Senin, 01 Agustus 2011

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Last Part

PREVIOUS PART


3 bulan telah berlalu. Agni dan tunangannya, Cakka, sekarang mulai berpikir tentang tanggal pernikahan mereka, mengingat hubungan mereka yang berjalan dengan sangat harmonis. Mendengar pernyataan anaknya, orang tua Cakka langsung terpekik senang dan langsung membicarakan tempat, tanggal, gaun, catering, bunga, dan lain-lain. Yang tentu saja didengar Agni dengan enggan. Entah kenapa, ia merasakan sebersit ragu di dalam hatinya, seolah... ini bukan yang ia mau. Entahlah, ia merasa ada sesuatu yang tidak tepat. Tapi, bukankah ini yang selalu diimpikannya? Menikah dengan orang yang mencintai dan dicintai dirinya?

Agni terkejut dengan pikirannya yang ia kira akan menenangkan hatinya. Impiannya, impian yang waktu itu, jauh sebelum ia bertunangan—bahkan bertemu—dengan Cakka atau dengan kata lain ketika ia masih menjadi kekasih Alvin. Terbesit kenangan-kenangan indah antara dirinya dan Alvin, apalagi saat ia dan Alvin merencanakan hidupnya, yang—seperti setiap orang bilang—hanya berupa angan yang tidak akan terjadi. Hanya sebatas impian klasik tiap pasangan—menikah, mempunyai dua anak yang lucu, tinggal di rumah mewah, hidup dalam keromantisan abadi di setiap harinya, akan terus begitu sampai mereka lanjut usia, dan seterusnya.

Melihat Agni yang melamun, seseorang mencolek Agni dengan maksud untuk menyadarkannya. Agni yang merasakannya langsung terkejut dan spontan menoleh ke samping kanannya, arah tempat ia merasa bahunya disentuh. Arah tempat ia melihat... Cakka.

“Jangan melamun” ucap Cakka setelah yakin Agni sudah sepenuhnya sadar dari lamunannya itu. Agni tersenyum tipis mendengar nasihat Cakka. Selalu begini.

“Iya” tanggapnya singkat, lalu menatap lurus ke depan, jauh menembus kaca mobil jazz milik Cakka yang tengah terparkir di depan rumahnya ini. Cakka mendesah. Selalu begini. Tidak bisakah ia, setidaknya, diperhatikan oleh Agni? Dari tadi Agni menjadi seperti ini. Melamun. Sejak mereka kembali dari rumah orang tua Cakka, tempat mereka merencanakan pernikahan mereka.

Tunggu. Pernikahan? Inikah yang Agni cemaskan?

“Kalau kamu belum siap nikah juga gak papa kok” ucap Cakka tiba-tiba, menyuarakan pikirannya.

“Eh?” ucap Agni spontan. Cakka tersenyum ke arahnya.

“Kita kan baru kenalan 3 bulan, masa’ udah mau nikah gini sih? Udah, gak apa-apa kok. Kalau kamu emang belum siap ya aku gak mau maksa. Kamu gak usah paksain diri kamu sendiri Ag, aku ngerti kok” jelas Cakka. Agni yang semula memandang bingung ke arahnya kini tengah memandang lurus ke depan, lagi.

“Aku juga gak tau Cak. Aku pengen, tapi... ngerasa aneh aja. Kayak ada yang janggal” ucap Agni jujur, membuat Cakka mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Agni yang melihatnya melalui ujung matanya mendesah, lalu menjelaskan. Yah, bagaimana pun Cakka juga harus tau, kan?

“Ini impian aku Cak, dari dulu. Menikah dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku sepenuh hati, punya anak, tinggal serumah...” Agni menahan kata-katanya dan memejamkan mata, membiarkan kenangan indah melintas di kepalanya. Cakka menunggu, seperti biasa ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Agni lalu menghela nafas.

“Tapi... itu... itu...” Agni tercekat, tak mampu meneruskan kata-katanya. Cakka—yang sedari tadi menumpu dagu dengan tangannya—menunjukkan wajah muram dan melanjutkan kata-kata Agni.

“Impianmu bersama Alvin?” tebak Cakka. Agni yang terkejut mengangkat wajah dan menatap wajah Cakka dengan kaget. Tunangannya hanya menatap ke depan. Reaksi Agni sudah cukup menunjukkan bahwa tebakan konyolnya—yang diyakininya sebagai hal terakhir yang ia inginkan di muka bumi ini—benar. Agni pun menunduk, pipinya merona. Lalu ia pun menghela nafas dan kembali memandang lurus ke depan.

“Maaf,” ucapnya singkat, tak tau apa lagi yang harus diucapkan. Cakka hanya dapat mengangguk pelan sebanyak dua kali.

“Sudahlah, kita undur saja pernikahannya” ucap Cakka cepat. Agni hanya menunduk, tidak berani mengiyakan tetapi tak mau menolak.

Hening beberapa saat.

Cakka yang bosan pun mengambil kertas, lalu menuliskan beberapa huruf di dalamnya dan memberikannya ke Agni.

“Apaan nih?” tanya Agni sembari menerima sebuah kertas yang dilipat dua oleh Cakka.

“Baca aja” ucap Cakka dengan gaya cueknya. Agni pun membuka lipatan itu, lalu melemparkan mimik bingung ke arah Cakka.

“Maksud kamu apaan nulis rumus kalor? Pelajaran kelas 7 lagi” tanyanya, menunjukkan kertas itu.

Q = m. c. 4t

Cakka tersenyum.

“Tau gak gimana aku ngingetnya?” tanya Cakka. Agni hanya menggeleng. Cakka meraih kertas tersebut, lalu mencatat beberapa huruf lagi di dalamnya.

“Guruku yang ngajarin” ucap Cakka sembari mencatat. Agni hanya menunggu. Sekali-sekali ia mengintip, tapi tidak kelihatan. Akhirnya ia hanya pasrah dan menunggu.

“Nih” ucap Cakka beberapa menit kemudian sembari menyerahkan kertas yang telah dilipat dua itu kepada Agni. Agni mengerutkan kening, lalu membuka lipatan tersebut. Setelah membaca sebentar, ia terdiam. Membuat Cakka menggigit bibir karena takut jika ada yang salah. Agni menatap Cakka, menatap kertas itu, menatap Cakka kembali, dan...

Tawanya meledak.

Cakka menghela nafas lega. Ia sudah ketakutan tadi, tapi tampaknya tidak terjadi apa-apa. Ia melirik Agni yang sedang meredakan tawa dan mengusap air mata di ujunng matanya, lalu mencubit pipinya.

“Kamu ini, bikin aku senam jantung aja” komentar Cakka gemas. Agni tertawa geli.

“Habisnya lucu sih... kamu bisa ngegombal juga ternyata. Hahaha” ucapnya. Cakka hanya tersenyum puas, lalu meletakkan kertas itu dalam laci mobil dan bersumpah tidak akan membuangnya dan akan menyimpannya di tempat yang aman.

Q = m. c. 4t

M 4 a ju

u K N Ah

i t

N 1

k

“Kamu makin cantik aja tuh”


***


Melihat Agni tertawa membuat hati Alvin perlahan hancur karena cemburu, walau masih terdapat percikan senang di dalam hatinya. Tetap saja, sesenang apa pun Agni tertawa, itu karena Cakka. Karena Cakka.

Seandainya saja ia yang ada di sana, menggantikan Cakka, membuat Agni tertawa seperti itu...

Alvin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tahu, semua itu tidak akan terjadi. Agni milik Cakka sekarang. Dan itu adalah kalimat yang harus dicamkan Alvin dalam pikirannya.

Alvin menghela nafas.

Seperti seorang penulis yang sedang mencari inspirasi, ia membuntuti Agni seharian ini karena ia ingin menyelesaikan suratnya. Ia bersandar, menengok menghadap langit, dan memejamkan mata. Membiarkan rinai hujan memabasahi wajahnya. Berharap kesedihan itu bisa terhapus bersamaan dengan tetes demi tetes hujan yang turun membasahi bumi...

Menghadap ke depan, ia membuka matanya. Perlahan. Di depan matanya, mobil jazz hitam yang tadinya terparkir di depan rumah Agni itu pergi, entah kemana...

Ia melirik ke kanan, dan menemukan mobil jazz hitam tersebut. Ia menghela nafas kembali.

Mulai mengamati kembali rumah Agni, ia menemukan gadis yang dicintainya itu sedang membuka kunci pintu dan masuk ke dalam rumahnya sendiri.

Merasa tak ada gunanya membuntuti, ia pun bangkit dan berjalan pulang.

***

Mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, Alvin terpaku melihat sebuah amplop yang tergeletak dengan manis di atas meja belajarnya. Ia menghela nafas, lalu mengambilnya dan membaca ulang surat konyol tersebut. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Konyol sekali, membuat surat tidak jelas itu. Ia pun kembali melipat kertas surat tersebut, memasukkannya ke dalam amplop, lalu meletakkannya kembali di meja belajarnya.

Tiba-tiba, dadanya terasa sesak.

***

“Kka,” panggil Agni ketika mereka tengah bertelepon. Cakka mengerutkan kening. Ada masalah apa sehingga Agni memanggilnya ‘Kka’? Biasanya juga ‘Cak’, panggilan yang sangat tidak disukainya.

“Ya Ag?” tanya Cakka.

“Aku... aku ngerasa gak enak” ungkap Agni. Cakka mengerutkan kening, bertambah bingung.

“Gak enak kenapa?” tanya Cakka. Agni menunduk.

“Aku.. aku ngerasa ada yang salah” ucap Agni. Muka Cakka mendadak pucat pasi. Apakah ini berarti Agni ingin membatalkan pernikahan dan pertunangan mereka? Apakah... apakah Alvin menembaknya kembali, lalu selama ini ia hanya dipermainkan oleh mereka berdua? Apakah Agni sadar bahwa ia tidak mencintai dirinya dan memutuskan untuk kembali dengan Alvin? Atau ada orang lain, yang sama sekali tidak dikenalnya? Ataukah—

“Sss, salah? Salah apa?” tanya Cakka sembari berdoa dalam hati.

“Aku gak tau... aku cuma khawatir aja. Aku ngerasa... ada sesuatu yang terjadi. Musibah” ucap Agni. Cakka bertambah bingung.

“Musibah? Aku gak kenapa-napa kok Ag” ucap Cakka. Agni menghela nafas.

“Bukan kamu, tapi... Alvin” bisik Agni. Cakka yang mendengarnya langsung memejamkan mata dan menghempaskan diri ke atas kasurnya. Nama itu lagi.

“Alvin? Kena musibah?” tanya Cakka, suaranya meremehkan. Agni yang menangkapnya makin menunduk, menatap jari-jari kakinya yang direndamnya dalam kolam renang belakang rumahnya.

“A... aku pengen ke rumahnya dia” ucap Agni. Sedetik kemudian Cakka berada dalam posisi siap melempar HPnya ke tembok.

“Bu... bukan maksud gitu, apa kenapa-napa... tapi, yah, aku pengen... pengen jenguk dia aja. Pengen memperbaiki hubungan. Yah, walaupun aku sama dia udah berstatus mantan,”—hati Agni mencelos menyebut nama itu—“bukan berarti kita berdua gak bisa jadi sahabat, kan?” tanya Agni, berharap Cakka akan mempercayai alasannya itu. Sebenarnya, ia ingin sekali bertemu dengan Alvin.

“Yaa... kalau gitu sih kamu pergi sendiri aja. Aku gak papa kok. Deket kan?” tanya Cakka. Kalau boleh jujur, ia malas melihat wajah pria yang pernah dimiliki kekasihnya.

“Aku mau pergi sama kamu” sambar Agni cepat, membuat ia dan Cakka sendiri kaget.

“Hah?!” tanya keduanya spontan, lalu hening sesaat.

“Maksudnya?” Cakka memberanikan diri untuk bertanya. Agni menunduk, memikirkan alasan yang masuk akal.

“Aku... juga mau kamu temenan sama dia. Eum, kan gak enak aja gitu kalau kalian berdua musuhan...” elak Agni. Cakka mengangkat alis.

“La, lagian kan... Alvin itu sepupuan sama Shilla. Siapa tau kalian... yah, bisa tuker cerita?” lanjut Agni, yang langsung menyesali apa yang dikatakannya. Dan benar saja, Cakka sedang membatu di ujung sana.

“Kalau itu mau kamu” bisik Cakka, lalu menutup telepon.

Agni merasa seolah ia dihadiahi mahkota pemenang kompetisi “Cewek Terbodoh Di Dunia”


***


“Agghh,” erang Alvin penuh kesakitan. Sesuatu yang hangat mengalir di hidungnya. Alvin meraba hidungnya, lalu melihatnya.

Darah.

Gak, jangan sekarang... pikir Alvin. Sedetik kemudian, dunia terasa berputar baginya. Alvin mundur perlahan, bersandar di tembok. Dengan mulut, ia mencoba menghirup udara. Bernafas. Dipeganginya kepalanya yang berat, seakan mau jatuh. Ia memejamkan mata, menunggu ini semua akan berakhir.

Tetapi nyatanya tidak.

“AAARRRGGGHHH!!” teriak Alvin sembari memegani perutnya. Ia jatuh tersungkur, mencoba menahan sakit itu.

Ia mengerang kesakitan. Inikah akhir waktunya? Sesakit inikah ketika nyawanya dicabut oleh Yang Di Atas Sana?

Hidungnya semakin deras mengeluarkan darah. Dadanya sesak, membuatnya sama sekali tak bisa bernafas. Matanya tak bisa melihat dengan jelas, dunia seakan berputar. Perutnya seakan dilindas oleh sebuah tank yang mempunyai ban berduri. Dadanya seakan dipukul dengan palu besi raksasa dari dalam. Berkali-kali ia memuntahkan cairan kental berwarna merah yang diketahuinya sebagai darah. Belum lagi fakta bahwa paru-parunya yang seakan menggelembung dan menunggu waktu untuk meledak.

Di atas semua itu, ia memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih, berharap pada Tuhan ini semua berakhir dengan cepat. Dan... bayangan itu pun muncul.

Agni.

Selama sepuluh detik, Alvin mampu melupakan semua rasa sakit yang dialaminya tadi. Hanya karena pengaruh bayangan tersebut. Wajah Agni yang sedang tertawa...

Dirinya pun sadar akan Agni yang menginginkan dirinya yang terus berjuang melawan rasa sakit ini, seperti Agni yang dulu disarankan hal yang sama oleh Alvin. Tentu saja bukan karena penyakit, tapi rasa sakit ditinggal oleh kedua orang tua Agni. Bukankah itu munafik, menyerah di saat sulit padahal ia sendiri melarang orang lain untuk menyerah? Agni juga membenci orang munafik.

Sembari berjuang melawan rasa sakitnya, ia nerusaha mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya, apa pun itu. Ia bangkit berdiri dengan susah payah, lalu mulai mencari telepon genggam miliknya. Siapa tau ia bisa menghubungi seseorang yang bisa menolongnya. Mungkin ambulans, polisi, tetangga—siapa saja. Bergerak perlahan, ia pun mulai mencari-cari di dalam laci, lemari, dan tempat-tempat lain ketika ia menemukan benda yang ia cari di atas kasur tempat tidurnya. Ia pun melompat sekuat tenaga dan menyambar telepon itu, lalu menekan tombol nomor yang dihafalnya luar kepala. Ia mendekatkan telepon itu ke telinganya, menunggu telepon itu tersambung sembari berusaha bernafas.

“Silahkan melakukan isi ulang kembali untuk—“

Sebelum suara rekaman wanita itu selesai mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan, Alvin membanting handphone-nya itu ke lantai, marah karena usahanya sia-sia. Ia kembali meringis kesakitan. Dan ia pun melihat benda itu, benda yang bisa menyelamatkannya. Tabung pil obat pereda sakit. Mata Alvin melotot memandangnya—dan karena rasa sakit yang ia alami kembali—lalu cepat-cepat meraihnya. Dengan susah payah.

“Ahh, aah... hampir sampai...” ucapnya bangga.

“ARRGGHH!!” teriaknya setelah merasakan rasa sakit yang luar biasa, jauh lebih sakit daripada yang pernah dirasakannya selama ini. Tangannya membentur tabung itu, membuatnya menumpahkan pil-pil di dalamnya. Sedang Alvin yang sudah tidak merasakan sakit lagi duduk berlutut dua kaki bagai boneka tanpa nyawa. Ia kehilangan keseimbangan, dan jatuh. Kepalanya membentur ujung meja belajarnya dan jatuh dengan keras di lantai. Darah mengucur deras dari kepalanya, cukup banyak untuk membuat seseorang harus kehilangan banyak darah, tapi ia tidak merasakannya. Atau lebih tepatnya tidak bisa.

Karena nyawanya sudah tidak bersama tubuhnya lagi.


***


Penuh dengan rasa bersalah, Agni turun dari mobil jazz hitam Cakka dan menuju rumah Alvin. Cakka mengikutinya dengan malas. Agni mencuri pandang ke arah Cakka yang sedang marah, lalu menghela nafas dan mengetuk pintu dengan tangan yang bergetar.

Tok tok tok.

Menunggu cukup lama, Agni mengetuk pintu itu kembali. Dan mengulangnya sebanyak 3 kali.

Cakka yang tidak sabaran dengan nekat membuka pintu rumah itu. Tidak dikunci. Ia mengangkat alis, lalu masuk dengan Agni yang mengekor di belakangnya.

“Halooo” ucapnya ketika melihat tidak ada orang di dalam.

“Alvin?” teriak Agni, suaranya menyiratkan kekhawatiran dan kesenangan. Senang karena akhirnya ia akan bertemu Alvin, khawatir firasat buruknya benar.

“Alvin?” tanya Agni sembari menaiki tangga menuju lantai atas tempat kamar Alvin berada. Suaranya mengecil. Cakka, dengan malas-malasan, mengikuti Agni.

“Alvin?” tanya Agni lagi sembari membuka pintu kamar Alvin yang tak dikunci. Ia diam terpaku, kaget.

“Ada ap—“ tanya Cakka, yang langsung mengetahui jawabannya.

“A... A.... A... Alvin?” bisik Agni, air mata mengalir melalui kedua pipinya. Dengan kasar ia menghapusnya dan memasuki kamar, menghampiri Alvin yang terbaring di lantai penuh darah.

“Ini gak mungkin kan, Vin? Iya, kan? Semua cuma lelucon, kan? Iya, kan? JAWAB GUE VIN!!” teriak Agni sembari mengguncangkan tubuh Alvin. Cakka pun buru-buru masuk kamar dan—dengan ilmu kedokteran yang masih melekat di kepalanya—ia meletakkan jarinya di leher dan pergelangan tangan Alvin, berusaha mencari denyut nadi.

“Cak, dia masih idup kan Cak, iya kan? Iya kan?! JAWAB GUE CAK!!” teriak Agni. Cakka menatap matanya, lalu melirik ke arah lain.

“Dia udah pergi” ungkap Cakka. Agni menatap tajam ke arahnya.

“Cak. Gak lucu. Sama sekali enggak” tanggap Agni. Cakka menatapnya tepat di bola matanya.

“Agni. Dia. Udah. Pergi. Gue. Gak. Bercanda” ucap Cakka kesal.

“Enggak! Dia belom pergi! Dia cuma bercanda!” teriak Agni.

“AGNI!!” bentak Cakka. Agni terdiam, takut.

“Dia udah pergi. Relain dia pergi, Ag...”

“ENGGAK! ALVIN BELOM PERGI!!” teriak Agni, lalu memeluk tubuh Alvin dan menangis.

“Kamu belom pergi, kan, Vin? Vin, jangan boongin gue deh, gak lucu tau...” ucap Agni sembari terisak. Cakka membelai lembut kepala Agni, berusaha menenangkannya. Tapi air mata itu masih keluar. Keluar dan mengalir bagaikan dua buah sungai di pipi Agni.

“Alvin, jangan pergi...” ucap Agni pelan.

“Sabar ya Ag, yang tabah...” ujar Cakka, menenangkan Agni. Sedikit.

“Cak, Alvin udah pergi Cak, Alvin udah pergi...” ucap Agni terisak, lalu menangis lagi.

“Iya, aku tau. Tapi gak berarti kamu harus drop kayak gini, kan? Ayo dong, cheer up a little. Senyum aja, persembahin buat Alvin. Pasti Alvin pengen ngeliat senyuman kamu, kan?” ucap Cakka.

“Cakka!! Alvin tuh meninggal dengan cara menyakitkan gini, dan kamu bilang aku harus senyum?! Kamu udah gila, ya?!” teriak Agni, menyeka air matanya dengan kasar.

“Bukan gitu Ag, tapi...”

“Cakka Kawekas Nuraga, Alvin meninggal. Dengan cara yang menyakitkan. Dengan penyebab yang belum jelas. Dan kamu kira aku bisa senyum?! SENYUM?! Kamu gila!!” teriak Agni marah, lalu menangis lagi. Cakka hanya bisa diam. Yah, ia tau tidak ada gunanya ia berdebat, itu hanya akan membuat Agni marah kepadanya. Cakka pun menoleh, memilih untuk mengamati kamar Alvin.

Ia mengambil salah satu kapsul yang berserakkan di lantai, lalu membukanya. Ia mengernyitkan kening, lalu membaca tulisan nama obat tersebut.

Obat kanker.

Cakka tersenyum. Ia sudah menduganya. Baginya yang lulusan universitas bidang kedokteran ini, tak sulit untuk mengenali tanda-tanda penyakit yang diderita Alvin sejak lama. Ia telah menduganya, namun belum yakin.

Meletakkan obat itu, matanya menangkap sebuah amplop putih. Mengernyitkan kening, ia mengambil amplop itu dan menemukan serentetan kata yang tertulis di depannya.

Agni Tri Nubuwati
Jl. Kucing Terbang blok N nomor 12G
Bintaro, Jakarta


***


Seorang pria berbalut jeans dan kemeja hitam berdiri di depan sebuah tembok putih gading. Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantung celananya, ia memerhatikan sebuah peti hitam di atas meja, beserta dengan beberapa tangkai bunga lili putih yang menghiasi peti tersebut.

“Kak, duduk aja kak. Acaranya udah mau dimulai” ucap seorang gadis kecil berkuncir dua. Pria itu menunduk, lalu tersenyum. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan gadis itu

“Gak usah, kakak juga mau pergi kok” ucapnya dengan senyum manisnya.

“Pergi ke mana kak?” tanya gadis kecil itu.

“Ke suatu tempat...” ucap pria itu, pandangannya seolah menerawang jauh.

“Ke mana?” tanya gadis itu lagi setelah pria itu diam beberapa lama. Pria itu memberikan seulas senyum.

“Tidak penting sih. Tapi... boleh kan kakak nitip pesan untuk almarhum?” tanyanya. Gadis itu mengernyitkan kening.

“Boleh sih...” ucap gadis itu agak ragu. “Pesan apa kak?” tanyanya.

“Bilang padanya, ‘Alvin Jonathan Sindhunata, saya, Cakka Kawekas Nuraga, telah mengaku kalah’” ucap pria tersebut.


***


Pintu putih itu diketuk lalu dibuka. Agni spontan menengok kearah pintu, lalu menemukan seorang pria berbalut jeans dan kemeja hitam dengan sebuah buket bunga lili di tangannya. Agni menahan nafasnya. Pria itu tersenyum.

“Gimana kabarnya?” tanya pria tersebut, memasuki ruangan dan menaruh buket tersebut di meja.

“Lumayan” ucap Agni, berusaha duduk di ranjang rumah sakit yang sedari tadi ditidurinya. “Kamu?” tanyanya balik. Pria itu tersenyum.

“Masih sakit” ucapnya. Agni mengerutkan kening.

“Sakit? Perasaan aku deh yang dipasangin infus. Sakit di bagian mana Cak?” tanya Agni penasaran.

“Di sini” ucap Cakka, menunjuk dadanya sendiri. Agni menunduk, merasa bersalah sekaligus malu.

“Maaf—“

“Udahlah” ucap Cakka, memotong permintaan maaf Agni. Agni mengangkat wajah, menatap Cakka yang sekarang menduduki sofa.

“Bukan kamu doang yang salah” ucap Cakka. Agni mengernyitkan kening.

“Aku juga” kata Cakka. Agni mengernyitkan kening semakin dalam.

“Selama kamu koma 3 hari gara-gara ketabrak, aku... aku udah banyak berpikir” ucap Cakka.

“Tentang kenapa kita tunangan. Kenapa kamu mau aja nerima aku padahal kalian baru putus. Kenapa aku nanya kamu. Semua kebohongan ini” ucapnya, tersenyum miring sembari melepaskan cincinnya.

“Mulai dari kamu. Aku tau, di lubuk hati kamu, kamu masih mau sama Alvin. Dan kamu memanfaatkan kesempatan ini buat bikin cemburu dia. Aku tau Ag, jangan nyangkal” ucap Cakka. Agni yang semula membuka mulut untuk membantah terdiam dan kembali mendengarkan.

“Awalnya aku cuma sadar akan hal itu, dan aku marah. Aku marah banget, dan itulah sebabnya aku langsung narik kamu pulang setelah menemukan...” Cakka berhenti, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “...Alvin. Dan saat itulah, aku berhenti marah dan mulai introspeksi diri. Bukan kamu juga yang salah, aku juga. Aku yang memulai semua kebohongan ini, dan bukan karena aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kamu sahabat yang baik Ag, kamu mampu membuatku ngelupain Shilla. Dan karena itulah aku ngelamar kamu. Karena itulah kita tunangan. Sekedar karena aku ingin menepati janjiku sama Shilla. Gak lebih”

“Maaf” bisik Agni pelan. Cakka tersenyum kecil.

“Aku yang harusnya minta maaf, Ag” ucapnya. “Aku minta maaf karena udah narik kamu secara kasar 3 hari yang lalu. Aku minta maaf karena aku udah menghadiri pemakaman Alvin tanpa ngajak-ngajak. Juga karena udah nyembunyiin kenyataan” ucap Cakka. Agni mengangkat alis.

“2 hal pertama, kumaafin. Hal ketiga maksudnya apa?” tanyanya. Cakka tersenyum.

“Dia cinta mati sama kamu. Dia, Alvin Jonathan Sindhunata” ucapnya. Agni mengernyitkan kening.

“Aku kalah” ucap Cakka tiba-tiba.

“Kalah?” tanya Agni.

“Ya. Kamu masih sayang sama Alvin, kan?” tanya Cakka. Agni membiarkan semburat merah muncul di pipinya, lalu mengangguk malu. Cakka tersenyum.

“Aku sayang sama kamu” ucap Cakka tiba-tiba. Agni terkejut.

“Ta... tapi... kamu baru aja bilang kalau kamu ngelamar aku cuma untuk nepatin janji kamu ke Shilla, bukan karena kamu beneran sayang sama aku” ucap Agni terbata-bata. Cakka tersenyum, lalu bangkit berdiri dan berjalan pelan ke arah Agni.

“Kebersamaan kita selama 3 bulan ini udah cukup bikin aku jatuh cinta sama kamu” bisik Cakka tepat di telinga Agni. Agni menoleh, ingin melihat Cakka. Ia terkejut lagi ketika matanya menangkap bayangan kalung berbandul tulisan A & A yang terukir di permukaan hati berwarna abu-abu kusam yang dipegang oleh Cakka.

“Sebuah hadiah permintaan maaf” ucap Cakka. Agni mengulurkan tangan dan meraih liontin tersebut. Ia membukanya, dan segera melihat ribuan berlian kecil berwarna-warni yang tertempel di dinding dalam liontin itu. Matanya membelalak.

“Cak, ini...”

“Liontin itu melambangkan hubungan kamu dengan Alvin” celetuk Cakka tiba-tiba. Agni menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Sekilas, kalian kayak batu abu-abu kusam. Hubungan kalian itu ancur, kalian gak cocok, gak sederajat, bla bla bla. Tapi, di dalamnya kalian punya seribu kenangan. Seribu berlian warna-warni yang terdapat di dalamnya” jelas Cakka. Agni memandangi kalung itu, tersenyum sembari mengelusnya.

“Makasih” bisik Agni lembut, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Cakka. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop putih kepada Agni. Agni menerimanya.

“Apa ini?” tanyanya.

“Surat terakhir Alvin” jawab Cakka. Agni memandangnya tak percaya. Cakka tersenyum.

“Yah... sebaiknya aku pulang” ucap Cakka, lalu berjalan ke arah pintu.

“Tunggu” cegah Agni. Cakka menoleh.

“Apa berarti... kita putus?” tanya Agni. Cakka tersenyum dan mengangguk.

“Tapi kita masih temenan, kan?” tanya Agni lagi. Cakka mengangguk.

“Sahabat, kalau mau” tawar Cakka. Agni tertawa kecil.

“Makasih Cak. Lo baik banget” ucap Agni. Kini giliran Cakka yang tertawa.

“Ya udah deh. See you tomorrow” ucap Cakka, lalu menghilang di balik pintu. Agni tersenyum, lalu memandangi amplop putih di dalam genggamannya. Ia menimbang-nimbang sebentar, lalu membukanya dan membacanya. Matanya bergerak cepat dari kanan ke kiri, kadang-kadang berhenti untuk membaca ulang kalimat yang belum selesai diproses oleh otaknya itu. Rasa penyesalan memenuhi dadanya, membuatnya sesak, dan air mata yang sedari ia tahan pun tak terbendung lagi. Perlahan, dengan suara pelan, ia menitikkan air mata. Membiarkan titik-titik air mata penyesalan membasahi kertas berukirkan tulisan Alvin, membiarkan pikirannya dipenuhi dengan seribu penyesalan yang amat mendalam, membiarkan semuanya terjadi begitu saja.

Setelah beberapa lama, ia pun menyeka air matanya. Pada saat itulah ia melihatnya. Secarik kertas kecil yang jatuh di pangkuannya, mungkin berasal dari amplop yang sama dengan yang ditinggal surat terakhir Alvin. Ia mengambilnya, lalu membaca satu kalimat yang terukir di sana.

Gue kalah.

-Cakka Kawekas Nuraga-


Agni tersenyum pahit, mengerti arti 2 kata yang ditulis oleh Cakka. Dan saat itu air matanya merebak. Ia pun mengeluarkan semuanya. Semua kesedihan, semua penyesalan, semua perasaan yang telah ia pendam ia keluarkan dengan air mata. Ia menangis. Sendirian. Tanpa orang lain.


***


Agni,

Mungkin lo kaget waktu lo dapet surat ini. Mungkin gue udah mati. Yah, siapa tau? Maut bisa dateng kapan aja dia mau. Ya gak? Itu kan yang selalu lo bilang waktu kita pertama kali ketemu?

Gue tau Ag, kita udah putus. Lo udah sama cowok lain. Siapa namanya? Cakka. Cakka Kawekas Nuraga. Mantannya Shilla, sepupu gue. Gue udah pernah kenalan sama dia kok. Gue emang cukup deket sama Shilla. Dan ya, gue udah tau semuanya. Dunia emang sempit ya?

Oke. Mending gue langsung jujur sama maksud gue yang sebenarnya. Seperti yang lo tau, gue gak bisa basa-basi. Serius. Jadi, gue cuma mau bilang...

Gue cemburu.

Oh ya, iya, gue tau, lo pasti marah gara-gara gue plin-plan banget. Udah gue mutusin lo, sekarang gue yang kangen. Gue yang cemburu. Maaf Ag, gue emang gini. Awalnya sih gue ngerasa gue udah ngelakuin hal yang bener, soalnya gue tau cepet atau lambat gue bakalan ninggalin elo. Yah, gue juga gak pernah ngasih tau ini, tapi... gue divonis kanker. Itu sebabnya kita jarang ketemu. Soalnya gue sibuk ketemu dokter (dokternya cowok kok, gue gak selingkuh). Maaf banget Ag. He-eh.

Lo tau, gue mau curcol dikit. Ini berhubungan dengan sebuah lagu, sebuah lagu yang pernah gue dengerin di mobil. Radio. Lagu persembahan A Rocket To The Moon—Like We Used To. Untuk ngungkapin beberapa kekhawatiran gue sama lo. Bukan apa-apa, gue cuma... kalau lo berdua beneran mau nikah, lo gak boleh salah pilih cowok, Ag. Gue gak bermaksud buat banding-bandingin Cakka sama gue...

I can feel her breath as she's sleeping next to me
Sharing pillows and cold feet
She can feel my heart, fell asleep to its beat
Under blankets and warm sheets

If only I could be in that bed again
If only it were me instead of him

(opening doang, gak berarti apa-apa)

Ag, biarin gue bertanya tentang beberapa hal :

Does he watch your favorite movies?

Apa dia nonton semua film-film favorit lo, kayak gue?
Does he hold you when you cry?
Apa waktu lo nangis, dia meluk lo, nenangin lo, dan selalu bisa menghentikan aliran ait mata yang menitik dari kedua bola mata indah itu?
Does he let you tell him all your favorite parts?
When you've seen it a million times

Apa dia selalu membiarkan kau mengatakan adegan-adegan favoritmu, seperti yang selalu kulakukan, selama kamu menyaksikannya jutaan kali, mengartikan aku juga mendengarkannya jutaan kali?

Does he sing to all your music
Apa dia menyanyikan semua lagumu
While you dance to "Purple Rain"?
Ketika kau menarikan ‘Hujan Ungu’? (oke ini curhatan yang bikin lagu, gue juga gak ngerti ini apaan. Abaikan)
Does he do all these things
Like I used to?

Apakah ia melakukan semua ini seperti yang biasa aku lakukan dulu?

Oke. Aku minta maaf. Mungkin aku memang keterlaluan… yah, bolehkah kau meneruskan?

14 months and 7 days ago
Oh, I know you know how we felt about that night
Just your skin against the window
But we took it slow and we both know

(lagi-lagi curhatan pembuat lagu. Gak ada hubungannya dengan kita)

Ag, masih inget gak waktu lo sama Cakka berduaan di mobil? Oke, gue ngaku, gue ngikutin elo. Sebagai pembelaan, gue lagi nyari inspirasi buat nulis ni surat. Lo kira suratnya selesai selama sehari? Ya enggaklah Ag, susah tau nulisnya.

It shoulda been me inside that car
Seharusnya gue yang berada di dalem mobil itu. Jazz hitam, bukan? Oke. Beda mobil. Mending kita naik mercy silver aja, atau fortuner. Atau accord. Lebih keren.
It should have been me instead of him in the dark
Seharusnya aku, bukan dia, di dalam kegelapan (?) (ambil 4 kata pertama, sisanya abaikan. Oke?)

Biarkan gue bertanya sekali lagi, dan karena ini emang reff, pertanyaannya bakalan gue ulang-ulang. Maaf. Salahin aja yang bikin lagu.


Does he watch your favorite movies?

Apa dia nonton semua film-film favorit lo, kayak gue?
Does he hold you when you cry?
Apa waktu lo nangis, dia meluk lo, nenangin lo, dan selalu bisa menghentikan aliran ait mata yang menitik dari kedua bola mata indah itu?
Does he let you tell him all your favorite parts?
When you've seen it a million times

Apa dia selalu membiarkan kau mengatakan adegan-adegan favoritmu, seperti yang selalu kulakukan, selama kamu menyaksikannya jutaan kali, mengartikan aku juga mendengarkannya jutaan kali?

Does he sing to all your music
Apa dia menyanyikan semua lagumu
While you dance to "Purple Rain"?
Ketika kau menarikan ‘Hujan Ungu’? (oke ini curhatan yang bikin lagu, gue juga gak ngerti ini apaan. Abaikan)
Does he do all these things
Like I used to?

Apakah ia melakukan semua ini seperti yang biasa aku lakukan dulu?

I know, love
(Well, I'm a sucker for that feeling)

Gue tau, Cinta… (ya, gue emang payah dalam hal itu)
Happens all the time, love
(I always end up feeling cheated)

Terjadi setiap saat, Ag… (gue selalu ngerasa gue dicurangin? Enggak tuh. Gue selalu merasa bersalah, bersalah karena gak bisa jujur, bersalah karena gak percaya sama lo. Maaf banget)
You're on my mind, love
(Oh sorta let her when I need it)
That happens all the time, love, yeah

Lo ada di pikiran gue, itu terjadi setiap saat Ag…

Will he love you like I loved you?
Apa dia bakalan mencintai lo seperti gue cinta lo kayak dulu?
Will he tell you everyday?
Apa ia akan menyatakannya setiap hari?
Will he make you feel like you're invincible
With every word he'll say?
Apa ia akan membuat lo merasa seakan-akan lo menghilang dengan setiap kata yang ia akan katakan?

Can you promise me if this was right?
Bisa gak lo janji ke gue kalau ini semua bener?
Don't throw it all away
Jangan buang itu semua

Can you do all these things?
Bisa gak lo ngelakuin ini semua?
Will you do all these things
Akan ada gak sih di masa depan sosok lo yang ngelakuin ini semua?
Like we used to?
Kayak kita dulu?
Oh, like we used to
Ya. Kayak kita dulu.

Oke, emang gak jelas. But at least itu semua ngutarain semua yang pengen gue bilang. Yah, gue minta maaf kalau gue ngancurin hubungan lo dengan Cakka, maafin gue.

Gue rasa itu cukup ya? Gak papa kan? Mungkin singkat, mungkin kepanjangan. Maaf.


Sincerely, the man who loves you,

Alvin Jonathan Sindhunata



+++


Akhirnya... ini cerbung selesai juga... (menangis bahagia)

iya. udah selesai. gapapa kan? masih ada special part kok, tapi itu nanti. utang saya selesai kan? ehehe...

saya ngerasa bersalah nih udah 'ngebunuh' alvin dalem cerita... tapi gapapa. demi efek dramatis. ehehe...

saya minta maaf juga kalau endingnya berkesan gantung, ehm. intinya sih Agni-Cakka masih sahabatan, tapi Agni nyadar kalau yang dia sayang itu Alvin, bukan Cakka... dan Cakka udah jatuh cinta sama Agni. jadi broken heart deh. sabar ya Cak.

oya, saya juga minta maaf, part ini ngaretnya minta ampun, saya minta ditabookk-.-maaf ya kalau penantian kalian agak-agak gak setimpal karena ceritanya mungkin kurang memuaskan. endingnya gantung. alvin meninggal. hadoohh, penulis jahat banget siihhh-.- oya, saya juga gak nepatin janji, orang saya bilang cagni happyend malah jadi sad end gini. gapapa kan? penulis kan pengen sekali-kali nulis cerita sad end...

Eiunngg, berhubung saya bingung mau curcol apa lagi, saya tutup aja deh. TERIMA KASIH SUDAH MAU BACA!!

Any critics?

-Penulis-


SPECIAL PART

Tidak ada komentar:

Posting Komentar