PREVIOUS PART
Agni diam, menatap punggung Alvin yang kian menjauh dari rumahnya. Jauh... jauh... dan akhirnya menghilang ditelan malam. Agni menghela nafas. Bagaimana pun juga, semua ini terlalu cepat baginya. Ia memandang langit malam, seolah itu bisa memberinya jawaban dari pertanyaannya. Apa yang harus ia lakukan?
Sesuatu menepuk pundaknya. Spontan Agni menengok ke bahu kanannya, tempat sesuatu menepuknya. Sebuah tangan. Tangan siapa—? Dengan penasaran matanya menelusuri tangan tersebut, lengannya, bahunya, dan... wajah yang dikenalnya. Cakka.
"...sabar ya Ag..." ucap Cakka, matanya menerawang jauh ke arah Alvin pergi. Agni hanya tersenyum kecil. Perih. Setelah ia mencerna kejadian tadi—yang rasanya begitu cepat baginya—matanya memanas, air matanya yang sedari tadi memberontak berusaha keluar dari cengkraman matanya mulai melaju perlahan. Cakka menyadarinya, lalu melihat sekeliling untuk mencari cara agar Agni bisa menangis sendirian dengan tenang. Melihat sesuatu—tepatnya sebuah pintu bertuliskan ‘TOILET’—ia pun mendapat ide.
"Ag, gue ke toilet dulu ya. Di situ kan?" tanya Cakka sembari menunjuk pintu yang memberinya ide tersebut. Agni menengok, memperlihatkan matanya yang sudah berkaca-kaca lalu mengangguk. Cakka tersenyum paksa lalu berlari kecil ke arah toilet.
"Jika air mata memberontak untuk keluar, biarkanlah" bisik Cakka—tidak kepada siapa-siapa—sembari berjalan ke arah toilet. Agni yang mendengarnya tertegun dan menengok ke arah Cakka yang memasuki toilet rumahnya. Ia diam, memikirkan bisikan Cakka yang, secara tidak langsung, memberinya nasihat yang berarti. Setelah puas melihat pintu toilet yang tertutup rapat, Agni membalikkan badan dan menangis. Mengalah pada air mata yang telah memberontak untuk keluar, membiarkannya lepas dan menetes melalui pipinya. Agni terisak pelan, ia belum siap untuk menerima ini semua. Memang, Alvin telah menyakitinya. Memang, hal itu telah terjadi selama 3 tahun. Memang, seharusnya ini terjadi semenjak dahulu kala. Tapi...
Agni menghapus air matanya, yang terus saja keluar. Ia menyerah lalu bersandar, dan menghela nafas setelah 10 menit berlalu. 10 menit dalam hidupnya yang ia isi dengan tangisannya. Berharap dekapan hangat Alvin akan ada untuknya, membantunya melalui semua ini...
Tunggu. Bukankah ia sendiri yang tidak suka bila dipeluk? Pelukan yang membuatnya merasa tak berdaya? Merasa lemah?
Agni tersenyum kecil. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang.
Seringkali kamu baru menyadari pentingnya suatu hal ketika hal itu pergi...
Ah. Bahkan suara Alvin masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Beginikah rasanya? Ketika kau patah hati? Inikah resiko jatuh cinta?
Beribu pertanyaan lain menyerbu pikiran Agni. Tentang dirinya. Tentang Alvin. Tentang... Cakka?
Nama itu muncul begitu saja di otaknya, membuatnya sadar akan suatu hal. Kok Cakka lama banget ya di toilet? Masa sih pulang tanpa pamit? Gue kan di ambang pintu... batinnya berkata. Jangan-jangan...
Dengan berprasangka buruk, Agni berdiri dan menuju toilet. Diketuknya pintu itu. Tok tok tok, Agni mendengar bunyi yang ia timbulkan. Tidak ada jawaban. Tok tok tok, Agni mengetuk pintu lagi. Masih tidak ada jawaban. Agni mengerutkan kening tanda bingung. Apa mungkin, Cakka adalah pencuri yang memanfaatkan waktu menangisnya untuk mengambil beberapa barang berharga dan kabur lewat jendela? Tidak apalah. Agni merelakannya. Setidaknya, Cakka sudah memberikan salah satu kenangan terindah dalam hidupnya...
"Shil, tolong bantu gue..." ucap sebuah suara yang dikenalnya. Suara Cakka.
Agni mematung. Cakka berbicara dengan siapa? Shilla? Bukannya Shilla udah meninggal? Apa Cakka paranormal yang bisa melihat hantu? Atau orang yang mempunyai ketidakseimbangan emosional karena belum bisa melepas mantan kekasihnya itu? batinnya bertanya, pertanyaan yang tentu saja belum bisa ia jawab. Ia pun menghela nafas. Tadi, ia tidak mendengar suara pintu terkunci. Dengan harapan kecil bahwa toilet belum dikunci, Agni pun meraih gagang pintu dan membukanya.
KLEK, pintu terbuka.
***
Cakka menutup pintu toilet setelah berbisik secara tidak langsung kepada Agni tadi. Untuk membiarkannya menangis. Membuatnya... lega. Lagipula, ada sesuatu yang harus dilakukannya. Ia menatap pantulan dirinya di kaca, lalu merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna merah. Lebih tepatnya sebuah kotak kecil. Kotak merah lembut yang akan dipersembahkannya pada Shilla... 2 tahun lalu. Tepat sebelum hal itu terjadi. Sebelum nyawa kekasihnya direnggut.
Cakka menghela nafas. Seharusnya ia tidak mengingatnya, atau setidaknya, tidak menyesalinya. Tapi, hal itu tetap saja menyakitkan.
Cakka memandang pantulan wajahnya di kaca. Masih sama. Wajah oriental itu. Kulit kuning langsat bercampur putih itu. Rambut hitam itu. Semuanya. Semuanya yang Ashilla Zahrantiara puji. Yang hilang hanyalah... senyum manis yang menghiasi wajahnya. Cakka melihat pantulan dirinya selama beberapa saat, lalu mendesah sembari memandangi kotak merah itu.
"Shill, apa yang harus gue lakuin?" tanyanya kepada pantulan dirinya di kaca, yang diam membisu. Ia menunduk, memandangi kotak kecil yang berada di dalam tangannya.
"Gue tau, lo nolak benda ini, memutuskan hubungan kita, dan bilang kalau gue harus ngasih benda ini ke orang yang udah bikin gue inget sama perasaan yang semua orang sebut 'cinta'. Tapi... gue gak tau, Shill. Gue gak tau gimana caranya," curhatnya pada pantulan dirinya di cermin.
"Kalau lo denger ini, gue minta lo bantuin gue. Ini gak semudah yang gue bayangin, karena lo emang sohib gue dari kecil. Tapi Agni..." Cakka menghela nafas. Memandang cermin yang melakukan tugasnya untuk memperlihatkan dirinya.
"Gue baru kenal Agni. Baru..." Cakka melihat jam di tangannya, lalu. "...sekitar 4 atau 5 jam. Gue... gak tau mesti gimana, Shill. Apa gue mesti langsung ngelamar dia gitu aja? Kan gak lucu. Lagian lonya juga sih, pake minta gue ngelamar orang yang bisa bangkitin 'rasa cinta yang telah tertidur' dalam diri gue begitu gue sadar. Lo mau ngetawain gue ya dari atas sana?" tanyanya sembari melihat ke langit-langit kamar mandi. Membayangkan wajah cantik mantan kekasihnya yang sedang tertawa. Ia pun menunduk, memeras sebagian rambut depannya yang ia angkat ke atas kepala, lalu bersandar di dinding dan memejamkan mata. Berpikir keras selama beberapa menit. Berjuang mencari cara untuk lepas dari rasa bingung yang menyelimuti dirinya.
Tok tok tok, suara pintu yang diketuk tidak dihiraukannya. Beberapa kali. Sampai akhirnya ia membuka matanya, menatap bayangan cermin di depannya, lalu berkata pelan,
"Shil, tolong bantu gue..."
Hening beberapa saat. Cakka tau, sebanyak atau sememelas apa pun ia meminta Shilla untuk membantunya, hal itu tidak akan tercapai. Bahkan sedikit pun tidak. Ia bersandar kembali dan memejamkan matanya.
KLEK, pintu terbuka. Membuat Cakka membuka kembali matanya, dan merasakan wajahnya memanas melihat siapa yang membuka pintu. Agni. Untung aja si Cakka lagi gak macem-macem, batin Agni berkata dengan senang. Agni mengelus dada.
"Cak, lama amet?" komentar Agni. Cakka tersenyum, membuat jantung Agni mendaftarkan diri menjadi peserta detakan jantung tercepat.
"Oh enggak, ehm. Tadi ya... agak sedikit mules" ucap Cakka cepat, dan berbohong. Mata Agni menyipit, memberikan pandangan menyelidik ke Cakka yang langsung melihat ke arah lain karena tidak nyaman.
"Terus? Tadi lo ngomong sama siapa?" tanya Agni. Cakka terdiam, menunduk. Kok Agni tau? Dia nguping ya dari luar? Emang kedengeran? batin Cakka bertanya.
"Cak..."
"Eh, itu, sama..." ucapan Cakka terputus lantaran ia tidak tau harus menjawab apa.
"Shilla?" selidik Agni. Cakka terdiam lalu... mengangguk. Agni diam.
"Mana Shilla-nya?" tanyanya, berpura-pura mengikuti 'permainan' Cakka ini. Kalau benar dugaan bahwa Cakka memiliki ketidakseimbangan emosi atau mental karena Shilla pergi, seharusnya ini jalan terbaik. Karena, dengan begitu Cakka akan tau bahwa ada seseorang yang mendukungnya dan perlahan-lahan, ia akan melupakan objek yang membuatnya memiliki ketidakseimbangan mental atau emosi, yaitu—dalam kasus ini—Shilla. Cakka tertawa melihat Agni yang celingak-celinguk mencari seseorang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini.
"Ag, lo nyadar kan kalau Shilla udah tenang di atas sana?" tanya Cakka. Agni terdiam. Ternyata dugaannya salah. Cakka tidak memiliki ketidakseimbangan emosi atau mental. Atau... jangan-jangan dia berkepribadian ganda?! Oh oke, Agni memang suka memikirkan hal yang aneh-aneh. Tapi itu masuk akal, kan?
"Jadi... lo tadi ngomong sama siapa?" tanya Agni. Cakka menunjuk cermin.
"Tuh" ucapnya. Agni mengalihkan pandangan ke arah yang Cakka tunjuk.
"Cermin?" tanya Agni. Cakka tersenyum.
"Di akhir suratnya, ia berkata, 'jika kau rindu padaku, tataplah cermin, dan ceritakan semua masalahmu ke sana. Mungkin kau tidak bisa melihatku, tetapi aku akan selalu membantumu'" ucap Cakka. Agni memandangnya. Dalam keadaan seperti itu, Cakka tampak... keren. Dan dewasa. Agni merasakan pipinya memanas, yang membuatnya menunduk saking malunya.
Hening beberapa saat.
Cakka memandangi kotak yang ia genggam sembari berpikir untuk menyerahkannya atau tidak. Ia berkali-kali memandang cermin untuk bertanya pada Shilla, tetapi wajah manis Agni yang terpampang di sana membuatnya malu dan menunduk kembali, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia pun menghela nafas.
Di benaknya, bayangan hubungannya dan Shilla kembali menghantui. Tentang Shilla yang menolaknya, membuatnya takut akan hal yang sama akan terulang lagi, tetapi kali ini pada Agni. Cakka memasukkan kotak itu ke dalam kantungnya. Lagi pula, ia dan Agni baru bertemu beberapa jam...
tapi, bagaimana jika hanya inilah waktu yang ada untuk menungkapkannya?
Cakka terdiam sesaat. Kalimat itu mengunjungi pikirannya begitu saja, beserta sebuah flashback kejadian kematian Shilla. Cakka memegangi dadanya ketika rasa sesak menerjang dirinya. Tidak. Ia harus kuat. Ia melirik Agni yang sedang memandang kaca. Ya, ini saatnya.
"Agni..." panggil Cakka pelan. Agni kaget lalu menengok. Dilihatnya Cakka yang sedang tersenyum kepadanya. Agni balas tersenyum.
"Kenapa?" tanya Agni. Cakka mendekat, lalu memeggenggam tangannya. Agni menganga. Terlebih saat Cakka berlutut di hadapannya.
"Agni, mungkin kita baru bertemu beberapa jam, dan gue tau ini semua masih terlalu cepat buat lo. Tentang Alvin... gue turut sedih, tapi..." ucap Cakka. Agni mengangkat alis.
"Jadi, maksud lo adalah...?" tanya Agni. Cakka menghela nafas.
"Maksud gue..." ucapan Cakka terputus. Kenapa sulit sekali melakukan ini?
"Maksud gue..." Cakka mengulang ucapannya, yang terputus kembali. Oh, sepertinya Cakka lebih memilih untuk memasukkan kepalanya ke dalam kakus daripada mengatakan hal ini kepada Agni.
"Maksud gue..."
"Cak, tolong bilang intinya sama gue. Gue udah mulai bosen sama posisi ini" ucap Agni. Cakka menghela nafas.
"Agni Tri Nubuwati, would you like to be the last girl in my life? Yang akan selalu menemaniku setelah kita melakukan upacara sakral yang akan mempersatukan kita?" ucap Cakka memulai, lalu merogoh kantungnya untuk mengambil sebuah kotak kecil berwarna merah.
"Dan, inti dari semua ini, maukah kau menjadi pendamping hidupku, for the rest of my life?" sambungnya dan membuka kotak tersebut, memperlihatkan sebuah cincin perak mungil yang dihiasi dengan berlian yang lebih kecil. Agni menganga. Cakka ngelamar gue?! Ini kenyataan kan? Bukan mimpi?! batinnya. Agni mencubit pipinya. Sakit. Ia mencubit lengannya. Masih sakit. Ia pun mencubit pipi Cakka (yang langsung merintih kesakitan). Nyata. Ini semua nyata!
Tiba-tiba, Agni tertawa. Membuat Cakka bingung. Apa jangan-jangan Agni udah gila? Gara-gara gue lamar lagi?! MAMPUS!! batinnya. Stress. Ia terdiam.
"Cakka... Cakka... Cakka!" teriaknya di sela-sela tawanya. Lalu ia menyelesaikan tawanya sementara Cakka terbengong-bengong menyesali keputusannya.
"Cakdut," panggil Agni, yang langsung membuat Cakka cemberut.
"Oke. Cakka," ralat Agni, membuat senyuman merekah di wajah Cakka. Agni nyengir.
"Cak, tau gak?"
"Enggak, soalnya lo belum kasih tau" sambar Cakka cepat. Agni menatapnya tajam. Cakka balas menatapnya dengan tatapan serius. Dengan cepat Agni memandangi cermin.
"Cak, berdasarkan apa yang gue tonton di TV TV, gue sih ngarep kalau gue jadi si cewek yang dilamar sama si cowok di taman, setelah PDKT berbulan-bulan, dengan yang cewek make dress dan yang cowok make jas..." ungkapnya, lalu tersenyum geli.
"Ternyata gue ngarepnya kejauhan. Gue dilamar di sini, di toilet rumah gue, setelah beberapa jam bertemu sama lo, belum sampai sejam gue putus sama Alvin, dan dengan penampilan gue yang super acak-acakkan kayak gini?" tanya Agni sembari tersenyum geli. Cakka melihatnya dari atas sampai bawah. Oh iya. Benar juga. Kenapa ia tidak kepikiran?
Agni masih memakai kaus putih dan jeans yang penuh dengan noda berbagai macam saus—saus sambal, tomat, kecap, cuka, dll—dan mereka sedang berada di toilet. Catat, DI TOILET. Bagaimana bisa ia melupakannya? Mungkin ia terlalu fokus kepada betapa gugupnya ia untuk mengadakan acara lamaran ini, sehingga tidak memikirkan logika. Cakka tersenyum.
"Jadi? Gue ditolak?" tanya Cakka. Kini giliran Agni yang tersenyum.
"Siapa bilang gue nolak?" Agni balas bertanya. Cakka menarik kedua ujung bibirnya agar membentuk sebuah senyuman yang indah.
"Like one of Beverly Barlton's novel, Cold Hearted," ucap Agni. "Wrong time, wrong place, but there's nothing wrong with the guy" sambungnya, mengutip sebuah kalimat dari novel tersebut. Cakka memperhatikannya.
"So it's mean that..." ucapan Cakka terputus ketika ia merasakan sepasang lengan memeluknya dari belakang dan sebuah kecupan mendarat di pipinya.
"We're officially engaged now" sambung Agni. Cakka pun memasang wajah bahagianya. Bahagia karena telah mencapai salah satu kesepakatan terpenting dalam hidupnya, bahagia karena ia telah menang, dan bahagia karna... ia telah mendapatkan wanita idamannya. Agni tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Cakka balas tersenyum mengerti, lalu—dengan perlahan-lahan—ia pun memakaikan cincin tersebut di jari manis Agni, yang langsung melingkar dengan anggun di sana. Agni mengangkat tangannya perlahan, lalu mengagumi cincin yang telah diberikan Cakka.
"Hei, tapi kita gak cepet nikah ya" ucap Agni. Cakka mengernyitkan dahi tanda bingung.
"Maksudku, kita memang sudah berunangan, tetapi aku gak mau cepet-cepet nikah. Kan aku juga belum lama kenal kamu, nanti aja kalau aku ngerasa kita udah siap..." ucap Agni, memandang Cakka. Berharap agar Cakka mengerti. Cakka tersenyum dan mengangguk. Agni yang gembira pun memeluk Cakka.
"Tapi nanti kamu ketemu ya sama papa dan mamaku" ucap Cakka. Agni terdiam, melonggarkan pelukannya, dan akhirnya melepaskannya.
"Emang wajib ya?" tanyanya polos. Cakka tertawa.
"Iyalah. Atau kamu mau kita kawin lari, gitu?" tanya Cakka, yang sekarang membuat Agni tertawa.
"Ya deh... tapi besok ya" ucap Agni.
"Haahh?? Besok kamu pengen kawin lari gitu?! Jangan Ag! Itu dosa!!" seru Cakka.
"Bukaaannn!! Maksudku, oke, aku mau ketemu sama papa dan mamamu besok," jelas Agni setelah membantah pernyataan Cakka. Cakka manggut-manggut.
Hening beberapa saat.
"Ag..." panggil Cakka.
"Hmm?"
"Kita..." ucap Cakka. Agni mengangkat alis, menandakan ia menaruh perhatian pada Cakka.
"Ke McD yuk? Aku laper" ucap Cakka. Agni berpikir sebentar.
"Yuk. Aku juga" ujarnya setuju sembari mengangguk. Cakka balas mengangguk. Agni mengangguk. Cakka mengangguk lagi...
"Udah ah yuk jalan!" ajak Agni yang sudah bosan mengangguk-angguk terus. Cakka tertawa dan mengacak-acak rambut Agni.
"Eh bentar" ujar Agni, menghentikan langkah mereka berdua.
"Aku ganti baju dulu ya" ucap Agni lalu segera berjalan dengan cepat ke lantai atas. Cakka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tenggelam dengan pikirannya sendiri.
"Ag!" panggil Cakka.
"Ya?" tanya Agni dari lantai atas.
"Menurutku, kamu udah cantik walaupun dalam kondisi kayak gitu" puji Cakka tulus, membuat wajah Agni memanas. Cakka menikmati tiap detik saat melihat wajah Agni yang manis memerah.
"A... aku ganti baju dulu ya" ucap Agni, mengakhiri detik-detik yang menyenangkan bagi Cakka dan canggung baginya. Ia pun masuk ke dalam kamar untuk berganti baju. Cakka terkekeh. Manisnya... batinnya, mengingat kembali wajah Agni yang menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia pun tersenyum, lalu memandang kaca yang tergantung di dinding.
"Makasih Shill, akhirnya gue bisa nyari pengganti lo. Makasih atas bantuannya" ucapnya tulus, membayangkan wajah Shilla yang tersenyum seperti biasa. Lalu matanya beralih ke Agni yang sudah berdandan rapi. Ia tersenyum dan mendekat.
"Mari kita pergi ke McD, Tuan Putri" ujarnya sembari membungkuk. Agni tersenyum geli.
"Baiklah, Pangeranku" ucapnya, meladeni permainan Cakka. Cakka tersenyum lalu berdiri tegak kembali.
"Ayo" ucapnya lalu menggandeng tangan Agni keluar. Mata Agni menyipit.
"Bawa mobil gak?" tanya Agni. Cakka menggeleng. Agni menatapnya.
"Terus kita ke sana naik apa? Motor?" tanya Agni. Cakka menggeleng.
"Bukan juga" ucapnya.
"Terus? Sepeda gitu? Gak lucu deh" komentar Agni. Cakka tertawa lalu menggeleng lagi.
"Jadi?" tanya Agni.
"Kita jalan kaki ya" ucap Cakka lalu keluar, menembus dinginnya angin malam. Lebih tepatnya angin pagi, mengingat jarum pendek jam tangan mereka sudah menunjuk angka 3. Agni tentu saja kaget. Ia juga kedinginan.
"Cak, dingin banget!" keluh Agni. Cakka tersenyum, lalu melingkarkan sebuah syal putih bermotif polkadot merah di leher Agni. Sangat cocok bila dipadukan dengan kaus putih yang sedang Agni pakai. Agni mendesah kaget.
"Masih kedinginan?" tanya Cakka, memasukkan tangannya ke kantung jeans yang ia pakai. Agni tersenyum.
"Enggak" ucap Agni jujur, karena walaupun angin dingin menerjang tubuhnya yang memakai kaus putih lengan pendek yang dipadukan dengan celana jeans selutut, tubuhnya sudah cukup hangat dengan kasih sayang yang Cakka berikan. Cakka tersenyum.
Dengan cahaya rembulan dan bintang-bintang menyinari jalan mereka, mereka berjalan dalam diam, membuat mereka merasa begitu tenang, begitu nyaman.
Karena kasih sayang mereka terpancar dengan genggaman tangan mereka, bukan dengan kata-kata.
+++
Hufftt, akhirnya selesai juga nih part 4. Lama ya? Tapi panjang kan? Ahahaha.
Sebenernya pengen dimasukkin adegan pas di McDnya, tapi yaa... kayaknya kepanjangan deh. lagian ntar lama-.-
Kira-kira udah mau mencapai ending nih, gimana dong? Apakah hubungan Agni dengan Cakka akan berjalan mulus layaknya sebuah mutiara yang tidak ada cacat sama sekali?
Atau mereka akan diuji dengan sebuah batu yang memisahkan mereka?
Silahkan lihat di part selanjutnya!!
khusus fb : inget yaa, note cuma bisa ditag 30 orang. MAKSIMAL. Jadi, ayo nge-like dan komen duluan!! Siapa tau dapet tag. AYOO!!
Sekian, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!!
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Any critics?
-penulis-
NEXT PART
Tidak ada komentar:
Posting Komentar