The sequel of One Dare, One Ex, and One Chat via BlackBerry Messenger.
+++
Aku kembali memikirkannya.
Ya, dia. Orang yang membuatku merasakan semua perasaan ini. Orang yang sedari dulu tidak pernah kusangka akan membuatku merasa seperti ini. Dia.
Mantanku.
***
Aku kembali mengingat peristiwa sehari setelah peristiwa memalukan itu dan tersenyum tipis. Entah aku harus merasa apa ketika mengingatnya. Peristiwa yang mengingatkanku akan peristiwa yang sangat menyakitkan. Sangat.
Bayangan diriku memasuki mobil sembari melepaskan tasku dan menaruhnya di sebelahku kembali terbayang di benakku. Aku masih ingat bagaimana telingaku sibuk mendengarkan sebuah lagu yang tengah diputarkan di radio. Aku mengenali lagu ini, walaupun otakku tidak mengetahui judulnya. Aku menikmati lagunya, mendengarkan liriknya dengan hati-hati. Yah, siapa tau saja lagu itu dapat menggambarkan perasaanku saat itu?
Saat itulah, aku mendengarnya. Satu kalimat yang sederhana, namun sangat pas untuk menggambarkan perasaanku.
“...dan kau pergi di saat ku yakini hatiku untukmu...”
Aku hanya tersenyum.
***
Aku tiba di sekolahku tercinta. Seiring aku berjalan, otakku sibuk merangkai kata-kata yang akan aku katakan pada teman-temanku. Terutama mereka yang memberiku dare. Aku menguatkan diri dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu berjalan mendekati temanku. Dan seketika itu juga, kata-kata yang telah kurangkai hilang. Aku hanya bercerita dengan bahasaku sendiri dan memakai kata-kata spontan, berdasarkan peristiwa yang diputar kembali di kepalaku. Aku merasa lega setelahnya. Lega sekali.
Teman-temanku yang lain datang. Seketika aku menanyakan dare mereka dan menceritakan tentang dare-ku sendiri. Bila dibandingkan, mereka juga mempunyai cerita yang sama menusuknya sepertiku. Tapi, seperti kalian tau, itu cerita lain.
Telingaku mendengar bel berbunyi, menandakan aku harus segera berbaris untuk melaksanakan lari pagi. Mengajak temanku, aku pun bangkit dan berjalan ke arah lapangan con block untuk berbaris. Seiring berjalan, aku mengobrol dengan teman-temanku. Seperti kebiasaan perempuan jika bertemu dengan teman-temannya, tentu saja.
“Iya kan? Sumpah, gue sekarang nyesel banget...” ucapku penuh rasa penyesalan, mengenang peristiwa-peristiwa yang seolah dihubungi oleh sebuah benang merah.
“Loh? Emangnya dia pernah nembak lo?” tanya salah seorang temanku. Aku mengangguk pelan.
“Dua kali” bisikku.
***
Pikiranku kembali menguasai tempatku berada. Aku bersandar, menutup mata. Mengapa aku begitu bodoh? Aku ditawarkan kesempatan itu dua kali. Dua kali. Dan aku menyia-nyiakannya.
Mungkin ini bukan sepenuhnya salahku. Maksudku, ketika aku ditawarkan kesempatan itu, aku kan melakukan hal yang benar. Aku tidak yakin aku menginginkannya. Lagipula, aku masih takut untuk mencoba berpacaran setelah apa yang telah kualami dengannya.
Tetapi, jika aku tau semuanya akan menjadi seperti ini, akankah kuubah keputusanku?
Love you forever
Aku terkejut. Sekilas, di benakku terbesit gambar diriku yang sedang memerhatikan layar handphone Nokia Express Music, handphone-ku ketika aku masih menduduki bangku SD. Dan kata-kata itu tertulis di sana. Love you forever. Mencintaimu selamanya. Dan bertambah satu lagi kata-kata darinya yang menusuk hatiku. Seakan kata-kata yang lain belum cukup untuk menyebabkan lubang penyesalan di dalam hatiku.
Aku memilih untuk membiarkan pikiranku melayang ke ingatan asam-manis saat aku masih bersamanya.
***
Aku masih ingat saat ia menembakku. Saat itu aku duduk di kursi panjang depan kantor kepala sekolahku. Karena aku dicomblangkan oleh temanku, acara penembakkan ini seperti sudah direncanakan. Kulihat mantanku dan seorang temannya duduk di depan pos satpam, tak jauh dari kursi tempatku duduk. Sedangkan aku duduk bersama teman-temanku.
“Van, katanya dia gak mau kalau di depan temen-temen lo” ucap temanku yang mencomblangkanku dengan mantanku itu. Aku terdiam. Apa aku bisa melakukannya sendirian?
“Ya udah, yuk. Good luck ya Van” ucap salah seorang temanku sambil bangkit berdiri.
“Good luck ya Van” ucap teman-temanku yang lain, mengikuti temanku itu. Aku hanya tersenyum, berusaha meredakan detak jantung yang berdetak cepat. Aku meliriknya. Ia bangkit berdiri, dan temannya mengucapkan good luck kepadanya. Lalu ia berjalan ke arahku.
Bahkan saat mengenangnya, jantungku masih berdetak kencang.
Ia menghampiriku, lalu mengucapkan sederet kata,
“Vanya... mau gak lo jadi pacar gue?” tanyanya. Aku hanya mengangguk malu, tak berani memandangnya.
“Iyaa...” ucapku malu-malu.
“Janji?” tanyanya, mengulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum dan mengaitkan jari kelingkingku.
“Iya” ucapku.
Itulah saat pertama aku berani menatapnya, di matanya.
***
Sejak saat itu, aku dan dia resmi berpacaran. Kami hanya aktif berkomunikasi lewat SMS saja. Aku dan dia berbeda kelas, membuat kami tidak terlalu sering bertemu. Tapi tetap saja, aku masih bertemu dengannya saat istirahat. Dan kami hanya dua kali berbicara langsung.
Aku masih ingat beberapa SMS yang kami lakukan. Salah satunya ketika aku mendengar bahwa ia mulai menyukaiku dari TKB. Percaya atau tidak, ketika kutanya dari kapan dia menyukaiku, ia menjawab TKB. Aku masih ragu karena jumlah mantannya yang banyak.
Tapi, yang paling menusuk adalah ketika kita selesai berSMS sesi itu. Ia menutupnya dengan kata-kata ‘Love you forever’. Karena tidak bisa menjawab apa-apa, aku hanya membalas dengan dua kata. ‘Me too’. Aku tau, aku berbohong kepadanya.
Aku merasakan perasaan bersalah yang menyusup, karena saat itu aku bisa dibilang tidak menyukainya. Aku menyukai orang lain. Kesalahan yang besar. Sangat.
***
Kamu tau, seseorang pernah berkata bahwa setiap kata yang kita ucapkan adalah janji. Yah, apakah 3 kata yang ia ketikkan itu dihitung? Karena aku sungguh ingin ia bersungguh-sungguh. Diriku di masa sekarang menyukainya, itu sebabnya...
Aku tau, aku memang egois. Mungkin aku telah sangat menyakiti perasaannya, dihitung dari apa yang telah kulakukan kepadanya. Aih, jika hal itu dilakukan kepadaku, aku akan sangat merasa sakit.
Mungkin ada baiknya aku menolak kesempatan untuk balikan dengannya. Ia telah menemukan kebahagiaannya sekarang, bersama orang lain. Yah, baru sebatas suka, namun tetap saja...
Aku bahkan tidak tau apakah aku menyukainya. Sebuah sisi dari dalam hatiku berkata bahwa aku tidak dan tidak ingin menyukainya, namun sisi lain tau aku menyukainya.
Inikah yang dinamakan cinta?
***
One has told me that chance comes once.
I don’t believe it.
As a proof, i have been offered one chance to be with him again twice.
But i blew it.
Now, when i’m asking about that chance,
It has been closed.
Remember, regret happens in the end.
Sometimes, you did the right thing, but you just have to regret it later.
Sometimes, you did the wrong thing, and you want to change your action.
But it was too late.
I don’t know what kind of regret i’m into, but i don’t want to feel it.
Learn from my experience.
Experience are the best teacher.
-Ravanya-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar