Aku memandangi layar Blackberrry-ku. HP hitam-abu-abu yang dilapisi oleh silicon putih itu hanya diam membisu, layarnya masih menyala, menampilkan history chat via BlackBerry Messenger yang baru saja kulakukan. Aku menghela nafas, menahan tangis tersembunyi yang ada di dalam hati. Dengan secercah harapan yang tidak akan mungkin terkabulkan, aku menggerakan trackball Javeline-ku ke atas. Berharap ada yang menyatakan sebaliknya dari kenyataan ini.
Ingatanku berbalik sampai waktu saat aku dan keempat temanku bermain D.o.D, sebuah twist dari permainan Truth or Dare. Permainan ini, seperti yang mungkin kau sudah tebak, bernama Dare or Dare. Namun, tidak seperti biasa, modus permainannya kami ubah. Bukan dengan memutar-mutar pensil atau sesuatu sampai menunjuk seseorang seperti biasa, melainkan seperti main permainan Pang-Ping-Pung-Peng-Pong. Tau kan, permainan yang dilakukan dengan bergantian menyebutkan satu dari kelima kata Pang-Ping-Pung-Peng-Pong secara berurutan itu? Namun, karena jumlah kita yang genap berlima, kita kurangi dengan hanya menyebutkan Pang-Ping-Pung saja. Tidak memakai Peng dan Pong. Maka permainan pun dimulai.
***
Bel berbunyi, menandakan bahwa istirahat sudah berakhir. Dengan itulah, permainan D.o.D kami berakhir. Yah, aku terpeleset dan harus melakukan dare, tentu saja. Aku harus menembak mantanku, mantan satu-satunya. Oh, setelah serangkaian kejadian yang telah terjadi. Lagipula, kami hanya pernah berpacaran selama 6 hari. Tidak sampai seminggu. Tapi… yah, aku harus menanggung resiko karena telah mengikuti permainan ini.
***
Aku melangkah keluar dari ruang matematika, merasa lega karena ulangan telah selesai. Di saat bersamaan, aku juga takut karena akan melakukan dare-ku. Apalagi karena bel pulang sekolah telah berbunyi dan waktuku untuk melakukannya semakin dekat. Aku semakin takut. Aku cukup yakin ia akan menerimaku, tapi di saat bersamaan aku juga memperkirakan kalau ia sudah mempunya pacar lain. Bagaimana kalau ia menolakku? Mau kubuang ke mana wajahku ini?
Ah ya, di saat itu, aku menyadari bahwa aku menyukainya. Lagi.
***
Aku memasuki rumahku tercinta, masih ketakutan karena aku tau, sebentar lagi aku akan melakukannya. Maka, aku pun mengulur waktu dengan makan dan menonton televisi terlebih dahulu.
Karena bosan, aku pun menyerah dan mengambil BlackBerry-ku. Ah ya, apa sudah kuberitahu bahwa aku dan mantanku itu berbeda sekolah? Dan aku tidak diperbolehkan membawa BlackBerry atau HP berfitur lainnnya ke sekolahku. Maka itu, aku hanya bisa menembaknya lewat BlackBerry Messenger. Di rumah.
Aku mengecek twitterku. Aku keasyikan bermain twitter, sampai-sampai aku lupa bahwa aku harus melakukan dare. Temanku—yang kebetulan kepeleset pada saat D.o.D dan dibebani oleh dare juga—menyatakan bahwa ia ditolak. Ya, ia juga dibebani dengan dare untuk menembak salah seorang dari teman SDnya yang membuatnya galau setengah mati. Namun, tentu saja, itu cerita lain.
Aku terkejut karena teringat oleh dare-ku. Maka, aku pun memberanikan diri dengan menyapa mantanku itu. Cukup dengan sepatah kata ‘hai’. Tidak ada jawaban. Maka, aku pun kembali tenggelam dalam zona twitter. Ya, aku memang menyukai bermain twitter.
Aku telah menunggu cukup lama, dan tidak ada jawaban dari mantanku itu. Bahkan sapaanku itu belum dibaca. Maka aku pun menulis penggalan namanya untuk memanggilnya. Masih tidak ada jawaban. Maka, ku-PING saja dia.
Aku masih belum mendapatkan jawaban, bahkan ketika aku selesai mandi dan shalat ashar. Dan ketika temanku yang lain menyelesaikan dare-nya. Namun, akhirnya, ia menjawabku. Dengan satu kata, ‘Apaan?’. Saat itu, aku cukup yakin aku lemas karena lega bercampur ketakutan. Yah, aku pernah me-mention dirinya, menanyakan apa yang terjadi dengan BlackBerry Messengernya. Yah, siapa tau saja kalau BBMnya tidak aktif? Ia menjawab dengan permintaan maaf dan mengatakan bahwa ia habis bermain game. Aha, aku memakluminya.
***
Mataku terhenti di jawabannya, bersamaan dengan terhentinya flashback di pikiranku. Aku masih menatapnya. Tulisan ‘Apaan?’ yang ia kirimkan. Aku tersenyum dan menggerakkan trackball-ku ke bawah. It’s time to see the other words in the chat, don’t you think?
***
Aku : Eungg… Agak gakpenting sih.
Aku : Lanjutlah. Gimana kabarnya?
Aku tersenyum. Betapa garingnya basa-basiku waktu itu.
Dia : Baik.
Senyumanku bertambah lebar. Ingin rasanya aku tertawa setelah mengingat betapa tidak puasnya aku dengan jawabannya. Aku pun memperpanjang basa-basiku.
Aku : Sekolah?
Dia : Tambah baik
Aku tersenyum kecil. Aku masih ingat dugaanku bahwa ia bahagia karena ada gadis yang disukainya di sekolahnya. Aku masih geli mengingatnya.
Aku : Ohya?
Aku : Haha
Dia : Yoi
Aku : Gue tebak gara-gara cewek?
Dia : Nggak
Aku : Kenapa?
Dia : gatau aja :p
Aku tertawa, merasa geli mengingat bagaimana leganya diriku saat membacanya. Kelegaan yang mungkin ia tidak tau.
Aku : -.-“ gue sih males banget sekolah. Sibuk. *oke gak ada yang nanya*
Dia : Hahahaha
Dan di sinilah dimana semuanya bertambah jelas.
Aku : Boleh nanya?
Dia : Nanya apaaa?
Aku : Udah punya cewek belom? Sori private.
Dia : Gpp..blomm
Aku : Oh.
Dia : Ok.
Aku masih ingat bagaimana paniknya aku saat aku harus mengatakannya, saat aku ingin menangis saking paniknya. Oke, gak-gitu-juga…
Aku : Eunngg… Lo mau gak jadi pacar gue?
Aku merasa lega telah menuliskannya, disusul oleh perasaan gugup yang menerjangku. Tentu saja dengan rasa malu yang menyusul.
Dia : Hahahahahahha
Dia : Ada apa lu?? Dulu bukan nya benci bgt??
Aku kaget. Apa itu yang dia kira?
Aku : Soriiii
Aku : Siapa bilang benci?
Aku sampai menggigit bibir membacanya.
Dia : Lu -_-
Dia : Bilang sm temen2x kalo lu benci bgt sm gua
Aku tersenyum pahit, masih ingat bagaimana aku kaget bercampur panik membacanya. Dan bagaimana aku mencari alas an dan berusaha untuk mengutarakan alasan yang sejujurnya. Merangkai kata-kata untuk itu. Hanya untuk itu.
Aku : Gue cumaaa yaaa lagi labil lah. Sori sori ehe. Soriii
Aku : Ohya?
Dia tidak tau bagaimana aku panik pada saat itu. Entah kenapa itu langsung terlintas di kepalaku saat membacanya.
Dia : Wkkwkw
Dia : Sampe marah bgt segitunya
Aku merasakan getir di dalam hati. Merasakan ada tangis yang ingin keluar. Ya, aku ingat bagaimana aku sangat marah kepadanya—tanpa sebab, hal ini harus kutekankan—pada saat kita putus dulu. Aku sangat, sangat menyesal. Yah, kau tau apa yang dibilang orang-orang. Penyesalan datang terlambat. Dalam kasusku, sangat.
Aku : Itu soalnya gue gaktau mesti gimanaa
Oh, betapa sangat ngelesnya aku saat itu. Yah, aku tau itu tidak sepenuhnya ngeles, tapi tetap saja…
Dia : Hahaha
Dia : Waktu telah berubah
Aku tersenyum getir. Lihat, bahkan setelah beberapa kali kubaca, 3 kata yang diucapkannya selalu menusuk hatiku. ‘Waktu telah berubah’.
Aku : Jadi gue ngaku2 aja kalau gue benci lo. Haha. Tapi gak nyampe bencii
Ahya, BlackBerry Messenger pasti telat mengirimnya. Biar sajalah.
Aku : Iya kali. Aha
Dia : Ohh
Dia : Sorry vann..gua suka sama org lain J
Aku berusaha tersenyum membacanya, walaupun aku tau perasaan kecewa teramat sangat melandaku. Amat, sangat besar.
Aku : Ohaha
Aku : Gak papa
Saat itu, kupikir itulah saat yang tepat untuk mengaku.
Aku : Sebenernya tadi cuma dare… No offence. Tapi jujur gue masih suka.
Oh, demi apapun, mengapa aku harus menuliskan kaliamt jujur di ekor pernyataan itu?! Saat itu, karena terlanjur menekan enter, aku pasti segera mengubah topik.
Aku : Ohya? Siapaa?
Dia : Sm anak 19
Dia : Okk no probb ;)
Aku : Ahaha
Aku : Tapi gue masih boleh temenan kan?
Ya, aku masih punya harapan terakhir. Harapan yang aku tau akan terkabulkan, walau masih ada secercah rasa sakit.
Dia : Ok
Aku mengernyitkan dahi. Apa maksudnya? Apakah ia menjawab pertanyaan terakhirku?
Aku : Oke deh, makasih. Wahaha
Aku : Gue kena dare 3 kali. Jadi kalau gue pasang brokenhearted di bio gue gak berarti apa2 yaaa-..-“ temen2 gue emang pada gila tuh.
Ya, aku memang terpeleset 3 kali. Pertama, aku harus menembaknya. Kedua, aku tidak diperbolehkan untuk memberitahu dirinya kalau ini hanyalah dare kecuali ditolak ataupun sudah putus setelah diterima. Ketiga, aku harus mengubah bioku dengan pilihan tanggal tembak dengan brokenhearted jika ditolak atau tangan tembak dan inisial pacar jika diterima.
Dia : Okk siip
Dan itulah. Selesailah chat kami hari itu. Chat yang mengungkapkan sejuta arti bagiku, walaupun aku tau ini semua tidak terlalu penting baginya. Aku tau.
Aku menghela nafas, bersandar di kursiku. Yah, untuk kedua kalinya, aku merasakan galau. Mau dikata apa? Mantanku ini memang membuatku merasakan banyak hal.
Aku tau, sudah ada gadis lain yang mengisi hatinya. Aku tau, untukku, perasaannya sudah tidak ada. Sudah terkikis. Yah, kenapa ketika aku menyukainya, ia malah menyukai orang lain? Yaya, aku tau jawabannya. Hidup memang tidak adil.
Itu saja. Sebuah chat via BlackBerry Messenger yang begitu berarti bagiku, sebuah dare yang awalnya menakutkan namun memberikan kejujuran dan kejelasan bagiku. Aku masih menyukainya, tentu saja, tapi aku akan menyimpannya dalam hati. Sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar