(Part 1)
Gabriel menatap gadis di depannya dengan tatapan meledek. Sivia—gadis di depannya—hanya cemberut sambil kembali mengulek sambel dengan kesal. Gak lagi deh taruhan sama Iel, rutuknya dalam hati. Gini kan jadinya…
“Vi” panggil Gabriel, membuat Sivia menoleh dengan spontan.
“Apa?!” sahutnya sewot.
“Hehe” ucap Gabriel sambil nyengir. Sivia menggerutu.
“Gak penting” komentarnya dengan sewot, membuat cengiran Gabriel melebar. Tak ada yang lebih efektif untuk membuatnya nyengir dan tersenyum daripada berhasil membuat Sivia kesal. Sahabatnya dari MOS itu memang gampang-gampang susah kalau mau dikerjain. Namanya juga anak lugu, jadi harus dipikirkan matang-matang kalau mau bikin di kesel, atau Sivia tidak akan cemberut dan sewot seperti ini. Satu hal yang Gabriel tau akan membuat Sivia kesal adalah hal yang simple, tapi resikonya besar. Taruhan. Apalagi kalau ekstrem. Pasti Sivia dengan semangat nerima, kalau menang dia girang dan kalau kalah dia cemberut bercampur kesal seperti ini.
Seperti hari ini. rasanya Gabriel ingin mencium puncak kepala botak pak Mosh, guru fisikanya yang, walaupun kejamnya minta ampun, memberinya nilai 90 di ulangan super sulit andalannya. Lain halnya dengan Sivia yang ingin mencekik guru killer itu karena memberinya nilai dengan selisih 1 di bawah Gabriel, 89. Pasalnya, menurut taruhan yang dilakukan pemuda-pemudi itu 2 hari yang lalu—hari di mana mereka mengerjakan soal-soal super sulit itu—membuat Sivia, sebagai pihak yang kalah, harus memasak. Kegiatan yang paling dibencinya. Padahal Sivia sudah mewanti-wanti saat ia akan melihat rumah Gabriel yang tidak pernah didatangi selama setahun mereka bersahabat. Malangnya, yang ia dapat malah tugas untuk memasak satu set menu lengkap : nasi, sayur sop, perkedel, dan sambal super pedas, menu kesukaan Gabriel. Di rumahnya sendiri. Sivia mendesah pasrah.
“Tuh!” katanya 30 menit kemudian, dengan kesal menaruh piring berisi nasi putih di depan Gabriel. Pria itu terkekeh dan mengambil lauk, lalu mulai makan di depan Sivia yang cemberut di depannya. Gabriel tertawa sampai nasi yang ia makan hampir muncrat. Rekor, Sivia terus cemberut sampai sekarang. Gabriel tersenyum-senyum sendiri. Tidak salah ia memasang taruhan yang tinggi.
“Sori Siv, namanya juga taruhan. Ada yang kalah ada juga yang menang” ucap Gabriel seraya mengusap-usap perutnya yang kenyang. Sivia tersenyum masam. Ia benci diingatkan akan hal yang ia sendiri sudah tau. Anak kecil juga tau, pikir Sivia kesal. Gabriel tertawa seperti bisa membaca pikiran Sivia. Ia mengacak-acak rambut gadis itu.
“Tenang aja, ada waktunya kok lo ngeliat rumah gue” hibur cowok berkaca mata frameless itu.
“Oya? Kapan?!” tanya cewek manis berambut lurus itu dengan nada riang. Gadis itu memang lugu, cepat merubah emosinya dari yang seperti awan mendung menjadi langit paling cerah. Gabriel tersenyum lebar.
“Ntar aja, pas duah lulus kuliah!” jawab Gabriel setengah berteriak. Sivia melotot ke arah Gabriel dan menoyolnya. Gabriel tertawa.
***
2 manusia aneh bin ajaib itu memang super duper akrab sejak pertama kali mereka bertemu dengan cara yang bisa dibilang juga aneh.
Pertemuan mereka yang pertama kalinya itu terjadi saat mereka diMOS sama kakak-kakak OSIS plus panitia MOS a.k.a kakak kelas mereka yang sangar. Dan mereka sebenarnya harus berterima kasih terhadap kakak-kakak panitia MOS karena telah mempertemukan mereka, walau dengan cara yang… yah, sangat kejam. Bercanda, gak segitu kejam kok. Cuma hasil iseng kakak-kakak BN penjaga toilet yang menukar tanda ‘cewek’ dan ‘cowok’ yang menghiasi pintu toilet lantai 2, toilet terdekat bagi Gabriel yang sedang kebelet pipis. Dan, setelah cowok bertubuh kurus itu masuk ke toilet berhiaskan tanda ‘cowok’—yang sebenarnya toilet cewek—kakak-kakak kejam itu tanda yang menghiasi pintu pun ditukar lagi. Kebetulan, Sivia sedang berada di dalam salah satu bilik toilet. Kebelet pipis juga, karena dipaksa minum air putih sebanyak 1,5 L sambil berdiri.
Tentu saja Sivia kaget saat menemukan seorang pria dengan dandanan hancur sesuai deskripsi kakak-kakak panitia MOS sedang mencuci tangan di salah satu wastafel tepat di depan bilik toilet yang baru saja dipakainya. Gabriel yang melirik kaca pun langsung shock begitu melihat pantulan bayangan Sicia yang sedang menganga. Gabriel berbalik dengan cepat, memastikan bahwa bayangan gadis yang dipantulkan kaca itu memang ada. Sivia menganga lebih lebar, bertambah kaget karena pria yang barusan berbalik itu beneran ada, bukan sebuah halunisasi belaka. Gabriel melotot kaget.
“HUWAAAA!!” teriaknya spontan.
“KYAAAAAAAAAAAA!!!!!” balas Sivia dengan teriakannya yang mencapai nada A tinggi di oktaf terakhir yang ada di piano. Kalau soal teriakan melengking, cewek yang masuk tim saman di SMP itu memang jago. Buktinya, teriakan tadi sampai terdengar ke seantaro sekolah, disusul oleh tawa terbahak-bahak yang berasal dari luar, tepatnya dari kedua kakak BN penjaga toilet yang iseng itu. Tawa itu segera berhenti begitu suara derap langkah kaki terdengar menggema ke lorong terdekat. Gabriel panik, antara khawatir dirinya akan dihukum atau malah gadis itu yang dihukum, karena sejujurnya ia sendiri juga tidak tau siapa diantara mereka yang salah masuk toilet. Ia pun menatap cemas ke arah Sivia yang berlari menuju pintu keluar toilet. Gabriel menggigit bibir, berharap cemas ini toilet cowok, namun merasa agak bersalah pada Sivia. Yah, kasian juga kan kalau cewek dihukum…
Seperti ada lampu yang menyala terang di atas kepalanya, ia pun memilih jalan tengah : berharap bahwa toilet itu toilet campuran. Yah, walaupun ia tau itu tidak mungkin. Jika memang iya, untuk apa tanda cewek dan cowok itu dipajang di 2 pintu?
Baru saja ide inisiatif Gabriel untuk mencegah Sivia membuka pintu muncul, gadis manis itu sudah membuka pintu, menampakkan pemilik suara langkah kaki yang menggema di koridor tadi. Sivia makin shock karena takut.
“Ada apa?” tanya cewek yang menatap gadis manis yang ‘membukakan’ pintu untuknya. Gadis itu—yang membukakan pintu—menunduk dengan takut-takut. Kakak kelasnya itu memang sangar.
“Jawab gue!!” teriak Angel, sang kakak kelas. Sivia menundukkan kepala makin dalam, lalu menunjuk ke arah Gabriel yang sedang berdiri di belakang tiang sapu. Niatnya sih untuk bersembunyi, tapi karena besar tiang sapu sama badannya beda jauh, Angel dan Sivia tidak bisa tertipu. Badan yang dibalut seragam SMA itu masih kelihatan, walaupun wajah cowok hitam manis itu tertutupi oleh dua telapak tangan hitam. Angel langsung melotot.
“Lo! Lo ngapain di sini?!” bentak Angel ke arah Gabriel yang tidak menyahut karena masih bersembunyi. Angel mendecak kesal dan berjalan ke arahnya, lalu membanting sapu yang menutupi sebagian kecil badan cowok itu, lalu dengan paksa ia menurunkan tangan Gabriel.
“Jawab pertanyaan gue!!” teriaknya. Gabriel tersentak kaget—sebagian kaget karena persembunyiannya gagal, sebagian lagi kaget karena, yah… siapa yang enggak tersentak begitu kalau ada kakak kelas galak yang membentak di depan wajahnya?—dan menunduk takut-takut.
“Kkke, kebelet pipis, kak…” ucap Gabriel pelan.
“Iya, gue tau! Ngapain lo pipis di toilet cewek, toilet cowok kan masih kosong melompong!” teriak Angel.
“Loh? Bukannya ini toilet cowok, kak?” tanya Gabriel setengah bingung. Angel langsung melotot sampai mata hampir keluar.
“INI TOILET CEWEK, DODOL!!” teriak Angel.
“Loh? Perasaan ini toilet cowok, deh…” ucap Gabriel sembari berjalan menuju pintu keluar untuk memastikan. Ia menengok ke depan pintu dan terdiam, kaget karena tanda yang menghiasi pintu tersebut bergambar stickman memakai rok. Stickwoman. Penanda toilet cewek. Gabriel langsung shock. Seingatnya tanda tersebut bergambar stickman, hanya stickman. Tidak pakai rok segala. Tapi ini? apa gerangan yang terjadi?? Apakah stickman itu memakai rok saat ia pipis tadi?!
“Kenapa diem?” tanya Angel dari belakang cowok hitam manis itu, membuat cowok itu terlonjak kaget.
“Eungg..” ucap Gabriel, dengan ragu-ragu berbalik ke arah kakak yang mempunyai rambut hitam panjang yang di-shaggy itu. “Hehehe…” lanjutnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenapa kepala lo? Kegatelan?!” tanya Angel sambil membentak. Gabriel terdiam.
“Asal lo tau, gue gak suka cowok kegatelan kayak lo!” bentak Angel lagi. Gabriel hanya tertunduk, pasrah akan nasibnya. Ia pernah melihat temannya yang kena marah Angel. Hasilnya? Temannya itu langsung pindah sekolah karena takut sama Angel dan malu abis sama angkatannya. Gabriel menelan ludah.
“Tunggu apa lagi?! Lari ke bawah, ke lapangan hijau, terus elo lari 20 keliling! Abis itu lo scotjump sambil ngelilingin lapangan 5 kali, terus push up-sit up-back up 100 kali masing-masing. Abis itu jalan jongkok ke atas, terus duduk sampe gue panggil ke depan!” teriak Angel. Wajah Gabriel memucat.
“Heh, lo mau nunggu sampe kapan?! Cepet lari!!” teriak Angel. Gabirel tersentak kaget.
“I, iya kak…” ucapnya pasrah sembari segera berjalan lesu ke bawah.
“Enak banget lo jalan! LARI!!” teriak Angel. Gabriel langsung berlari secepat yang ia mampu ke bawah. Bukan karena disuruh doang, tapi emang pengen kabur dari Angel.
“Cakka! Awasin dia!” perintah Angel terhadap cowok berkulit kuning langsat yang menjabat sebagai BN di kabinet OSIS angkatannya. Cowok itu nyengir ke Angel, lalu berdiri dan ikut berlari santai ke bawah. Ia memang menikmati saat-saat menghukum adek-adek MOS, terlebih lagi hukuman kejam seperti ini. Angel hanya tersenyum puas, lalu berbalik dan menghadap Sivia.
“Dan lo, lo nyadar gak sih kalau lo udah mengganggu kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini dengan teriakan melengking lo tadi?!”bentak Angel. Sivia menunduk dengan takut.
“Ma, maaf kak…” ucapnya dengan takut-takut.
“Jangan minta maaf ke gue, minta maaf ke seluruh orang di gedung ini!” bentak Angel dengan nada memerintah.
“Haahh??” tanya Sivia spontan, yang langsung disambut dengan pelototan Angel. Sivia menunduk.
“I, iya kak...” ucap Sivia dengan nada pasrah.
“Well, tunggu apa lagi?! Lari!! Minta maaf sama semuanya!” teriak Angel.
“Iya kak!” seru Sivia, lalu berlari sekencang-kencangnya menuju kelas terdekat.
“Yo, awasin dia” perintah Angel. Rio, BN satu lagi, langsung mengangguk ke arah Angel yang menjabat sebagai JBN dan menurutinya. Angel tersenyum puas, lalu berjalan dengan hati berbunga-bunga menuju aula serbaguna tempat peserta MOS berkumpul untuk diberikan materi, meninggalkan 2 peserta MOS yang sedang tersiksa karena dihukum dengan begitu kejamnya.
***
Entah sejak kapan kedua sahabat itu dijauhi oleh murid-murid lain. Padahal, mereka memiliki wajah yang bisa dibilang cantik dan ganteng. Pernah ada seorang kakak kelas bernama Alvin—salah satu cowok paling kece di sekolah—naksir sama Sivia. Ia pun mendekati Sivia yang waktu itu sedang membaca buku sejarah. Walau agak aneh, Alvin tidak terlalu memperhitungkan hal itu. Wajah Sivia terlalu manis untuk membuatnya ilfeel beneran. Lagian itu kan hanya masalah buku bacaan.
“Hei” sapa Alvin. Sivia mengangkat wajah, lalu mengernyitkan kening melihat siapa yang memanggilnya.
“Kak Alvin?” tanyanya sembari menutup bukunya. Alvin tersenyum lebar.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
“Ngomong sama kakak, kan?” tanya Sivia balik. Alvin tertawa lepas, membuat gadis lugu di depannya mengernyit bingung.
“Kenapa kakak ketawa?” tanya Sivia, mengeluarkan sifat lugunya.
“Gak kenapa-napa, kok” jawab Alvin samar. Sivia mengulum senyum, agak kesal karena tidak diberi tau.
“Omong-omong kakakngapain ke sini?” tanya Sivia to-the-point.
“Emangnya kenapa? Gue gak boleh duduk diam di sini dan ngobrol sama lo?” tanya Alvin balik. Sivia tersenyum, tidak tau harus menjawab apa. Inginnya sih menjawab ‘tidak’, tapi kedepannya gak enak lagi…
“Omong-omong minggu ini lo ada acara?” tanya Alvin langsung.
“Eungg… gak ada kok kak. Emangnya kenapa?” tanya Sivia. Alvin tersenyum senang.
“Jalan, yuk!” ajaknya. Sivia terperanjat.
“Haaahhh??” tanggapnya. Alvin mengerutkan kening tanda bingung. Tidak biasanya ia mendapat reaksi seperti ini dari seorang cewek.
“Kenapa?” tanyanya langsung. Sivia nyengir, dalam hati merutuki kenapa ia bisa bereaksi seperti itu.
“Eungg… gak apa-apa kok kak, cuma kaget aja” ucap Sivia. Alvin tersenyum.
“Gimana? Mau gak?” tanya Alvin lagi. Sivia tersenyum miring, menimbang-nimbang dalam hati. Bingung harus menjawab apa. Ditolak kan gak enak, tapi kalau diterima sebenernya kan gak mau…
“Eunngg, emangnya bakalan kemana dan ngapain, kak?” tanya Sivia, mengulur waktu untuk menjawab sekaligus mencari lebih banyak alasan untuk menjawab.
“Ya… kamu maunya kemana? Ke mall aja yuk, nonton di bioskop, terus makan, terus main. Yang gitu-gitu aja” jawab Alvin seadanya.
“Yah, kak… jangan nonton bioskop kak, nonton wayang aja… kan bagus tuh, selain buat hiburan, bisa juga menambah ilmu sejarah! Kakak tau gak, kalau wayang itu dipakai untuk menyebarkan islam di Indonesia jaman dahulu kala? Terus kan wayang itu udah berkembang kak, ceritanya banyak, jenisnya juga banyak. Contohnya wayang kulit, terus ada lagi wayang orang, yang kayak di OVJ itu loh! Terus…” dan mengalirlah penjelasan tentang wayang yang super lengkap dari mulut Sivia. Alvin terdiam, menatap Sivia dengan wajah datar. Mendengarkan dengan menerapkan peribahasa ‘masuk kuping kiri keluar kuping kanan’.
“Eunngg… Siv, kamu suka nonton wayang, ya?” tanya Alvin hati-hati, memotong penjelasan Sivia tentang bagaimana cara membuat wayang. Berharap Sivia tidak menjawab ‘ya’, berharap Sivia hanya bercanda. Tidak, tidak mungkin cewek berwajah manis yang ia taksir itu menyukai wayang. Bisa jatuh nanti pamornya…
“Suka banget!” ucap Sivia dengan semangat. Alvin langsung ilfeel.
Berbeda dengan Sivia yang sempet dideketin sama cowok-cowok keren seantaro sekolah sebelum pada ilfeel semua, Gabriel harus gigit bantal dan menangis tersedu-sedu karena semua cewek di sekolah, lupakan yang cantik, populer, tajir, atau manis, yang biasa-biasa saja atau bahkan yang jelek sekalipun semuanya ilfeel duluan lantaran pengalaman pahit yang dirasakan Gabriel saat MOS. Hanya karena satu keisengan yang dilakukan oleh kakak-kakak BN yang kurang manis waktu itu, belum lagi hukuman Angel. Kebayang kan, seberapa bencinya Gabriel terhadap mereka bertiga?
Gabriel mendengus kesal mengingat nama Angel. Bagaimana tidak? Ia, yang notabene harus menjalani hukuman super berat harus pasrah saat dipanggil untuk maju ke depan sesaat saat evaluasi dilaksanakan. Padahal belum ada semenit ia masuk dan duduk di dalam aula serbaguna itu. Dengan ogah-ogahan ia pun berjalan ke depan dan berdiri di samping Angel dan Debo, sang ketum OSIS dengan wajah ditekuk. Dan… jeng-jeng-jeng, tanpa disagka-sangka dibeberkanlah semuanya—well, minus kalau itu hanya sebuah prank dari kakak-kakak BN tercinta—kejadian di toilet siang itu! Gabriel malu setengah mati, apalagi ia harus menerima teriakan-teriakan yang menghinanya dan tatapan-tatapan benci bercampur jijik dari teman-teman seangkatannya (tentu saja minus Sivia yang masih menjalani hukuman-minta-maaf-ke-seluruh-penghuni-sekolah). Belum lagi reaksi kakak-kakak kelas yang super lebay, sampai menamparnya dan menonjoknya segala.
Sejak saat itu, Gabriel tidak mau lagi memasuki toilet sekolah, tak peduli seberapa besar ia kebelet.
Dengusan kesal Gabriel berubah menjadi senyuman—persis seperti senyuman yang kau lihat sewaktu melihat orang gila senyam-senyum di jalanan—saat mengingat nama itu. Sivia. Pikirannya pun melayang pada saat pertemuan kedua sekaligus perkenalan antara dirinya dan Sivia. Kenangan yang terhitung paling manis bagi Gabriel.
***
Pertemuan kedua antara Gabriel dan Sivia diawali dengan Gabriel yang mendapat hukuman terselubung. Karena saat evaluasi wajahnya ditampari dan ditonjok di sana-sini, wajahnya pun diwarnai dengan warna merah bekas tamparan dan biru karena memar-memar dan dihiasi dengan bentuk cap tangan merah di kedua belah pipinya. Alhasil ia pun disuruh ke UKS untuk menyembuhkan lukanya dan meringis karena tidak ada satu orang pun yang ingin menemaninya, terlalu jijik untuk berbaik hati padanya. Dan seolah itu belum cukup, ia harus mengelilingi sekolah dengan wajah cemberut untuk mencari pantry karena di UKS tidak ada persediaan es batu untuk mengompres wajahnya dan guru UKS terlalu malas untuk mengambilnya. Belum lagi ia tidak tau letak ruangan kecil itu lantaran buku panduan sekolahnya—yang seharusnya menjadi malaikat baginya karena di dalamnya ada denah sekolah—disita. Dasar kak Angel, kejam banget kalau ngehukum!
Gabriel mendesah pasrah sambil berjalan turun ke bawah, berharap pantry berada di lantai bawah dan tepat di sebelah ruang BK, persis sama seperti letak pantry di SMPnya dulu. Ia mempercepat langkahnya, ingin cepat-cepat mengambil es batu, balik ke UKS, lalu pulang. Sesederhana itu. Yah, kalau ia masih memegang buku panduan sekolah itu.
Mata Gabriel menangkap bayangan seorang gadis yang sedang berkeliaran di dekatnya. Dengan segunung perasaan lega ia pun mendekati sosok gadis tersebut dengan niat bertanya letak pantry di mana. Yah, walaupun gadis itu berdandan hancur yang sangat seragam dengan peserta MOS, setidaknya ia punya denah sekolah…
“Hei” sapa Gabriel. Gadis itu menoleh, membuat kedua pasang mata yang saling bertatapan—milik Gabriel dan gadis itu—membelalak lebar.
“Lo…” ucap kedua orang itu bersamaan. “Lo yang ada di toilet, kan?!”
“Ngapain lo di sini?!”bentak Sivia, gadis yang tadi dihampiri oleh Gabriel. Gabriel meringis. Bertambah lagi satu orang yang membencinya. Tidak, sepertinya cewek itu yang pertama jijik padanya. Bagaimanapun, gadis itulah yang pertama kali melihatnya di dalam toilet…
Ohya, tidak semua cewek berada di toilet waktu itu. Hanya dia.
“Eunngg… gue minta maaf soal yang waktu itu, oke? Gue cuma dikerjain sama kakak-kakak BN itu kayaknya. Soalnya gue berani sumpah waktu itu sebelum masuk gue sempet merhatiin dua gambar itu. Gue gak mau kejadian kakak kelas gue salah masuk toilet pas gue kemping itu kejadian. Dan ternyata bener. Sumpah siapa pun nama lo, gue bener-bener minta maaf” ucap Gabriel panjang lebar. Gadis itu terdiam.
“Plis jangan marah ke gue, gue udah cukup dibenci sama seangkatan. Jangan sampe elo juga, karena kalau iya hidup gue mengenaskan dong…” sambung Gabriel tanpa benar-benar memikirkan apa yang dikatakannya, membuat akhir kalimatnya agak jayus. Sivia menatapnya tajam, lalu mukanya berubah mimik menjadi kaget.
“Muka lo kenapa?!” teriak Sivia histeris. Gabriel tertegun. Agaknya ia penasaran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh gadis yang sekarang berjalan mendekat dan mengamati wajahnya yang belang-belang itu. Ia tidak percaya gadis itu telah mengatakannya.
Gadis. Itu. Mengkhawatirkannya.
Butuh waktu lama bagi Gabriel untuk mencernanya.
Dari semua reaksi, dari semua caci maki yang bisa dikatakan oleh gadis itu, gadis itu malah mengkhawatirkannya. Yah, maaf saja, tapi itu agak tidak wajar. Bagaimana tidak? Jika Gabriel bertukar posisi dengan gadis itu, cowok itu yakin 100% ia akan memarahi dirinya, baru menolongnya. Itu pun hanya memberikan buku petunjuk sekolah, tidak sampai mengantarkannya. Dengan sinis. Setelah itu ia tidak akan berhubungan dengannya. Selamanya. Dan ini? Dunia benar-benar sudah kacau.
“Eunngg, justru soal ini gue samperin elo,”—Gabriel menjauhkan Sivia yang membuatnya agak tidak nyaman dengan melihat wajah amburadulnya terlalu dekat—“gue lagi nyari pantry buat minta es batu. Lo tau tempatnya di mana?” tanyanya. Sivia mengangguk pelan.
“Kayaknya tadi gue ngelewatin. Yuk, seinget gue tempatnya di atas” jawab Sivia, lalu menggandeng tangan Gabriel dan menariknya menuju tangga terdekat. Gabriel terkesiap dan langsung melepaskannya. Sivia berbalik ke arahnya dan mengangkat alis, meminta penjelasan.
“Lo gak usah nganter gue, gue minta buku petunjuk lo aja. Kan ada denahnya, kasian lo besok dihukum gara-gara gak ikut apel sore” ucap Gabriel setelah beberapa saat terdiam. Ia sendiri juga kaget karena melepaskan pegangan tangan dari gadis semanis Sivia. Entahlah, hanya saja… sepertinya setruman yang membuat degup jantungnya langsung naik drastis. Ia menunduk, agak malu. Sivia tersenyum.
“Enggak apa-apa. Sama aja kok, gue juga bakalan dihukum ini gara-gara telat apel. Mending dihukumnya besok, udah capek nih soalnya. Biar bisa istirahat. Lagian besok gak nanggung malu sendirian kok, kan ada temen hehe” ujar Sivia lembut. Gabriel tertegun sesaat, lalu tiba-tiba tersenyum.
“Oke deh. Yuk” ucap Gabriel, lalu mengikuti Sivia yang memandunya ke pantry.
***
“Thanks Siv” ucap Gabriel sembari menerima sekantung es batu yang didapatkan Sivia. Sivia mengangguk dan tersenyum.
“Sini, gue kompresin. UKS udah tutup, udah jam pulang soalnya. Pasti si guru pemales itu udah pulang. Lagian UKS jam segini udah jadi UKS mandiri, gak ada bantuan guru” ujar Sivia, lalu menarik Gabriel ke UKS. Gabriel hanya bisa pasrah ditarik-tarik karena dia tidak bisa melepaskan tangan Sivia yang menarik tangannya karena tangannya yang satu lagi sibuk memegangi kantung es dan tangan Sivia mencengkramnya terlalu kuat sehingga tidak bisa dilepaskan dengan berkelit. Tidak tau harus berbuat apa, ia pun mempercepat langkahnya, termotivasi oleh tangannya sudah membeku memegangi kantung es.
“Siv, cepetan… tangan gue beku nih” keluh Gabriel.
“Iya iya. Sabar dikit kek, tinggal belok dikit… nah! Tuh, nyampe kan? Makanya sabar” sahut Sivia sewot.
“Ya lo enak tinggal narik-narik gue, lah gue? Udah sakit ditarik-tarik, tangan gue beku lagi!” ucap Gabriel sembari memasuki ruangan UKS. Sivia yang sudah sampai dari tadi tertawa kejam sambil menarik dua kursi ke tengah ruangan. Gabriel cemberut dan menaruh kantung es di meja. Sivia tertawa semakin keras. Gabriel membanting dirinya di kursi, lalu kesakitan sendiri karena kursi keras itu beradu dengan tulang ekornya. Gabriel meringis kesakitan. Sivia tertawa terbahak-bahak.
“Sabar ya Yel, idup lo emang ribet” nasehat Sivia di sela-sela tawanya, membuat Gabriel makin cemberut. Sivia terkekeh, lalu meraih kantung es dan duduk di kursi samping Gabriel.
“Udah, stop ah cemberutnya. Sini gue kompres” ucap Sivia, mendekat ke arah Gabriel dan dengan hati-hati mengompres wajah pria itu. Gabriel hanya bisa diam dan mengepalkan tangannya kuat-kuat lantaran Sivia mengompresnya dengan cekatan. Saking cekatannya es-es batu yang dingin itu serasa menusuk wajahnya karena ditekan terlalu kuat oleh gadis manis itu.
“Woi, woi Siv! Pelanan dikit kek! Sakit nih yang di sini…” keluh Gabriel setelah beberapa lama.
“Ya sabarlah Yel, ini sengaja gue tusuk biar cepet sembuh” sahut Sivia, tetap menusuki Gabriel dengan es batu itu. Yah, kali ini lebih keras.
“Au, auu Siv pelanan dikit!!” teriak Gabriel sembari menjauhkan tangan putih Sivia yang sedang mengompres wajahnya, mengakibatkan warna-warni di wajahnya makin jelas terlihat. Entah karena pengaruh basah yang disebabkan oleh es atau memang lebamnya makin parah karena ditusuk-tusuk.
“Eh, kok bau pedes gini ya? Kayak bau… balsem?! LO APAIN MUKA GUE, SIIVV??!!” teriak Gabriel histeris.
“Ya lo tenang dikit kek, kan udah gue bilang, gue ngelakuin ini biar lo cepet sembuh kok” ucap Sivia tenang, lalu mendekatkan kantung es itu ke wajah Gabriel. Gabriel langsung menepisnya.
“Jawab pertanyaan gue” ucapnya. Sivia mendesah.
“Oke. Sebenernya, gue itu nerapin resep nenek gue. Nenek gue itu jago ngeracik obat-obatan, jadi gue dikasih buku resepnya. Nih” ucap Sivia sembari mengeluarkan sebuah buku saku kecil dari kantung rok abu-abunya dan menyodorkannya pada Gabriel. Gabriel menerimanya, lalu membuka halaman daftar isi. Matanya menelusuri tulisan-tulisan kecil itu dan membuka halaman 8, halaman yang menurut daftar isi tertera resep obat menghilangkan cap tangan dan lebam. Gabriel membacanya dengan hati-hati, lalu matanya melotot.
“APAAN NIH?!” tanyanya shock.
“Sekantung es batu, campur dengan balsem cap miyu miyu 24 gram, trombopop 30 gram, minyak kayu putih 3 sendok makan, minyak tawon 3 sendok makan, dan LUDAHI 3 KALI?! LO GILA SIV!!” teriak Gabriel, lalu segera berlari menuju toilet untuk membasuh mukanya. Sivia tertawa. Gabriel pun kembali dengan muka cemberut.
“Gabriel, gue gak ngeludahin itu juga, kali… gue juga jijik. Lagian itu ludah juga cuma buat iseng kata nenek gue, biar pada gak berani nyolong buku itu. Tapi agak repot juga sih yakinin orang-orang yang diobatin” ucap Sivia. Gabriel cemberut. Sivia tertawa dan mengacak-acak rambutnya.
“Udah, yakin aja kalau ramuan itu gak gue ludahin dan besok muka lo bakalan kembali mulus. Gak mulus-mulus amet sih, paling cap tangannya doang yang ilang dan lebamnya bakalan mudar dikit. Yah, setidaknya itu sih yang terjadi sama bokap gue pas kejedot pintu plus kejatohan buku plus dilempar buku sama gue. Hehe” hibur Sivia. Gabriel mendesah.
“Ya udah. Gue pegang janji lo. Awas aja ya kalau cap-cap jelek ini gak ilang, gue ludahin muka lo!” ancam Gabriel.
“Buset dah nyante bang… kejem amet ngancemnya. Iya iya ah! Gak percayaan banget jadi cowok” sahut Sivia sewot. Gabriel terkekeh.
“Maap bu Sivia…” ucapnya. Sivia mengangguk dan tersenyum. Gabriel membalas senyum manis gadis itu.
“Well, gue pulang dulu ya. Udah selesai kan ngompresnya?” tanya Gabriel sembari berdiri dan meraih tas ranselnya, dalam hati bersyukur ia membawa tas itu. Ia paling benci jika harus mengganggu rapat evaluasi OSIS di aula serbaguna hanya untuk mengambil tas.
“Yel…” panggil Sivia. Gabriel menoleh, menemukan gadis itu sedang menoleh ke arahnya. Pintu yang sedang dibukanya terpaksa digantung, hanya menekan ganggang pintu. Mendorong pintu putih itu agar terbuka adalah langkah selanjutnya dalam misi membuka pintu.
“Sampai ketemu besok” ucap Sivia lembut, senyuman manis mengembang di wajahnya. Gabriel terpaku. Desiran-desiran itu kembali datang. Ia seolah tenggelam dalam ketenangan, rasa teduh yang ia dapatkan ketika menatap kedua bola mata indah milik gadis yang duduk tak jauh dari tempat ia berdiri.
“Yel? Lo baik-baik aja?” tanya Sivia, membuat Gabriel tersentak dan tersadar. Ia menatap Sivia, membuat jantungnya tersiksa karena kerja ekstra yang timbul dari reaksi jatuh cinta.
“Eh? Iya, gue baik-baik aja kok. Kenapa emangnya?” tanya Gabriel balik. Sivia menunjuk pipinya.
“Pipi lo… tambah merah. Yakin nih gak apa-apa?” tanya Sivia lagi. Spontan, Gabriel menyentuh pipinya yang seharusnya dingin karena pengaruh kegiatan dikompres tadi. Tapi kok… pipinya hangat?
“Eunngg, gak papa kok. Gue… gue pulang dulu ya” pamit Gabriel, lalu membuka pintu sebelum Sivia bisa membuatnya lebih malu lagi karena tanda-tanda sialan ini. Gabriel mempercepat langkahnya, agak stress karena otaknya dipaksa untuk mencari tau apa yang sedang terjadi. Ia menghentikan langkah, lalu mengangkat alisnya. Agak tidak percaya dengan penjelasan yang baru saja otaknya berikan.
Masa… masa sih dia suka sama Sivia?
+++
HAAAIII SAYA LAGI SENENG LOH!! PART 1 NYA SELESAAAIII!!
oke. Saya minta maaf karena minggu kemaren gak ngepost sama sekali, tapi itu gak berarti minggu ini saya bakalan ngepost 4 kali, ya-_________-“ tetep 2 kali. Kalau 4 kali… yah, terpaksa GBLnya saya pecah jadi 3 part. Jadi deh 4 kali, hehehe…
Oke. Jadi ini cerita udah jadi part 1nya. Sebenernya ini hasil copas saya dari buku notes saya sendiri, dan saya udah netapin alurnya, jadi maaf ya kalau gak sesuai sama keinginan kalian…
comments and likes is welcome any time here, dan saya harap lebih dari 10, 20 mungkin? Hehehe…
Kalau ada yang nanya couple, saya bocorin deh. Couplenya siviel, tokoh utamanya juga mereka berdua. Hehe. Mungkin ada sekuelnya, tergantung dari tingkat kemalesan saya setelah menyelesaikan mini cerbung ini.
Oya, mungkin cerbung ini agak kocak ya? Eh garing. Jayus. Tapi kalau emang dianggep kocak, jangan harap sampai akhir kocak, ya… saya gak mau janji lagi kalau ini cerbung kocak gitu. Mungkin ada beberapa scene yang bisa bikin kalian senyam-senyum sendiri—antara jayus atau kocak—tapi konfliknya agak serius. Hehe.
Satu lagi, mungkin ini bukan mini cerbung, deh… mengingat alurnya yang agak kompleks.
Makasih yaa udah berbaik hati meluangkan waktu untuk membaca, it means a lot to me. Ih saya sok inggris. Maaf yaa kalau ada salah, salah ketik, atau apa pun… saya sayang kalian para pembaca!! Hehe.
Any critics?
-penulis-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar