.
"Kan saran doang, lagian si Shilla udah gak masuk 5 hari gak ngabarin, wajib dong minta maaf!" ujar Rio ngeles.
"Halah, gak usah boong deh kak" desak Keke.
"Udah udah diem, iya ntar gue buatin. Udah sana pergi" usir Shilla.
"Yee... ngusir nih ceritanya? Dah.." pamit Rio sambil menaiki motornya dan pergi. Shilla memandangi Rio sampai pergi, lalu ia pun masuk ke rumahnya, diikuti oleh Keke. Sesampainya di rumah, Keke duduk di sofa ruang tamu.
"Bagi cokelat ya Ke" ujar Shilla.
"Iya, tapi entar. Abis Keke liat apa rahasianya Deva" sahut Keke.
"Oh oke, kakak ganti baju dulu ya" ucap Shilla. Keke mengangguk. Shilla pun pergi ke kamarnya. Keke mengambil boneka pemberian Deva, lalu memeluknya. Betapa kagetnya ketika ia memencet perut boneka tersebut muncul sebuah suara.
"Buat Keke dari Deva... love you forever Ke" ucap suara tersebut. Keke memencetnya lagi. Suara tersebut terdengar lagi. Keke tersenyum. Deva emang penuh kejutan orangnya, batinnya. Ia pun menaruh boneka tersebut di sampingnya, lalu mengambil bunga. Ini bunga beneran? Wah bagus banget! batin Keke kagum. Tiba-tiba ia menyadari ada surat yang diselipkan di salah satu bunga. Keke mengambilnya.
Rawat bunga ini ya, bunga ini harus selalu hidup, pikir Keke, membaca tulisan di surat itu. Ia pun tersenyum lagi, semakin lebar. Ia menaruh bunga tersebut di samping bonekanya, lalu ia mengambil cokelat. Ia membuka kotaknya. Isinya satu cokelat besar berbentuk hati, bertuliskan
"Keke, aku sayang kamu seumur hidupku. Aku gak mau ngelepasin kamu, dan cuma kamu yang ada di pikiranku. Aku memimpikanmu tiap malam, dan melihatmu saja aku sudah bahagia. Dimakan ya cokelatnya, jangan disimpen aja. Mubazir. Tidur yang nyenyak ya malam ini... Anak Agung Ngurah Deva Ekada Saputra. PS : Ini cokelat buatanku loh" ujar Shilla, membaca tulisan yang ada di cokelat tersebut.
"Kyaa!!" teriak Keke.
"Apa sih?" tanya Shilla.
"Kakak kayak hantu aja, tiba-tiba ada di belakang Keke. Gak jadi Keke bagi cokelatnya kak, Keke mau makan sendiri. Ini buatan Deva soalnya" ujar Keke, menutup kotak cokelat tersebut dan membawa ketiga barangnya ke kamarnya.
"Keke pelit!!" teriak Shilla.
"Emang!" Keke balas berteriak. Shilla cemberut, lalu berjalan menuju kamarnya. Keke menutup pintu kamarnya dengan kaki, lalu menaruh barang bawaannya di meja. Ia mengambil vas bunga pemberian Shilla pada ulang tahunnya yang ke-12, menyusun bunga pemberian Deva di situ, lalu menaruhnya di meja. Ia duduk dan memandangi bunga itu selama semenit, lalu mengambil boneka teddy bearnya. Ia menaruhnya di kasur agar bisa ia peluk nanti saat tidur. Ia pun membuka kotak cokelatnya dan memandangi cokelatnya. Sayang banget ni cokelat dimakan... bagus banget sih. Ah gue potret aja, batin Keke. Ia pun memotret cokelat tersebut dengan kameranya, lalu memakannya dengan nikmat. Ia tersenyum, ternyata Deva jago buat cokelat.
Setelah menghabiskan cokelatnya ia berganti baju dan berbaring di kasurnya. Ia memeluk boneka pemberian Deva. Ia memencet perut boneka tersebut. Suara Deva keluar lagi. Keke tersenyum senang, lalu ia memeluk boneka teddy bear itu erat-erat. Dan ia pun memejamkan mata, dan bermimpi tentang Deva dan barang-barang pemberiannya.
***
Keesokan harinya
Shilla dan Keke sarapan di ruang makan. Shilla telah pulih lagi, karena itu ia membuat sarapan berupa paella.
"Mm... enak kak! Masakan kak Shilla emang top!" komentar Keke, memakan paellanya. Shilla tersenyum. Ia sedang memasukkan paella ke beberapa tempat makan untuk dibawa ke kampus.
"Udah ya kak, Keke udah ditungguin Deva tuh!" pamit Keke setelah selesai makan.
"Iya, tapi anterin kakak dulu ke kampus!" ujar Shilla.
"Aelah kak, nanti Keke telat!" keluh Keke.
"Makin lama kita debat, makin telat kamu masuknya" ujar Shilla santai, lalu memasukkan tempat-tempat makanan tadi ke tasnya.
"Yuk" ajak Shilla, menuju pintu depan rumahnya. Mereka pun menghampiri Deva.
"Hai Dev" sapa Keke.
"Udah siap?" tanya Deva.
"Udah, tapi kakakku mau ikut" jawab Keke.
"Ngapain kakakmu ke sekolah kita?" tanya Deva kaget.
"Bukan ke sekolah kalian, anterin ke kampus" jawab Shilla.
"Hah? Ntar kita telat kak" ujar Deva.
"Makin lama debat makin telat kalian. Udah ah buruan!" perintah Shilla, langsung naik mobil Deva. Keke menggerutu lalu naik juga.
Sesampainya di kampus depan kampus, Shilla masih pengen godain pasangan di depannya ini gara-gara udah bikin dia ngiri.
"Kak! Udah nyampe kak!" seru Deva.
"Iya bentar, ini ada BBM (Blackberry Messenger, bukan Bahan Bakar Minyak)" sahut Shilla, memegang HPnya dan berlagak seolah-olah ada pesan masuk. Keke yang tak sabar langsung turun dari mobil Deva, lalu menyeret kakaknya keluar.
"Au sakit Ke! Iya iya kakak keluar!" teriak Shilla kesakitan.
"Makanya, gak usah sok lama-lamain deh!" ujar Keke, melepas tangannya. Buset dah, gue punya cewek garang amet! batin Deva ngeri.
"Dasar! Sabar ya Dev, lo dapet cewek garangnya minta ampun. Ke, jangan mukulin Deva lo!" ancam Shilla.
"Ngapain? Udah sana pergi hus hus!" usir Keke. Shilla pun menyambar tasnya, lalu turun dan pergi. Keke langsung naik lagi ke mobil Deva. Mobil Deva langsung melaju.
"Ke, tadi kamu serem banget!" komentar Deva sambil begidik ngeri. Keke nyengir.
"Masalahnya kalau gak digituin kak Shilla bakalan di situ mulu" ungkap Keke. Deva manggut-manggut.
---
NEXT PART
Label:
cerbung,
Gue Benciiii... Sama Lo
Gue Benciiii... Sama Elo!-Part 31 & 32
PREVIOUS PART
---
(Part 31)
Suara lembut Obiet menenangkan Oik. Oik pun tersenyum dan memejamkan mata, menikmati pelukan Obiet. Tak peduli berapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Biet, lo kabur dari rumah ya?" tanya Oik, melepas pelukan Obiet dan menatap mata Obiet.
"Iya, tau dari mana?" tanya Obiet bingung.
"Tadi si Zahra nelfon, katanya nyokap lo pingsan" jawab Oik. Obiet membelalak.
"Yang bener lo? Jangan bercanda deh!" tanya Obiet kaget.
"Ngapain gue bercanda coba? Yuk ah ke rumah lo, siapa tau nyokap lo bisa siuman pas denger lo pulang" jawab Oik.
"Yuk" tanggap Obiet setuju. Oik pun bangkit dan mengangkat tas-tasnya.
"Sini gue bantuin" ujar Obiet, merebut salah satu dari dua tas Oik. Ketika ia menyentuh tangan Oik, hal yang tak pernah dilakukannya sebelumnya, jantungnya berdebar-debar. Lebih kencang dari yang dirasanya selama ini ke Zahra. Apalagi saat ia menatap mata Oik, jantungnya serasa ingin berhenti. Ia tak pernah menyadari, bahwa Oik yang selalu ada di sampingnya dan memberi dukungan padanya adalah gadis yang sangat cantik, lebih cantik dari yang pernah bisa ia sadari. Jangan bilang kalau selama ini gue suka sama dia, bukan ke Zahra. Bisa kacau tuh, apalagi gue udah pake cara kotor buat ngerebut si Zahra. Waduh... melayang sia-sia deh uang gue! pikir Obiet.
"Eh gak usah!" sahut Oik, membuyarkan lamunan Obiet.
"Udah ah, berat kan? Gue bawain satu doang kok, jadi lo masih bisa usaha" paksa Obiet, berusaha mengendalikan jantungnya dan suaranya yang bergetar.
"Ya udah deh... kita ke sana naik apa?" tanya Oik.
"Taksi aja. Yuk cepet, entar nyokap gue kenapa-napa lagi!" jawab Obiet. Oik mengangguk. Mereka pun segera menyetop taksi dan berangkat ke rumah Obiet.
***
Rumah Obiet
Obiet pun membuka pintu rumahnya lalu bergegas mencari ibunya. Ia pun menemukannya, pingsan di sofa ruang tamu, ditemani oleh Zahra.
"Obiet! Lo dateng! Dari mana aja lo?" tanya Zahra panik.
"Entar aja gue ceritain. Ma? Ma? Ini Obiet, ma... bangun!" jawab Obiet lalu mengguncang-guncangkan ibunya. Tak lama kemudian ibunya sadar.
"Obiet? Obiet! Obiet kamu jangan gituin mama lagi nak..." ujar ibunya Obiet sambil memeluk anak semata wayangnya itu.
"Maafin Obiet ma, Obiet janji gak bakal ngulangin lagi" ucap Obiet, meminta maaf ke ibunya. Ibunya pun mengangguk, matanya berlinang air mata. Kejadian itu sungguh mengharukan. Akan tetapi, Oik dan Zahra yang seharusnya terharu melihatnya malah duduk di sofa, makan brownies lezat dan ngegosip. Akhirnya ibu dan anak itu melepaskan pelukannya.
"Gila ya lo berdua, lagi ada momen indah di sini lo berdua malah asyik aja!" komentar Obiet.
"Serah deh. Kan kita punya waktu sendiri" tanggap Zahra cuek. Obiet merasa aneh, kenapa getaran yang selalu dirasakannya ketika Zahra berbicara tidak ada?
"Lagian, lo sendiri kan yang bikin masalah? Kabur dari rumah gara-gara gituan doang. Childest banget sih" komentar Oik, memakan browniesnya. Obiet semakin kaget, getaran yang hilang tadi ditemukannya ketika Oik berbicara. Ia pun cepat-cepat menghilangkan getaran dan pertanyaan-pertanyaan yang melintas di kepalanya.
"Iya iya sori deh, eh browniesnya enak ya?" tanya Obiet, berusaha mengalihkan pikiran.
"Iya, enak banget loh!" jawab Oik, mengambil potongan brownies yang terakhir.
"Ammm... enak banget! Masakan nyokap lo emang top Biet!" goda Oik, memakan browniesnya dengan gaya lebay.
"Sini gue cobain" ujar Obiet, mengambil tangan Oik yang sedang memegang brownies lalu memakan browniesnya.
"Eh?" tanya Oik, mukanya memerah.
"Mmm... bener lo Ik, enak banget!" komentar Obiet sambil mengunyah brownies tersebut. Oik diam saja, salting. Ia menunduk untuk menyembunyikannya.
"Biet, tanggung jawab tuh... si Oik jadi salting!" goda Zahra. Obiet tertawa, tawa yang disukai Oik. Oik semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang malu dan salting itu. Obiet duduk di samping Oik, lalu merangkulnya. Oik semakin salting, ia memejamkan mata, berusaha mengambalikan detak jantungnya yang serasa berhenti. Wajah Obiet pucat. Ia merasakan getaran yang sungguh-sungguh hebat, dan jantungnya berhenti. Jadi dugaannya benar. Yang ia sukai bukan Zahra, melainkan Oik. Dipikir-pikir, saat Zahra ada di deket gue Oik ada. Pas gue deg-degan samping Oik gue kira gue deg-degan mikirin Zahra. Emang gue beneran suka sama Oik ya? Oik yang cantik, yang selalu ngasih gue nasehat, selalu ngasih gue dukungan penuh... Ik ternyata gue emang sayang sama lo, bukan Zahra. Lagian, si Oik selalu ada di samping gue setiap gue ketemu Zahra. Jadi bener apa yang gue rasain? Arrgghh!! Cinta tuh rumit banget sih!! Gue ngerasa bersalah udah nyakitin lo Ik, batin Obiet sedih. Kayak mimpi aja... gue dirangkul Obiet! pikir Oik berulang-ulang.
"Woi woi lo berdua jangan ngelamun! Entar kerasukan aja baru deh nyesel!" ujar Zahra, menjentikkan jarinya, membuat Oik dan Obiet tersadar dari lamunan mereka.
"Nyokap lo bikinin makanan Biet, enak banget. Makan gih lo berdua!" perintah Zahra. Oik dan Obiet menurut. Mereka mengambil makanan lalu duduk. Mereka makan dalam diam, tak tau harus bicara apa. Mereka berusaha mengendalikan detak jantung mereka yang meloncat-loncat ingin terbang ke langit. Tanpa sadar makanan mereka habis.
"Ik..." panggil Obiet ragu-ragu.
"Hmm?" sahut Oik yang sedang minum.
"Gue selama ini salah, ternyata yang gue suka tuh bukan Zahra, gue baru nyadar. Gue ternyata suka sama orang lain, dan orang ini selalu ada buat ngehibur gue, dukung gue, nasehatin gue, dan rela ngorbanin apa pun biar gue bahagia" ungkap Obiet, masih ada nada ragu-ragu dalam suaranya.
"Hmm?" tanya Oik, masih minum. Dia gak mau natap Obiet, makanya dia pura-pura minum. Bukan maksud gue GR Biet, tapi itu gue ya? tanya Oik dalam hati. Obiet diam sebentar.
"Dan orang itu ada di depan gue sekarang, lagi minum, namanya Oik Cahya Ramadlani" ungkap Obiet. Oik membelalak dan menyemburkan minumannya. Zahra yang kena.
"Eh sori Zah, gak sengaja!! Kaget banget gue!" seru Oik panik. Zahra senyum maksa.
"Gak pa pa kok" ujarnya.
"Sori banget Zah, sori..." ujar Oik. Obiet ngakak. Oik menatapnya tajam. Obiet langsung berhenti.
"Jadi intinya apa?" tanya Oik sinis.
"Lo... lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Obiet terbata-bata karena gugup. Muka Oik langsung merah semerah kepiting rebus. Nafasnya serasa berhenti. Jantungnya juga. Ia serasa melayang ke langit ke tujuh...
"Ik, lo terima gak?" tanya Obiet. Oik kembali ke dunia nyata, lalu ia tersenyum manis. Jantung Obiet serasa berhenti melihatnya.
"Iya, gue terima kok" jawab Oik.
"Yes!" teriak Obiet senang. Obiet pun memeluk Oik erat, sampai-sampai Oik gak bisa nafas.
"Ehem..." ujar ibunya Obiet. Obiet pun segera melepas pelukannya. Oik lega, nafasnya tersenggal-senggal.
"Ma, aku benci ma sama dia..." ujar Obiet, merangkul Oik. Oik menatapnya bingung. Obiet tertawa kecil.
"Aku BENCI sama Oik... aku BENER-BENER CINTA sama dia..." sambungnya. Oik tersenyum lagi, lalu memeluk Obiet.
"Aku mau jadi pacarnya, mama restuin Obiet kan?" tanya Obiet.
"Gimana ya? Obiet mau pacaran sama anak yang sopan, ramah, baik, cantik, pinter, gimana mama mau nolak?" tanya ibunya Obiet. Obiet dan Oik pun tersenyum senang, dan mereka berpelukan. Sedang Zahra udah cabut, dijemput sama Alvin yang marah gara-gara dia udah nyari Obiet selama 4 jam, padahal Obiet udah ketemu.
***
Sementara itu, Shilla
Shilla kebanjiran kado dan kue, serta ucapan selamat ulang tahun. Memang, hari itu tanggal 25 Februari, hari ulang tahun Shilla. Bahkan, baju dan badannya sudah penuh dengan noda tepung, kecap, telur, dan susu, gara-gara 'surprise' dari teman-temannya itu. Untung dia sudah siap siaga, bawa baju ganti. Jadi tinggal ganti baju trus ciprat-cipratan sama air, pulang kampus mandi deh. Selesai dengan semua itu, ia ke tempat parkiran mobil dan menaiki mobilnya, lalu mengendarai mobilnya ke sekolah Keke. Hari ini Keke gak ada yang jemput, jadi dia dijemput sama Shilla. Sesampainya di sekolah Keke, ia pun celingak-celinguk mencari Keke.
"Kak Shilla!" teriak sebuah suara yang dikenalnya. Itu suara Keke. Spontan ia menengok ke sumber suara, lalu menemukan Keke yang sedang menghampirinya.
"Kakak akhirnya dateng juga... yuk ke rumah, udah laper nih. Masakin Keke yang enak-enak ya" ujarnya.
"Iya iya... yuk. Kamu kenapa lama pulangnya?" tanya Shilla.
"Latihan drama. Kan Keke jadi peran utama, jadi harus banyak latihan" jawab Keke. Shilla manggut-manggut.
"Ini kakak lo Ke?" tanya seorang cowok.
"Iya" jawab Keke singkat.
"Cantik banget... beda sama lo Ke" komentar Deva, salah seorang temannya.
"Jadi intinya gue jelek, gitu?" tanya Keke.
"Iya. Udah gitu pemarah, kasar, jagonya main basket, gak pantes deh jadi cewek!" jawab Deva santai. Keke langsung menjitak kepalanya. Deva tertawa digituin. Keke pun memukul punggung Deva.
"Au! Au sakit Ke!!" teriak Deva dengan nada pura-pura kesakitan. Keke malah memukulnya lebih kenceng.
"Au! Sakit beneran Ke! Stop dong!!" teriak Deva. Keke masih terus memukulinya.
"Eh udah udah! Yuk Ke, pulang!" lerai Shilla, menarik tangan Keke agar berhenti. Keke mengangguk.
"Tuh Ke, jadi orang tuh yang baik kayak kakak lo! Gila ya, kakak lo tuh udah cantik, ramah, suaranya lembut, kebalikan dari lo deh Ke!" teriak Deva, masih saja meledek. Keke mengepalkan tangannya, lalu berjalan ke arah Deva tapi ditahan sama Shilla.
"Udah, biarin aja. Yuk pulang, kakak udah laper nih, mau makan! Kamu juga mau makan kan?" tanya Shilla. Keke mengangguk. Mereka pun pulang.
***
Rumah Shilla
"Pa!! Shilla sama Keke pulang!!" teriak Shilla di dalem rumahnya kayak orang stress.
"Paa!!" teriak Keke. Aneh, biasanya kan papa nyaut, kok sekarang enggak? tanya Shilla dan Keke dalam hati, bingung. Ia pun memeriksa kamar papanya. Keke ngekor. Sesampainya di sana, ia terbelalak kaget. Wajah cantiknya pucat.
"Ppp.... papa?" tanya Shilla, air mata keluar dari matanya.
"Gak mungkin kan kak? Ini gak terjadi kan kak?" tanya Keke, air matanya juga keluar. Mereka segera menghampiri papa mereka yang berbaring di kasurnya. Shilla terkenang masa lalunya, saat Gabriel meninggal dibunuh. Ia menemukan secarik kertas. Shilla membaca tulisan yang ada di atas kertas tersebut.
Happy Birthday Shilla!
-Paman Jo-
Shilla paham. Paman Jo memberinya kado, kado yang tak akan dilupakannya. Kado yang paling pahit. Shilla jatuh terduduk, menangis. Keke menahan air matanya, berusaha menghibur kakaknya itu, walaupun ia sendiri juga sangat sedih, sesedih kakaknya.
"Kak, jangan nangis kak, ini udah takdir Tuhan..." hibur Keke terbata-bata karena menahan tangis. Kakaknya masih saja terus menangis.
"Kak, jangan sedih kak, kita harus mengikhlaskan kepergian papa" ujarnya. Shilla masih saja menangis, walau ia sendiri tak mau. Terbalik, batinnya. Harusnya gue yang ngehibur dia, harusnya gue yang gak nangis. Harusnya gue bisa ngendaliin air mata ini, sama kayak adek gue, pikirnya. Tapi apa daya, air matanya terus saja mengucur deras. Keke terus saja menghiburnya. Keke pun tak tahan lagi. Ia menangis seperti Shilla, menangisi ayahnya yang dibunuh. Shilla menangis tambah deras, mengingat ayahnya dibunuh dengan cara yang sama seperti Gabriel, yaitu memberi lubang di paru-parunya. Kado dari paman Jo tersebut benar-benar menyakitkan.
+++
(Part 32)
Keesokan harinya, baik Shilla maupun Keke tidak masuk kampus atau sekolah mereka. Semua teman-temannya sih biasa aja, paling-paling juga bolos. Kan udah biasa. Tapi Rio kelihatannya khawatir, hatinya gundah. Tak biasanya ia merasa seperti ini. Di kampus pikirannya melayang ke Shilla, khawatir. Temen-temennya dikacangin semua sama dia. Ia pun berusah mengalihkan pikirannya, dan sepulang kampus usahanya berhasil.
"Lo kenapa sih Yo?" tanya Obiet.
"Gak kenapa-napa. Khawatir aja sama Shilla, kok dia gak masuk ya? Kan dia yang paling cerewet kalo kita gak masuk atau telat" tanya Rio.
"Bener juga lo Yo!" tanggap Alvin.
"Tapi kan Shilla juga manusia, paling-paling dia sakit atau ada urusan" tanggap Zahra. Rio manggut-manggut.
"Bener juga lo Zah... eh Biet, Ik, lo berdua ngapain gandengan tangan?" tanya Rio yang baru nyadar. Obiet merangkul Oik.
"Kemaren kita resmi jadian" jawabnya. Rio cengo.
"Hah? Lo resmi jadian? Kok gak dikasih tau? Eh, pajaknya mana nih?" tanya Rio.
"Makanya, jangan ngelamunin Shilla terus! Mentang-mentang suka!" celetuk Oik. Obiet tertawa.
"Gue udah ngasih tau lo pas jam kosong, tapi dikacangin. Ya udah, gue diem" jawab Obiet.
"PJ-nya ntar, maunya sih jam kosong hari ini, tapi si Rionya ngelamun mulu ya udah. Daripada ditagih satu-satu kan mending sekalian. Shilla juga gak masuk" sambung Oik. Rio manggut-manggut lagi. Lalu ia menunduk, melihat ke arah bawah lama sekali.
"Woi Yo, jangan ngelamun lagi!" tegur Zahra. Rio tersadar dari lamunannya.
"Gila ya lo, sebesar apa sih cinta lo ke Shilla? Dari tadi yang lo lamunin Shilla... aja. Kita yang dikacangin!" tanya Alvin. Rio menatapnya sinis.
"Yang jelas sebesar atau lebih dari cinta lo ke Zahra" jawab Rio.
"Udah ya, gue cabut" pamit Rio.
"Kita juga. Biet, bawa motor kan?" tanya Oik.
"Iya. Yuk pulang" ajak Obiet. Oik pun menggandeng tangannya dan mereka pun pulang.
"Zah, mau makan dulu?" tanya Alvin.
"Mmm... ntar aja kalau udah malem Vin" jawab Zahra.
"Yah, kalau gitu besok-besok aja deh. Ntar malem aku ada acara" keluh Alvin. Zahra prihatin dan merangkul Alvin.
"Pulang yuk" ajak Alvin dengan nada sedih. Zahra menjadi merasa bersalah.
"Yuk" ujar Zahra lemas. Alvin pun menggandeng tangan Zahra dan membawanya ke tempat motornya di parkir, lalu mengantarnya pulang.
***
2 hari kemudian
Shilla masih belum masuk ke sekolahnya, sudah genap 3 hari. Teman-temannya spontan khawatir, jangan-jangan Shilla kenapa-napa. Telefon sama SMS percuma, toh gak diangkat dan dibales sama dia. Tetapi, hari ini Keke masuk ke sekolahnya. Temen-temennya udah pada khawatir semua, apalagi Deva.
"Ke! Lo ke mana aja? Kok gak masuk gak ada kabar? Latihan drama lo bolos, pada gak jadi tau!" sambut teman-temannya. Keke tersenyum paksa. Wajahnya pucat. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya, menandakan ia kurang tidur.
"Ke? Muka lo kok pucet gitu? Lo kebanyakan nangis, ya? Lo kurang tidur, ya?" tanya Deva.
"Wess... Deva... perhatian aja lo ama Keke" komentar yang lain. Deva tak menghiraukannya. Keke tersenyum paksa, lalu ia menggeleng.
"Gak mungkin, lo aja senyum gak bisa, dipaksain! Udah sarapan?" tanya Deva lagi. Keke menggeleng lagi, lalu menyunggingkan senyum paksa selebar mungkin.
"Hah? Lo harus sarapan dong, Ke... yuk ke kantin, gue beliin roti" ajak Deva. Keke tersenyum dan menggeleng. Ia pun berjalan terhuyung-huyung ke kelasnya. Deva semakin khawatir.
***
Pulang sekolah
Keke berjalan terhuyung-huyung keluar kelas, menuju perpustakaan sekolah. Ia menyebrangi lapangan basket, dan dunia serasa melayang, ia pusing... dan semuanya menjadi gelap. Ia ambruk. Untung saja kapten tim basket sekolahnya menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Semua orang yang ada di sana pun menggotong Keke ke UKS.
***
UKS
Tak lama kemudian Keke membuka matanya, lalu ia menyapu matanya ke sekeliling ruangan. Di mana gue sekarang? tanya Keke dalam hati. Ia memasang tampang bingung.
"Lo ada di UKS. Pasti lo gak pernah ke sini, soalnya lo selalu jaga kesehatan lo" ujar sebuah suara, seperti bisa membaca pikiran Keke. Keke langsung menengok ke arah sumber suara. Lalu ia menemukan Deva diambang pintu UKS.
"Kenapa..?" tanya Keke.
"Lo pingsan tadi. Udah gue bilang, sarapan dulu. Lo gak makan berapa hari sih?" tanya Deva, bermaksud bercanda. Keke mengacungkan tangannya, membentuk angka tiga.
"Lo gak makan 3 hari? Pantesan lo pucet kayak gitu! Nih, gue bawa roti sama air putih. Makan!" perintah Deva kaget, memberi sepotong roti dan aqua pada Keke. Keke menerimanya ia memakannya dengan lahap.
"Laper kan lo? Makanya, tiap hari tuh makan, minimal sarapan sama 3 sendok nasi!" ujar Deva.
"Cerewet lu" komentar Keke.
"Biarin!" tanggap Deva.
"Eh, bisa beliin gue lagi gak? Gue laper nih" tanya Keke.
"Makanya, makan dong! 3 hari gak makan... gue aja kagak tahan kalo gak makan siang! Lo mau apa?" tanya Deva.
"Makaroni. Nih duitnya" jawab Keke, memberi Deva uang. Deva pun pergi. Keke tak perlu menunggu lama, karena tak lama kemudian Deva kembali membawa makaroni pesanan Keke. Wajah Keke berseri-seri, ia pun makan dengan lahap.
"Enak? Makanya, kalo rezeki tuh dimanfaatin, lo makanan aja gak dimakan. Pingsan lo yang ada" ujar Deva, menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sok dewasa lo!" komentar Keke.
"Biarin! Tuh kan, abis makan langsung ada tenaga lagi. Tapi jangan dipake buat mukulin gue!" ucap Deva, memandang ke arah pintu UKS.
"Iya, tapi lo beliin gue makaroni lagi" tanggap Keke.
"Emangnya lo udah..." tanya Deva sambil melihat ke arah Keke.
"Abis?" sambung Deva, kaget melihat makaroni Keke yang udah abis.
"Gila! Lo cewek apa cowok, sih? 1 menit aja belom ada, makaroni semangkok lo udah abis!" komentar Deva heboh.
"Cewek. Udah, beliin gue lagi! Laper nih, 3 hari kagak makan!" seru Keke heboh sendiri.
"Ya udah, mana duitnya?" tanya Deva.
"Ya elo yang keluar duit! Kan gue bilang beliin!" jawab Keke.
"Enak aja!" tanggap Deva.
"Lo mau gue pukulin?" tanya Keke.
"Iya iya gue beliin... hii serem gue sama lo Ke!" komentar Deva sambil merinding.
"Udah sana beliin! Yang cepet!" perintah Keke. Deva pun menurut. Tak lama kemudian dia masuk lagi, membawa makaroni sama cappuchinno.
"Wess... dapet bonus nih gue?" tanya Keke.
"Gak! Ni cappuchinno buat gue! Enak aja lo!" jawab Deva sambil memberi makaroni Keke. Keke makan dengan lahap.
"Ke... emangnya lo kenapa gak masuk ampe 3 hari sih? Gak makan-makan lagi! Kurang tidur, trus lemes kayak gini" tanya Deva. Keke langsung berhenti makan, menaruh mangkuk makaroni di meja sebelahnya. Wajahnya pucat lagi. Deva panik. \
"Ke? Kok lo pucat lagi?" tanya Deva panik. Keke menatapnya, matanya berkaca-kaca.
"Ke? Lo kenapa? Gue salah apa?" tanya Deva, makin panik. Keke menggeleng dan mengusap matanya, menahan air mata yang akan keluar. Deva mengambil kursi dan duduk di sebelah kasur Keke.
"Ke? Lo sebenernya kenapa?" tanya Deva. Keke menarik nafas panjang, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.
"Lo tau kan, kemaren kakak gue dateng buat jemput gue?" tanya Keke, suaranya serak. Deva mengangguk.
"Lo tau gak, dia ultah?" tanya Keke lagi. Deva menggeleng.
"Emang dia ultah?" tanya Deva.
"Iya. Dia dapet banyak kado... termasuk dari paman Jo" jawab Keke.
"Trus?" tanya Deva. Air mata Keke hampir keluar, tapi ia masih bisa menahannya.
"Kado dari paman Jo... ayah gue dibunuh, caranya sama kayak pas dia ngebunuh kak Gabriel, mantannya kakak gue" jawab Keke, air matanya keluar. Deva shock. Keke menangis, walau tak begitu keras suaranya.
"Kkkk... kakak gue yang paling shock. Dia langsung nangis, trus gak mau makan dan gak mau masakin gue. Gue juga sedih, kita berdua akhirnya nangis berdua, ampe lupa makan. Gak lupa sih, tapi kita terlalu sedih dan lemes buat makan. Gue masih mending, bisa masuk hari ini. Kakak gue? Katanya dia gak mau masuk kampus lagi" sambungnya dengan suara terisak.
"Gue gak tau harus ngapain... gue masih kelas 8, kakak gue gak bisa diandalin, nyokap gue ilang gak tau kemana, dan gue gak ngerti dengan semua ini, gue belom gede, gue belom remaja" ujarnya, air matanya keluar lebih deras. Ia menekuk lututnya ke atas, menaruh tangannya di atas lututnya, lalu menangis, mukanya ditempelkan ke tangannya. Deva bingung harus apa. Dia juga gak ngerti harus gimana, dan dia masih shock. Apalagi dia harus melihat Keke menangis, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Selama ini yang dia lihat adalah Keke yang tegar, tomboi, dan kasar. Baru kali ini ia melihat sisi feminin dari Keke, walaupun ia tau bagian luar Keke terlihat seperti cewek. Mukanya manis, rambutnya hitam panjang bergelombang, matanya indah. Semua itulah yang membuat Deva jatuh cinta pada Keke pada pandangan pertama, dan semua itu juga yang membuat ia selalu membantu Keke sebisanya. Jantungnya tak karuan, dia tak tau harus apa.
"Woi si Keke kenapa? Lo apain?" tanya sebuah suara. Deva menengok ke pintu UKS, tempat sumber suara itu berada.
"Kakak siapa ya?" tanya Deva bingung.
"Gue Alvin, ini cewek gue Zahra. Mau jemput Keke, sekalian nanya si Shilla kenapa. Si Keke lo apain?" tanya Alvin galak. Deva jadi ngeri.
"Ggg... gak Deva apa-apain kok kak... ngomong-ngomong pacar kakak cantik ya" jawab Deva mengalihkan pembicaraan.
"Emang. Mau apa lo? Gaet dia?" tanya Alvin galak. Deva jadi tambah ngeri. Buset dah... ni kakak serem amet. Pasti temennya kak Shilla. Hii... merinding gue! batin Deva.
"Vin, jangan gitu dong, yang baik sama temennya Keke, entar diusir. Inget, kita tamu, lagian liat tuh, dia udah serem aja liat kamu! Lagian, mana mungkin sih dia gaet aku? Orang aku 11 tahun lebih tua" tegur Zahra. Gila ya, kenapa si kakak galak bisa dapetin pacar yang cantik trus lemah lembut kayak dia? Sumprut dah, sopan abis. Skak mat lu kakak galak!! batin Deva senang.
"Iya ah..." tanggap Alvin ogah-ogahan. Keke langsung menghapus air matanya sejak Alvin dan Zahra datang. Ia pun duduk di kasurnya, kakinya diselonjorkan.
"Eh, kak Alvin, kak Zahra. Ngapain ke sekolah Keke?" tanya Keke, tersenyum manis.
"Mau nanya tentang Shilla, kok dia gak masuk ya ampe tiga hari?" tanya Zahra.
"Entar aja jawabnya, kok lo tadi nangis?" tanya Alvin. Wajah Keke pucat lagi.
"Emmm... emh..." ujarnya, bingung mencari alasan yang tepat. Ia tidak mau kedua sahabat kakaknya ini tau, belum saatnya.
"Dia tadi nangis gara-gara dilabrak sama anak kelas 9, trus dipermaluin" jawab Deva.
"Oh ya?" tanya Alvin curiga.
"Iya, pokoknya tadi parah banget deh. Apalagi Keke kan sensitif, waduh tambah gawat deh" jawab Deva mantap. Keke memandang Deva dengan tatapan Makasih-Banyak-Udah-Bantuin-Gue. Deva memandangnya dengan tatapan Sama-Sama.
"Emang dipermaluin sama siapa? Sini gue labrak!" tanya Alvin nafsu.
"Gak usahlah kak, Keke kan cinta perdamaian. Biar Tuhan aja yang ngebales" jawab Keke.
"Trus Keke kenapa di UKS?" tanya Zahra.
"Keke cari tempat yang sepi buat nangis, kan di sini tempat paling sepi. Yang lainnya rame semua" jawab Deva.
"Oh... kirain apa. Udah yuk, Keke pulang sama kita aja, sekalian jenguk Shilla" ajak Zahra.
"Enggak ah kak, kakak pulang aja. Keke mau bareng Deva, udah janjian soalnya" tolak Keke.
"Sama kita aja, sekalian jenguk Shilla soalnya. Masa' mau bolak-balik?" paksa Alvin.
"Kak Shilla lagi gak mau diganggu. Kalo diganggu bisa-bisa dia ngamuk seharian. Entar Keke gak dimasakin apa-apa, trus gak makan. Mau?" tanya Keke dingin.
"Oh... ya udah deh. Kita makan siang aja ya Vin? Aku laper" tanya Zahra.
"Oke deh. Sampein salam kita ke kakak lo ya" pamit Alvin lalu pergi, menggandeng Zahra untuk mengikutinya. Setelah mereka jauh, Keke menangis lagi.
"Duh Ke, jangan nangis dong... gue bingung nih. Gue kan gak pernah nanganin cewek nangis" pinta Deva. Keke berhenti menangis, tapi masih terisak.
"Sori" ujarnya.
"Gak apa-apa" tanggap Deva. "Gue emang beda sama kakak gue... gue tomboi, dia feminin. Gue gak sensi, tapi dia sensinya minta ampun. Gue bisa olahraga, dia gak bisa. Tapi cewek setomboi apa pun pasti juga bakal nangis kalo punya nasib kayak gue, apalagi gue gak bisa nyalahin kakak gue. Gue gak tega" ungkap Keke.
"Udah, yang penting lo tenang dulu. Bokap lo udah lo makamin?" tanya Deva. Keke mengangguk.
"Nah, yuk pulang. Inget, makan!" perintah Deva. Keke tersenyum lalu bangkit.
"Iya deh" ujarnya, mengambil tasnya lalu pergi mengikuti Deva. Ia pun pulang ke rumahnya.
---
NEXT PART
---
(Part 31)
Suara lembut Obiet menenangkan Oik. Oik pun tersenyum dan memejamkan mata, menikmati pelukan Obiet. Tak peduli berapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
"Biet, lo kabur dari rumah ya?" tanya Oik, melepas pelukan Obiet dan menatap mata Obiet.
"Iya, tau dari mana?" tanya Obiet bingung.
"Tadi si Zahra nelfon, katanya nyokap lo pingsan" jawab Oik. Obiet membelalak.
"Yang bener lo? Jangan bercanda deh!" tanya Obiet kaget.
"Ngapain gue bercanda coba? Yuk ah ke rumah lo, siapa tau nyokap lo bisa siuman pas denger lo pulang" jawab Oik.
"Yuk" tanggap Obiet setuju. Oik pun bangkit dan mengangkat tas-tasnya.
"Sini gue bantuin" ujar Obiet, merebut salah satu dari dua tas Oik. Ketika ia menyentuh tangan Oik, hal yang tak pernah dilakukannya sebelumnya, jantungnya berdebar-debar. Lebih kencang dari yang dirasanya selama ini ke Zahra. Apalagi saat ia menatap mata Oik, jantungnya serasa ingin berhenti. Ia tak pernah menyadari, bahwa Oik yang selalu ada di sampingnya dan memberi dukungan padanya adalah gadis yang sangat cantik, lebih cantik dari yang pernah bisa ia sadari. Jangan bilang kalau selama ini gue suka sama dia, bukan ke Zahra. Bisa kacau tuh, apalagi gue udah pake cara kotor buat ngerebut si Zahra. Waduh... melayang sia-sia deh uang gue! pikir Obiet.
"Eh gak usah!" sahut Oik, membuyarkan lamunan Obiet.
"Udah ah, berat kan? Gue bawain satu doang kok, jadi lo masih bisa usaha" paksa Obiet, berusaha mengendalikan jantungnya dan suaranya yang bergetar.
"Ya udah deh... kita ke sana naik apa?" tanya Oik.
"Taksi aja. Yuk cepet, entar nyokap gue kenapa-napa lagi!" jawab Obiet. Oik mengangguk. Mereka pun segera menyetop taksi dan berangkat ke rumah Obiet.
***
Rumah Obiet
Obiet pun membuka pintu rumahnya lalu bergegas mencari ibunya. Ia pun menemukannya, pingsan di sofa ruang tamu, ditemani oleh Zahra.
"Obiet! Lo dateng! Dari mana aja lo?" tanya Zahra panik.
"Entar aja gue ceritain. Ma? Ma? Ini Obiet, ma... bangun!" jawab Obiet lalu mengguncang-guncangkan ibunya. Tak lama kemudian ibunya sadar.
"Obiet? Obiet! Obiet kamu jangan gituin mama lagi nak..." ujar ibunya Obiet sambil memeluk anak semata wayangnya itu.
"Maafin Obiet ma, Obiet janji gak bakal ngulangin lagi" ucap Obiet, meminta maaf ke ibunya. Ibunya pun mengangguk, matanya berlinang air mata. Kejadian itu sungguh mengharukan. Akan tetapi, Oik dan Zahra yang seharusnya terharu melihatnya malah duduk di sofa, makan brownies lezat dan ngegosip. Akhirnya ibu dan anak itu melepaskan pelukannya.
"Gila ya lo berdua, lagi ada momen indah di sini lo berdua malah asyik aja!" komentar Obiet.
"Serah deh. Kan kita punya waktu sendiri" tanggap Zahra cuek. Obiet merasa aneh, kenapa getaran yang selalu dirasakannya ketika Zahra berbicara tidak ada?
"Lagian, lo sendiri kan yang bikin masalah? Kabur dari rumah gara-gara gituan doang. Childest banget sih" komentar Oik, memakan browniesnya. Obiet semakin kaget, getaran yang hilang tadi ditemukannya ketika Oik berbicara. Ia pun cepat-cepat menghilangkan getaran dan pertanyaan-pertanyaan yang melintas di kepalanya.
"Iya iya sori deh, eh browniesnya enak ya?" tanya Obiet, berusaha mengalihkan pikiran.
"Iya, enak banget loh!" jawab Oik, mengambil potongan brownies yang terakhir.
"Ammm... enak banget! Masakan nyokap lo emang top Biet!" goda Oik, memakan browniesnya dengan gaya lebay.
"Sini gue cobain" ujar Obiet, mengambil tangan Oik yang sedang memegang brownies lalu memakan browniesnya.
"Eh?" tanya Oik, mukanya memerah.
"Mmm... bener lo Ik, enak banget!" komentar Obiet sambil mengunyah brownies tersebut. Oik diam saja, salting. Ia menunduk untuk menyembunyikannya.
"Biet, tanggung jawab tuh... si Oik jadi salting!" goda Zahra. Obiet tertawa, tawa yang disukai Oik. Oik semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya yang malu dan salting itu. Obiet duduk di samping Oik, lalu merangkulnya. Oik semakin salting, ia memejamkan mata, berusaha mengambalikan detak jantungnya yang serasa berhenti. Wajah Obiet pucat. Ia merasakan getaran yang sungguh-sungguh hebat, dan jantungnya berhenti. Jadi dugaannya benar. Yang ia sukai bukan Zahra, melainkan Oik. Dipikir-pikir, saat Zahra ada di deket gue Oik ada. Pas gue deg-degan samping Oik gue kira gue deg-degan mikirin Zahra. Emang gue beneran suka sama Oik ya? Oik yang cantik, yang selalu ngasih gue nasehat, selalu ngasih gue dukungan penuh... Ik ternyata gue emang sayang sama lo, bukan Zahra. Lagian, si Oik selalu ada di samping gue setiap gue ketemu Zahra. Jadi bener apa yang gue rasain? Arrgghh!! Cinta tuh rumit banget sih!! Gue ngerasa bersalah udah nyakitin lo Ik, batin Obiet sedih. Kayak mimpi aja... gue dirangkul Obiet! pikir Oik berulang-ulang.
"Woi woi lo berdua jangan ngelamun! Entar kerasukan aja baru deh nyesel!" ujar Zahra, menjentikkan jarinya, membuat Oik dan Obiet tersadar dari lamunan mereka.
"Nyokap lo bikinin makanan Biet, enak banget. Makan gih lo berdua!" perintah Zahra. Oik dan Obiet menurut. Mereka mengambil makanan lalu duduk. Mereka makan dalam diam, tak tau harus bicara apa. Mereka berusaha mengendalikan detak jantung mereka yang meloncat-loncat ingin terbang ke langit. Tanpa sadar makanan mereka habis.
"Ik..." panggil Obiet ragu-ragu.
"Hmm?" sahut Oik yang sedang minum.
"Gue selama ini salah, ternyata yang gue suka tuh bukan Zahra, gue baru nyadar. Gue ternyata suka sama orang lain, dan orang ini selalu ada buat ngehibur gue, dukung gue, nasehatin gue, dan rela ngorbanin apa pun biar gue bahagia" ungkap Obiet, masih ada nada ragu-ragu dalam suaranya.
"Hmm?" tanya Oik, masih minum. Dia gak mau natap Obiet, makanya dia pura-pura minum. Bukan maksud gue GR Biet, tapi itu gue ya? tanya Oik dalam hati. Obiet diam sebentar.
"Dan orang itu ada di depan gue sekarang, lagi minum, namanya Oik Cahya Ramadlani" ungkap Obiet. Oik membelalak dan menyemburkan minumannya. Zahra yang kena.
"Eh sori Zah, gak sengaja!! Kaget banget gue!" seru Oik panik. Zahra senyum maksa.
"Gak pa pa kok" ujarnya.
"Sori banget Zah, sori..." ujar Oik. Obiet ngakak. Oik menatapnya tajam. Obiet langsung berhenti.
"Jadi intinya apa?" tanya Oik sinis.
"Lo... lo mau gak jadi pacar gue?" tanya Obiet terbata-bata karena gugup. Muka Oik langsung merah semerah kepiting rebus. Nafasnya serasa berhenti. Jantungnya juga. Ia serasa melayang ke langit ke tujuh...
"Ik, lo terima gak?" tanya Obiet. Oik kembali ke dunia nyata, lalu ia tersenyum manis. Jantung Obiet serasa berhenti melihatnya.
"Iya, gue terima kok" jawab Oik.
"Yes!" teriak Obiet senang. Obiet pun memeluk Oik erat, sampai-sampai Oik gak bisa nafas.
"Ehem..." ujar ibunya Obiet. Obiet pun segera melepas pelukannya. Oik lega, nafasnya tersenggal-senggal.
"Ma, aku benci ma sama dia..." ujar Obiet, merangkul Oik. Oik menatapnya bingung. Obiet tertawa kecil.
"Aku BENCI sama Oik... aku BENER-BENER CINTA sama dia..." sambungnya. Oik tersenyum lagi, lalu memeluk Obiet.
"Aku mau jadi pacarnya, mama restuin Obiet kan?" tanya Obiet.
"Gimana ya? Obiet mau pacaran sama anak yang sopan, ramah, baik, cantik, pinter, gimana mama mau nolak?" tanya ibunya Obiet. Obiet dan Oik pun tersenyum senang, dan mereka berpelukan. Sedang Zahra udah cabut, dijemput sama Alvin yang marah gara-gara dia udah nyari Obiet selama 4 jam, padahal Obiet udah ketemu.
***
Sementara itu, Shilla
Shilla kebanjiran kado dan kue, serta ucapan selamat ulang tahun. Memang, hari itu tanggal 25 Februari, hari ulang tahun Shilla. Bahkan, baju dan badannya sudah penuh dengan noda tepung, kecap, telur, dan susu, gara-gara 'surprise' dari teman-temannya itu. Untung dia sudah siap siaga, bawa baju ganti. Jadi tinggal ganti baju trus ciprat-cipratan sama air, pulang kampus mandi deh. Selesai dengan semua itu, ia ke tempat parkiran mobil dan menaiki mobilnya, lalu mengendarai mobilnya ke sekolah Keke. Hari ini Keke gak ada yang jemput, jadi dia dijemput sama Shilla. Sesampainya di sekolah Keke, ia pun celingak-celinguk mencari Keke.
"Kak Shilla!" teriak sebuah suara yang dikenalnya. Itu suara Keke. Spontan ia menengok ke sumber suara, lalu menemukan Keke yang sedang menghampirinya.
"Kakak akhirnya dateng juga... yuk ke rumah, udah laper nih. Masakin Keke yang enak-enak ya" ujarnya.
"Iya iya... yuk. Kamu kenapa lama pulangnya?" tanya Shilla.
"Latihan drama. Kan Keke jadi peran utama, jadi harus banyak latihan" jawab Keke. Shilla manggut-manggut.
"Ini kakak lo Ke?" tanya seorang cowok.
"Iya" jawab Keke singkat.
"Cantik banget... beda sama lo Ke" komentar Deva, salah seorang temannya.
"Jadi intinya gue jelek, gitu?" tanya Keke.
"Iya. Udah gitu pemarah, kasar, jagonya main basket, gak pantes deh jadi cewek!" jawab Deva santai. Keke langsung menjitak kepalanya. Deva tertawa digituin. Keke pun memukul punggung Deva.
"Au! Au sakit Ke!!" teriak Deva dengan nada pura-pura kesakitan. Keke malah memukulnya lebih kenceng.
"Au! Sakit beneran Ke! Stop dong!!" teriak Deva. Keke masih terus memukulinya.
"Eh udah udah! Yuk Ke, pulang!" lerai Shilla, menarik tangan Keke agar berhenti. Keke mengangguk.
"Tuh Ke, jadi orang tuh yang baik kayak kakak lo! Gila ya, kakak lo tuh udah cantik, ramah, suaranya lembut, kebalikan dari lo deh Ke!" teriak Deva, masih saja meledek. Keke mengepalkan tangannya, lalu berjalan ke arah Deva tapi ditahan sama Shilla.
"Udah, biarin aja. Yuk pulang, kakak udah laper nih, mau makan! Kamu juga mau makan kan?" tanya Shilla. Keke mengangguk. Mereka pun pulang.
***
Rumah Shilla
"Pa!! Shilla sama Keke pulang!!" teriak Shilla di dalem rumahnya kayak orang stress.
"Paa!!" teriak Keke. Aneh, biasanya kan papa nyaut, kok sekarang enggak? tanya Shilla dan Keke dalam hati, bingung. Ia pun memeriksa kamar papanya. Keke ngekor. Sesampainya di sana, ia terbelalak kaget. Wajah cantiknya pucat.
"Ppp.... papa?" tanya Shilla, air mata keluar dari matanya.
"Gak mungkin kan kak? Ini gak terjadi kan kak?" tanya Keke, air matanya juga keluar. Mereka segera menghampiri papa mereka yang berbaring di kasurnya. Shilla terkenang masa lalunya, saat Gabriel meninggal dibunuh. Ia menemukan secarik kertas. Shilla membaca tulisan yang ada di atas kertas tersebut.
Happy Birthday Shilla!
-Paman Jo-
Shilla paham. Paman Jo memberinya kado, kado yang tak akan dilupakannya. Kado yang paling pahit. Shilla jatuh terduduk, menangis. Keke menahan air matanya, berusaha menghibur kakaknya itu, walaupun ia sendiri juga sangat sedih, sesedih kakaknya.
"Kak, jangan nangis kak, ini udah takdir Tuhan..." hibur Keke terbata-bata karena menahan tangis. Kakaknya masih saja terus menangis.
"Kak, jangan sedih kak, kita harus mengikhlaskan kepergian papa" ujarnya. Shilla masih saja menangis, walau ia sendiri tak mau. Terbalik, batinnya. Harusnya gue yang ngehibur dia, harusnya gue yang gak nangis. Harusnya gue bisa ngendaliin air mata ini, sama kayak adek gue, pikirnya. Tapi apa daya, air matanya terus saja mengucur deras. Keke terus saja menghiburnya. Keke pun tak tahan lagi. Ia menangis seperti Shilla, menangisi ayahnya yang dibunuh. Shilla menangis tambah deras, mengingat ayahnya dibunuh dengan cara yang sama seperti Gabriel, yaitu memberi lubang di paru-parunya. Kado dari paman Jo tersebut benar-benar menyakitkan.
+++
(Part 32)
Keesokan harinya, baik Shilla maupun Keke tidak masuk kampus atau sekolah mereka. Semua teman-temannya sih biasa aja, paling-paling juga bolos. Kan udah biasa. Tapi Rio kelihatannya khawatir, hatinya gundah. Tak biasanya ia merasa seperti ini. Di kampus pikirannya melayang ke Shilla, khawatir. Temen-temennya dikacangin semua sama dia. Ia pun berusah mengalihkan pikirannya, dan sepulang kampus usahanya berhasil.
"Lo kenapa sih Yo?" tanya Obiet.
"Gak kenapa-napa. Khawatir aja sama Shilla, kok dia gak masuk ya? Kan dia yang paling cerewet kalo kita gak masuk atau telat" tanya Rio.
"Bener juga lo Yo!" tanggap Alvin.
"Tapi kan Shilla juga manusia, paling-paling dia sakit atau ada urusan" tanggap Zahra. Rio manggut-manggut.
"Bener juga lo Zah... eh Biet, Ik, lo berdua ngapain gandengan tangan?" tanya Rio yang baru nyadar. Obiet merangkul Oik.
"Kemaren kita resmi jadian" jawabnya. Rio cengo.
"Hah? Lo resmi jadian? Kok gak dikasih tau? Eh, pajaknya mana nih?" tanya Rio.
"Makanya, jangan ngelamunin Shilla terus! Mentang-mentang suka!" celetuk Oik. Obiet tertawa.
"Gue udah ngasih tau lo pas jam kosong, tapi dikacangin. Ya udah, gue diem" jawab Obiet.
"PJ-nya ntar, maunya sih jam kosong hari ini, tapi si Rionya ngelamun mulu ya udah. Daripada ditagih satu-satu kan mending sekalian. Shilla juga gak masuk" sambung Oik. Rio manggut-manggut lagi. Lalu ia menunduk, melihat ke arah bawah lama sekali.
"Woi Yo, jangan ngelamun lagi!" tegur Zahra. Rio tersadar dari lamunannya.
"Gila ya lo, sebesar apa sih cinta lo ke Shilla? Dari tadi yang lo lamunin Shilla... aja. Kita yang dikacangin!" tanya Alvin. Rio menatapnya sinis.
"Yang jelas sebesar atau lebih dari cinta lo ke Zahra" jawab Rio.
"Udah ya, gue cabut" pamit Rio.
"Kita juga. Biet, bawa motor kan?" tanya Oik.
"Iya. Yuk pulang" ajak Obiet. Oik pun menggandeng tangannya dan mereka pun pulang.
"Zah, mau makan dulu?" tanya Alvin.
"Mmm... ntar aja kalau udah malem Vin" jawab Zahra.
"Yah, kalau gitu besok-besok aja deh. Ntar malem aku ada acara" keluh Alvin. Zahra prihatin dan merangkul Alvin.
"Pulang yuk" ajak Alvin dengan nada sedih. Zahra menjadi merasa bersalah.
"Yuk" ujar Zahra lemas. Alvin pun menggandeng tangan Zahra dan membawanya ke tempat motornya di parkir, lalu mengantarnya pulang.
***
2 hari kemudian
Shilla masih belum masuk ke sekolahnya, sudah genap 3 hari. Teman-temannya spontan khawatir, jangan-jangan Shilla kenapa-napa. Telefon sama SMS percuma, toh gak diangkat dan dibales sama dia. Tetapi, hari ini Keke masuk ke sekolahnya. Temen-temennya udah pada khawatir semua, apalagi Deva.
"Ke! Lo ke mana aja? Kok gak masuk gak ada kabar? Latihan drama lo bolos, pada gak jadi tau!" sambut teman-temannya. Keke tersenyum paksa. Wajahnya pucat. Matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, dan lingkaran ungu terdapat di bawah matanya, menandakan ia kurang tidur.
"Ke? Muka lo kok pucet gitu? Lo kebanyakan nangis, ya? Lo kurang tidur, ya?" tanya Deva.
"Wess... Deva... perhatian aja lo ama Keke" komentar yang lain. Deva tak menghiraukannya. Keke tersenyum paksa, lalu ia menggeleng.
"Gak mungkin, lo aja senyum gak bisa, dipaksain! Udah sarapan?" tanya Deva lagi. Keke menggeleng lagi, lalu menyunggingkan senyum paksa selebar mungkin.
"Hah? Lo harus sarapan dong, Ke... yuk ke kantin, gue beliin roti" ajak Deva. Keke tersenyum dan menggeleng. Ia pun berjalan terhuyung-huyung ke kelasnya. Deva semakin khawatir.
***
Pulang sekolah
Keke berjalan terhuyung-huyung keluar kelas, menuju perpustakaan sekolah. Ia menyebrangi lapangan basket, dan dunia serasa melayang, ia pusing... dan semuanya menjadi gelap. Ia ambruk. Untung saja kapten tim basket sekolahnya menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Semua orang yang ada di sana pun menggotong Keke ke UKS.
***
UKS
Tak lama kemudian Keke membuka matanya, lalu ia menyapu matanya ke sekeliling ruangan. Di mana gue sekarang? tanya Keke dalam hati. Ia memasang tampang bingung.
"Lo ada di UKS. Pasti lo gak pernah ke sini, soalnya lo selalu jaga kesehatan lo" ujar sebuah suara, seperti bisa membaca pikiran Keke. Keke langsung menengok ke arah sumber suara. Lalu ia menemukan Deva diambang pintu UKS.
"Kenapa..?" tanya Keke.
"Lo pingsan tadi. Udah gue bilang, sarapan dulu. Lo gak makan berapa hari sih?" tanya Deva, bermaksud bercanda. Keke mengacungkan tangannya, membentuk angka tiga.
"Lo gak makan 3 hari? Pantesan lo pucet kayak gitu! Nih, gue bawa roti sama air putih. Makan!" perintah Deva kaget, memberi sepotong roti dan aqua pada Keke. Keke menerimanya ia memakannya dengan lahap.
"Laper kan lo? Makanya, tiap hari tuh makan, minimal sarapan sama 3 sendok nasi!" ujar Deva.
"Cerewet lu" komentar Keke.
"Biarin!" tanggap Deva.
"Eh, bisa beliin gue lagi gak? Gue laper nih" tanya Keke.
"Makanya, makan dong! 3 hari gak makan... gue aja kagak tahan kalo gak makan siang! Lo mau apa?" tanya Deva.
"Makaroni. Nih duitnya" jawab Keke, memberi Deva uang. Deva pun pergi. Keke tak perlu menunggu lama, karena tak lama kemudian Deva kembali membawa makaroni pesanan Keke. Wajah Keke berseri-seri, ia pun makan dengan lahap.
"Enak? Makanya, kalo rezeki tuh dimanfaatin, lo makanan aja gak dimakan. Pingsan lo yang ada" ujar Deva, menunduk dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Sok dewasa lo!" komentar Keke.
"Biarin! Tuh kan, abis makan langsung ada tenaga lagi. Tapi jangan dipake buat mukulin gue!" ucap Deva, memandang ke arah pintu UKS.
"Iya, tapi lo beliin gue makaroni lagi" tanggap Keke.
"Emangnya lo udah..." tanya Deva sambil melihat ke arah Keke.
"Abis?" sambung Deva, kaget melihat makaroni Keke yang udah abis.
"Gila! Lo cewek apa cowok, sih? 1 menit aja belom ada, makaroni semangkok lo udah abis!" komentar Deva heboh.
"Cewek. Udah, beliin gue lagi! Laper nih, 3 hari kagak makan!" seru Keke heboh sendiri.
"Ya udah, mana duitnya?" tanya Deva.
"Ya elo yang keluar duit! Kan gue bilang beliin!" jawab Keke.
"Enak aja!" tanggap Deva.
"Lo mau gue pukulin?" tanya Keke.
"Iya iya gue beliin... hii serem gue sama lo Ke!" komentar Deva sambil merinding.
"Udah sana beliin! Yang cepet!" perintah Keke. Deva pun menurut. Tak lama kemudian dia masuk lagi, membawa makaroni sama cappuchinno.
"Wess... dapet bonus nih gue?" tanya Keke.
"Gak! Ni cappuchinno buat gue! Enak aja lo!" jawab Deva sambil memberi makaroni Keke. Keke makan dengan lahap.
"Ke... emangnya lo kenapa gak masuk ampe 3 hari sih? Gak makan-makan lagi! Kurang tidur, trus lemes kayak gini" tanya Deva. Keke langsung berhenti makan, menaruh mangkuk makaroni di meja sebelahnya. Wajahnya pucat lagi. Deva panik. \
"Ke? Kok lo pucat lagi?" tanya Deva panik. Keke menatapnya, matanya berkaca-kaca.
"Ke? Lo kenapa? Gue salah apa?" tanya Deva, makin panik. Keke menggeleng dan mengusap matanya, menahan air mata yang akan keluar. Deva mengambil kursi dan duduk di sebelah kasur Keke.
"Ke? Lo sebenernya kenapa?" tanya Deva. Keke menarik nafas panjang, berusaha menahan air matanya agar tidak keluar.
"Lo tau kan, kemaren kakak gue dateng buat jemput gue?" tanya Keke, suaranya serak. Deva mengangguk.
"Lo tau gak, dia ultah?" tanya Keke lagi. Deva menggeleng.
"Emang dia ultah?" tanya Deva.
"Iya. Dia dapet banyak kado... termasuk dari paman Jo" jawab Keke.
"Trus?" tanya Deva. Air mata Keke hampir keluar, tapi ia masih bisa menahannya.
"Kado dari paman Jo... ayah gue dibunuh, caranya sama kayak pas dia ngebunuh kak Gabriel, mantannya kakak gue" jawab Keke, air matanya keluar. Deva shock. Keke menangis, walau tak begitu keras suaranya.
"Kkkk... kakak gue yang paling shock. Dia langsung nangis, trus gak mau makan dan gak mau masakin gue. Gue juga sedih, kita berdua akhirnya nangis berdua, ampe lupa makan. Gak lupa sih, tapi kita terlalu sedih dan lemes buat makan. Gue masih mending, bisa masuk hari ini. Kakak gue? Katanya dia gak mau masuk kampus lagi" sambungnya dengan suara terisak.
"Gue gak tau harus ngapain... gue masih kelas 8, kakak gue gak bisa diandalin, nyokap gue ilang gak tau kemana, dan gue gak ngerti dengan semua ini, gue belom gede, gue belom remaja" ujarnya, air matanya keluar lebih deras. Ia menekuk lututnya ke atas, menaruh tangannya di atas lututnya, lalu menangis, mukanya ditempelkan ke tangannya. Deva bingung harus apa. Dia juga gak ngerti harus gimana, dan dia masih shock. Apalagi dia harus melihat Keke menangis, sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Selama ini yang dia lihat adalah Keke yang tegar, tomboi, dan kasar. Baru kali ini ia melihat sisi feminin dari Keke, walaupun ia tau bagian luar Keke terlihat seperti cewek. Mukanya manis, rambutnya hitam panjang bergelombang, matanya indah. Semua itulah yang membuat Deva jatuh cinta pada Keke pada pandangan pertama, dan semua itu juga yang membuat ia selalu membantu Keke sebisanya. Jantungnya tak karuan, dia tak tau harus apa.
"Woi si Keke kenapa? Lo apain?" tanya sebuah suara. Deva menengok ke pintu UKS, tempat sumber suara itu berada.
"Kakak siapa ya?" tanya Deva bingung.
"Gue Alvin, ini cewek gue Zahra. Mau jemput Keke, sekalian nanya si Shilla kenapa. Si Keke lo apain?" tanya Alvin galak. Deva jadi ngeri.
"Ggg... gak Deva apa-apain kok kak... ngomong-ngomong pacar kakak cantik ya" jawab Deva mengalihkan pembicaraan.
"Emang. Mau apa lo? Gaet dia?" tanya Alvin galak. Deva jadi tambah ngeri. Buset dah... ni kakak serem amet. Pasti temennya kak Shilla. Hii... merinding gue! batin Deva.
"Vin, jangan gitu dong, yang baik sama temennya Keke, entar diusir. Inget, kita tamu, lagian liat tuh, dia udah serem aja liat kamu! Lagian, mana mungkin sih dia gaet aku? Orang aku 11 tahun lebih tua" tegur Zahra. Gila ya, kenapa si kakak galak bisa dapetin pacar yang cantik trus lemah lembut kayak dia? Sumprut dah, sopan abis. Skak mat lu kakak galak!! batin Deva senang.
"Iya ah..." tanggap Alvin ogah-ogahan. Keke langsung menghapus air matanya sejak Alvin dan Zahra datang. Ia pun duduk di kasurnya, kakinya diselonjorkan.
"Eh, kak Alvin, kak Zahra. Ngapain ke sekolah Keke?" tanya Keke, tersenyum manis.
"Mau nanya tentang Shilla, kok dia gak masuk ya ampe tiga hari?" tanya Zahra.
"Entar aja jawabnya, kok lo tadi nangis?" tanya Alvin. Wajah Keke pucat lagi.
"Emmm... emh..." ujarnya, bingung mencari alasan yang tepat. Ia tidak mau kedua sahabat kakaknya ini tau, belum saatnya.
"Dia tadi nangis gara-gara dilabrak sama anak kelas 9, trus dipermaluin" jawab Deva.
"Oh ya?" tanya Alvin curiga.
"Iya, pokoknya tadi parah banget deh. Apalagi Keke kan sensitif, waduh tambah gawat deh" jawab Deva mantap. Keke memandang Deva dengan tatapan Makasih-Banyak-Udah-Bantuin-Gue. Deva memandangnya dengan tatapan Sama-Sama.
"Emang dipermaluin sama siapa? Sini gue labrak!" tanya Alvin nafsu.
"Gak usahlah kak, Keke kan cinta perdamaian. Biar Tuhan aja yang ngebales" jawab Keke.
"Trus Keke kenapa di UKS?" tanya Zahra.
"Keke cari tempat yang sepi buat nangis, kan di sini tempat paling sepi. Yang lainnya rame semua" jawab Deva.
"Oh... kirain apa. Udah yuk, Keke pulang sama kita aja, sekalian jenguk Shilla" ajak Zahra.
"Enggak ah kak, kakak pulang aja. Keke mau bareng Deva, udah janjian soalnya" tolak Keke.
"Sama kita aja, sekalian jenguk Shilla soalnya. Masa' mau bolak-balik?" paksa Alvin.
"Kak Shilla lagi gak mau diganggu. Kalo diganggu bisa-bisa dia ngamuk seharian. Entar Keke gak dimasakin apa-apa, trus gak makan. Mau?" tanya Keke dingin.
"Oh... ya udah deh. Kita makan siang aja ya Vin? Aku laper" tanya Zahra.
"Oke deh. Sampein salam kita ke kakak lo ya" pamit Alvin lalu pergi, menggandeng Zahra untuk mengikutinya. Setelah mereka jauh, Keke menangis lagi.
"Duh Ke, jangan nangis dong... gue bingung nih. Gue kan gak pernah nanganin cewek nangis" pinta Deva. Keke berhenti menangis, tapi masih terisak.
"Sori" ujarnya.
"Gak apa-apa" tanggap Deva. "Gue emang beda sama kakak gue... gue tomboi, dia feminin. Gue gak sensi, tapi dia sensinya minta ampun. Gue bisa olahraga, dia gak bisa. Tapi cewek setomboi apa pun pasti juga bakal nangis kalo punya nasib kayak gue, apalagi gue gak bisa nyalahin kakak gue. Gue gak tega" ungkap Keke.
"Udah, yang penting lo tenang dulu. Bokap lo udah lo makamin?" tanya Deva. Keke mengangguk.
"Nah, yuk pulang. Inget, makan!" perintah Deva. Keke tersenyum lalu bangkit.
"Iya deh" ujarnya, mengambil tasnya lalu pergi mengikuti Deva. Ia pun pulang ke rumahnya.
---
NEXT PART
Label:
cerbung,
Gue Benciiii... Sama Lo
Langganan:
Postingan (Atom)