Pernahkah kau jatuh cinta kepada seorang pembunuh?
Bayangkan, kau jatuh cinta kepada seorang pembunuh kejam dan professional yang telah membunuh 100 orang berturut-turut. Terlebih, otak cerdasnya membuatnya bisa merancang trik-trik rumit yang membuat polisi terpaksa memutar otak berkali-kali untuk menyingkap semua misteri ini. Dan semua misteri itupun sama sekali belum terungkap.
Coba bayangkan dirimu adalah seorang pemuda berumur 17 tahun yang bekerja sebagai agen mata-mata professional yang diberi kepercayaan untuk menyelidiki dan menangkapnya, menangkap seorang gadis muda berumur 16 tahun yang sangat kau cintai.
Kau pun harus memilih antara cinta atau kedamaian negaramu, antara perasaanmu atau pekerjaanmu, antara melukai hatimu sendiri atau mengecewakan seluruh VEOMS, tempat kerjamu, dan antara dirinya atau rekan kerjamu.
Kau memilih untuk menyelesaikan misimu, dan kau pun menyakitinya. Membuatnya menangis, membuatnya menderita karena luka yang kau buat sangatlah dalam. Kau begitu tersiksa, tetapi kau harus ingat, dia adalah seroang pembunuh professional.
Karena tindakanmu itu kau tersiksa, perasaan yang kau simpan menjadi menyesakkan, tak kuat lagi melihat tangisnya, melihat penderitaannya, tetapi inilah kewajibanmu, membuatnya tersiksa.
Ketika kau bangun di pagi hari, kau berkali-kali meyakinkan dirimu bahwa itu semua hanyalah mimpi, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Bisakah kau menghadapi semuanya? Menghadapi semua ini, menghadapi masalah yang membuatmu hampir gila karenanya. Tak sabar untuk membuka lembar selanjutnya dari buku kehidupanku, ingin rasanya aku mengetahui apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah ini akan menjadi akhir yang membahagiakan atau menyedihkan?
Hidup adalah pilihan. Jika kita memilih satu tindakan yang salah, maka itu bisa berakibat fatal. Apakah pilihan-pilihan yang kita ambil ini benar atau salah, hanya Tuhan yang tau. Dan kita akan mengetahuinya di masa yang akan datang…
***
“Muhammad Arya Pratama” ucap sebuah suara yang berasal dari seorang pria bersetelan hitam. Seorang pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan jeans berdiri, merasa terpanggil. Dengan sigap ia pun berjalan menuju ruangan di hadapannya, lalu memasuki ruangan tersebut. Dua orang pria bersetelan hitam lain menutup pintu di belakangnya. Arya mengikuti pria yang memanggilnya dan menunduk dalam-dalam, memberi hormat kepada pria tersebut. Pria tersebut mengangguk, membuat Arya kembali berdiri tegak.
“Silahkan duduk” ucap pria tersebut sembari duduk di sebuah kursi hitam beludru di balik meja kantor yang lumayan besar. Arya mematuhinya dan duduk di sebuah kursi kecil di hadapan pria itu.
“Seperti yang kau ketahui, kita sedang menyelidiki tentang seorang pembunuh berantai berbahaya yang telah membunuh 100 korban dan lolos begitu saja,” ucap pria tersebut. Arya mengangguk dan menunggu pria tua bijaksana di hadapannya melanjutkan.
“Dan kami telah menemukan hasil” lanjut pria tersebut, membuat Arya mengangguk mengerti.
“Ternyata, ia adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang masih menduduki bangku SMA” kata pria tersebut, membuat mata Arya membelalak tak percaya. Pria tersebut mengangguk mantap, meyakinkan pemuda berwajah harajuku di hadapannya.
“Ya, fakta ini memang mengagetkan. Tetapi kita tidak boleh lengah. Kau sendiri, salah satu agen terbaik kami, berusia 17 tahun. Tidak jauh darinya. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk memasukkanmu ke dalam misi ini. Tugasmu adalah menyamar sebagai murid baru di Lunetta High School, pindahan dari SMA Kita Semua di Yogyakarta. Kau akan mendekati gadis ini dan mendapat kepercayaannya. Setelah itu, tunggulah perintah berikutnya” jelas pria tersebut. Arya mengangguk mengerti. Pria tersebut mengeluarkan sebuah berkas dan meletakkannya di hadapan Arya. Arya mengambilnya dan membukanya.
“Gadis itu bernama Kiana Rizkia Amrianti, seorang gadis sederhana yang hidup berdua dengan ibunya di rumah yang juga sederhana. Dikabarkan bahwa ia mempunyai saingan bernama Alina Riani Afifah. Mungkin juga saingannya itulah target berikutnya. Duduk di kelas XII IPA 4, kelas yang akan kau duduki. Ini denah sekolahnya”—pria itu meletakkan sebuah berkas lain di hadapan Arya—“beserta buku peraturan, daftar buku pelajaran dan daftar murid serta daftar staf dan guru. Seragamnya tidak dipastikan, pakai saja baju bebas. Kau juga akan dibantu oleh agen yang lebih senior, Alexandria Whitmore” ucap pria tersebut panjang lebar. Arya mengangguk tanda mengerti, matanya sibuk menelusuri berkas-berkas yang baru ia terima. Beberapa detik kemudian ia menutup berkas tersebut dan meletakkannya di meja.
“Alexandria Whitmore?” tanyanya. Pria di hadapannya mengangguk.
“Suruh dia masuk” perintah pria tersebut ke salah seorang pria bersetelan hitam yang menjaga pintu. Pria yang diperintahnya itu mengangguk penuh hormat dan membuka pintu, membiarkan seorang gadis berwajah khas barat masuk. Rambut pirang ikalnya berkibar seiring dia berjalan masuk dengan langkah lebar dan indah seperti seorang model bercatwalk ria. Ia mengenakan sebuah kaus putih polos yang dan celana jeans serta sepasang sepatu hak 9 cm berwarna hitam. Ia duduk di bangku sebelah Arya duduk dan tanpa melirik pria di hadapannya maupun Arya, ia mengambil berkas yang tersedia di hadapannya dan membacanya.
“Ada apa?” tanya Alexandria tanpa mengangkat wajah dari berkas yang sedang ia baca. Arya mengangkat alis memperhatikannya, merasa aneh dengan sikapnya yang tidak sopan. Pria di hadapannya malah duduk bersandar di kursinya sendiri.
“Pembunuh berantai yang sedang kita selidiki. Berkas yang sedang kau baca itulah pelakunya” ucap pria tersebut singkat.
“Tunggu. Dia kan baru berumur 16 tahun?” tanya Alexandria, alisnya berkerut. Mata biru cerahnya menatap pria di hadapannya. Yang ditatapnya menghela napas.
“Ya, tapi kita sama sekali tidak boleh lengah. Bahkan Arya, pria di sebelahmu, salah satu agen terbaik kami, berumur 17 tahun. Tidak jauh berbeda” jelasnya. Alexandria memperhatikan Arya selama beberapa detik, lalu kembali kepada pria di hadapannya.
“Dan apa yang kau ingin aku lakukan, Mr. Vyedo?” tanya Alexandria. Pria di hadapannya—yang ternyata bernama Oqxa Vyedo—mengangkat dagu.
“Saya ingin kau menyamar menjadi gadis SMA berumur 17 tahun, menemani Arya, dan mendekati pembunuh kita ini, mengorek sebanyak mungkin informasi tentang dirinya. Di tanganmu sudah ada data tentang SMA yang akan kau masuki. Kau akan berperan menjadi seorang murid pindahan dari Amerika, tepatnya kota Seattle, yang pindah kemari karena pekerjaan ayahmu. Dan jangan lupa, namamu adalah Stephanie Kings McLain, dan kau adalah Aditya Fauzy Nugraha” ucap Mr. Vyedo sembari menunjuk Alexandria dan Arya secara bergantian ketika menyebutkan nama samaran mereka masing-masing. Alexandria dan Arya mengangguk mantap lalu berdiri secara bersamaan. Dengan kedua berkas penting di tangan mereka, mereka menunduk secara bersamaan untuk memberi hormat. Mr. Vyedo mengangguk, dan Alexandria serta Arya berdiri tegak kembali.
“Silahkan bersiap-siap. Besok tugas kalian akan dimulai” ucap Mr. Vyedo. Alexandria dan Arya mengangguk serempak, lalu berjalan keluar ruangan.
***
Hari yang telah ditentukan tiba. Arya turun dari mobil Mercedez Benz hitam yang terparkir rapi di parkiran Lunetta High School. Dengan tas ransel tersampir di bahunya dan sebuah map serta beberapa buku di tangannya, ia berjalan memasuki gedung sekolah tersebut. Matanya terfokus pada kertas yang merupakan denah sekolah. Ia terus berjalan dan berbelok ke sana kemari, sekali-kali melirik ke orang-orang yang melewatinya. Ia terus melirik, sampai ia melirik seorang gadis yang memakai kaus oranye dan jeans yang langsung ia kenali sebagai targetnya. Kiana Rizkia Amrianti. Dengan cepat ia menunduk dan berpura-pura fokus pada buku peraturan sekolah di tangannya sementara ia berjalan ke arah targetnya. Ia menabraknya cukup kencang, membuat buku-buku di tangannya sendiri jatuh.
“Ma, maaf!” ucap Arya setelah ia menabrak targetnya, lalu menunduk untuk mengumpulkan buku-bukunya. Gadis itu hanya tersenyum ramah, mengira itu semua hanyalah ketidaksengajaan.
“Gak pa-pa. Sini gue bantu” tawar gadis itu ramah, ikut menunduk dan mengumpulkan buku-buku serta kertas-kertas Arya yang berserakan. Arya tersenyum tipis.
“Makasih” ucapnya saat targetnya memberikan beberapa buku dan kertas Arya. Gadis itu mengangguk, lalu tersenyum lagi.
“Omong-omong, kita belum kenalan. Lo anak baru, kan?” tanyanya. Arya mengangguk, lalu mengulurkan tangan.
“Aditya Fauzy Nugraha, panggil aja Adit” ucapnya, mengenalkan diri dengan nama barunya. Gadis itu tersenyum dan menjabat tangannya.
“Kiana Rizkia Amrianti, panggil aja Kian” ucap gadis itu ramah. Arya tersenyum tipis, lalu memasukkan tangannya ke dalam saku jeansnya.
“Lo kelas berapa?” tanya Kian sementara mereka berdua berjalan berdampingan.
“XII IPA 4” jawab Arya.
“Oya? Sekelas sama gue dong” ucap Kian. Arya mengangkat alis.
“Wow” katanya. Kian tertawa.
“Jadi… lo pindahan dari mana?” tanyanya.
“Yogyakarta” jawab Arya.
“Sekolah di mana?” tanya Kian.
“SMA Kita Semua” jawab Arya. Kian tertawa.
“Lucu banget namanya” komentarnya. Arya mengangkat bahu.
“Tau tuh. Kayak nama sekolah TK” timpal Arya. Kian tertawa kecil.
“Anak baru yang satu lagi juga satu sekolah sama lo?” tanya Kian. Arya mengernyitkan kening, pura-pura tidak tahu.
“Emangnya ada anak baru lain selain gue?” tanya Arya. Kian mengangkat bahu.
“Gak tau deh. Katanya sih gitu” ucap Kian. Arya mengangguk-angguk.
“Oya. Ini dia kelas kita tercinta” ucap Kian, berhenti di ambang pintu sebuah kelas. Arya mengintip ke dalam.
-Bersambung-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar