Senin, 01 Agustus 2011

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Part 5

PREVIOUS PART

Pemuda itu memandang sekeliling dengan bosan. Ingin rasanya ia melihat pasangan-pasangan muda yang sedang dilanda cinta, bukan pria patah hati yang memakan pesanannya pelan-pelan.

Ia menghela nafas.

Jam 3. Itulah fakta yang didapatnya ketika ia melihat jam hitam bermerek Swatch yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tersenyum mengingat bagaimana tunangannya memberikan jam ini pada hari ulang tahunnya. Hari yang sangat special, karena tunangannya tercinta memberikan hadiah terindah dalam hidupnya. Kehadirannya. Cintanya.

Ia melirik seorang wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Wanita itu tengah mengubah ekspresinya yang bosan menjadi sebuah senyuman manis dan hangat. Pemuda itu balas tersenyum. Inilah suka dukanya menjadi penjaga kasir malam di sebuah restoran fast food 24 jam. Bosan, tetapi pada saat yang bersamaan juga senang.

Tepat sedetik setelah ia memikirkan hal itu, terdengar suara lonceng kecil yang menandakan bahwa ada pelanggan yang memasuki restoran tersebut. Spontan, pemuda-pemudi itu pun menengok. Seorang pria berwajah harajuku masuk dengan tertawa, menggandeng seorang gadis manis yang tertawa juga. Keliatannya mereka bercanda ria. Patton—nama pemuda yang menjaga kasir itu—langsung melihatnya dengan antusias. Ini yang ia tunggu-tunggu dari tadi. Sepasang kekasih yang mempunyai hubungan yang harmonis. Lewat cincin perak berhiaskan berlian mungil yang melingkari jari manis kiri gadis itu, Patton berpendapat bahwa hubungan mereka sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Tersenyum, Patton pun tersenyum melihat mereka bergandengan tangan dan menghampiri dirinya.

"Mau apa?" tanya sang pria kepada gadis yang sedang tersenyum lebar dalam genggamannya.

"Aku mau... samain aja deh sama kamu" jawab gadis itu, membuat Patton tersenyum.

"Baru aja aku mau samain sama kamu" keluh sang pria.

"Ya udah. Aku mau paket PANAS, McFlurry, cheese burger sama chicken McNugget" ucap sang gadis, matanya melirik-lirik ke papan yang memperlihatkan menu yang terdapat di dalam restoran bernama McDonald ini. Patton tersenyum geli mendengarnya.

"Buset! Agni Tri Nubuwati, kamu mau meres aku?" tanya sang pria dengan kaget.

"Biarinlah Cakka Kawekas Nuraga-ku sayang, lagian kan aku laper. It’s been a long night. Kalau kamu gak mau ya udah aku bayar sendiri aja" ucap Agni lembut sembari mengeluarkan dompetnya.

"Eits, gak usah. Biar aku aja yang bayar" cegah Cakka. Agni, sebagai calon istri yang baik, menurut dan memasukkan kembali dompet putih gading itu ke dalam kantungnya. Cakka mengangguk puas.

"Semua yang dia bilang sama paket PANASnya tambah 1" ucap Cakka pada Patton yang sedari tadi hanya tersenyum. Ia pun berkonsentrasi pada pesanan mereka.

"Paket PANASnya 2, McFlurry, cheese burger dan chicken McNugget?" tanya Patton, memastikan. Cakka mengangguk. Pria penjaga kasir itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Setelah menekan beberapa tombol di mesin kasirnya dengan cepat, Patton pun menyebutkan nominal uang yang harus dibayar Cakka.

"Rp135.000,00" ucap Patton. Cakka tersenyum tipis lalu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan lembaran-lembaran uang dengan jumlah yang pas. Patton tersenyum dan memasukkan lembaran-lembaran tersebut ke dalam mesin kasir. Setelah menyiapkan pesanan dan meletakkannya pada baki cokelat tua, ia pun membiarkan sepasang kekasih itu pergi untuk memilih tempat duduk, dan makan dengan riang. Diselingi dengan canda tawa, tak lupa dengan adegan-adegan mesra, membuat dunia serasa milik mereka berdua. Patton tersenyum senang. Pasangan yang satu ini mampu memperbaiki moodnya yang sempat hancur.

Omong-omong mood yang hancur, Patton pun mengalihkan pandangan ke orang yang sedari tadi membuat hancur moodnya. Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit yang memiliki rambut spike, duduk di pojok ruangan yang tersembunyi. Setidaknya, dari pasangan tersebut. Betapa kagetnya ia ketika melihat sinar kemarahan yang menyala di mata pria tersebut, seolah ingin memakan pasangan itu hidup-hidup. Membuat suasana di sekitar pria itu menjadi merah, seperti api yang membara ada di sekelilingnya. Patton bergidik ngeri, ingin rasanya ia mengalihkan pandangan, tetapi matanya tak bisa bergerak, seolah mata itu menariknya untuk terus melihatnya... dan rasa takut pun mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, mata itu menjadi sayu dan sedih, seperti ketika seseorang hilang harapan. Tubuhnya merosot lemah, dan ada sesuatu yang menetes dari hidungnya... cairan kental dan merah. Tunggu. Mungkinkah itu... darah? Ekspresi Patton yang pucat lalu menjadi lega, sekarang mulai tampak khawatir dan cemas.

Pemuda itu mengarahkan mata ke hidungnya, dan secepat kilat ia menyeka darah tersebut dengan tissue yang terletak di meja di hadapannya. Ia pun segera berdiri, memakai jaketnya yang berwarna hitam serta tudungnya, membereskan barang-barangnya dan pergi denga cepat, menyembunyikan wajahnya dari pasangan tersebut.

Yang tentu saja membuat Patton semakin bingung. Ada apa diantara ketiga orang ini?

Wanita di sebelahnya menepuk pundaknya, memberikan senyumnya. Seolah ingin membantu Patton melupakan kebingungannya itu. Pancaran matanya berkilat-kilat memohon. Patton tertegun sesaat, lalu balas tersenyum.

Yah, buat apa ia memikirkan hal itu? Toh itu bukan urusannya...


***


Alvin menutupi hidungnya dengan lengan jaketnya yang sekarang sudah menyerap darah yang terus-menerus keluar dari hidungnya. Dengan cekatan ia merobek kausnya dan menggunakannya sebagai sapu tangan, menyerap darahnya kembali. Bersandar di sebuah lampu taman, ia menghela nafas dan memejamkan mata. Benaknya sibuk membayangkan kejadian tadi.

Ia ingat perasaan sesal yang menyelimutinya sepulang dari rumah Agni tadi malam, menyesal karena ia telah melepas satu-satunya wanita yang ia cintai di seluruh dunia ini, walau yang ia lakukan adalah tindakan yang benar. Ia benar-benar tidak sanggup bila harus melihat air mata yang menitik di wajah wanita yang dikasihinya ketika tau bahwa Alvin akan pergi dan meninggalkan dirinya, selamanya...

Dan terjadilah hal terakhir yang Alvin inginkan untuk terjadi. Mereka berdua, Agni dan pria pengganti dirinya bermesraan di hadapannya. Api kemarahan pun menyala semakin besar ketika ia melihat sebuah cincin emas putih yang melingkar dengan manis di jari manis Agni. Dadanya bergemuruh, siap untuk menerkam Cakka dan Agni sekaligus. Sebegitu tidak penting-kah dirinya di mata Agni, sampai dengan mudahnya ia memakai cincin pertunangan yang sama dengan yang Cakka pakai? Apakah selama ini ia hanya menjadi penghalang bagi mereka berdua? Atau ia hanya dipermainkan?

Berjuta-juta pertanyaan dan dugaan timbul di benak Alvin, hampir-hampir membunuhnya. Dugaan yang sama berulang kali muncul di pikirannya, membuat rasa sakit di kepalanya kian membesar, seperti ada api besar membakar bagian dalam tengkoraknya dan pada saat bersamaan menghancurkan tengkorak yang sama dengan hantaman keras sebuah tongkat besi. Tidak tahan dengan rasa sakit yang timbul, spontan ia meremas kepalanya dan jatuh berlutut, berusaha mengenyahkan dugaan tersebut. Atau lebih tepat disebut flashback ucapan orang-orang yang menentang hubungannya.

"Lo kira Agni cinta sama lo?! Agni tuh cuma mau duit sama ketenaran lo dong Vin!! Sadar!"

"Alvin Jonathan Sindhunata, artis kayak lo tuh gak pantes gadis biasa yang gak punya potensi kayak si Agni-Agni gak jelas itu. Lagian apa sih hebatnya dia? Masih mendingan gue juga kali dimana-mana!"

"Vin, gue tau lo itu artis muda paling beken di seantero Indonesia dan lo selalu dapet apa yang lo mau, tapi diantara semua gadis yang bisa lo milikin, kenapa lo pilih dia? Sadar Vin, lo sama dia tuh bagai magnet N sama N dan S sama S. Gak bisa menyatu"

"Nak Alvin, sadar! Dia bukanlah orang yang tepat untukmu! Ingatlah, kau seorang kristiani, dan dia? Kalian berbeda kepercayaan. Lebih baik kalian akhiri hubungan ini dan memulai lembaran baru..."


"AAARRGGGGGGHHHHHHH!!!!" suara teriakan Alvin membahana di kegelapan malam. Tangannya mencengkram kuat kepalanya, berusaha meredam tongkat besi yang memukul bagian dalam tengkoraknya. Tapi apa daya, justru tindakannya itu malah membuat seribu ucapan menyakitkan makin terngiang dalam kepalanya. Dadanya sesak, darah pun mengucur dari hidungnya. Matanya berkunang-kunang, dan penglihatannya menjadi buram. Jangan, jangan sekarang... pikirnya.

Dan semuanya pun gelap.


***


Sinar matahari yang lembut membangunkan Alvin dari tidur nyenyaknya—atau lebih tepatnya pingsan. Dengan panik ia langsung duduk dan mendongkak ke atas untuk melihat jam taman. Aman, jam 6 pagi, pikirnya sembari menghembuskan nafas lega. Ia memicingkan mata, melihat sekeliling. Beruntung, ia pingsan dibalik sebuah pohon yang dikenal sebagai 'Pohon Angker', membuat tak seorang pun melihatnya. Mendekati pohon tersebut saja tidak ada yang berani.

Menghela nafas lega sekali lagi, ia pun berdiri dan menyeka darah kering di hidungnya dengan lengan jaketnya. Sialan, pake udah kering segala lagi! umpatnya dalam hati. Lalu ia berjalan menuju keran air terdekat dan membasuh hidungnya. Setelah bersih, ia pun duduk di bangku taman dan memikirkan perasaannya.

Apa benar dia masih mencintai Agni, bahkan setelah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang sesuatu yang amat sangat menyakitkan baginya? Walau toh itu juga yang akan terjadi?

Mengalihkan pandangan untuk menghapus pikiran menyeramkan tadi, ia memutuskan untuk pulang dan memikirkan tindakan selanjutnya. Ya, mungkin itulah yang terbaik, pikirnya sembari berjalan pulang.


***


Butuh waktu yang lama baginya untuk pulang, mungkin karena ia berjalan kaki dan meninggalkan motor harley kesayangannya—yang ia tinggal di McD hanya karena itu mengingatkannya pada Agni—atau karena ia berhenti dan duduk di pinggir jalanan berkali-kali karena sesak nafas dan teringat pada Agni, atau karena ia ‘menumpang’ ke toilet untuk membasuh darah yang mengucur di hidungnya, atau mungkin karena para fans-fansnya yang menuduhnya Alvin J. S. Memang benar, tetapi Alvin tak mengakuinya. Dituduh pembohong, ia bersusah-payah keluar dari kerumunan perempuan yang disebutnya sebagai ‘Cewek Gak Jelas’ itu.

Diliriknya jam kuno yang terbuat dari kayu mahoni terbaik. Jam 12. Artinya sudah 6 jam ia mengarungi Jakarta untuk pulang ke rumahnya. Perjuangan yang berat, memang.

Berjalan menuju sebuah Grand Piano hitam di dalam ruangan yang asri, ia memandang ruangan itu. Ruangan yang merupakan ruangan favorit Agni.

Ruangan itu sebenarnya adalah sebuah kolam ikan. Dinding kolam dicat biru muda, membuat seolah para ikan koi yang berenang di dalam kolam tersebut seperti berenang dalam laut dangkal yang sangat jernih. Salah satu dinding terbuat dari batu, dan dari sana sebuah air terjun mini meluncurkan air beningnya dengan lembut. Di sana-sini terdapat tanaman hijau di dalam pot hitam kecil, lebih tepatnya di atas rak teralis hitam. Lantainya terbuat dari kaca, menunjukkan ikan-ikan yang berenang dalam air bening di bawahnya. Dindingnya—kecuali dinding batu tempat air terjun mini berada—dicat hitam. Di tengah ruangan, sebuah Grand Piano hitam tengah berdiri dengan elegan. Membuat ruangan yang indah tersebut tampak tidak berarti dibanding piano mewah tersebut. Mendominasi perhatian, bahasa sederhananya.

Setelah puas memandangi setiap inci dari ruangan tersebut, Alvin menghela nafas dan menghilangkan bayangan Agni di dalam benaknya. Memang, ruangan inilah yang seringkali menjadi tempat bermain Alvin dan Agni. Oke, hanya sekali. Saat mereka merayakan selesai dibangunnya rumah ini, tepatnya tanggal 26 Juni...

3 tahun yang lalu.


***


“Alviinn!! Keren banget!!” ucap seorang wanita yang tengah terpukau melihat sebuah ruangan di depannya. Seorang pria bermata sipit mengembangkan senyum di belakangnya. Senang.

“Keren ya?” tanya pria tersebut—Alvin—dan berjalan perlahan ke depan, menyamakan posisinya dengan Agni. Dengan lembut ia meraih tangan kekasihnya itu, menciumnya, lalu menuntunnya untuk duduk di kursi piano kebanggaannya itu.

“Mulai sekarang, ruangan ini milikmu” ucap Alvin dengan lembut. Agni, selah terpukau, menatap sekeliling dengan pandangan setengah kosong. Jantungnya berdegup kencang. Semua ini hadiah?!

“Bagus gak?” tanya Alvin. Agni mengangguk, gugup. Entah kenapa ia seperti balik ke masa lalu, saat ia masih sekedar naksir Alvin. Dulu, duduk bersebelahan dengan Alvin rasanya indah sekaligus menakutkan. Ia, seperti istilah dalam film How I Met Your Mother, pasti terkena yip atau terlalu memikirkan banyak hal tentang sesuatu yang sederhana. Atau dalam kata lain gugup.

“Ag, masih inget gak harapan-harapan gila kita dulu?” tanya Alvin. Agni mengangguk, tentu saja. Mana mungkin ia bisa lupa? Bukankah itu adalah harapan terdalamnya terhadap Alvin? Menikahinya dan mempunyai dua anak yang lucu?

“Mana mungkin aku bisa lupa, Vin?” tanya Agni, menyuarakan pikirannya. Alvin tersenyum kecil.

“Kalau anak-anak kita main di sini lucu gak ya?” tanya Alvin, melirik Agni. Berharap ucapannya itu tidak menyinggung Agni sama sekali. Berlawanan dengan pikirannya, Agni tersenyum.

“Lucu banget” ucapnya sembari menerawang jauh, mengkhayalkan dua anak kembar—perempuan dan laki-laki—sedang bermain kejar-kejaran di ruangan tersebut. Dua anak kembar berumur 4 tahun yang sangat mirip dengan dirinya dan Alvin. Alvin tersenyum, ikut mengkhayal.

Hening beberapa saat.

“Omong-omong...” ucap Agni, memecah keheningan diantara mereka. Alvin mengengok, mengangkat alis. Agni yang tidak berani memandang mata Alvin pun hanya melirik ke piano tersebut dan berkata,

“Katanya mau main?”


***


Alvin mulai memainkan pianonya, dengan lagu yang sesuai dengan kemauan Agni pada masa itu. Sebuah lagu favoritnya waktu itu.

Like We Used To.

I can feel her breath as she's sleeping next to me…

***

Tangan putih itu menggoreskan tinta pulpen di secarik kertas putih tak bernoda, mengungkapkan seluruh perasaannya. Kata-kata yang tertulis di dalamnya begitu menyakitkan, begitu menyesakkan dada. Tapi memang begitulah, hidup tak pernah adil.

Seseorang pernah berkata, kebenaran memang menyakitkan. Tetapi kau tak akan pernah menyangka bahwa kebenaran akan menjadi sepahit ini.

Seseorang pernah berkata, hidup memang tidak adil. Dan begitulah adanya.

Cinta itu begitu menyakitkan, apalagi ketika kau menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang sangat menyakitkan, lebih menyakitkan dari cinta itu sendiri. Maaf, selama ini aku tidak jujur padamu. Maaf, selama 3 tahun terakhir ini aku tidak bisa membahagiakanmu. Sudah cukup banyak kenangan indah antara kita berdua, dan aku tidak mau itu bertambah, karena semakin banyak kenangan itu ada maka semakin pahit buah yang akan dihasilkannya. Maafkan aku, sungguh. Maaf.

Aku mencintaimu selalu, dengan segenap hatiku. Hati ini hanya untukmu, wanita yang tak sempurna tetapi mampu membuatku berpaling dari hidup yang menyakitkan waktu itu, Agni Tri Nubuwati.

I love you, even when everyone’s try to make me forget this feeling.


With pain and regrets,

Alvin J. S.



+++

AKHIRNYA SELESAI JUGA INI PART!!

AAAAAAA!!! Seneng banget, akhirnya jadi juga!! Udah lama banget ini bikinnya, sempat tertunda gara-gara ditutup, tapi gara-gara DINDA, PAHLAWAN PENYELAMAT STA INI, part ini selesaaaaaaaaaiiiiiiiiiiii!!!!!!

Oke, maaf yaa kalau kurang gimanaaaaa gitu. Dan saya bisa pastiin kalau part 6 itu part terakhir. Udah saya kasih bocorannya, kan? Alvinnya mati. Dengan cara yang sangat sangat menyakitkan. Dan di part terakhir ini bakalan pada tau kenapa judulnya surat terakhir Alvin...

Gimana? Udah ketebak belum teka-teki di part 2? Hayooo... udah ampe part 5 nih, bentar lagi part terakhir loohh... oya, GBL ditunda dulu ya sampe STA selesai? Nanggung nih...
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Udah kebaca belom masa lalu AlNi yang harmonis? Hehehe... keren ya? Jadi ngiri, pengen punya pacar kayak gitu juga sih... hehehe.

oya, terakhirnya agak gak nyambung ya? itu cuma biar bikin penasaran dan manjang-manjangin part doang sih, hehehe... gak papa kan? wahuahua.

Ditunggu komennya!

Any critics?

-penulis-


NEXT PART

Tidak ada komentar:

Posting Komentar