Senin, 30 Mei 2011

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Part 1

Seorang gadis berwajah manis, berkulit sawo matang dan berambut hitam lurus itu tengah menatap layar handphone miliknya. Senyum kecil mengembang di wajahnya. Akhirnya, setelah sekian lama, mereka berdua-gadis itu dan pacarnya-akan berkencan. Di waktu yang sempurna. Tidak ketika gadis itu sedang sibuk, atau pacarnya yang sibuk dengan segala pekerjaannya itu. Tetapi gadis itu tidak terlalu yakin. Ia tengah berbaring di tempat tidurnya dan mengenang kejadian-kejadian yang sudah lalu. Ia dan pacarnya. Betapa indahnya masa lalu... betapa suramnya masa kini. Ia mengangkat liontin yang sedang ia pakai. Liontin yang dulu sekali diberikan oleh pacarnya. Liontin yang indah, walau tidak mahal karena terbuat dari kaca. Mungkin tidak cocok dengan kepribadian gadis itu, karena gadis itu cenderung tomboy. Tetapi, itulah hadiah terindah yang pernah dirasakan oleh si gadis... perasaan bahagia ketika mendapatkannyalah yang menjadi bukti kuat.

Gadis itu menghela nafas, menatap TV yang tengah menayangkan kartun Doraemon. Ia memandang kosong ke arah TV. Jika doraemon memang ada, mungkin gadis itu akan bersedia membuang uang untuk pergi ke Jepang. Hanya untuk menaiki mesin waktu milik doraemon, yang membawanya kembali ke masa lalu yang amat dirindukannya. Ia melirik jam. Masih jam 5 sore, dan sejam lagi ia harus berangkat. Orang yang menunggunya sangat tidak menyukai kata 'terlambat' atau bisa dibilang, 'ketidak-konsisten'. Itu adalah kata yang sering diucapkan oleh pacarnya, walaupun gadis itu sendiri tidak yakin kata itu akan muncul di kamus besar bahasa indonesia.

Agni-nama gadis itu-memilih untuk membaca sebuah buku sebentar, sampai jam setengah 6. Setelah itu ia tinggal berganti baju dan berangkat. Ketika ia beranjak dari tempat tidur untuk mencapai rak buku di kamarnya, perhatiannya teralih ke luar jendela. Ke sebuah lapangan basket tempat ia sering bermain di situ. Dan tempat ia bertemu dengan pacarnya, di situ, 5 tahun lalu... Agni menggeleng. Ia menatap langit dengan pandangan kosong sembari duduk bersandar di kursi yang menempel dengan jendela. Menengok ke kiri agar bisa menatapnya. Tidak. Alvin-pacarnya-tidak akan kembali menjadi Alvinnya yang dulu. Yang ada hanyalah Alvin yang sekarang, yang selalu sibuk dengan dirinya sendiri. Atau lebih tepatnya, pekerjaannya. Ya, pekerjaan Alvin adalah penyanyi. Professional. Bukan lagi seorang pengamen jalanan bersuara emas yang selalu mengejar impiannya dengan antusias yang Agni tumpahkan es krim cokelat di seluruh kaus putih kesayangan Alvin dulu. Bukan Alvin yang menginspirasinya dengan rangkaian kata-kata dewasa yang ia kutip dari buku filosofi almarhum ayahnya. Yang ada hanyalah seorang Alvin yang telah mencapai impiannya, yang sekarang sama sekali tidak dikenal Agni.

Agni menghela nafas.

Kalau ia tau Alvin akan menjadi seperti ini, Agni tidak akan membantunya untuk mencapai impiannya. Dengan cepat Agni menyangkal. Ia bukanlah pribadi yang mempunyai ego tinggi, melainkan selalu mendahulukan orang lain. Tapi entah kenapa, ia ingin agar Alvin kembali menjadi Alvin yang dulu. Yang ia tau, tidak mungkin ada lagi. Agni melirik jam. Sudah jam setengah 6. Agni pun menyambar jaketnya dan pergi membawa mobil hoda jazz birunya ke sebuah restoran. Di dalam hati, Agni sangat, sangat berharap Alvin akan ada di sana, menunggunya.

***

Butuh waktu 30 menit untuk mencapai restoran tersebut. Tepat jam setengah tujuh ia memasuki restoran jepang itu. Makanan jepang, makanan kesukaan Alvin. Ia pun duduk dan melihat jam ditangannya-06.30. Masih ada waktu 30 menit, pikir Agni seraya menenangkan diri.

Namun, 2 jam kemudian Alvin belum juga datang. Agni bersabar dan mencoba untuk berpikir positif. Mungkin saja ia terjebak macet, batinnya berkata lembut. Atau mungkin ia sedang menunggu gajah menyingkir dari hadapan mobilnya? Ya, mungkin saja.

Lama-lama Agni jenuh, lelah menunggu. Pikirannya menjadi semakin aneh, bahkan ia sempat berpikir, 'jangan-jangan dia ketemu anak beruang kutub yang tersesat dan ke Kutub Utara dulu untuk mengembalikannya' yang tentu saja langsung disangkalnya karena terlalu konyol. Ia melirik jam yang telah menunjukkan jam 9 malam. Sushi yang ia pesan sudah habis. Bahkan edamame dan sashimi juga sudah masuk ke perutnya saking laparnya. Lalu di HP-nya muncul sebuah SMS.


From : Alvin


Ag, maaf ya aku gak bisa dateng. Ternyata rekamannya lebih lama dari yang aku duga.


Agni meremas HP-nya. Sudah disangkanya. Teman-temannya benar, seharusnya ia tidak usah menerima ajakan Alvin dan pergi ke DuFan bersama mereka. Jika ia menerima saran itu, pasti sekarang ia sudah berada di rumah dan senang, bukannya di restoran ini dan murung. Seharusnya Alvin ada di sini. Seharusnya. Agni pun membayar makanannya dan keluar dari restoran tersebut. Hujan deras, tapi Agni tidak peduli. Hatinya terlalu sakit untuk khawatir ia akan basah. Ia memakai jaketnya beserta tudungnya lalu mulai berjalan.

Ia berjalan menuju lapangan parkir di seberang restoran itu. Menenteng satu plastik dengan 2 bento sebagai bahan makanan di rumah, dan satu tangan di kantung depan jaketnya (di bagian bawah), dan menunduk, ia tidak sadar ada orang di depannya yang tengah mengutak-atik HPnya. Otomatis mereka bertabrakan.

"Auu!" teriak mereka berbarengan.

"Aduh..." rintih Agni ketika mengetahui tangannya terluka cukup dalam karena tergores batu yang lancip.

"Aduh! Maaf ya... aku benar-benar tidak melihatmu" ucap pria tersebut, orang yang telah menabrak Agni. Agni tersenyum manis.

"Tidak apa-apa" ucapnya singkat. Pria itu membalas senyumannya dengan senyuman kecil. Ditatapnya Agni yang tengah melihat lukanya, lalu mulai menilainya. Seperti yang selalu ia lakukan. Matanya menangkap kekecewaan di mata sayu gadis yang menabraknya itu, sebuah kantung plastik yang digunakannya, dan bajunya yang acak-acakkan dan kotor. Belum lagi dengan kondisi bahwa gadis itu tidak berkonsentrasi dengan keadaan sekitar. Kesimpulan yang diambil oleh pria itu adalah, gadis yang ada di depannya ini sedang mempunyai masalah. Masalah yang cukup besar sampai membuatnya tidak berkonsentrasi. Padahal ia sangat manis, pikir pria tersebut tanpa maksud apa-apa. Mungkin ia memang tertarik, tetapi hanya sebatas itu. Tidak ada maksud lain. Segetir rasa iba muncul di hatinya. Ia memang kuliah di bidang psikologis, jadi ia tau perasaan gadis itu. Pria itu tersenyum untuk menambah 'kesan ramah', begitulah yang gurunya katakan padanya.

"Eum... hari sudah malam. Hari ini dingin ya? Hujan lagi" ucap pria tersebut, hanya sekedar basa-basi. Agni memandang sekitarnya, lalu mengangguk perlahan. Ia diam saja. Rasanya tidak enak jika langsung meninggalkan pria yang ada di depannya ini. Ia tau, pria itu sedang berusaha beramah-tamah kepadanya.

"Apakah kamu... ada acara malam ini?" tanya pria tersebut. Agni menggeleng.

"Kalau begitu, bolehkah kamu menemaniku ke cafe yang ada di sana?" ucap pria itu sembari menunjuk ke arah sebuah cafe tak jauh di tempat mereka berdiri sekarang. "Cafe itu menjual hot chocolate paling enak sepanjang sejarah Indonesia dan menurutku kamu harus mencobanya" sambung pria itu. Agni menatapnya tak percaya. Bayangkan saja, pria yang ada di depannya ini mengajaknya jalan, padahal ia baru sekali bertemu dengannya. Dan secara kebetulan. Pria tersebut menangkap keraguan di mata gadis manis di depannya itu.

"Ayolah, setengah jam saja. Aku tidak akan melakukan hal yang macam-macam terhadapmu kok..." bujuk pria tersebut. Agni menggigit bibir. Ia mempertimbangkan tawaran seorang pria baik hati-itu kesan pertama yang ia lihat dari sosok pria itu-di depannya. Tawaran yang bagus, lagipula ia tidak ingin sendirian malam itu...

Agni pun mengangguk. Senyum mengembang di wajah pria tersebut. Lalu ia memasukkan tangannya ke kantung jaketnya dan mulai berjalan ke arah cafe yang ia maksud tadi. Agni berjalan di sampingnya. Hening beberapa detik.

"Jadi..." ucap pria tersebut, memulai percakapan di antara mereka berdua. "Siapa namamu?" tanyanya, pertanyaan pertama yang akan diajukan oleh setiap orang yang saling berkenalan.

"Agni" jawab Agni dengan cepat. "Kamu?" sambungnya.

"Cakka" ucap pria itu sembari tersenyum. Agni membentuk mulutnya menjadi huruf 'O'.

"Jadi... Agni," ujar Cakka, memastikan ia menyebut nama gadis di sampingnya ini dengan benar. Agni hanya mengangguk.

"Apa yang kamu lakukan di malam hari begini? Sendirian lagi" tanyanya. Agni mendesah.

"Aku... ada janji dengan seseorang" jawab Agni singkat.

"Seseorang?" tanya Cakka, meminta penjelasan lebih.

"Namanya Alvin. Pacarku" jelas Agni. Cakka mengangguk-angguk.

"Lalu? Di mana lelaki yang beruntung itu?" tanya Cakka. Agni menghela nafas.

"Ia tidak jadi datang," tutur Agni jujur. "Ia... sibuk" sambungnya.

"Sayang sekali" komentar Cakka. Jujur, jika ialah yang menjadi pacar Agni-gadis yang membuatnya tertarik seperti ini-, ia akan datang. Atau setidaknya membatalkan acara sehari sebelumnya jika tidak bisa. Cakka mendorong pintu masuk ke sebuah cafe mungil itu. Mirip starbucks, pikir Agni saat melihat interior dalam cafe tersebut. Ia mengikuti Cakka ke meja pemesanan.

"So... chocolate or coffee?" tanya Cakka. Agni membaca menu walau tidak ada yang masuk di dalam ingatannya. Ia hanya melemparkan tatapan kosong.

"Chocolate" ucapnya spontan dan tanpa menengok semata-mata karena Cakka pernah mengatakan hot chocolate di sini enak.

"2 hot chocolate, please" ucap Cakka. Setelah mengurus pemesanan hot chocolate tadi, Cakka dan Agni duduk di sebuah meja di pojok pinggir yang terletak di luar cafe. Agni yang memilih meja. Tentu saja dengan asal.

"Jadi," ucap Cakka sembari menyeruput cokelatnya. "Apa yang ada di dalam plastik itu?" tanyanya sembari melihat ke arah plastik yang dibawa oleh Agni. Agni memandang plastik itu sesaat.

"Makanan" jawabnya singkat lalu menyeruput minumannya. Rasa cokelat kental bercampur dengan susu tawar serta whip cream terasa di setiap tegukannya. Minuman cokelat yang enak, manis dan kental, tetapi tidak terlalu manis. Agni tersenyum. Pria yang di depannya ini benar. Cafe ini memang menjual hot chocolate paling enak di dunia. Pandangannya beralih kepada Cakka yang sedang tertawa kecil.

"Kenapa?" tanya Agni. Cakka tersenyum.

"Tidak apa-apa" jawabnya. Sebenarnya Cakka geli dengan jawaban gadis pintar yang ada di depannya ini. Simple, menyebalkan bagi sebagian orang, tapi tetap saja itu jawaban yang benar. Agni mengangkat bahu lalu kembali menyeruput minumannya. Keheningan menghampiri mereka untuk beberapa menit. Agni menghela nafas lalu melihat ke arah bulan purnama di langit malam.

"Bulan purnama..." gumam Agni. Melihatnya, ia teringat Alvin. Putih, mirip dengan warna kulit Alvin. Dan ketika ia sedih, ia akan melihatnya jika ada, karena Alvin yang dulu selalu berkata...

"Kalau sedih, lihatlah bulan purnama. Bulat, indah, dan menenangkan" ucap Cakka sembari tersenyum. Agni menengok dan melotot. Kata-kata itu, yang baru saja Cakka ucapkan, sama persis dengan apa yang dikatakan oleh Alvin padanya dulu.

"... Alvin..." lirihnya. Cakka menatapnya bingung. Semakin bingung ketika melihat dua sungai kecil terbentuk di pipi Agni karena air matanya menetes pelan. Agni menatap Cakka, seolah meminta jawaban dari pertanyaan yang selalu menghantuinya, 'Apa yang harus kulakukan?'. Cakka menatapnya iba. Ia menggeser kursinya mendekati kursi Agni, lalu menatapnya.

"Jika ada masalah, katakanlah. Ceritakanlah. Jangan dipendam sendiri. Justru itu akan membuatmu lebih sakit" ujar Cakka, memberikan nasihat. Agni menatapnya, tepat di matanya. Mencari sesuatu-entahlah. Mata yang tengah menatapnya dalam itu tidak menyimpan keraguan, kejahatan, kebohongan ataupun yang lain. Hanya sebuah tatapan ingin tahu dan membantu yang tampak di mata tersebut. Agni menghela nafas. Dapatkah pria ini dipercaya? Mereka baru saja bertemu. Agni tidak punya sahabat. Hidupnya sendirian. Alvinlah sahabatnya. Dan pria di depannya ini? Baru saja bertemu, tetapi ia sudah meyakinkan dirinya untuk menceritakan semuanya. Bahkan Shilla, gadis tercantik di kampusnya, tidak berhasil membuatnya menceritakan semuanya. Padahal Agni tau, Shilla adalah anak yang baik. Bagitupun halnya dengan Gita, Sivia, Angel, Nova, dan Zevana. Agni menghela nafas.

Ia memutuskan untuk menceritakan semuanya. Toh, jika Cakka tau semuanya, dia tidak akan memberitahukannya kepada semua orang. Atau jika ya, mungkin itu akan mempermudah baginya untuk mengambil keputusan. Jadi, setelah menarik nafas beberapa kali untuk menenangkan diri, Agni pun menceritakan semuanya. Tentang Alvin, seorang pengamen yang tidak sengaja ditumpahkan es krim ke seluruh baju putih kesayangannya oleh Agni. Alvin yang selalu memberinya perlindungan. Alvin yang membuatnya merasa kuat, dan yang telah membuatnya merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Dan, beberapa tahun kemudian, membuatnya merasakan bagaimana rasanya terjatuh dengan keras, kesedihan yang amat mendalam, dan bahasa sederhananya, patah hati.

Tak terasa, air matanya tumpah. Mengalir dengan deras. Agni menutupi mukanya dengan kedua tangannya, dan berharap akan ada tangan-tangan Alvin yang merengkuhnya, membuatnya merasa hangat, dan mampu membuat kedua aliran air mata ini berhenti. Tapi tidak ada. Yang ada hanyalah sebuah tangan yang mengacak-acak rambutnya dan suara lembut pria yang baru saja dikenalnya.

"Jika ingin menangis, menangislah. Tidak perlu kau tahan. Menangislah sampai kamu merasa lega, dan usahakan jangan menangis lagi karena hal yang sama. Ingatlah, menangis bukanlah hal yang salah" Agni menengok padanya. Ia tertegun melihat Cakka yang tersenyum menatapnya. Senyum yang menenangkan, yang melegakan. Yang bisa membuat air matanya berhenti mengalir. Berbeda dengan Alvin yang selalu memeluknya dan membujuknya supaya air matanya berhenti, Cakka... entahlah. Ia mengatakan bahwa menangis bukanlah hal yang salah, tersenyum, dan air matanya pun berhenti. Pendapat yang berbeda, namun menghasilkan hal yang sama. Membuat air matanya berhenti mengalir.

Dan tanpa disadarinya, ucapan Cakka itu mampu menanamkan benih cinta di dalam hatinya. Menjahit sedikit luka hatinya, dan membuka pintu hatinya.

Tapi... bagaimana dengan Alvin?

***

Yeaaayyy jadi!!



Cinta segitiga dimulai : Cakka-Agni-Alvin. Hahaha. Tau gak, saya dapet inspirasi cerita ini dari lagu 'Like We Used To' dari A Rocket to the Moon. Enak loh, recommended song lah.



Oke, awalnya mau kubuat jadi cerpen tapi kepanjangan. Ya sudahlah, jadilah cerbung dengan sedikit part. 3-4 part lah. Haha. Maaf sudah keputusan bulat, tidak dapat diganggu gugat. Saya gak niat manjangin, soalnya masih ada cerbung saya yang masih dalam perjalanan panjang... ini cuma selingan doang, hehe.



Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!!



-penulis- 


NEXT PART

Tidak ada komentar:

Posting Komentar