PREVIOUS PART
Cakka tersenyum melihat Agni yang sudah berhenti menangis. Ia bukanlah psikopat, justru sebaliknya. Jika psikopat adalah orang yang suka melihat orang lain menderita, ia malah paling tidak bisa melihat orang lain menderita, apalagi seorang gadis. Dan menurutnya, orang yang menangis pastilah orang yang sudah menderita. Sebagai contoh gadis ini. Cakka tau, gadis tersebut ialah seorang gadis tomboy yang bermain dengan laki-laki, tegar dan sebagainya. Tetapi, jika menyangkut dengan pria beruntung yang tidak bersyukur-Alvin-ia akan menangis. Seringkali air matanya jatuh hanya karena masalah tersebut. 3 tahun memang waktu yang lama. Jika ia menjadi Agni, ia pasti akan menangis saking tersiksanya.
"Udah enakkan?" tanyanya. Agni mengangguk pelan. Cakka tersenyum, lalu menyodorkan hot chocolate milik Agni yang belum habis.
"Minum dulu ya... kasian tuh belum habis, ntar minumannya nangis loh..." bujuk Cakka seolah membujuk seorang gadis kecil berumur 5 tahun yang tidak ingin minum sama sekali. Agni tertawa. Tawa yang manis, tawa yang indah. Tawa seorang gadis yang, untuk pertama kalinya, memesona Cakka. Di dalam lubuk hatinya, Cakka tahu bahwa ia semakin tertarik dengan gadis di depannya ini. Gadis yang sedang menyeruput hot chocolate paling enak di dunia dengan perasaan tenang, lalu tersenyum ketika menyadari bahwa Cakka melihat ke arahnya. Cakka membalas senyumnya. Ia sudah 3 tahun belajar di kuliah psikologis, ia sudah bisa menutupi kegugupannya dengan 'reaksi yang seharusnya'. Dosennya memang memiliki kosa kata yang aneh.
Setelah memandang langit malam yang kelam, indah dan tenang, Cakka melihat jam di tangannya. Sudah jam 11 malam, hujan juga sudah berhenti. Sejak jam 9 mereka di sini, berarti sudah 2 jam mereka duduk di sini dan berbincang-bincang. Toko itu tidak tutup, mereka buka 24 jam sehari. Cakka memandang 6 gelas hot chocolate yang ada di atas meja, 4 sudah kosong dan 2 masih berisi. Cakka melirik Agni yang sedang menyeruput hot chocolate miliknya sembari tersenyum melihat pemandangan malam yang indah. Cakka mulai merangkai kata-kata untuk mengajaknya pulang, lalu menghela nafas.
"Eung... Ag?" panggil Cakka.
"Hmm?" gumam Agni tanpa menoleh.
"Udah jam 11 malem nih, pulang yuk? Gak baik kalau cewek pulang malem-malem" ucap Cakka. Agni menatapnya dengan tatapan yang menggoda Cakka untuk tetap di sini sampai pagi, atau setidaknya sampai Agni mau pulang. Tetapi, sebagai seorang pria yang peduli akan sesamanya ia memutuskan untuk menahan keinginannya dan bersikukuh dalam pendiriannya. Jam 11 malam, waktunya untuk gadis itu pulang. Lagi pula jika ia mengantarnya pulang jam setengah 6 pagi, bukankah orang tua gadis tersebut akan berpikir macam-macam? Bisa-bisa dia disuruh untuk menikahi gadis tersebut. Kan gak lucu banget.
"Ayolah... besok aku akan mengantarmu ke sini lagi, dan kita akan berbicara kembali... you know, all the things that friends do?" bujuk Cakka. Agni mengaduk hot chocolate-nya sembari berpikir.
"Jangan diaduk-aduk, nanti mengental. Udah cukup kental kok" tegur Cakka, membuat Agni langsung memerintahkan tangannya untuk berhenti mengaduk hot chocolate itu.
"Sori. Tapi... gue gak mau sendirian malem ini" ungkap Agni sembari menatap kosong ke arah hot chocolate-nya. Cakka menatapnya dengan pandangan iba. Ia mencondongkan tubuhnya sampai bibirnya bisa berbisik lembut di telinga Agni, lalu berbisik perlahan dengan suara yang lembut.
"Kalau cuma itu, gue punya solusinya" bisiknya pelan, membuat jantung Agni berdetak lebih kencang dan tubuhnya sedikit bergetar. Agni menunduk. Rasa itu datang lagi... rasa yang ia rasakan saat bertemu Alvin. Rasa yang... memudar kepada Alvin. Tetapi datang kembali dan terasa lebih kuat pada Cakka. Agni menggigit bibir. Apa yang harus ia lakukan? Setiap kata-kata pria yang baru dikenalnya ini begitu... dewasa. Mengingatkannya pada Alvin. Belum lagi perbuatannya yang selalu membuat kejutan yang menyenangkan, menenangkan. Juga membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari yang seharusnya.
"Mmm... a, a.. apa?" tanya Agni. Jantungnya yang berdetak sangat kencang membuatnya sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Dasar jantung gak mau kompromi, pikirnya kesal.
"Tukeran nomer telepon aja, susah amet" jawab Cakka yang sudah berdiri tegak dan memegang gelas hot chocolate miliknya. Agni yang sedang menyeruput hot chocolate-nya mengangguk.
"Yuk" ajak Agni sembari berdiri.
"'Yuk' ngapain?" tanya Cakka.
"Pulang" jawab Agni yang langsung berjalan begitu saja.
"Gak tukeran nomer telepon?" tanya Cakka sambil menyusul langkah Agni.
"Nih. Ketikkin aja nope lo" ucap Agni sembari menyerahkan HP Nokia Express Music miliknya. Cakka mengangguk dan menerimanya, lalu mengetik sederet nomor yang ia hafal di luar kepala.
"Nih. Miss call gue aja" ucap Cakka ketika mengembalikan HP tersebut. Agni menyimpan nomor yang telah diketik oleh Cakka, lalu meneleponnya. Tidak sampai 5 detik kemudian, Cakka meraih sebuah iPhone dari sakunya lalu melihat siapa yang memanggilnya. Nomor asing.
"Ini nomor lo bukan?" tanyanya. Agni meminta agar ia bisa melihatnya lebih dekat, membandingkannya dengan nomor yang ia hafal di luar kepala, lalu mengangguk. Cakka manggut-manggut lalu menekan tombol hijau yang menyambungkannya dengan telepon Agni. Ia mendekatkan benda elektronik itu ke telinganya.
"Halo?" tanyanya, yang kemudian terekam dan diputarkan di HP Agni. Agni terkejut, lalu mengangkat handphone miliknya dan memandangi layarnya. Sudah diduga. Layarnya seolah mengatakan bahwa panggilannya dijawab.
"Katanya miss-call?" tanya Agni sembari mematikan sambungan.
"Buktiin aja biar nyambung. Kan kalau ada orang lain yang nelfon gue malem-malem gini di waktu yang sama persis pas lo nelfon gue, terus gue nelfon dia dan yang ngangkat banci taman lawang kan gak lucu" jawab Cakka dengan alasan yang nyaris tidak mungkin. Tetapi cukup untuk membuat Agni tersenyum. CKIIITTT.... Suara itu mampu membuat kedua insan itu menoleh dan membelalak. TIN TIN!!
"Heh!! Lo berdua ya, kalau mau pacaran jangan malem-malem gini! Di tengah jalan lagi!! Untung aja gue berhenti, kalau gak?! Mau lo jadi korban tabrak lari?!" bentak seorang sopir truk kepada Cakka dan Agni. Buset, tabrak lari? Maksudnya nabrak terus lari gitu? Idih jahat amet ni sopir, pikir Agni.
"Euh... maaf pak, gak ngeliat. Kita kan lagi nyebrang pak" ucap Cakka sopan.
"Nyebrang nyebrang!! Ati-ati lo! Salah dikit aja ketabrak lo! Mentang-mentang berduaan sama pacar... ckckck. Dasar anak muda zaman sekarang..." tanggap pria setengah baya itu, membuat Agni ingin menjatuhkannya dari kusi kemudi lalu melindasnya dengan truk tersebut.
"Pak, kita tuh gak pacaran, kalau ngomong kira-kira dong" ucap Agni kesal.
"Sama aja! Tetep ganggu tau! Udah ah sana minggir, gue pengen jalan!" bentak supir tersebut, lalu menjalankan truknya tepat ketika Cakka dan Agni berlari ke trotoar. Samar-samar terdengar suara tawa yang kencang dari truk yang sudah menjauh tersebut.
"Ih. Ketawanya kayak setan deh" komentar Agni. Cakka hanya tertawa, lalu mereka melanjutkan jalan ke arah mobil Agni, lalu pulang ke rumah masing-masing. Di dalam hati masing-masing, mereka tau, mereka tidak akan melupakan kejadian malam itu...
***
Agni sampai di rumahnya yang sepi pukul 11.50 WIB. Ia memasuki kamarnya dan langsung berbaring di ranjangnya, memejamkan mata. Menandakan bahwa ia sudah siap untuk tidur. Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi, menandakan sebuah pesan-atau telepon-masuk di sana. Dengan malas ia membuka mata dan meraih telepon tersebut, lalu melihat layarnya. Alvin, pikirnya. Setengah hati ia menjawab panggilan masuk itu.
"Mau apa?" tanya Agni to the point. Hatinya kecewa, kecewa karena ini sudah kesekian ribu kali Alvin menyakitinya.
"Agni? Aku... mau minta maaf. Kamu belum tidur?" tanya Alvin. Agni mendesah, lalu menggeleng. Walaupun ia tau itu percakapan di telepon. Ia tau bahwa Alvin tidak akan melihatnya menggelengkan kepala. Sedang Alvin menunggu, menunggu jawaban dari Agni yang sekarang seperti beberapa titik di dalam tanda kutip. Diam, tak menjawab.
"Belum ya? Aku minta maaf ya gak bisa dateng... aku aja masih ada di studio..." ucap Alvin, membuat Agni memutar kedua bola matanya dengan kesal.
"Omong-omong, kamu ada di mana? Jangan bilang kamu masih di restoran itu, nungguin aku" ujar Alvin.
"GR. Aku ada di rumah kok" Agni akhirnya membuka suara, membuat Alvin mendesah senang karenanya.
"Ooh gitu ya? Syukur deh kalau gitu..." sahut Alvin.
"Iya. Udah kan? Aku ngantuk nih. Dah" ucap Agni lalu mematikan sambungan telepon sebelum Alvin bisa mencegahnya. Ia mengambil sebuah buku secara asal dan membacanya meskipun pikirannya melayang tidak tau ke mana. Bahkan tidak ada satu pun kata-kata yang masuk ke dalam pikirannya. Hatinya sakit, perih, dan kecewa. Dan semua itu tertuju pada Alvin. Agni tau, ia seharusnya mengakhiri hubungan mereka, tetapi mana bisa? Agni masih bisa bersabar, dan jika kesabarannya sudah mencapai angka 0 atau -1 ke bawah, barulah Agni melakukannya. Agni tau, itu alasan yang konyol. Tetapi,Agni masih mencintai pria tersebut...
Every night it’s all the same
You’re frozen by the phone
You wait, something’s changed
You blame yourself every day
You’d do it again
Every night
Agni menengok lalu menghela napas. Itu lagu yang menjadi ringtone di HP-nya, lagu terbaru dari David Archuleta yang berjudul 'Something About Love'. Lagu itulah yang menandakan ada seseorang yang memanggilnya. Ia memutuskan untuk membiarkannya dan memfokuskan diri untuk membaca buku tersebut. Pasti telepon itu dari Alvin, pikirnya. Dasar cowok, kerjaannya gangguin orang mulu! sambungnya, masih dalam hati.
There’s something ’bout love
That breaks your heart
Whoa oh oh oh
It sets you free
There’s something ’bout love
That tears you up
Whoa oh oh oh
You still believe
When the world falls down like the rain
It’ll bring you to your knees
There’s something ’bout love t
hat breaks your heart
Whoa oh oh oh…
But don’t give up
There’s something ’bout love
Dengan kesal Agni melempar buku yang ia baca lalu menyambar telepon genggamnya. Ia memencet tombol hijau lalu mendekatkan benda itu ke telinga.
"Mau apa lagi lo?!" bentak Agni kepada pemanggil tak bersalah yang berada entah di mana. Pemanggil tersebut kaget, tak mengira gadis manis yang diteleponnya akan marah secepat itu.
"Hei hei, nyante Ag. Ini Cakka" Agni mendengar sang pemanggil menyahut. Ketika mendengar pernyataan tersebut, jantung Agni langsung berdebar-debar dan mukanya memerah. Ia menyesal telah membentak Cakka.
"O, ooohh... ini Ca, Cakka ya? Gue kira Alvin, hahahaha" ucap Agni gugup. Ia tertawa di ujung kalimatnya untuk menenangkan diri serta menutupi kegugupannya. Dari sebrang sana, Cakka mendengarkan sembari tersenyum. Ia sudah 2 tahun mendalami ilmu psikologis, tentu saja ia tau bahwa Agni sedang gugup.
"Iyalah... Alvin? Emang Alvin ngapain lo?" tanya Cakka, yang langsung ingin menenggelamkan dirinya sendiri di laut mati. Benar saja dugaannya, Agni langsung mematung. Cepat-cepat Cakka mengalihkan pembicaraan.
"Eh, omong-omong ini kantong plastik bento lo ketinggalan. Mau gue anterin?" tanya Cakka. Agni tersenyum.
"Gak usah, kita ketemuan aja. Di cafe tadi sejam lagi ya" ucap Agni. Cakka bingung.
"Ag, ini udah jam 12, masa lo mau pergi sih malem-malem gini? Udah, gue anterin aja" tawar Cakka.
"Enak aja! Gak papa kali, kalau ada preman tinggal gue tusuk pake gunting" ucap Agni santai.
"Parah lo Ag"
"Biarin. Jadi gimana nih? Jadi gak? Apa lo mau ke rumah gue? Sekalian beliin latte ya, hehehe"
"Oke deh. What kind of latte? Vanilla?"
"Serah lo" ucap Agni.
"Iya deh, gue beliin vanilla ya... oya, alamat lo di mana?" tanya Cakka.
"Jl. Kucing Terbang blok N nomor 12G" jawab Agni.
"Kucing terbang? Hahahha..." ucap Cakka sembari tertawa karena alamat rumah Agni yang begitu aneh.
"Tau tuh si Ravanya, yang diriin tuh jalan. Kabarnya dia nge-fans sama kucing terbang" ucap Agni.
"Oh, Ravanya yang nulis novel best seller itu? Ahaha... dia juga diriin jalan Ikan Tenggelem kan? Gue tinggal di sana, blok G nomor 5D. Ya udah, we'll meet in 30 minutes from now, OK?" tanya Cakka.
"Cak, kebanyakan inggrisnya lo" komentar Agni.
"Biarin. English is very important for you life" tanggap Cakka.
"Iya deh, serah lo aja" ucap Agni.
"Hahaha... jadi? Mau gak?" tanya Cakka.
"Iya. 30 menit ya, ampe lebih gue gorok" ancam Agni.
"Ag, lo tuh cewek Ag, gak usah ngomong hal-hal yang nyeremin dong" ucap Cakka.
"Iya deh, halo Cakka manis..." ucap Agni dengan nada sok manis.
"Gak usah terlalu manis juga Ag, merinding gue. Ya udah deh, gue pergi dulu yaaa..." ucap Cakka. Agni hanya mengangguk dan mematikan telepon, membuat Cakka kebingungan. Si Agni marah ya? Kok langsung ditutup sih? batinnya sembari bertanya. Akhirnya ia hanya mengangkat bahu, mengambil plastik miik gadis yang baru saja ditemuinya, lalu keluar untuk berjalan kaki ke rumah gadis tersebut. Kebetulan rumahnya hanya berselang 6 blok, yaitu sekitar 35 meter. Dengan senyum mengembang di wajahnya, ia berjalan perlahan-lahan.
***
Seorang pria berkulit putih tengah melihat jamnya setelah sambungan teleponnya ditutup oleh kekasihnya yang, entahlah... marah? Oke, mungkin ia memang sudah keterlaluan dengan membuatnya menunggu, tapi... yah, tidak ada tapi-tapian. Ia memang pantas dimarahi; dibenci. Ia memegangi dadanya. Rasa sakit itu datang lagi, yang pria itu yakin, akan mengambil jiwanya beberapa waktu lagi. Ia harus segera menjelaskan kepada kekasihnya tentang semuanya; penyakitnya, perasaannya, dan berapa waktu lagi ia akan bertahan.
Ia menghela nafas.
Kalau saja kanker paru-paru tidak menggerogoti tubuhnya, mungkin ia sudah menghabiskan banyak waktu bersama kekasihnya. Atau mungkin ia sudah melamarnya. Impian yang ia punya pada saat umur 18 tahun sebagai pengamen bersuara emas menjadi penyanyi professional sudah menjadi impian semu. Menjadi penyanyi professional hanya menguras tenaganya, belum lagi paparazzi yang selalu ada di depan rumahnya. Sebelumnya, ia tidak tau akan hal itu. Sekarang, ia bosan dengan semua omong kosong ini.
Dengan berjalan kaki ia melewati sebuah rumah yang sangat ia kenal, rumah kekasihnya. Lampu masih menyala, menandakan kekasihnya itu belum tidur. Di rumah yang lumayan besar itu, kekasihnya memang tinggal sendirian. Orang tuanya sudah meninggal dunia saat ia berumur 17 tahun, dan sejak saat itu kekasihnya hidup mandiri. Ia memandangi rumah indah itu beberapa saat, lalu memasukinya. Tidak sampai sedetik setelah ia melakukan hal itu, ia mematung.
Kekasihnya sedang bersama lelaki lain, tertawa, bercanda, dan bersentuhan. Membuat sang naga kebencian dalam dirinya terbangun dari tidur lamanya. Membuatnya ingin membunuh sang lelaki yang nekat mendekati pacarnya. Membuatnya... gila.
+++
Oiii kepanjangaaannn!! Segitu dulu yaaa,...
newsflash :
http://www.blogger.com/img/blank.gif
aku bakalan OL dan ngepost lagi mulai hari minggu minggu depan :)) aku mau belajar buat UHBT/UTS, mohon dimaklumi yaaa :DD penulis juga masih sekolah...
khusus fb : maaf yaaa buat yang gak ditag... ada beberapa yang gak bisa ditag soalnya :(
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!
Any critics?
-penulis-
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar