Senin, 30 Mei 2011

Perfect-Part 1

Gue masih inget semuanya. Dengan jelas. Senyum lo, tawa lo, wajah lo… juga saat pertama kali kita bertemu. Saat kita menjalani masa-masa indah itu. Dan saat semuanya berubah. Menjadi seperti sekarang. Menjadi hancur.

Oh ya, gue masih inget. Semuanya.

Karena itu… lo masih inget gue?

5 tahun itu waktu yang lama, Va.

***

Masih ingat pertama kali kita bertemu?

Saat itu gue masih menjadi gue yang dulu, yang judes dan gak berperasaan. Dan lo orang pertama yang bisa membuat gue ngerasa bersalah banget pas merintah orang lain. Sesuatu yang sebelumnya gak pernah gue rasain. Gue gak bakalan pernah lupa, Va. Karena itu yang bikin gue seperti sekarang ini. Orang yang peduli sama orang lain…

---
Minggu, 19 Desember 2011. 12:00 WIB
Magno Techno Mall, Jakarta, Indonesia.
Vaniella Devianna Putri Ramadhanty

Aku melambaikan tangan pada sahabatku.

“Daahh! Have fun ya sama cowok lo! Kapan-kapan kenalin!” seruku. Vanessa—sahabatku—tertawa dan mengangguk, lalu balas melambaikan tangan.

“Daaahh!!” serunya, lalu berlari menjauh. Menuju ke arah restoran tempat ia dan pacarnya akan bertemu. Aku tersenyum dan menyeruput iced chocolate-ku. Mengeluarkan Blackberry ku dari kantong, aku memainkannya dengan satu tangan sementara tangan yang lain sibuk menyeruput minumanku. Aku membuka aplikasi Twitter dan tersenyum geli melihat salah satu tweet temanku. Aku tertawa kecil. Tanpa melihat jalan, aku terus saja berjalan dan menghindari seseorang yang sedang melamun berjalan ke arahku. Tapi sungguh malang, ternyata saat aku menghindari orang tersebut aku menabrak seseorang yang juga melamun.

“Aduuhhh!!” keluhku spontan, melihat ke arah baju putihku yang penuh dengan tumpahan iced chocolate yang kuminum tadi. Orang yang kutabrak tersentak kaget. Aku memandangnya. Dia menatapku dingin. Dengan posenya yang sedang memasukkan tangan ke dalam kantung celana jeansnya ia jelas kelihatan keren, menonjolkan wajah tampannya.

“Lo siapa?” tanyanya tanpa basa-basi. Aku tersentak kaget, tak terbiasa dengan sikap dingin pria ini.

“Manusia” jawabku dengan sewot, melipat tanganku di depan dada. Ia mendecakkan lidah.

“Iya gue tau. Gue punya mata kok” ucapnya jengkel.

“Itu tau. Kok pake nanya segala?” balasku jengkel. Ia diam saja. Aku menoleh ke arah yang lain dengan kesal.

“Hei!” ucap seorang gadis sembari menepuk pundakku. Aku menoleh dengan spontan. Vanessa.

“Loh, Nessa? Kok lo di sini? Katanya nge-date bareng cowok lo?” tanyaku. Vanessa nyengir.

“Maaf kakak, gue berubah pikiran. Mending kita jalan aja berempat, gak enak gue ninggalin lo di sini sendirian” ucapnya. Aku menyipitkan mata.

“Berempat? Siapa aja?” tanyaku curiga. Cengiran yang ditunjukkan Vanessa melebar.

“Gue, elo, cowok gue, dan Rama” jawabnya. Aku mengerutkan kening, merasa tidak familiar dengan nama orang terakhir yang disebut oleh Vanessa tadi.

“Siapa Rama?” tanyaku. Vanessa tersenyum dan membuka mulut, hendak berbicara.

“Gue” ucap sebuah suara. Aku menengok. Pria yang kutabrak tadilah yang membuka suara. Aku menganga.

“Dia temennya Satria. Omong-omong baju lo kenapa?” tanya Vanessa. Aku terdiam sesaat.

“Ketumpahan” jawabku seadanya sembari mengangkat gelas plastik kosong yang tadinya berisi iced chocolate.

“Ya ampun Va… kok bisa?!” tanya Vanessa. Aku tersenyum, lalu menunjuk Rama.

“Ditabrak. Atau menabrak. Au ah” ucapku. Vanessa menatap Rama tajam.

“Heh elo! Kalau jalan tuh pake mata, dong! Liat tuh, sohib gue jadi ketumpahan iced chocolate! Lo tau kan, itu susah banget dicucinya?!” bentak Vanessa galak. Rama mengangkat alis.

“Gue gak bisa jalan pake mata. Bisanya pake kaki” sahut Rama, yang membuat sahabatku gondok setengah mati. Aku tertawa.

“Ya maksud gue bukan nyuruh elo jalan pake mata beneran, tapi maksud gue kalau lagi jalan matanya dipake, liat-liat, kalau enggak kan elo nabrak orang kayak gini” jelas Vanessa. Aku tertawa semakin keras mendengarnya ngeles.

“Nessa, udahlah… kan bukan dia yang salah. Aku yang salah, enggak liat-liat. Sibuk ama BB” ucapku lembut setelah sesi tertawaku selesai. Vanessa mendengus.

“Tapi kan baju lo ketumpahan. Kalaupun gue jadi orang yang lo tabrak, setidaknya gue bakalan minta maaf dan ganti rugi. Kan yang lo tabrak cowok, dan cowok itu mestinya jadi gentle” sindir Vanessa, melirik ke arah Rama. Rama mengangkat bahu.

“Sori” ucapnya singkat, membuat Vanessa mengepalkan tangannya dan menahan diri sekuat tenaga agar tidak meninju Rama. Aku tertawa dan menenangkannya.

“Udahlah Ness, kamu pergi aja dulu. Kasian tuh cowok kamu, nungguin kamu” ucapku, memberikan nasehat. Vanessa mendengus.

“Ya udah, ayo. Tapi gue gak mau tau, pokoknya lo sebagai cowok mesti tanggung jawab! Jadi cowok tuh mesti gentle!” bentak Vanessa kepada Rama.

“Yuk” ucapnya sembari menarik tanganku. Aku hanya mengikutinya dengan malas.

“Lo gak ikut?” tanyaku ke arah Rama. Ia terdiam sebentar, lalu mengikutiku. Perhatianku pun teralih kepada Vanessa.

***

Tibalah kita berempat di sebuah bioskop. Aku dan Rama hanya bisa berdiri menunggu kedua pasangan mesra yang sedang bermain ini. Aku menghela napas, iri.

“Hei” panggil Rama. Aku menoleh.

“Eunngg… kita belum kenalan” ucapnya. Aku tersenyum.

“Vaniella. Panggil aja Va atau Vani” ucapku, mengulurkan tangan. Rama menjabatnya.

“Rama. Rama Adnan… ehm. Rama Adnan” ucapnya. Aku mengangkat alis, merasakan ada yang janggal. Bukannya bertanya, aku hanya tersenyum dan menarik tanganku. Rama melakukan hal yang sama.

“Sori ya” ucap Rama. Aku mengangguk.

“Lo udah bilang. Lagian itu kan bukan murni kesalahan lo, gue juga jalan sambil BBMan” ucapku sembari tersenyum.

“Tapi guenya juga lagi bengong, jadi gue mesti tanggung jawab” ucap Rama keras kepala. Aku menggeleng.

“Gak usah” tegasku.

“Harus. Gue beliin jaket ya?” tawar Rama. Aku menggeleng cepat.

“Gak usah, gue bisa beli sendiri. Serius” tanggapku. Rama menggeleng lalu menarik tanganku menuju sebuah toko baju terkenal.

“Au, sakit…” rintihku berkali-kali, berusaha melepaskan tangan Rama yang melilit tanganku dengan erat.

“Gak mau tau. Pilih aja satu jaket, terus gue yang bayar. Jangan nolak deh” paksa Rama tanpa memedulikan rintihanku. Aku menghela nafas, lalu mengangguk.

“Ya udah. Satu jaket aja ya” ucapku pelan, disambut dengan anggukan Rama. Merasa tak perlu menarikku lagi, Rama pun melepaskan genggamannya.

“Ini toko punya gue. Sana pilih jaket” perintah Rama. Aku mendesah.

“Gak usah bossy gitu bisa kali ya…” gumamnya, melirik Rama sebentar, lalu berjalan masuk dan mulai memilih jaket. Rama memandangku, terperangah. Kurasa mimik mukanya seperti itu.

***

Dengan ragu-ragu Rama menghampiriku yang sedang serius memilih jaket.

“Hai” ucapku tanpa menoleh.

“Hai” ucap Rama canggung. Hening beberapa saat. Hanya ada suara hentakan gantungan baju yang berkali-kali dipindahkan olehku.

“Udah ketemu jaketnya?” tanya Rama saat aku mengangkat 2 jaket untuk dibandingkan. Aku menggeleng.

“Menurut lo bagusan yang mana?” tanyaku. Rama memiringkan kepalanya. Dan mencermati kedua jaket berwarna hitam itu.

“Yang polos aja. Menurut gue sih lebih keren, lebih simple” komentar Rama. Aku mengangguk dan mencermati kedua jaket itu.

“Apa gue ambil yang ini aja ya?” tanyaku, mengangkat jaket hitam bercorak ribuan mickey mouse kecil. Rama mengangkat bahu.

“Tau deh, gue gak ngerti fashion” ucapnya. Aku nyengir.

“Sama, dong” ucapku. Ia mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum miring.

“Gue ambil yang ini deh” ucapku, mengembalikan jaket hitam polos dan membawa jaket mickey mouse itu. Aku memperhatikan sebuah sweater hitam rajut polos yang selalu kilirik setiap 20 detik saat aku memasuki toko ini. Tapi bukannya mengambilnya, aku hanya melewatinya dan menuju kasir, diikuti oleh Rama.

***

“Hei! Lama banget lu berdua. Dari mana aja?” tanya Vanessa. Aku nyengir.

“Sori. Tadi gue abis beli jaket. Ya gak Ram?” tanyaku. Mengedikkan dagu ke arah Rama. Rama mengangguk.

“Oh ya?” tanya Satria yang baru buka suara. Aku mengangguk, lalu tersenyum.

“Bagus gak?” tanyaku, menunjukkan jaket hoody mickey mouse baruku. Vanessa tersenyum.

“Keren” komentarnya singkat.

“Hehe. Jadi, udah dapet tiketnya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Vanessa mengangguk.

“Yup. 4 tiket, jam 14:45” jawab Vanessa. Aku mengangguk tanda mengerti.

“Baru jam 12. Makan dulu yuk!” ajakku.

-Bersambung-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar