Rabu, 21 September 2011

Aku, Atau Kamu?

Aku tau, aku jahat.

Saat aku berdiri di depanmu dengan sebelah tanganku terangkat, meminta 'bagian' dari hasil taruhanmu.

Benarkah?

Aku hanya meminta 'bagianku', karena kau telah membuat taruhan bersama teman-temanmu tentang kita. Tentang hubungan ini.

Kau pikir aku tidak tau?

Aku tidak bodoh, tau. Aku tidak tuli. Aku dapat mendengar percakapan kalian ketika kalian membuat taruhan itu. 100.000 rupiah bila kamu bisa jadian denganku selama sebulan. Ingin rasanya kubuka pintu kayu itu dan kutampar kalian satu-satu. Tetapi kutahan, karena aku punya rencana lebih baik. Rencana yang sekarang terbukti membuat dirimu gondok setengah mati.

Aku berpura-pura jatuh ke dalam perangkapmu. Aku berpura-pura tidak mengetahui apa pun. Aku berpura-pura ingin menjadi pacarmu. Aku memang pintar berpura-pura, kau tahu?

Dan sekarang, setelah kau menerima uang hasil taruhanmu, disinilah kita berada. Di ruangan bercat hijau toska ini, tempat kita berdua berhadapan. Aku meminta 'bagianku'. Yah, aku juga harus mendapat bagian, karena akulah yang membantumu mendapatkan uang 100.000 rupiah itu. Jadi, cepat serahkan uang biru bernominal 50.000 itu kepadaku dan kita selesai sampai di sini. Anggap saja ini tidak pernah terjadi...

Aku jahat? Licik?

Menurutku tidak begitu. Aku hanya meminta bagianku, dan menurutku itu adil karena akulah objek taruhannya. Akulah yang membantumu mendapatkan uang itu. Berapa kali harus kujelaskan?

Asal kau tau, aku tidak selicik dirimu dan teman-temanmu yang begitu mudahnya menjadikan seseorang sebagai objek taruhan. Aku ini perempuan, makhluk hidup. Kita sederajat. Perlakukanlah aku seperti perempuan, bukan benda yang bisa dijadikan objek taruhan seperti itu. Kau kejam. Dan bukan hanya dirimu seorang, teman-temanmu juga.

Asal kau tau, setelah aku mendengar rencana taruhan kalian aku menangis. Dan setiap malam dalam bulan Juli, bulan saat kita jadian, aku menangis. Menangis karena aku tau itu semua bohong. Fana. Kamu jahat. Licik.

Aku adalah gadis pengkhayal, dan aku selalu mengkhayal. Aku berkhayal saat kita akan jadian suatu saat nanti ketika aku masih berstatus fans dan kau adalah idolaku. Aku berkhayal hubungan kita pasti indah seperti yang terukir dalam kata-kata di dalam novel roman atau adegan film romantis. Aku berkhayal hubungan kita akan bertahan lama, lebih dari sebulan.

Seperti kata orang-orang, bermimpi terlalu tinggi membuatmu jatuh ketika dihadapkan dengan kenyataan.

Aku gembira sekali ketika bertemu denganmu, bahkan berbicara denganmu. Kau tau seberapa bahagianya aku waktu itu? Aku bahagia sekali. Apalagi ketika kau mendekatiku dan kita mulai berteman. Kau tau apa perasaanku? Bahagia. Bahagia karena aku memang mengidolakanmu dari dulu.

Bisa kau bayangkan betapa hancurnya perasaanku ketika mendengar percakapan kecilmu dengan teman-temanmu waktu itu? Sakit. Sangat. Aku ingat dengan jelas ketika pandanganku mulai kabur karena mataku berkaca-kaca. Aku ingat ketika aku berlari ke toilet wanita dan menangis sesegukkan. Aku ingat ketika tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya aku. Sendiri.

Aku juga ingat ketika aku terbaring di tempat tidurku, tersenyum pahit mengingat akting busukmu siang hari ketika kau merangkulku dan bersikap sok romantis di depanku serta teman-temanku. Aku nyaris percaya akan hal itu kalau saja aku tidak tau yang sebenarnya. Kau membuatku menangis lagi. Seperti halnya diriku, kau juga pintar berpura-pura.

Seingatku, kau juga mengucapkan janji-janji palsu yang menimbulkan percikan-percikan harapan yang terpaksa kukubur kembali. Kau berkata bahwa kau akan mencintaiku selamanya. Selalu. Apa kau tau bahwa aku hanya tersenyum kecil mendengarnya? Itu karena aku tau kau berbohong. Kau memerhatikan? Ah ya, untuk apa kau memerhatikanku? Kau kan tidak peduli akan diriku dan tidak akan pernah peduli. Untuk apa? Aku hanya salah satu objek taruhanmu, kan?

Dan kau tau apa kesalahan terbesarmu, yang membuatku membencimu? Apa yang paling kubenci dari dirimu? Kau membuatku menyayangimu.

Apa?

Ya. Aku menyayangimu. Itu sebabnya aku menangis setiap malam. Aku menyayangimu. Sangat.

Jadi, biarkan aku bertanya satu hal:

Yang jahat dan licik itu sebenarnya aku, atau kamu?

-Fin-

Minggu, 21 Agustus 2011

A Finger On A Lips

Orang Keren baliikk!! oke, dengan judul super ngawur. Maksud gue, MAKSUDNYA APAAN??!! Gue juga bingung. Baca aja deh. Hehe.

Gue bikin label baru, diantara label gue yang super banyak itu. Iya, gue emang kreatif. Namanya Berbagi Pendapat. Nah, ini posting pertama yang pake label itu. Jadi semuanya udah pada tau kan gue pengen berbagi pendapat gue? Nah, tema hari ini ya itu. A Finger On A Lips.

Mungkin semuanya pada bingung, ARTINYA APAAN?! Well, salah satu problema menulis gue adalah nyari judul. Makanya gue kalau nyari judul itu ajib-ajib. Kayak karya pertama gue, 'Karena Satu Kata 'CINTA''. MAKSUDNYA APAA??!! Gue juga frustasi sendiri kenapa gue nulis pake judul begituan. Selain gak jelas, itu judul ngingetin gue sama lagu D'Bagindaz. Bertahan satu ciinnnta, bertahan satu C. I. N. T. A~ *PRAAANNGG kaca pecah*. Loh kok jadi nyanyi? Back to the topic.

Kembali ke jalan yang benar, gue kasih judul secara ngasal. Tapi masih nyambung kok ke topik. Jadi gini, gue itu kan suka banget baca buku, dan gue itu suka baca cerbung-cerbung fanfict di blog, website, atau fb. Nah, gue itu agak bingung kenapa pada suka ngasih adegan 'sang cowok mutusin ucapan cewek dengan menaruh telunjuknya di bibir sang cewek sambil ngomong "Ssstt"'. Yah, gue emang suka sama cerita romance, jadi hal ginian tuh gak asing lagi. Yegak, sesama pecinta cerita bergenre romance yang lagi baca ini?

Kenapa gue bingung? Well, seperti kata pak Armat (guru bahasa Indonesia gue), itu enggak logis. Tidak logis, saudara-saudara. Ya coba deh pikir, pernah gitu ada cewek lagi nyerocos abis itu cowoknya bosen abis itu di "Ssstt"-in sambil naro telunjuk di bibir sang cewek? Gue sih pernahnya ngeliat cowok bilang "Ssstt" sambil naro telunjuk di bibirnya sendiri, isyarat gitu. Kalau enggak diem ya tinggal, atau teriak diem gitu. Bekep sekalian. Tapi ini? Kenapa mesti naro telunjuk di bibir ceweknya gitu? kan enggak logis. Selain jijik, ceweknya pasti ilfeel. lagi pula, kan susah naro telunjuk di bibir orang dengan lembut. Salah-salah ntar bibir si cewek berdarah. Loh? Gue mulai berpikir enggak logis juga.

Seringkali, gue itu tuh agak-agak ilfeel kalau adegan itu udah mulai. Jadi gue lagi mantengin cerpen yang super keren gitu, abis itu adegan itu muncul. Gue langsung ilfeel. Gue tetep nerusin baca, tapi masih agak-agak ilfeel gitu. Gue cuma bisa geleng-geleng kepala deh, angkat tangan kalau gitu. Sumfeh, gak logis!

Oke, gue udah males nulis. Jadi gue ending-in aja deh. Bukan maksud menyinggung ya kawan-kawan, nyindir juga enggak. Seperti kata label gue, hanya berbagi pendapat. Kan pendapat orang beda-beda... lagian ini blog juga sepi. Gak ada yang baca, kan? Hehe. Seneng, enggak bakal dibenci. Muehehehe...

Sekali lagi, PEACE!! DAMAI!!

-penulis-

Senin, 01 Agustus 2011

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Special Part : Surat Balasan Agni

LAST PART


Gadis yang memakai baju hitam itu berjalan perlahan, menyusuri makam demi makam sampai ia menemukan satu batu nisan yang sedari tadi ia cari : sebuah batu yang bertuliskan nama Alvin Jonathan Sindhunata. Ia tersenyum, lalu menghampiri batu tersebut dan duduk di dekat makam orang yang pernah dicintainya itu. Ia tersenyum.

“Halo Vin... lama gak ketemu ya? Maaf ya baru jenguk, abisan gue diopname 3 minggu gara-gara ketabrak. Eits, jangan kaget... gue ketabrak abis menemukan lo. Gue ketabrak di depan rumah gara-gara ngeyel sama si Cakka, dibilangin jangan keluar guenya malah lari keluar, pengen ketemu lo. Alhasil ketabrak deh.” ucap gadis itu, bersikap seolah yang beristirahat di bawah sana bisa mendengarnya seperti biasa. Gadis itu—Agni—tersenyum.

“Sebenernya sih gue masih ada jadwal kuliah, gue mampir ke sini cuma buat ngasih ini”—diacungkannya sebuah amplop putih tanpa noda kecuali beberapa kalimat—“ini surat balesan gue. Lo mau kan denger balesan gue? Gak papa kan kalau gue bacain?” tanyanya. Hening beberapa saat. Agni pun mulai membuka amplop bertuliskan alamat Alvin itu, membukanya, lalu membaca kata per kata dengan keras.


Alvin,

Sebenernya bisa dibilang kalau gue seneng lo cemburu. Kenapa? Karena mungkin itu tujuan gue tunangan ama Cakka. Iya, gue kejam banget. Tapi semua itu agak-agak impas juga sama perbuatannya yang ngelamar gue cuma gara-gara amanatnya Shilla. Tapi gue jadi merasa bersalah banget karena ternyata dia sayang sama gue. Tragis ya?

Sakit kanker? Udah gue duga ada yang lo sembunyiin dari gue. Tapi gue gak nyangka sesuatu itu ternyata hal yang sinetron banget, sakit. Kanker lagi. Pasaran banget. Sakit kelainan genetik gitu kek, kan keren. Oke gue minta ditampar.

Kalau soal lo yang ragu apakah Cakka cowok yang pas sama gue, dia emang pas kok. Lo berdua pas. Tapi lo berdua beda. Itu aja.

Dan berhubung lo nanya di lagi Like We Used To-A Rocket To The Moon, gue bakal jawab. Biar lo percaya kalau Cakka itu cowok yang pas buat gue.

Does he watch your favorite movies?
Apa dia nonton semua film-film favorit lo, kayak gue?

Gak semuanya. Bisa dibilang kami punya beberapa persamaan dan perbedaan. Dia nonton film-film favorit gue yang kebetulan dia suka, tapi kalau dia enggak suka dia gak nonton. Dan gue juga gak maksa, gue tau dia gak suka.

______________________________________


Does he hold you when you cry?
Apa waktu lo nangis, dia meluk lo, nenangin lo, dan selalu bisa menghentikan aliran ait mata yang menitik dari kedua bola mata indah itu?

Lo tau? Gue jadi agak GR pas lo bilang kedua bola mata indah itu. Makasih pujiannya.

Pas gue nangis, dia gak pernah meluk gue atau nenangin gue. Dia bakal ngelus puncak kepala gue, terus ninggalin gue sendiri sampe gue tenang. Walaupun aneh, tapi gue ngerasa lega. Lega karena gue bisa nangis sendirian. Walaupun kadang-kadang gue juga butuh pelukan dan kata-kata penyemangat, tapi digituin juga bikin lega...

_______________________________________


Does he let you tell him all your favorite parts?
When you've seen it a million times

Apa dia selalu membiarkan kau mengatakan adegan-adegan favoritmu, seperti yang selalu kulakukan, selama kamu menyaksikannya jutaan kali, mengartikan aku juga mendengarkannya jutaan kali?

SELALU. Ia malah menimpalinya. Kadang-kadang kita ngobrol dan bercanda ria, kadang-kadang kita berargumen sampai berantem, kadang-kadang kita malah terlalu seru membicarakannya sampai-sampai batal jalan berdua dan memilih untuk nonton film di rumah sambil makan pizza. Good times.

________________________________________


Does he sing to all your music
Apa dia menyanyikan semua lagumu

Tidak semua lagu. Ia hanya menyanyikan lagu-lagu yang sesuai dengan perasaannya atau saat gue memaksanya untuk menyanyikan lagu yang gue suka. Hehe.

_______________________________________


Does he do all these things
Like I used to?

Apakah ia melakukan semua ini seperti yang biasa aku lakukan dulu?

Tidak. Dia beda banget sama lo, karena itulah gue sayang sama dia. Karena ia... unik. Seperti lo.

_______________________________________


I know, love
(Well, I'm a sucker for that feeling)

Gue tau, Cinta… (ya, gue emang payah dalam hal itu)

Gue tau. Karena gue juga payah.

_______________________________________


Happens all the time, love
(I always end up feeling cheated)

Terjadi setiap saat, Ag… (gue selalu ngerasa gue dicurangin? Enggak tuh. Gue selalu merasa bersalah, bersalah karena gak bisa jujur, bersalah karena gak percaya sama lo. Maaf banget)

Gue maafin kok.

_______________________________________


You're on my mind, love
(Oh sorta let her when I need it)
That happens all the time, love, yeah

Lo ada di pikiran gue, itu terjadi setiap saat Ag…

Itu juga terjadi sama gue.

_______________________________________


Will he love you like I loved you?
Apa dia bakalan mencintai lo seperti gue cinta lo kayak dulu?
Will he tell you everyday?
Apa ia akan menyatakannya setiap hari?
Will he make you feel like you're invincible
With every word he'll say?
Apa ia akan membuat lo merasa seakan-akan lo menghilang dengan setiap kata yang ia akan katakan?

Seperti yang udah gue bilang, kalian itu beda. Gue tau dia bakalan cinta sama gue, tapi kalau soal perbandingan gue gak tau. Karena jujur, gue gak tau seberapa dalam perasaan lo berdua. Dia orangnya juga tertutup. Karena itulah dia menyatakannya, tapi bukan dalam kata-kata. Dia selalu menyatakannya dengan bunga, cokelat, pelukan, genggaman, matanya... dan itu indah. Seindah lo yang dulu selalu mengatakan itu ke gue.

Dan untuk pertanyaan terakhir, jujur gue gak tau.

_______________________________________


Can you promise me if this was right?
Bisa gak lo janji ke gue kalau ini semua bener?
Don't throw it all away
Jangan buang itu semua

Gue bisa janji. Gue tau dia pria yang pas kok. Tapi... gue rasa hati gue gak siap dan gak memihak.

_______________________________________


Can you do all these things?
Bisa gak lo ngelakuin ini semua?
Will you do all these things
Akan ada gak sih di masa depan sosok lo yang ngelakuin ini semua?
Like we used to?
Kayak kita dulu?
Oh, like we used to
Ya. Kayak kita dulu.

Sejujurnya, gue gak tau.

_______________________________________


Gue sekarang udah lebih tenang kok. Dan gue bisa ngadepin kenyataan kalau lo udah pergi ke tempat yang lebih baik. Semoga lo bahagia di sana Vin.

Oya, gue juga kayaknya udah nemuin pengganti lo... gak papa kan? Maaf kalau enggak.

Gue baru sadar, lama-lama gue jadi sayang juga sama Cakka. Emang sih, kita baru sahabatan, cuma... gak salah kan berharap?

Terima kasih buat semuanya Vin. Buat kasih sayang lo dulu, buat bantuan lo dulu, buat semuanya. Maaf kalau gue gak bisa ngebales itu semuanya...


Sincerely,


Agni.


***


“Agni!” panggil seorang pria dari balik pohon tak jauh dari sana. Spontan Agni menengok, lalu tersenyum.

“Kenapa?” tanyanya.

“Udah belom?” tanya pria tersebut sembari berjalan mendekat. Agni tersenyum, memandang nisan, lalu mengangguk. Ia segera memasukkan kertas ke amplop, lalu menaruhnya di vas batu depan nisan. Ia lalu berdiri dan menggandeng tangan pria yang terulur padanya.

“Yuk Cak” ajak Agni. Cakka tersenyum. Mereka pun pergi.


+++


YEAAHHH HUTANG STA SAYA SELESAAII!! *joget-joget*pendek ya? maaf yaa... abisan saya gak tau mesti ditambahin apa lagi... he-eh.

makasih yaa buat kalian yang udah ngikutin STA dari awal sampe akhir... makasih banget, hehehe... apalagi yang udah mau berbaik hati untuk meluangkan waktu dan komen di cerita ini. juga di like. makasih banget...maaf yaa yang gak ketag, tag terbatas soalnya... peace...

any critics?

-penulis-

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Last Part

PREVIOUS PART


3 bulan telah berlalu. Agni dan tunangannya, Cakka, sekarang mulai berpikir tentang tanggal pernikahan mereka, mengingat hubungan mereka yang berjalan dengan sangat harmonis. Mendengar pernyataan anaknya, orang tua Cakka langsung terpekik senang dan langsung membicarakan tempat, tanggal, gaun, catering, bunga, dan lain-lain. Yang tentu saja didengar Agni dengan enggan. Entah kenapa, ia merasakan sebersit ragu di dalam hatinya, seolah... ini bukan yang ia mau. Entahlah, ia merasa ada sesuatu yang tidak tepat. Tapi, bukankah ini yang selalu diimpikannya? Menikah dengan orang yang mencintai dan dicintai dirinya?

Agni terkejut dengan pikirannya yang ia kira akan menenangkan hatinya. Impiannya, impian yang waktu itu, jauh sebelum ia bertunangan—bahkan bertemu—dengan Cakka atau dengan kata lain ketika ia masih menjadi kekasih Alvin. Terbesit kenangan-kenangan indah antara dirinya dan Alvin, apalagi saat ia dan Alvin merencanakan hidupnya, yang—seperti setiap orang bilang—hanya berupa angan yang tidak akan terjadi. Hanya sebatas impian klasik tiap pasangan—menikah, mempunyai dua anak yang lucu, tinggal di rumah mewah, hidup dalam keromantisan abadi di setiap harinya, akan terus begitu sampai mereka lanjut usia, dan seterusnya.

Melihat Agni yang melamun, seseorang mencolek Agni dengan maksud untuk menyadarkannya. Agni yang merasakannya langsung terkejut dan spontan menoleh ke samping kanannya, arah tempat ia merasa bahunya disentuh. Arah tempat ia melihat... Cakka.

“Jangan melamun” ucap Cakka setelah yakin Agni sudah sepenuhnya sadar dari lamunannya itu. Agni tersenyum tipis mendengar nasihat Cakka. Selalu begini.

“Iya” tanggapnya singkat, lalu menatap lurus ke depan, jauh menembus kaca mobil jazz milik Cakka yang tengah terparkir di depan rumahnya ini. Cakka mendesah. Selalu begini. Tidak bisakah ia, setidaknya, diperhatikan oleh Agni? Dari tadi Agni menjadi seperti ini. Melamun. Sejak mereka kembali dari rumah orang tua Cakka, tempat mereka merencanakan pernikahan mereka.

Tunggu. Pernikahan? Inikah yang Agni cemaskan?

“Kalau kamu belum siap nikah juga gak papa kok” ucap Cakka tiba-tiba, menyuarakan pikirannya.

“Eh?” ucap Agni spontan. Cakka tersenyum ke arahnya.

“Kita kan baru kenalan 3 bulan, masa’ udah mau nikah gini sih? Udah, gak apa-apa kok. Kalau kamu emang belum siap ya aku gak mau maksa. Kamu gak usah paksain diri kamu sendiri Ag, aku ngerti kok” jelas Cakka. Agni yang semula memandang bingung ke arahnya kini tengah memandang lurus ke depan, lagi.

“Aku juga gak tau Cak. Aku pengen, tapi... ngerasa aneh aja. Kayak ada yang janggal” ucap Agni jujur, membuat Cakka mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Agni yang melihatnya melalui ujung matanya mendesah, lalu menjelaskan. Yah, bagaimana pun Cakka juga harus tau, kan?

“Ini impian aku Cak, dari dulu. Menikah dengan orang yang aku cintai dan mencintaiku sepenuh hati, punya anak, tinggal serumah...” Agni menahan kata-katanya dan memejamkan mata, membiarkan kenangan indah melintas di kepalanya. Cakka menunggu, seperti biasa ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Agni lalu menghela nafas.

“Tapi... itu... itu...” Agni tercekat, tak mampu meneruskan kata-katanya. Cakka—yang sedari tadi menumpu dagu dengan tangannya—menunjukkan wajah muram dan melanjutkan kata-kata Agni.

“Impianmu bersama Alvin?” tebak Cakka. Agni yang terkejut mengangkat wajah dan menatap wajah Cakka dengan kaget. Tunangannya hanya menatap ke depan. Reaksi Agni sudah cukup menunjukkan bahwa tebakan konyolnya—yang diyakininya sebagai hal terakhir yang ia inginkan di muka bumi ini—benar. Agni pun menunduk, pipinya merona. Lalu ia pun menghela nafas dan kembali memandang lurus ke depan.

“Maaf,” ucapnya singkat, tak tau apa lagi yang harus diucapkan. Cakka hanya dapat mengangguk pelan sebanyak dua kali.

“Sudahlah, kita undur saja pernikahannya” ucap Cakka cepat. Agni hanya menunduk, tidak berani mengiyakan tetapi tak mau menolak.

Hening beberapa saat.

Cakka yang bosan pun mengambil kertas, lalu menuliskan beberapa huruf di dalamnya dan memberikannya ke Agni.

“Apaan nih?” tanya Agni sembari menerima sebuah kertas yang dilipat dua oleh Cakka.

“Baca aja” ucap Cakka dengan gaya cueknya. Agni pun membuka lipatan itu, lalu melemparkan mimik bingung ke arah Cakka.

“Maksud kamu apaan nulis rumus kalor? Pelajaran kelas 7 lagi” tanyanya, menunjukkan kertas itu.

Q = m. c. 4t

Cakka tersenyum.

“Tau gak gimana aku ngingetnya?” tanya Cakka. Agni hanya menggeleng. Cakka meraih kertas tersebut, lalu mencatat beberapa huruf lagi di dalamnya.

“Guruku yang ngajarin” ucap Cakka sembari mencatat. Agni hanya menunggu. Sekali-sekali ia mengintip, tapi tidak kelihatan. Akhirnya ia hanya pasrah dan menunggu.

“Nih” ucap Cakka beberapa menit kemudian sembari menyerahkan kertas yang telah dilipat dua itu kepada Agni. Agni mengerutkan kening, lalu membuka lipatan tersebut. Setelah membaca sebentar, ia terdiam. Membuat Cakka menggigit bibir karena takut jika ada yang salah. Agni menatap Cakka, menatap kertas itu, menatap Cakka kembali, dan...

Tawanya meledak.

Cakka menghela nafas lega. Ia sudah ketakutan tadi, tapi tampaknya tidak terjadi apa-apa. Ia melirik Agni yang sedang meredakan tawa dan mengusap air mata di ujunng matanya, lalu mencubit pipinya.

“Kamu ini, bikin aku senam jantung aja” komentar Cakka gemas. Agni tertawa geli.

“Habisnya lucu sih... kamu bisa ngegombal juga ternyata. Hahaha” ucapnya. Cakka hanya tersenyum puas, lalu meletakkan kertas itu dalam laci mobil dan bersumpah tidak akan membuangnya dan akan menyimpannya di tempat yang aman.

Q = m. c. 4t

M 4 a ju

u K N Ah

i t

N 1

k

“Kamu makin cantik aja tuh”


***


Melihat Agni tertawa membuat hati Alvin perlahan hancur karena cemburu, walau masih terdapat percikan senang di dalam hatinya. Tetap saja, sesenang apa pun Agni tertawa, itu karena Cakka. Karena Cakka.

Seandainya saja ia yang ada di sana, menggantikan Cakka, membuat Agni tertawa seperti itu...

Alvin menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tahu, semua itu tidak akan terjadi. Agni milik Cakka sekarang. Dan itu adalah kalimat yang harus dicamkan Alvin dalam pikirannya.

Alvin menghela nafas.

Seperti seorang penulis yang sedang mencari inspirasi, ia membuntuti Agni seharian ini karena ia ingin menyelesaikan suratnya. Ia bersandar, menengok menghadap langit, dan memejamkan mata. Membiarkan rinai hujan memabasahi wajahnya. Berharap kesedihan itu bisa terhapus bersamaan dengan tetes demi tetes hujan yang turun membasahi bumi...

Menghadap ke depan, ia membuka matanya. Perlahan. Di depan matanya, mobil jazz hitam yang tadinya terparkir di depan rumah Agni itu pergi, entah kemana...

Ia melirik ke kanan, dan menemukan mobil jazz hitam tersebut. Ia menghela nafas kembali.

Mulai mengamati kembali rumah Agni, ia menemukan gadis yang dicintainya itu sedang membuka kunci pintu dan masuk ke dalam rumahnya sendiri.

Merasa tak ada gunanya membuntuti, ia pun bangkit dan berjalan pulang.

***

Mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk, Alvin terpaku melihat sebuah amplop yang tergeletak dengan manis di atas meja belajarnya. Ia menghela nafas, lalu mengambilnya dan membaca ulang surat konyol tersebut. Senyum kecil mengembang di bibirnya. Konyol sekali, membuat surat tidak jelas itu. Ia pun kembali melipat kertas surat tersebut, memasukkannya ke dalam amplop, lalu meletakkannya kembali di meja belajarnya.

Tiba-tiba, dadanya terasa sesak.

***

“Kka,” panggil Agni ketika mereka tengah bertelepon. Cakka mengerutkan kening. Ada masalah apa sehingga Agni memanggilnya ‘Kka’? Biasanya juga ‘Cak’, panggilan yang sangat tidak disukainya.

“Ya Ag?” tanya Cakka.

“Aku... aku ngerasa gak enak” ungkap Agni. Cakka mengerutkan kening, bertambah bingung.

“Gak enak kenapa?” tanya Cakka. Agni menunduk.

“Aku.. aku ngerasa ada yang salah” ucap Agni. Muka Cakka mendadak pucat pasi. Apakah ini berarti Agni ingin membatalkan pernikahan dan pertunangan mereka? Apakah... apakah Alvin menembaknya kembali, lalu selama ini ia hanya dipermainkan oleh mereka berdua? Apakah Agni sadar bahwa ia tidak mencintai dirinya dan memutuskan untuk kembali dengan Alvin? Atau ada orang lain, yang sama sekali tidak dikenalnya? Ataukah—

“Sss, salah? Salah apa?” tanya Cakka sembari berdoa dalam hati.

“Aku gak tau... aku cuma khawatir aja. Aku ngerasa... ada sesuatu yang terjadi. Musibah” ucap Agni. Cakka bertambah bingung.

“Musibah? Aku gak kenapa-napa kok Ag” ucap Cakka. Agni menghela nafas.

“Bukan kamu, tapi... Alvin” bisik Agni. Cakka yang mendengarnya langsung memejamkan mata dan menghempaskan diri ke atas kasurnya. Nama itu lagi.

“Alvin? Kena musibah?” tanya Cakka, suaranya meremehkan. Agni yang menangkapnya makin menunduk, menatap jari-jari kakinya yang direndamnya dalam kolam renang belakang rumahnya.

“A... aku pengen ke rumahnya dia” ucap Agni. Sedetik kemudian Cakka berada dalam posisi siap melempar HPnya ke tembok.

“Bu... bukan maksud gitu, apa kenapa-napa... tapi, yah, aku pengen... pengen jenguk dia aja. Pengen memperbaiki hubungan. Yah, walaupun aku sama dia udah berstatus mantan,”—hati Agni mencelos menyebut nama itu—“bukan berarti kita berdua gak bisa jadi sahabat, kan?” tanya Agni, berharap Cakka akan mempercayai alasannya itu. Sebenarnya, ia ingin sekali bertemu dengan Alvin.

“Yaa... kalau gitu sih kamu pergi sendiri aja. Aku gak papa kok. Deket kan?” tanya Cakka. Kalau boleh jujur, ia malas melihat wajah pria yang pernah dimiliki kekasihnya.

“Aku mau pergi sama kamu” sambar Agni cepat, membuat ia dan Cakka sendiri kaget.

“Hah?!” tanya keduanya spontan, lalu hening sesaat.

“Maksudnya?” Cakka memberanikan diri untuk bertanya. Agni menunduk, memikirkan alasan yang masuk akal.

“Aku... juga mau kamu temenan sama dia. Eum, kan gak enak aja gitu kalau kalian berdua musuhan...” elak Agni. Cakka mengangkat alis.

“La, lagian kan... Alvin itu sepupuan sama Shilla. Siapa tau kalian... yah, bisa tuker cerita?” lanjut Agni, yang langsung menyesali apa yang dikatakannya. Dan benar saja, Cakka sedang membatu di ujung sana.

“Kalau itu mau kamu” bisik Cakka, lalu menutup telepon.

Agni merasa seolah ia dihadiahi mahkota pemenang kompetisi “Cewek Terbodoh Di Dunia”


***


“Agghh,” erang Alvin penuh kesakitan. Sesuatu yang hangat mengalir di hidungnya. Alvin meraba hidungnya, lalu melihatnya.

Darah.

Gak, jangan sekarang... pikir Alvin. Sedetik kemudian, dunia terasa berputar baginya. Alvin mundur perlahan, bersandar di tembok. Dengan mulut, ia mencoba menghirup udara. Bernafas. Dipeganginya kepalanya yang berat, seakan mau jatuh. Ia memejamkan mata, menunggu ini semua akan berakhir.

Tetapi nyatanya tidak.

“AAARRRGGGHHH!!” teriak Alvin sembari memegani perutnya. Ia jatuh tersungkur, mencoba menahan sakit itu.

Ia mengerang kesakitan. Inikah akhir waktunya? Sesakit inikah ketika nyawanya dicabut oleh Yang Di Atas Sana?

Hidungnya semakin deras mengeluarkan darah. Dadanya sesak, membuatnya sama sekali tak bisa bernafas. Matanya tak bisa melihat dengan jelas, dunia seakan berputar. Perutnya seakan dilindas oleh sebuah tank yang mempunyai ban berduri. Dadanya seakan dipukul dengan palu besi raksasa dari dalam. Berkali-kali ia memuntahkan cairan kental berwarna merah yang diketahuinya sebagai darah. Belum lagi fakta bahwa paru-parunya yang seakan menggelembung dan menunggu waktu untuk meledak.

Di atas semua itu, ia memandang langit-langit kamarnya yang berwarna putih, berharap pada Tuhan ini semua berakhir dengan cepat. Dan... bayangan itu pun muncul.

Agni.

Selama sepuluh detik, Alvin mampu melupakan semua rasa sakit yang dialaminya tadi. Hanya karena pengaruh bayangan tersebut. Wajah Agni yang sedang tertawa...

Dirinya pun sadar akan Agni yang menginginkan dirinya yang terus berjuang melawan rasa sakit ini, seperti Agni yang dulu disarankan hal yang sama oleh Alvin. Tentu saja bukan karena penyakit, tapi rasa sakit ditinggal oleh kedua orang tua Agni. Bukankah itu munafik, menyerah di saat sulit padahal ia sendiri melarang orang lain untuk menyerah? Agni juga membenci orang munafik.

Sembari berjuang melawan rasa sakitnya, ia nerusaha mencari sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya, apa pun itu. Ia bangkit berdiri dengan susah payah, lalu mulai mencari telepon genggam miliknya. Siapa tau ia bisa menghubungi seseorang yang bisa menolongnya. Mungkin ambulans, polisi, tetangga—siapa saja. Bergerak perlahan, ia pun mulai mencari-cari di dalam laci, lemari, dan tempat-tempat lain ketika ia menemukan benda yang ia cari di atas kasur tempat tidurnya. Ia pun melompat sekuat tenaga dan menyambar telepon itu, lalu menekan tombol nomor yang dihafalnya luar kepala. Ia mendekatkan telepon itu ke telinganya, menunggu telepon itu tersambung sembari berusaha bernafas.

“Silahkan melakukan isi ulang kembali untuk—“

Sebelum suara rekaman wanita itu selesai mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan, Alvin membanting handphone-nya itu ke lantai, marah karena usahanya sia-sia. Ia kembali meringis kesakitan. Dan ia pun melihat benda itu, benda yang bisa menyelamatkannya. Tabung pil obat pereda sakit. Mata Alvin melotot memandangnya—dan karena rasa sakit yang ia alami kembali—lalu cepat-cepat meraihnya. Dengan susah payah.

“Ahh, aah... hampir sampai...” ucapnya bangga.

“ARRGGHH!!” teriaknya setelah merasakan rasa sakit yang luar biasa, jauh lebih sakit daripada yang pernah dirasakannya selama ini. Tangannya membentur tabung itu, membuatnya menumpahkan pil-pil di dalamnya. Sedang Alvin yang sudah tidak merasakan sakit lagi duduk berlutut dua kaki bagai boneka tanpa nyawa. Ia kehilangan keseimbangan, dan jatuh. Kepalanya membentur ujung meja belajarnya dan jatuh dengan keras di lantai. Darah mengucur deras dari kepalanya, cukup banyak untuk membuat seseorang harus kehilangan banyak darah, tapi ia tidak merasakannya. Atau lebih tepatnya tidak bisa.

Karena nyawanya sudah tidak bersama tubuhnya lagi.


***


Penuh dengan rasa bersalah, Agni turun dari mobil jazz hitam Cakka dan menuju rumah Alvin. Cakka mengikutinya dengan malas. Agni mencuri pandang ke arah Cakka yang sedang marah, lalu menghela nafas dan mengetuk pintu dengan tangan yang bergetar.

Tok tok tok.

Menunggu cukup lama, Agni mengetuk pintu itu kembali. Dan mengulangnya sebanyak 3 kali.

Cakka yang tidak sabaran dengan nekat membuka pintu rumah itu. Tidak dikunci. Ia mengangkat alis, lalu masuk dengan Agni yang mengekor di belakangnya.

“Halooo” ucapnya ketika melihat tidak ada orang di dalam.

“Alvin?” teriak Agni, suaranya menyiratkan kekhawatiran dan kesenangan. Senang karena akhirnya ia akan bertemu Alvin, khawatir firasat buruknya benar.

“Alvin?” tanya Agni sembari menaiki tangga menuju lantai atas tempat kamar Alvin berada. Suaranya mengecil. Cakka, dengan malas-malasan, mengikuti Agni.

“Alvin?” tanya Agni lagi sembari membuka pintu kamar Alvin yang tak dikunci. Ia diam terpaku, kaget.

“Ada ap—“ tanya Cakka, yang langsung mengetahui jawabannya.

“A... A.... A... Alvin?” bisik Agni, air mata mengalir melalui kedua pipinya. Dengan kasar ia menghapusnya dan memasuki kamar, menghampiri Alvin yang terbaring di lantai penuh darah.

“Ini gak mungkin kan, Vin? Iya, kan? Semua cuma lelucon, kan? Iya, kan? JAWAB GUE VIN!!” teriak Agni sembari mengguncangkan tubuh Alvin. Cakka pun buru-buru masuk kamar dan—dengan ilmu kedokteran yang masih melekat di kepalanya—ia meletakkan jarinya di leher dan pergelangan tangan Alvin, berusaha mencari denyut nadi.

“Cak, dia masih idup kan Cak, iya kan? Iya kan?! JAWAB GUE CAK!!” teriak Agni. Cakka menatap matanya, lalu melirik ke arah lain.

“Dia udah pergi” ungkap Cakka. Agni menatap tajam ke arahnya.

“Cak. Gak lucu. Sama sekali enggak” tanggap Agni. Cakka menatapnya tepat di bola matanya.

“Agni. Dia. Udah. Pergi. Gue. Gak. Bercanda” ucap Cakka kesal.

“Enggak! Dia belom pergi! Dia cuma bercanda!” teriak Agni.

“AGNI!!” bentak Cakka. Agni terdiam, takut.

“Dia udah pergi. Relain dia pergi, Ag...”

“ENGGAK! ALVIN BELOM PERGI!!” teriak Agni, lalu memeluk tubuh Alvin dan menangis.

“Kamu belom pergi, kan, Vin? Vin, jangan boongin gue deh, gak lucu tau...” ucap Agni sembari terisak. Cakka membelai lembut kepala Agni, berusaha menenangkannya. Tapi air mata itu masih keluar. Keluar dan mengalir bagaikan dua buah sungai di pipi Agni.

“Alvin, jangan pergi...” ucap Agni pelan.

“Sabar ya Ag, yang tabah...” ujar Cakka, menenangkan Agni. Sedikit.

“Cak, Alvin udah pergi Cak, Alvin udah pergi...” ucap Agni terisak, lalu menangis lagi.

“Iya, aku tau. Tapi gak berarti kamu harus drop kayak gini, kan? Ayo dong, cheer up a little. Senyum aja, persembahin buat Alvin. Pasti Alvin pengen ngeliat senyuman kamu, kan?” ucap Cakka.

“Cakka!! Alvin tuh meninggal dengan cara menyakitkan gini, dan kamu bilang aku harus senyum?! Kamu udah gila, ya?!” teriak Agni, menyeka air matanya dengan kasar.

“Bukan gitu Ag, tapi...”

“Cakka Kawekas Nuraga, Alvin meninggal. Dengan cara yang menyakitkan. Dengan penyebab yang belum jelas. Dan kamu kira aku bisa senyum?! SENYUM?! Kamu gila!!” teriak Agni marah, lalu menangis lagi. Cakka hanya bisa diam. Yah, ia tau tidak ada gunanya ia berdebat, itu hanya akan membuat Agni marah kepadanya. Cakka pun menoleh, memilih untuk mengamati kamar Alvin.

Ia mengambil salah satu kapsul yang berserakkan di lantai, lalu membukanya. Ia mengernyitkan kening, lalu membaca tulisan nama obat tersebut.

Obat kanker.

Cakka tersenyum. Ia sudah menduganya. Baginya yang lulusan universitas bidang kedokteran ini, tak sulit untuk mengenali tanda-tanda penyakit yang diderita Alvin sejak lama. Ia telah menduganya, namun belum yakin.

Meletakkan obat itu, matanya menangkap sebuah amplop putih. Mengernyitkan kening, ia mengambil amplop itu dan menemukan serentetan kata yang tertulis di depannya.

Agni Tri Nubuwati
Jl. Kucing Terbang blok N nomor 12G
Bintaro, Jakarta


***


Seorang pria berbalut jeans dan kemeja hitam berdiri di depan sebuah tembok putih gading. Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam kantung celananya, ia memerhatikan sebuah peti hitam di atas meja, beserta dengan beberapa tangkai bunga lili putih yang menghiasi peti tersebut.

“Kak, duduk aja kak. Acaranya udah mau dimulai” ucap seorang gadis kecil berkuncir dua. Pria itu menunduk, lalu tersenyum. Ia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan gadis itu

“Gak usah, kakak juga mau pergi kok” ucapnya dengan senyum manisnya.

“Pergi ke mana kak?” tanya gadis kecil itu.

“Ke suatu tempat...” ucap pria itu, pandangannya seolah menerawang jauh.

“Ke mana?” tanya gadis itu lagi setelah pria itu diam beberapa lama. Pria itu memberikan seulas senyum.

“Tidak penting sih. Tapi... boleh kan kakak nitip pesan untuk almarhum?” tanyanya. Gadis itu mengernyitkan kening.

“Boleh sih...” ucap gadis itu agak ragu. “Pesan apa kak?” tanyanya.

“Bilang padanya, ‘Alvin Jonathan Sindhunata, saya, Cakka Kawekas Nuraga, telah mengaku kalah’” ucap pria tersebut.


***


Pintu putih itu diketuk lalu dibuka. Agni spontan menengok kearah pintu, lalu menemukan seorang pria berbalut jeans dan kemeja hitam dengan sebuah buket bunga lili di tangannya. Agni menahan nafasnya. Pria itu tersenyum.

“Gimana kabarnya?” tanya pria tersebut, memasuki ruangan dan menaruh buket tersebut di meja.

“Lumayan” ucap Agni, berusaha duduk di ranjang rumah sakit yang sedari tadi ditidurinya. “Kamu?” tanyanya balik. Pria itu tersenyum.

“Masih sakit” ucapnya. Agni mengerutkan kening.

“Sakit? Perasaan aku deh yang dipasangin infus. Sakit di bagian mana Cak?” tanya Agni penasaran.

“Di sini” ucap Cakka, menunjuk dadanya sendiri. Agni menunduk, merasa bersalah sekaligus malu.

“Maaf—“

“Udahlah” ucap Cakka, memotong permintaan maaf Agni. Agni mengangkat wajah, menatap Cakka yang sekarang menduduki sofa.

“Bukan kamu doang yang salah” ucap Cakka. Agni mengernyitkan kening.

“Aku juga” kata Cakka. Agni mengernyitkan kening semakin dalam.

“Selama kamu koma 3 hari gara-gara ketabrak, aku... aku udah banyak berpikir” ucap Cakka.

“Tentang kenapa kita tunangan. Kenapa kamu mau aja nerima aku padahal kalian baru putus. Kenapa aku nanya kamu. Semua kebohongan ini” ucapnya, tersenyum miring sembari melepaskan cincinnya.

“Mulai dari kamu. Aku tau, di lubuk hati kamu, kamu masih mau sama Alvin. Dan kamu memanfaatkan kesempatan ini buat bikin cemburu dia. Aku tau Ag, jangan nyangkal” ucap Cakka. Agni yang semula membuka mulut untuk membantah terdiam dan kembali mendengarkan.

“Awalnya aku cuma sadar akan hal itu, dan aku marah. Aku marah banget, dan itulah sebabnya aku langsung narik kamu pulang setelah menemukan...” Cakka berhenti, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “...Alvin. Dan saat itulah, aku berhenti marah dan mulai introspeksi diri. Bukan kamu juga yang salah, aku juga. Aku yang memulai semua kebohongan ini, dan bukan karena aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Kamu sahabat yang baik Ag, kamu mampu membuatku ngelupain Shilla. Dan karena itulah aku ngelamar kamu. Karena itulah kita tunangan. Sekedar karena aku ingin menepati janjiku sama Shilla. Gak lebih”

“Maaf” bisik Agni pelan. Cakka tersenyum kecil.

“Aku yang harusnya minta maaf, Ag” ucapnya. “Aku minta maaf karena udah narik kamu secara kasar 3 hari yang lalu. Aku minta maaf karena aku udah menghadiri pemakaman Alvin tanpa ngajak-ngajak. Juga karena udah nyembunyiin kenyataan” ucap Cakka. Agni mengangkat alis.

“2 hal pertama, kumaafin. Hal ketiga maksudnya apa?” tanyanya. Cakka tersenyum.

“Dia cinta mati sama kamu. Dia, Alvin Jonathan Sindhunata” ucapnya. Agni mengernyitkan kening.

“Aku kalah” ucap Cakka tiba-tiba.

“Kalah?” tanya Agni.

“Ya. Kamu masih sayang sama Alvin, kan?” tanya Cakka. Agni membiarkan semburat merah muncul di pipinya, lalu mengangguk malu. Cakka tersenyum.

“Aku sayang sama kamu” ucap Cakka tiba-tiba. Agni terkejut.

“Ta... tapi... kamu baru aja bilang kalau kamu ngelamar aku cuma untuk nepatin janji kamu ke Shilla, bukan karena kamu beneran sayang sama aku” ucap Agni terbata-bata. Cakka tersenyum, lalu bangkit berdiri dan berjalan pelan ke arah Agni.

“Kebersamaan kita selama 3 bulan ini udah cukup bikin aku jatuh cinta sama kamu” bisik Cakka tepat di telinga Agni. Agni menoleh, ingin melihat Cakka. Ia terkejut lagi ketika matanya menangkap bayangan kalung berbandul tulisan A & A yang terukir di permukaan hati berwarna abu-abu kusam yang dipegang oleh Cakka.

“Sebuah hadiah permintaan maaf” ucap Cakka. Agni mengulurkan tangan dan meraih liontin tersebut. Ia membukanya, dan segera melihat ribuan berlian kecil berwarna-warni yang tertempel di dinding dalam liontin itu. Matanya membelalak.

“Cak, ini...”

“Liontin itu melambangkan hubungan kamu dengan Alvin” celetuk Cakka tiba-tiba. Agni menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Sekilas, kalian kayak batu abu-abu kusam. Hubungan kalian itu ancur, kalian gak cocok, gak sederajat, bla bla bla. Tapi, di dalamnya kalian punya seribu kenangan. Seribu berlian warna-warni yang terdapat di dalamnya” jelas Cakka. Agni memandangi kalung itu, tersenyum sembari mengelusnya.

“Makasih” bisik Agni lembut, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Cakka. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop putih kepada Agni. Agni menerimanya.

“Apa ini?” tanyanya.

“Surat terakhir Alvin” jawab Cakka. Agni memandangnya tak percaya. Cakka tersenyum.

“Yah... sebaiknya aku pulang” ucap Cakka, lalu berjalan ke arah pintu.

“Tunggu” cegah Agni. Cakka menoleh.

“Apa berarti... kita putus?” tanya Agni. Cakka tersenyum dan mengangguk.

“Tapi kita masih temenan, kan?” tanya Agni lagi. Cakka mengangguk.

“Sahabat, kalau mau” tawar Cakka. Agni tertawa kecil.

“Makasih Cak. Lo baik banget” ucap Agni. Kini giliran Cakka yang tertawa.

“Ya udah deh. See you tomorrow” ucap Cakka, lalu menghilang di balik pintu. Agni tersenyum, lalu memandangi amplop putih di dalam genggamannya. Ia menimbang-nimbang sebentar, lalu membukanya dan membacanya. Matanya bergerak cepat dari kanan ke kiri, kadang-kadang berhenti untuk membaca ulang kalimat yang belum selesai diproses oleh otaknya itu. Rasa penyesalan memenuhi dadanya, membuatnya sesak, dan air mata yang sedari ia tahan pun tak terbendung lagi. Perlahan, dengan suara pelan, ia menitikkan air mata. Membiarkan titik-titik air mata penyesalan membasahi kertas berukirkan tulisan Alvin, membiarkan pikirannya dipenuhi dengan seribu penyesalan yang amat mendalam, membiarkan semuanya terjadi begitu saja.

Setelah beberapa lama, ia pun menyeka air matanya. Pada saat itulah ia melihatnya. Secarik kertas kecil yang jatuh di pangkuannya, mungkin berasal dari amplop yang sama dengan yang ditinggal surat terakhir Alvin. Ia mengambilnya, lalu membaca satu kalimat yang terukir di sana.

Gue kalah.

-Cakka Kawekas Nuraga-


Agni tersenyum pahit, mengerti arti 2 kata yang ditulis oleh Cakka. Dan saat itu air matanya merebak. Ia pun mengeluarkan semuanya. Semua kesedihan, semua penyesalan, semua perasaan yang telah ia pendam ia keluarkan dengan air mata. Ia menangis. Sendirian. Tanpa orang lain.


***


Agni,

Mungkin lo kaget waktu lo dapet surat ini. Mungkin gue udah mati. Yah, siapa tau? Maut bisa dateng kapan aja dia mau. Ya gak? Itu kan yang selalu lo bilang waktu kita pertama kali ketemu?

Gue tau Ag, kita udah putus. Lo udah sama cowok lain. Siapa namanya? Cakka. Cakka Kawekas Nuraga. Mantannya Shilla, sepupu gue. Gue udah pernah kenalan sama dia kok. Gue emang cukup deket sama Shilla. Dan ya, gue udah tau semuanya. Dunia emang sempit ya?

Oke. Mending gue langsung jujur sama maksud gue yang sebenarnya. Seperti yang lo tau, gue gak bisa basa-basi. Serius. Jadi, gue cuma mau bilang...

Gue cemburu.

Oh ya, iya, gue tau, lo pasti marah gara-gara gue plin-plan banget. Udah gue mutusin lo, sekarang gue yang kangen. Gue yang cemburu. Maaf Ag, gue emang gini. Awalnya sih gue ngerasa gue udah ngelakuin hal yang bener, soalnya gue tau cepet atau lambat gue bakalan ninggalin elo. Yah, gue juga gak pernah ngasih tau ini, tapi... gue divonis kanker. Itu sebabnya kita jarang ketemu. Soalnya gue sibuk ketemu dokter (dokternya cowok kok, gue gak selingkuh). Maaf banget Ag. He-eh.

Lo tau, gue mau curcol dikit. Ini berhubungan dengan sebuah lagu, sebuah lagu yang pernah gue dengerin di mobil. Radio. Lagu persembahan A Rocket To The Moon—Like We Used To. Untuk ngungkapin beberapa kekhawatiran gue sama lo. Bukan apa-apa, gue cuma... kalau lo berdua beneran mau nikah, lo gak boleh salah pilih cowok, Ag. Gue gak bermaksud buat banding-bandingin Cakka sama gue...

I can feel her breath as she's sleeping next to me
Sharing pillows and cold feet
She can feel my heart, fell asleep to its beat
Under blankets and warm sheets

If only I could be in that bed again
If only it were me instead of him

(opening doang, gak berarti apa-apa)

Ag, biarin gue bertanya tentang beberapa hal :

Does he watch your favorite movies?

Apa dia nonton semua film-film favorit lo, kayak gue?
Does he hold you when you cry?
Apa waktu lo nangis, dia meluk lo, nenangin lo, dan selalu bisa menghentikan aliran ait mata yang menitik dari kedua bola mata indah itu?
Does he let you tell him all your favorite parts?
When you've seen it a million times

Apa dia selalu membiarkan kau mengatakan adegan-adegan favoritmu, seperti yang selalu kulakukan, selama kamu menyaksikannya jutaan kali, mengartikan aku juga mendengarkannya jutaan kali?

Does he sing to all your music
Apa dia menyanyikan semua lagumu
While you dance to "Purple Rain"?
Ketika kau menarikan ‘Hujan Ungu’? (oke ini curhatan yang bikin lagu, gue juga gak ngerti ini apaan. Abaikan)
Does he do all these things
Like I used to?

Apakah ia melakukan semua ini seperti yang biasa aku lakukan dulu?

Oke. Aku minta maaf. Mungkin aku memang keterlaluan… yah, bolehkah kau meneruskan?

14 months and 7 days ago
Oh, I know you know how we felt about that night
Just your skin against the window
But we took it slow and we both know

(lagi-lagi curhatan pembuat lagu. Gak ada hubungannya dengan kita)

Ag, masih inget gak waktu lo sama Cakka berduaan di mobil? Oke, gue ngaku, gue ngikutin elo. Sebagai pembelaan, gue lagi nyari inspirasi buat nulis ni surat. Lo kira suratnya selesai selama sehari? Ya enggaklah Ag, susah tau nulisnya.

It shoulda been me inside that car
Seharusnya gue yang berada di dalem mobil itu. Jazz hitam, bukan? Oke. Beda mobil. Mending kita naik mercy silver aja, atau fortuner. Atau accord. Lebih keren.
It should have been me instead of him in the dark
Seharusnya aku, bukan dia, di dalam kegelapan (?) (ambil 4 kata pertama, sisanya abaikan. Oke?)

Biarkan gue bertanya sekali lagi, dan karena ini emang reff, pertanyaannya bakalan gue ulang-ulang. Maaf. Salahin aja yang bikin lagu.


Does he watch your favorite movies?

Apa dia nonton semua film-film favorit lo, kayak gue?
Does he hold you when you cry?
Apa waktu lo nangis, dia meluk lo, nenangin lo, dan selalu bisa menghentikan aliran ait mata yang menitik dari kedua bola mata indah itu?
Does he let you tell him all your favorite parts?
When you've seen it a million times

Apa dia selalu membiarkan kau mengatakan adegan-adegan favoritmu, seperti yang selalu kulakukan, selama kamu menyaksikannya jutaan kali, mengartikan aku juga mendengarkannya jutaan kali?

Does he sing to all your music
Apa dia menyanyikan semua lagumu
While you dance to "Purple Rain"?
Ketika kau menarikan ‘Hujan Ungu’? (oke ini curhatan yang bikin lagu, gue juga gak ngerti ini apaan. Abaikan)
Does he do all these things
Like I used to?

Apakah ia melakukan semua ini seperti yang biasa aku lakukan dulu?

I know, love
(Well, I'm a sucker for that feeling)

Gue tau, Cinta… (ya, gue emang payah dalam hal itu)
Happens all the time, love
(I always end up feeling cheated)

Terjadi setiap saat, Ag… (gue selalu ngerasa gue dicurangin? Enggak tuh. Gue selalu merasa bersalah, bersalah karena gak bisa jujur, bersalah karena gak percaya sama lo. Maaf banget)
You're on my mind, love
(Oh sorta let her when I need it)
That happens all the time, love, yeah

Lo ada di pikiran gue, itu terjadi setiap saat Ag…

Will he love you like I loved you?
Apa dia bakalan mencintai lo seperti gue cinta lo kayak dulu?
Will he tell you everyday?
Apa ia akan menyatakannya setiap hari?
Will he make you feel like you're invincible
With every word he'll say?
Apa ia akan membuat lo merasa seakan-akan lo menghilang dengan setiap kata yang ia akan katakan?

Can you promise me if this was right?
Bisa gak lo janji ke gue kalau ini semua bener?
Don't throw it all away
Jangan buang itu semua

Can you do all these things?
Bisa gak lo ngelakuin ini semua?
Will you do all these things
Akan ada gak sih di masa depan sosok lo yang ngelakuin ini semua?
Like we used to?
Kayak kita dulu?
Oh, like we used to
Ya. Kayak kita dulu.

Oke, emang gak jelas. But at least itu semua ngutarain semua yang pengen gue bilang. Yah, gue minta maaf kalau gue ngancurin hubungan lo dengan Cakka, maafin gue.

Gue rasa itu cukup ya? Gak papa kan? Mungkin singkat, mungkin kepanjangan. Maaf.


Sincerely, the man who loves you,

Alvin Jonathan Sindhunata



+++


Akhirnya... ini cerbung selesai juga... (menangis bahagia)

iya. udah selesai. gapapa kan? masih ada special part kok, tapi itu nanti. utang saya selesai kan? ehehe...

saya ngerasa bersalah nih udah 'ngebunuh' alvin dalem cerita... tapi gapapa. demi efek dramatis. ehehe...

saya minta maaf juga kalau endingnya berkesan gantung, ehm. intinya sih Agni-Cakka masih sahabatan, tapi Agni nyadar kalau yang dia sayang itu Alvin, bukan Cakka... dan Cakka udah jatuh cinta sama Agni. jadi broken heart deh. sabar ya Cak.

oya, saya juga minta maaf, part ini ngaretnya minta ampun, saya minta ditabookk-.-maaf ya kalau penantian kalian agak-agak gak setimpal karena ceritanya mungkin kurang memuaskan. endingnya gantung. alvin meninggal. hadoohh, penulis jahat banget siihhh-.- oya, saya juga gak nepatin janji, orang saya bilang cagni happyend malah jadi sad end gini. gapapa kan? penulis kan pengen sekali-kali nulis cerita sad end...

Eiunngg, berhubung saya bingung mau curcol apa lagi, saya tutup aja deh. TERIMA KASIH SUDAH MAU BACA!!

Any critics?

-Penulis-


SPECIAL PART

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Part 5

PREVIOUS PART

Pemuda itu memandang sekeliling dengan bosan. Ingin rasanya ia melihat pasangan-pasangan muda yang sedang dilanda cinta, bukan pria patah hati yang memakan pesanannya pelan-pelan.

Ia menghela nafas.

Jam 3. Itulah fakta yang didapatnya ketika ia melihat jam hitam bermerek Swatch yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tersenyum mengingat bagaimana tunangannya memberikan jam ini pada hari ulang tahunnya. Hari yang sangat special, karena tunangannya tercinta memberikan hadiah terindah dalam hidupnya. Kehadirannya. Cintanya.

Ia melirik seorang wanita yang sedang berdiri di sampingnya. Wanita itu tengah mengubah ekspresinya yang bosan menjadi sebuah senyuman manis dan hangat. Pemuda itu balas tersenyum. Inilah suka dukanya menjadi penjaga kasir malam di sebuah restoran fast food 24 jam. Bosan, tetapi pada saat yang bersamaan juga senang.

Tepat sedetik setelah ia memikirkan hal itu, terdengar suara lonceng kecil yang menandakan bahwa ada pelanggan yang memasuki restoran tersebut. Spontan, pemuda-pemudi itu pun menengok. Seorang pria berwajah harajuku masuk dengan tertawa, menggandeng seorang gadis manis yang tertawa juga. Keliatannya mereka bercanda ria. Patton—nama pemuda yang menjaga kasir itu—langsung melihatnya dengan antusias. Ini yang ia tunggu-tunggu dari tadi. Sepasang kekasih yang mempunyai hubungan yang harmonis. Lewat cincin perak berhiaskan berlian mungil yang melingkari jari manis kiri gadis itu, Patton berpendapat bahwa hubungan mereka sudah berjalan bertahun-tahun lamanya.

Tersenyum, Patton pun tersenyum melihat mereka bergandengan tangan dan menghampiri dirinya.

"Mau apa?" tanya sang pria kepada gadis yang sedang tersenyum lebar dalam genggamannya.

"Aku mau... samain aja deh sama kamu" jawab gadis itu, membuat Patton tersenyum.

"Baru aja aku mau samain sama kamu" keluh sang pria.

"Ya udah. Aku mau paket PANAS, McFlurry, cheese burger sama chicken McNugget" ucap sang gadis, matanya melirik-lirik ke papan yang memperlihatkan menu yang terdapat di dalam restoran bernama McDonald ini. Patton tersenyum geli mendengarnya.

"Buset! Agni Tri Nubuwati, kamu mau meres aku?" tanya sang pria dengan kaget.

"Biarinlah Cakka Kawekas Nuraga-ku sayang, lagian kan aku laper. It’s been a long night. Kalau kamu gak mau ya udah aku bayar sendiri aja" ucap Agni lembut sembari mengeluarkan dompetnya.

"Eits, gak usah. Biar aku aja yang bayar" cegah Cakka. Agni, sebagai calon istri yang baik, menurut dan memasukkan kembali dompet putih gading itu ke dalam kantungnya. Cakka mengangguk puas.

"Semua yang dia bilang sama paket PANASnya tambah 1" ucap Cakka pada Patton yang sedari tadi hanya tersenyum. Ia pun berkonsentrasi pada pesanan mereka.

"Paket PANASnya 2, McFlurry, cheese burger dan chicken McNugget?" tanya Patton, memastikan. Cakka mengangguk. Pria penjaga kasir itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Setelah menekan beberapa tombol di mesin kasirnya dengan cepat, Patton pun menyebutkan nominal uang yang harus dibayar Cakka.

"Rp135.000,00" ucap Patton. Cakka tersenyum tipis lalu mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan lembaran-lembaran uang dengan jumlah yang pas. Patton tersenyum dan memasukkan lembaran-lembaran tersebut ke dalam mesin kasir. Setelah menyiapkan pesanan dan meletakkannya pada baki cokelat tua, ia pun membiarkan sepasang kekasih itu pergi untuk memilih tempat duduk, dan makan dengan riang. Diselingi dengan canda tawa, tak lupa dengan adegan-adegan mesra, membuat dunia serasa milik mereka berdua. Patton tersenyum senang. Pasangan yang satu ini mampu memperbaiki moodnya yang sempat hancur.

Omong-omong mood yang hancur, Patton pun mengalihkan pandangan ke orang yang sedari tadi membuat hancur moodnya. Seorang pria berkulit putih dan bermata sipit yang memiliki rambut spike, duduk di pojok ruangan yang tersembunyi. Setidaknya, dari pasangan tersebut. Betapa kagetnya ia ketika melihat sinar kemarahan yang menyala di mata pria tersebut, seolah ingin memakan pasangan itu hidup-hidup. Membuat suasana di sekitar pria itu menjadi merah, seperti api yang membara ada di sekelilingnya. Patton bergidik ngeri, ingin rasanya ia mengalihkan pandangan, tetapi matanya tak bisa bergerak, seolah mata itu menariknya untuk terus melihatnya... dan rasa takut pun mulai menjalar di sekujur tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, mata itu menjadi sayu dan sedih, seperti ketika seseorang hilang harapan. Tubuhnya merosot lemah, dan ada sesuatu yang menetes dari hidungnya... cairan kental dan merah. Tunggu. Mungkinkah itu... darah? Ekspresi Patton yang pucat lalu menjadi lega, sekarang mulai tampak khawatir dan cemas.

Pemuda itu mengarahkan mata ke hidungnya, dan secepat kilat ia menyeka darah tersebut dengan tissue yang terletak di meja di hadapannya. Ia pun segera berdiri, memakai jaketnya yang berwarna hitam serta tudungnya, membereskan barang-barangnya dan pergi denga cepat, menyembunyikan wajahnya dari pasangan tersebut.

Yang tentu saja membuat Patton semakin bingung. Ada apa diantara ketiga orang ini?

Wanita di sebelahnya menepuk pundaknya, memberikan senyumnya. Seolah ingin membantu Patton melupakan kebingungannya itu. Pancaran matanya berkilat-kilat memohon. Patton tertegun sesaat, lalu balas tersenyum.

Yah, buat apa ia memikirkan hal itu? Toh itu bukan urusannya...


***


Alvin menutupi hidungnya dengan lengan jaketnya yang sekarang sudah menyerap darah yang terus-menerus keluar dari hidungnya. Dengan cekatan ia merobek kausnya dan menggunakannya sebagai sapu tangan, menyerap darahnya kembali. Bersandar di sebuah lampu taman, ia menghela nafas dan memejamkan mata. Benaknya sibuk membayangkan kejadian tadi.

Ia ingat perasaan sesal yang menyelimutinya sepulang dari rumah Agni tadi malam, menyesal karena ia telah melepas satu-satunya wanita yang ia cintai di seluruh dunia ini, walau yang ia lakukan adalah tindakan yang benar. Ia benar-benar tidak sanggup bila harus melihat air mata yang menitik di wajah wanita yang dikasihinya ketika tau bahwa Alvin akan pergi dan meninggalkan dirinya, selamanya...

Dan terjadilah hal terakhir yang Alvin inginkan untuk terjadi. Mereka berdua, Agni dan pria pengganti dirinya bermesraan di hadapannya. Api kemarahan pun menyala semakin besar ketika ia melihat sebuah cincin emas putih yang melingkar dengan manis di jari manis Agni. Dadanya bergemuruh, siap untuk menerkam Cakka dan Agni sekaligus. Sebegitu tidak penting-kah dirinya di mata Agni, sampai dengan mudahnya ia memakai cincin pertunangan yang sama dengan yang Cakka pakai? Apakah selama ini ia hanya menjadi penghalang bagi mereka berdua? Atau ia hanya dipermainkan?

Berjuta-juta pertanyaan dan dugaan timbul di benak Alvin, hampir-hampir membunuhnya. Dugaan yang sama berulang kali muncul di pikirannya, membuat rasa sakit di kepalanya kian membesar, seperti ada api besar membakar bagian dalam tengkoraknya dan pada saat bersamaan menghancurkan tengkorak yang sama dengan hantaman keras sebuah tongkat besi. Tidak tahan dengan rasa sakit yang timbul, spontan ia meremas kepalanya dan jatuh berlutut, berusaha mengenyahkan dugaan tersebut. Atau lebih tepat disebut flashback ucapan orang-orang yang menentang hubungannya.

"Lo kira Agni cinta sama lo?! Agni tuh cuma mau duit sama ketenaran lo dong Vin!! Sadar!"

"Alvin Jonathan Sindhunata, artis kayak lo tuh gak pantes gadis biasa yang gak punya potensi kayak si Agni-Agni gak jelas itu. Lagian apa sih hebatnya dia? Masih mendingan gue juga kali dimana-mana!"

"Vin, gue tau lo itu artis muda paling beken di seantero Indonesia dan lo selalu dapet apa yang lo mau, tapi diantara semua gadis yang bisa lo milikin, kenapa lo pilih dia? Sadar Vin, lo sama dia tuh bagai magnet N sama N dan S sama S. Gak bisa menyatu"

"Nak Alvin, sadar! Dia bukanlah orang yang tepat untukmu! Ingatlah, kau seorang kristiani, dan dia? Kalian berbeda kepercayaan. Lebih baik kalian akhiri hubungan ini dan memulai lembaran baru..."


"AAARRGGGGGGHHHHHHH!!!!" suara teriakan Alvin membahana di kegelapan malam. Tangannya mencengkram kuat kepalanya, berusaha meredam tongkat besi yang memukul bagian dalam tengkoraknya. Tapi apa daya, justru tindakannya itu malah membuat seribu ucapan menyakitkan makin terngiang dalam kepalanya. Dadanya sesak, darah pun mengucur dari hidungnya. Matanya berkunang-kunang, dan penglihatannya menjadi buram. Jangan, jangan sekarang... pikirnya.

Dan semuanya pun gelap.


***


Sinar matahari yang lembut membangunkan Alvin dari tidur nyenyaknya—atau lebih tepatnya pingsan. Dengan panik ia langsung duduk dan mendongkak ke atas untuk melihat jam taman. Aman, jam 6 pagi, pikirnya sembari menghembuskan nafas lega. Ia memicingkan mata, melihat sekeliling. Beruntung, ia pingsan dibalik sebuah pohon yang dikenal sebagai 'Pohon Angker', membuat tak seorang pun melihatnya. Mendekati pohon tersebut saja tidak ada yang berani.

Menghela nafas lega sekali lagi, ia pun berdiri dan menyeka darah kering di hidungnya dengan lengan jaketnya. Sialan, pake udah kering segala lagi! umpatnya dalam hati. Lalu ia berjalan menuju keran air terdekat dan membasuh hidungnya. Setelah bersih, ia pun duduk di bangku taman dan memikirkan perasaannya.

Apa benar dia masih mencintai Agni, bahkan setelah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri tentang sesuatu yang amat sangat menyakitkan baginya? Walau toh itu juga yang akan terjadi?

Mengalihkan pandangan untuk menghapus pikiran menyeramkan tadi, ia memutuskan untuk pulang dan memikirkan tindakan selanjutnya. Ya, mungkin itulah yang terbaik, pikirnya sembari berjalan pulang.


***


Butuh waktu yang lama baginya untuk pulang, mungkin karena ia berjalan kaki dan meninggalkan motor harley kesayangannya—yang ia tinggal di McD hanya karena itu mengingatkannya pada Agni—atau karena ia berhenti dan duduk di pinggir jalanan berkali-kali karena sesak nafas dan teringat pada Agni, atau karena ia ‘menumpang’ ke toilet untuk membasuh darah yang mengucur di hidungnya, atau mungkin karena para fans-fansnya yang menuduhnya Alvin J. S. Memang benar, tetapi Alvin tak mengakuinya. Dituduh pembohong, ia bersusah-payah keluar dari kerumunan perempuan yang disebutnya sebagai ‘Cewek Gak Jelas’ itu.

Diliriknya jam kuno yang terbuat dari kayu mahoni terbaik. Jam 12. Artinya sudah 6 jam ia mengarungi Jakarta untuk pulang ke rumahnya. Perjuangan yang berat, memang.

Berjalan menuju sebuah Grand Piano hitam di dalam ruangan yang asri, ia memandang ruangan itu. Ruangan yang merupakan ruangan favorit Agni.

Ruangan itu sebenarnya adalah sebuah kolam ikan. Dinding kolam dicat biru muda, membuat seolah para ikan koi yang berenang di dalam kolam tersebut seperti berenang dalam laut dangkal yang sangat jernih. Salah satu dinding terbuat dari batu, dan dari sana sebuah air terjun mini meluncurkan air beningnya dengan lembut. Di sana-sini terdapat tanaman hijau di dalam pot hitam kecil, lebih tepatnya di atas rak teralis hitam. Lantainya terbuat dari kaca, menunjukkan ikan-ikan yang berenang dalam air bening di bawahnya. Dindingnya—kecuali dinding batu tempat air terjun mini berada—dicat hitam. Di tengah ruangan, sebuah Grand Piano hitam tengah berdiri dengan elegan. Membuat ruangan yang indah tersebut tampak tidak berarti dibanding piano mewah tersebut. Mendominasi perhatian, bahasa sederhananya.

Setelah puas memandangi setiap inci dari ruangan tersebut, Alvin menghela nafas dan menghilangkan bayangan Agni di dalam benaknya. Memang, ruangan inilah yang seringkali menjadi tempat bermain Alvin dan Agni. Oke, hanya sekali. Saat mereka merayakan selesai dibangunnya rumah ini, tepatnya tanggal 26 Juni...

3 tahun yang lalu.


***


“Alviinn!! Keren banget!!” ucap seorang wanita yang tengah terpukau melihat sebuah ruangan di depannya. Seorang pria bermata sipit mengembangkan senyum di belakangnya. Senang.

“Keren ya?” tanya pria tersebut—Alvin—dan berjalan perlahan ke depan, menyamakan posisinya dengan Agni. Dengan lembut ia meraih tangan kekasihnya itu, menciumnya, lalu menuntunnya untuk duduk di kursi piano kebanggaannya itu.

“Mulai sekarang, ruangan ini milikmu” ucap Alvin dengan lembut. Agni, selah terpukau, menatap sekeliling dengan pandangan setengah kosong. Jantungnya berdegup kencang. Semua ini hadiah?!

“Bagus gak?” tanya Alvin. Agni mengangguk, gugup. Entah kenapa ia seperti balik ke masa lalu, saat ia masih sekedar naksir Alvin. Dulu, duduk bersebelahan dengan Alvin rasanya indah sekaligus menakutkan. Ia, seperti istilah dalam film How I Met Your Mother, pasti terkena yip atau terlalu memikirkan banyak hal tentang sesuatu yang sederhana. Atau dalam kata lain gugup.

“Ag, masih inget gak harapan-harapan gila kita dulu?” tanya Alvin. Agni mengangguk, tentu saja. Mana mungkin ia bisa lupa? Bukankah itu adalah harapan terdalamnya terhadap Alvin? Menikahinya dan mempunyai dua anak yang lucu?

“Mana mungkin aku bisa lupa, Vin?” tanya Agni, menyuarakan pikirannya. Alvin tersenyum kecil.

“Kalau anak-anak kita main di sini lucu gak ya?” tanya Alvin, melirik Agni. Berharap ucapannya itu tidak menyinggung Agni sama sekali. Berlawanan dengan pikirannya, Agni tersenyum.

“Lucu banget” ucapnya sembari menerawang jauh, mengkhayalkan dua anak kembar—perempuan dan laki-laki—sedang bermain kejar-kejaran di ruangan tersebut. Dua anak kembar berumur 4 tahun yang sangat mirip dengan dirinya dan Alvin. Alvin tersenyum, ikut mengkhayal.

Hening beberapa saat.

“Omong-omong...” ucap Agni, memecah keheningan diantara mereka. Alvin mengengok, mengangkat alis. Agni yang tidak berani memandang mata Alvin pun hanya melirik ke piano tersebut dan berkata,

“Katanya mau main?”


***


Alvin mulai memainkan pianonya, dengan lagu yang sesuai dengan kemauan Agni pada masa itu. Sebuah lagu favoritnya waktu itu.

Like We Used To.

I can feel her breath as she's sleeping next to me…

***

Tangan putih itu menggoreskan tinta pulpen di secarik kertas putih tak bernoda, mengungkapkan seluruh perasaannya. Kata-kata yang tertulis di dalamnya begitu menyakitkan, begitu menyesakkan dada. Tapi memang begitulah, hidup tak pernah adil.

Seseorang pernah berkata, kebenaran memang menyakitkan. Tetapi kau tak akan pernah menyangka bahwa kebenaran akan menjadi sepahit ini.

Seseorang pernah berkata, hidup memang tidak adil. Dan begitulah adanya.

Cinta itu begitu menyakitkan, apalagi ketika kau menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang sangat menyakitkan, lebih menyakitkan dari cinta itu sendiri. Maaf, selama ini aku tidak jujur padamu. Maaf, selama 3 tahun terakhir ini aku tidak bisa membahagiakanmu. Sudah cukup banyak kenangan indah antara kita berdua, dan aku tidak mau itu bertambah, karena semakin banyak kenangan itu ada maka semakin pahit buah yang akan dihasilkannya. Maafkan aku, sungguh. Maaf.

Aku mencintaimu selalu, dengan segenap hatiku. Hati ini hanya untukmu, wanita yang tak sempurna tetapi mampu membuatku berpaling dari hidup yang menyakitkan waktu itu, Agni Tri Nubuwati.

I love you, even when everyone’s try to make me forget this feeling.


With pain and regrets,

Alvin J. S.



+++

AKHIRNYA SELESAI JUGA INI PART!!

AAAAAAA!!! Seneng banget, akhirnya jadi juga!! Udah lama banget ini bikinnya, sempat tertunda gara-gara ditutup, tapi gara-gara DINDA, PAHLAWAN PENYELAMAT STA INI, part ini selesaaaaaaaaaiiiiiiiiiiii!!!!!!

Oke, maaf yaa kalau kurang gimanaaaaa gitu. Dan saya bisa pastiin kalau part 6 itu part terakhir. Udah saya kasih bocorannya, kan? Alvinnya mati. Dengan cara yang sangat sangat menyakitkan. Dan di part terakhir ini bakalan pada tau kenapa judulnya surat terakhir Alvin...

Gimana? Udah ketebak belum teka-teki di part 2? Hayooo... udah ampe part 5 nih, bentar lagi part terakhir loohh... oya, GBL ditunda dulu ya sampe STA selesai? Nanggung nih...
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Udah kebaca belom masa lalu AlNi yang harmonis? Hehehe... keren ya? Jadi ngiri, pengen punya pacar kayak gitu juga sih... hehehe.

oya, terakhirnya agak gak nyambung ya? itu cuma biar bikin penasaran dan manjang-manjangin part doang sih, hehehe... gak papa kan? wahuahua.

Ditunggu komennya!

Any critics?

-penulis-


NEXT PART

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Part 4

PREVIOUS PART


Agni diam, menatap punggung Alvin yang kian menjauh dari rumahnya. Jauh... jauh... dan akhirnya menghilang ditelan malam. Agni menghela nafas. Bagaimana pun juga, semua ini terlalu cepat baginya. Ia memandang langit malam, seolah itu bisa memberinya jawaban dari pertanyaannya. Apa yang harus ia lakukan?

Sesuatu menepuk pundaknya. Spontan Agni menengok ke bahu kanannya, tempat sesuatu menepuknya. Sebuah tangan. Tangan siapa—? Dengan penasaran matanya menelusuri tangan tersebut, lengannya, bahunya, dan... wajah yang dikenalnya. Cakka.

"...sabar ya Ag..." ucap Cakka, matanya menerawang jauh ke arah Alvin pergi. Agni hanya tersenyum kecil. Perih. Setelah ia mencerna kejadian tadi—yang rasanya begitu cepat baginya—matanya memanas, air matanya yang sedari tadi memberontak berusaha keluar dari cengkraman matanya mulai melaju perlahan. Cakka menyadarinya, lalu melihat sekeliling untuk mencari cara agar Agni bisa menangis sendirian dengan tenang. Melihat sesuatu—tepatnya sebuah pintu bertuliskan ‘TOILET’—ia pun mendapat ide.

"Ag, gue ke toilet dulu ya. Di situ kan?" tanya Cakka sembari menunjuk pintu yang memberinya ide tersebut. Agni menengok, memperlihatkan matanya yang sudah berkaca-kaca lalu mengangguk. Cakka tersenyum paksa lalu berlari kecil ke arah toilet.

"Jika air mata memberontak untuk keluar, biarkanlah" bisik Cakka—tidak kepada siapa-siapa—sembari berjalan ke arah toilet. Agni yang mendengarnya tertegun dan menengok ke arah Cakka yang memasuki toilet rumahnya. Ia diam, memikirkan bisikan Cakka yang, secara tidak langsung, memberinya nasihat yang berarti. Setelah puas melihat pintu toilet yang tertutup rapat, Agni membalikkan badan dan menangis. Mengalah pada air mata yang telah memberontak untuk keluar, membiarkannya lepas dan menetes melalui pipinya. Agni terisak pelan, ia belum siap untuk menerima ini semua. Memang, Alvin telah menyakitinya. Memang, hal itu telah terjadi selama 3 tahun. Memang, seharusnya ini terjadi semenjak dahulu kala. Tapi...

Agni menghapus air matanya, yang terus saja keluar. Ia menyerah lalu bersandar, dan menghela nafas setelah 10 menit berlalu. 10 menit dalam hidupnya yang ia isi dengan tangisannya. Berharap dekapan hangat Alvin akan ada untuknya, membantunya melalui semua ini...

Tunggu. Bukankah ia sendiri yang tidak suka bila dipeluk? Pelukan yang membuatnya merasa tak berdaya? Merasa lemah?

Agni tersenyum kecil. Ternyata benar apa yang dikatakan orang-orang.

Seringkali kamu baru menyadari pentingnya suatu hal ketika hal itu pergi...


Ah. Bahkan suara Alvin masih saja terngiang-ngiang di kepalanya. Beginikah rasanya? Ketika kau patah hati? Inikah resiko jatuh cinta?

Beribu pertanyaan lain menyerbu pikiran Agni. Tentang dirinya. Tentang Alvin. Tentang... Cakka?

Nama itu muncul begitu saja di otaknya, membuatnya sadar akan suatu hal. Kok Cakka lama banget ya di toilet? Masa sih pulang tanpa pamit? Gue kan di ambang pintu... batinnya berkata. Jangan-jangan...

Dengan berprasangka buruk, Agni berdiri dan menuju toilet. Diketuknya pintu itu. Tok tok tok, Agni mendengar bunyi yang ia timbulkan. Tidak ada jawaban. Tok tok tok, Agni mengetuk pintu lagi. Masih tidak ada jawaban. Agni mengerutkan kening tanda bingung. Apa mungkin, Cakka adalah pencuri yang memanfaatkan waktu menangisnya untuk mengambil beberapa barang berharga dan kabur lewat jendela? Tidak apalah. Agni merelakannya. Setidaknya, Cakka sudah memberikan salah satu kenangan terindah dalam hidupnya...

"Shil, tolong bantu gue..." ucap sebuah suara yang dikenalnya. Suara Cakka.

Agni mematung. Cakka berbicara dengan siapa? Shilla? Bukannya Shilla udah meninggal? Apa Cakka paranormal yang bisa melihat hantu? Atau orang yang mempunyai ketidakseimbangan emosional karena belum bisa melepas mantan kekasihnya itu? batinnya bertanya, pertanyaan yang tentu saja belum bisa ia jawab. Ia pun menghela nafas. Tadi, ia tidak mendengar suara pintu terkunci. Dengan harapan kecil bahwa toilet belum dikunci, Agni pun meraih gagang pintu dan membukanya.

KLEK, pintu terbuka.


***


Cakka menutup pintu toilet setelah berbisik secara tidak langsung kepada Agni tadi. Untuk membiarkannya menangis. Membuatnya... lega. Lagipula, ada sesuatu yang harus dilakukannya. Ia menatap pantulan dirinya di kaca, lalu merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berwarna merah. Lebih tepatnya sebuah kotak kecil. Kotak merah lembut yang akan dipersembahkannya pada Shilla... 2 tahun lalu. Tepat sebelum hal itu terjadi. Sebelum nyawa kekasihnya direnggut.

Cakka menghela nafas. Seharusnya ia tidak mengingatnya, atau setidaknya, tidak menyesalinya. Tapi, hal itu tetap saja menyakitkan.

Cakka memandang pantulan wajahnya di kaca. Masih sama. Wajah oriental itu. Kulit kuning langsat bercampur putih itu. Rambut hitam itu. Semuanya. Semuanya yang Ashilla Zahrantiara puji. Yang hilang hanyalah... senyum manis yang menghiasi wajahnya. Cakka melihat pantulan dirinya selama beberapa saat, lalu mendesah sembari memandangi kotak merah itu.

"Shill, apa yang harus gue lakuin?" tanyanya kepada pantulan dirinya di kaca, yang diam membisu. Ia menunduk, memandangi kotak kecil yang berada di dalam tangannya.

"Gue tau, lo nolak benda ini, memutuskan hubungan kita, dan bilang kalau gue harus ngasih benda ini ke orang yang udah bikin gue inget sama perasaan yang semua orang sebut 'cinta'. Tapi... gue gak tau, Shill. Gue gak tau gimana caranya," curhatnya pada pantulan dirinya di cermin.

"Kalau lo denger ini, gue minta lo bantuin gue. Ini gak semudah yang gue bayangin, karena lo emang sohib gue dari kecil. Tapi Agni..." Cakka menghela nafas. Memandang cermin yang melakukan tugasnya untuk memperlihatkan dirinya.

"Gue baru kenal Agni. Baru..." Cakka melihat jam di tangannya, lalu. "...sekitar 4 atau 5 jam. Gue... gak tau mesti gimana, Shill. Apa gue mesti langsung ngelamar dia gitu aja? Kan gak lucu. Lagian lonya juga sih, pake minta gue ngelamar orang yang bisa bangkitin 'rasa cinta yang telah tertidur' dalam diri gue begitu gue sadar. Lo mau ngetawain gue ya dari atas sana?" tanyanya sembari melihat ke langit-langit kamar mandi. Membayangkan wajah cantik mantan kekasihnya yang sedang tertawa. Ia pun menunduk, memeras sebagian rambut depannya yang ia angkat ke atas kepala, lalu bersandar di dinding dan memejamkan mata. Berpikir keras selama beberapa menit. Berjuang mencari cara untuk lepas dari rasa bingung yang menyelimuti dirinya.

Tok tok tok, suara pintu yang diketuk tidak dihiraukannya. Beberapa kali. Sampai akhirnya ia membuka matanya, menatap bayangan cermin di depannya, lalu berkata pelan,

"Shil, tolong bantu gue..."

Hening beberapa saat. Cakka tau, sebanyak atau sememelas apa pun ia meminta Shilla untuk membantunya, hal itu tidak akan tercapai. Bahkan sedikit pun tidak. Ia bersandar kembali dan memejamkan matanya.

KLEK, pintu terbuka. Membuat Cakka membuka kembali matanya, dan merasakan wajahnya memanas melihat siapa yang membuka pintu. Agni. Untung aja si Cakka lagi gak macem-macem, batin Agni berkata dengan senang. Agni mengelus dada.

"Cak, lama amet?" komentar Agni. Cakka tersenyum, membuat jantung Agni mendaftarkan diri menjadi peserta detakan jantung tercepat.

"Oh enggak, ehm. Tadi ya... agak sedikit mules" ucap Cakka cepat, dan berbohong. Mata Agni menyipit, memberikan pandangan menyelidik ke Cakka yang langsung melihat ke arah lain karena tidak nyaman.

"Terus? Tadi lo ngomong sama siapa?" tanya Agni. Cakka terdiam, menunduk. Kok Agni tau? Dia nguping ya dari luar? Emang kedengeran? batin Cakka bertanya.

"Cak..."

"Eh, itu, sama..." ucapan Cakka terputus lantaran ia tidak tau harus menjawab apa.

"Shilla?" selidik Agni. Cakka terdiam lalu... mengangguk. Agni diam.

"Mana Shilla-nya?" tanyanya, berpura-pura mengikuti 'permainan' Cakka ini. Kalau benar dugaan bahwa Cakka memiliki ketidakseimbangan emosi atau mental karena Shilla pergi, seharusnya ini jalan terbaik. Karena, dengan begitu Cakka akan tau bahwa ada seseorang yang mendukungnya dan perlahan-lahan, ia akan melupakan objek yang membuatnya memiliki ketidakseimbangan mental atau emosi, yaitu—dalam kasus ini—Shilla. Cakka tertawa melihat Agni yang celingak-celinguk mencari seseorang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini.

"Ag, lo nyadar kan kalau Shilla udah tenang di atas sana?" tanya Cakka. Agni terdiam. Ternyata dugaannya salah. Cakka tidak memiliki ketidakseimbangan emosi atau mental. Atau... jangan-jangan dia berkepribadian ganda?! Oh oke, Agni memang suka memikirkan hal yang aneh-aneh. Tapi itu masuk akal, kan?

"Jadi... lo tadi ngomong sama siapa?" tanya Agni. Cakka menunjuk cermin.

"Tuh" ucapnya. Agni mengalihkan pandangan ke arah yang Cakka tunjuk.

"Cermin?" tanya Agni. Cakka tersenyum.

"Di akhir suratnya, ia berkata, 'jika kau rindu padaku, tataplah cermin, dan ceritakan semua masalahmu ke sana. Mungkin kau tidak bisa melihatku, tetapi aku akan selalu membantumu'" ucap Cakka. Agni memandangnya. Dalam keadaan seperti itu, Cakka tampak... keren. Dan dewasa. Agni merasakan pipinya memanas, yang membuatnya menunduk saking malunya.

Hening beberapa saat.

Cakka memandangi kotak yang ia genggam sembari berpikir untuk menyerahkannya atau tidak. Ia berkali-kali memandang cermin untuk bertanya pada Shilla, tetapi wajah manis Agni yang terpampang di sana membuatnya malu dan menunduk kembali, menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia pun menghela nafas.

Di benaknya, bayangan hubungannya dan Shilla kembali menghantui. Tentang Shilla yang menolaknya, membuatnya takut akan hal yang sama akan terulang lagi, tetapi kali ini pada Agni. Cakka memasukkan kotak itu ke dalam kantungnya. Lagi pula, ia dan Agni baru bertemu beberapa jam...

tapi, bagaimana jika hanya inilah waktu yang ada untuk menungkapkannya?

Cakka terdiam sesaat. Kalimat itu mengunjungi pikirannya begitu saja, beserta sebuah flashback kejadian kematian Shilla. Cakka memegangi dadanya ketika rasa sesak menerjang dirinya. Tidak. Ia harus kuat. Ia melirik Agni yang sedang memandang kaca. Ya, ini saatnya.

"Agni..." panggil Cakka pelan. Agni kaget lalu menengok. Dilihatnya Cakka yang sedang tersenyum kepadanya. Agni balas tersenyum.

"Kenapa?" tanya Agni. Cakka mendekat, lalu memeggenggam tangannya. Agni menganga. Terlebih saat Cakka berlutut di hadapannya.

"Agni, mungkin kita baru bertemu beberapa jam, dan gue tau ini semua masih terlalu cepat buat lo. Tentang Alvin... gue turut sedih, tapi..." ucap Cakka. Agni mengangkat alis.

"Jadi, maksud lo adalah...?" tanya Agni. Cakka menghela nafas.

"Maksud gue..." ucapan Cakka terputus. Kenapa sulit sekali melakukan ini?

"Maksud gue..." Cakka mengulang ucapannya, yang terputus kembali. Oh, sepertinya Cakka lebih memilih untuk memasukkan kepalanya ke dalam kakus daripada mengatakan hal ini kepada Agni.

"Maksud gue..."

"Cak, tolong bilang intinya sama gue. Gue udah mulai bosen sama posisi ini" ucap Agni. Cakka menghela nafas.

"Agni Tri Nubuwati, would you like to be the last girl in my life? Yang akan selalu menemaniku setelah kita melakukan upacara sakral yang akan mempersatukan kita?" ucap Cakka memulai, lalu merogoh kantungnya untuk mengambil sebuah kotak kecil berwarna merah.

"Dan, inti dari semua ini, maukah kau menjadi pendamping hidupku, for the rest of my life?" sambungnya dan membuka kotak tersebut, memperlihatkan sebuah cincin perak mungil yang dihiasi dengan berlian yang lebih kecil. Agni menganga. Cakka ngelamar gue?! Ini kenyataan kan? Bukan mimpi?! batinnya. Agni mencubit pipinya. Sakit. Ia mencubit lengannya. Masih sakit. Ia pun mencubit pipi Cakka (yang langsung merintih kesakitan). Nyata. Ini semua nyata!

Tiba-tiba, Agni tertawa. Membuat Cakka bingung. Apa jangan-jangan Agni udah gila? Gara-gara gue lamar lagi?! MAMPUS!! batinnya. Stress. Ia terdiam.

"Cakka... Cakka... Cakka!" teriaknya di sela-sela tawanya. Lalu ia menyelesaikan tawanya sementara Cakka terbengong-bengong menyesali keputusannya.

"Cakdut," panggil Agni, yang langsung membuat Cakka cemberut.

"Oke. Cakka," ralat Agni, membuat senyuman merekah di wajah Cakka. Agni nyengir.

"Cak, tau gak?"

"Enggak, soalnya lo belum kasih tau" sambar Cakka cepat. Agni menatapnya tajam. Cakka balas menatapnya dengan tatapan serius. Dengan cepat Agni memandangi cermin.

"Cak, berdasarkan apa yang gue tonton di TV TV, gue sih ngarep kalau gue jadi si cewek yang dilamar sama si cowok di taman, setelah PDKT berbulan-bulan, dengan yang cewek make dress dan yang cowok make jas..." ungkapnya, lalu tersenyum geli.

"Ternyata gue ngarepnya kejauhan. Gue dilamar di sini, di toilet rumah gue, setelah beberapa jam bertemu sama lo, belum sampai sejam gue putus sama Alvin, dan dengan penampilan gue yang super acak-acakkan kayak gini?" tanya Agni sembari tersenyum geli. Cakka melihatnya dari atas sampai bawah. Oh iya. Benar juga. Kenapa ia tidak kepikiran?

Agni masih memakai kaus putih dan jeans yang penuh dengan noda berbagai macam saus—saus sambal, tomat, kecap, cuka, dll—dan mereka sedang berada di toilet. Catat, DI TOILET. Bagaimana bisa ia melupakannya? Mungkin ia terlalu fokus kepada betapa gugupnya ia untuk mengadakan acara lamaran ini, sehingga tidak memikirkan logika. Cakka tersenyum.

"Jadi? Gue ditolak?" tanya Cakka. Kini giliran Agni yang tersenyum.

"Siapa bilang gue nolak?" Agni balas bertanya. Cakka menarik kedua ujung bibirnya agar membentuk sebuah senyuman yang indah.

"Like one of Beverly Barlton's novel, Cold Hearted," ucap Agni. "Wrong time, wrong place, but there's nothing wrong with the guy" sambungnya, mengutip sebuah kalimat dari novel tersebut. Cakka memperhatikannya.

"So it's mean that..." ucapan Cakka terputus ketika ia merasakan sepasang lengan memeluknya dari belakang dan sebuah kecupan mendarat di pipinya.

"We're officially engaged now" sambung Agni. Cakka pun memasang wajah bahagianya. Bahagia karena telah mencapai salah satu kesepakatan terpenting dalam hidupnya, bahagia karena ia telah menang, dan bahagia karna... ia telah mendapatkan wanita idamannya. Agni tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Cakka balas tersenyum mengerti, lalu—dengan perlahan-lahan—ia pun memakaikan cincin tersebut di jari manis Agni, yang langsung melingkar dengan anggun di sana. Agni mengangkat tangannya perlahan, lalu mengagumi cincin yang telah diberikan Cakka.

"Hei, tapi kita gak cepet nikah ya" ucap Agni. Cakka mengernyitkan dahi tanda bingung.

"Maksudku, kita memang sudah berunangan, tetapi aku gak mau cepet-cepet nikah. Kan aku juga belum lama kenal kamu, nanti aja kalau aku ngerasa kita udah siap..." ucap Agni, memandang Cakka. Berharap agar Cakka mengerti. Cakka tersenyum dan mengangguk. Agni yang gembira pun memeluk Cakka.

"Tapi nanti kamu ketemu ya sama papa dan mamaku" ucap Cakka. Agni terdiam, melonggarkan pelukannya, dan akhirnya melepaskannya.

"Emang wajib ya?" tanyanya polos. Cakka tertawa.

"Iyalah. Atau kamu mau kita kawin lari, gitu?" tanya Cakka, yang sekarang membuat Agni tertawa.

"Ya deh... tapi besok ya" ucap Agni.

"Haahh?? Besok kamu pengen kawin lari gitu?! Jangan Ag! Itu dosa!!" seru Cakka.

"Bukaaannn!! Maksudku, oke, aku mau ketemu sama papa dan mamamu besok," jelas Agni setelah membantah pernyataan Cakka. Cakka manggut-manggut.

Hening beberapa saat.

"Ag..." panggil Cakka.

"Hmm?"

"Kita..." ucap Cakka. Agni mengangkat alis, menandakan ia menaruh perhatian pada Cakka.

"Ke McD yuk? Aku laper" ucap Cakka. Agni berpikir sebentar.

"Yuk. Aku juga" ujarnya setuju sembari mengangguk. Cakka balas mengangguk. Agni mengangguk. Cakka mengangguk lagi...

"Udah ah yuk jalan!" ajak Agni yang sudah bosan mengangguk-angguk terus. Cakka tertawa dan mengacak-acak rambut Agni.

"Eh bentar" ujar Agni, menghentikan langkah mereka berdua.

"Aku ganti baju dulu ya" ucap Agni lalu segera berjalan dengan cepat ke lantai atas. Cakka hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu tenggelam dengan pikirannya sendiri.

"Ag!" panggil Cakka.

"Ya?" tanya Agni dari lantai atas.

"Menurutku, kamu udah cantik walaupun dalam kondisi kayak gitu" puji Cakka tulus, membuat wajah Agni memanas. Cakka menikmati tiap detik saat melihat wajah Agni yang manis memerah.

"A... aku ganti baju dulu ya" ucap Agni, mengakhiri detik-detik yang menyenangkan bagi Cakka dan canggung baginya. Ia pun masuk ke dalam kamar untuk berganti baju. Cakka terkekeh. Manisnya... batinnya, mengingat kembali wajah Agni yang menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ia pun tersenyum, lalu memandang kaca yang tergantung di dinding.

"Makasih Shill, akhirnya gue bisa nyari pengganti lo. Makasih atas bantuannya" ucapnya tulus, membayangkan wajah Shilla yang tersenyum seperti biasa. Lalu matanya beralih ke Agni yang sudah berdandan rapi. Ia tersenyum dan mendekat.

"Mari kita pergi ke McD, Tuan Putri" ujarnya sembari membungkuk. Agni tersenyum geli.

"Baiklah, Pangeranku" ucapnya, meladeni permainan Cakka. Cakka tersenyum lalu berdiri tegak kembali.

"Ayo" ucapnya lalu menggandeng tangan Agni keluar. Mata Agni menyipit.

"Bawa mobil gak?" tanya Agni. Cakka menggeleng. Agni menatapnya.

"Terus kita ke sana naik apa? Motor?" tanya Agni. Cakka menggeleng.

"Bukan juga" ucapnya.

"Terus? Sepeda gitu? Gak lucu deh" komentar Agni. Cakka tertawa lalu menggeleng lagi.

"Jadi?" tanya Agni.

"Kita jalan kaki ya" ucap Cakka lalu keluar, menembus dinginnya angin malam. Lebih tepatnya angin pagi, mengingat jarum pendek jam tangan mereka sudah menunjuk angka 3. Agni tentu saja kaget. Ia juga kedinginan.

"Cak, dingin banget!" keluh Agni. Cakka tersenyum, lalu melingkarkan sebuah syal putih bermotif polkadot merah di leher Agni. Sangat cocok bila dipadukan dengan kaus putih yang sedang Agni pakai. Agni mendesah kaget.

"Masih kedinginan?" tanya Cakka, memasukkan tangannya ke kantung jeans yang ia pakai. Agni tersenyum.

"Enggak" ucap Agni jujur, karena walaupun angin dingin menerjang tubuhnya yang memakai kaus putih lengan pendek yang dipadukan dengan celana jeans selutut, tubuhnya sudah cukup hangat dengan kasih sayang yang Cakka berikan. Cakka tersenyum.

Dengan cahaya rembulan dan bintang-bintang menyinari jalan mereka, mereka berjalan dalam diam, membuat mereka merasa begitu tenang, begitu nyaman.

Karena kasih sayang mereka terpancar dengan genggaman tangan mereka, bukan dengan kata-kata.


+++


Hufftt, akhirnya selesai juga nih part 4. Lama ya? Tapi panjang kan? Ahahaha.

Sebenernya pengen dimasukkin adegan pas di McDnya, tapi yaa... kayaknya kepanjangan deh. lagian ntar lama-.-

Kira-kira udah mau mencapai ending nih, gimana dong? Apakah hubungan Agni dengan Cakka akan berjalan mulus layaknya sebuah mutiara yang tidak ada cacat sama sekali?

Atau mereka akan diuji dengan sebuah batu yang memisahkan mereka?

Silahkan lihat di part selanjutnya!!

khusus fb : inget yaa, note cuma bisa ditag 30 orang. MAKSIMAL. Jadi, ayo nge-like dan komen duluan!! Siapa tau dapet tag. AYOO!!

Sekian, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!!
http://www.blogger.com/img/blank.gif
Any critics?

-penulis-


NEXT PART

Like We Used To (Surat Terakhir Alvin) - Part 3

PREVIOUS PART

+++


"Vanilla latte-nya dua" ucap Cakka yang tengah berada di sebuah cafe.

"Vanilla latte dua..." gumam wanita penjaga kasir tersebut sembari menekan tombol-tombol alat di depannya. "Ada yang lain?" tanyanya, menyambung perkataannya tadi.

"Tidak" ucap Cakka sembari menggeleng.

"Semuanya jadi 75.000 rupiah" ucap sang penjaga kasir. Cakka meraih dompetnya dan menyerahkan 3 lembar uang bernominalkan Rp50.000,00; Rp20.000,00; dan Rp5.000,00. Pria ini memang suka membayar dengan uang pas.

"75.000 rupiah dan uangnya pas ya... silahkan, terima kasih" ucap wanita tersebut sembari tersenyum dan memberikan struk belanja. Cakka hanya mengangguk, mengambil belanjaannya, lalu pergi untuk menemui Agni


***


Agni sedang berada di ruang tamu, menunggu kedatangan Cakka. Berkali-kali ia menatap dirinya di cermin, berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Ia merasa rambutnya berantakan, sehingga ia menyisirnya dengan terburu-buru, yang membuatnya lebih berantakan. Ia melihat bajunya, dan merasa bajunya jelek dan perlu diganti. Ketika ia tengah meraih sebuah baju, bel rumahnya berbunyi. Ia melirik jam. 30 menit sudah berlalu sejak ia menutup teleponnya. Ia terkejut, Cakka benar-benar on time.

Sekali lagi, ia melihat penampilannya yang berantakan di cermin, lalu mulai kalang-kabut mencari sesuatu untuk merapikannya. Tiba-tiba...

BRAK BRUK BRUK BRAK GROMPYANG PRANGG!!

Agni terjatuh bersamaan dengan barang-barang lainnya. Cakka yang mendengarnya dari luar pun panik dan menekan bel semakin keras dan kencang.

"AGNI?! LO KENAPA? BUKAIN PINTUNYA!!" teriak Cakka, membuat Agni merasa malu dan panik.

"Gu.. GUE GAK APA-APA KOK CAK!!" balas Agni, lalu berlari sekuat tenaga ke arah gerbang dan membukakannya. Mulut Cakka menganga melihat rambut Agni yang kusut, penampilannya yang berantakan, dan bajunya yang terkena noda berbagai saus—kecap, saus tomat, sambal, dan lain-lain.

"A.. Ag, lo kenapa? Kemasukkan maling terus lo berantem sama dia?" tanya Cakka antusias, membuat warna merah merona tampak pada pipi Agni.

"Enggak... ehm. Gue... gue ketiduran, terus..." Agni berpikir, mencari kata yang pas. "Gue kaget pas lo ngebel, alhasil gue jatoh sambil nabrak meja... eehh, gelas, piring, dan lain-lain jatoh dan pecah!" sambung Agni tanpa berpikir. Cakka diam sebentar, terbengong-bengong mendengar cerita Agni yang begitu... menggebu-gebu. Lalu ia tertawa.

"Kalau gitu, sori ya udah bikin lo jatoh sampe segitunya... tapi hebat juga lo, 30 menit bisa tidur!" komentar Cakka. Agni hanya tersenyum.

"Ya udah... masuk aja dulu" ajak Agni.

"Gue cuma nganterin ini doang kok" ucap Cakka sembari mengulurkan plastik bento milik Agni serta vanilla latte yang ia beli tadi.

"Idih. Jahat amet lo ninggalin gue. Main bentar dong" protes Agni. Cakka tersenyum.

"Jam setengah satu kita ada di rumah lo berdua. Bisa-bisa digerebek pak RT" tanggap Cakka.

"Kalau iya gue tinggal meng-kambinghitamkan lo. Bilang lo yang ngelakuin, gue cuma korban tak bersalah" ucap Agni, membuat satu toyoran spesial dari Cakka mendarat di kepalanya.

"Auu!" ringis Agni sembari mengelus kepalanya.

"Enak di lo, gak enak di gue gila!!" seru Cakka. Agni nyengir.

"Ya gak bakalanlah gue setega gitu ama lo. Udah, masuk aja ke dalem. Pak RT lagi liburan ke Prancis" bujuk Agni sembari menarik Cakka ke dalam. Cakka hanya pasrah menerima keadaan.


***


Sesampainya di dalam rumah Agni (yang membuat Cakka menganga karena benda-benda berserakan di sana-sini), Agni langsung 'mendudukkan' Cakka di kursi ruang makannya.

"Cak, kan gue beli bento dua, lo mau makan gak satu? Yah, sebagai tanda terima kasih karena lo udah mau nganterin ini malem-malem gini" ucap Agni. Cakka hanya tersenyum sembari mengangguk. Agni pun tersenyum lalu berjalan ke arah dapur—yang dipisahkan dengan ruang makan melalui kaca—lalu memanaskan bento sementara Cakka menyeruput vanilla latte miliknya. Cakka meletakkan gelas berisi minuman yang ia seruput lalu memerhatikan sekelilingnya.

Perabot yang berantakan, cairan yang tumpah kemana-mana, dan Agni yang berantakan. Semuanya berhubungan, dan Cakka yakin itu bukan gara-gara Agni tertidur, terbangun karena kaget dan jatuh. Pasti ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang... disembunyikan darinya.

"Eh.. sori lama" ucap Agni sembari membawa baki berisi bento yang telah dipanaskan, membuyarkan lamunan Cakka. Cakka menengok lalu tersenyum.

"Gak terlalu kok. Malah cepet banget" komentar Cakka. Agni tersenyum kecil sembari meletakkan baki. Lalu ia duduk di hadapan Cakka dan makan. Cakka mengikuti Agni, ia juga makan.

"Jadi... lo sebenernya kenapa? Stress?" tanya Cakka. Agni diam.

"Eum... tadi ada angin puting beliung di dalem rumah" jawab Agni asal.

"Serius" ucap Cakka. Agni menghela nafas.

"Tadi gue nyari sesuatu... tapi gak ketemu" jawab Agni asal, tapi masih masuk akal. Cakka hanya manggut-manggut tanpa menyadari bahwa Agni berbohong. Tampangnya yang memelas begitu... meyakinkan.

"Nyari apa?" tanya Cakka.

"Eum... cincin" jawab Agni, benar-benar asal. Ia menunduk dan memainkan makanannya. Setelah itu ia mengalihkan pembicaraan sebelum Cakka mengeluarkan suara untuk bertanya.

"Jadi... lo punya pacar?" tanya Agni frontal. Cakka menatapnya lalu tertawa.

"Buat apa lo nanya? Lo naksir sama gue? Alvin mau dikemanain?" tanya Cakka bertubi-tubi, membuat garis bibir Agni melengkung ke bawah alias cemberut.

"Gak. Gue cuma iseng nanya doang. Alvinnya masih ada di hati gue laaahh..." jawab Agni sekenanya. Cakka nyengir.

"Boong lo. Gue tau lo suka sama gue" goda Cakka, membuat pipi Agni bersemu merah.

"Wo, Wooo GR! Udahlah, orang nanya tuh dijawab dong. Jawab gih" perintah Agni. Cakka tertawa.

"Sekarang sih enggak, tapi dulu pernah" Cakka pun menjawab pertanyaan Agni sembari tersenyum, membuat Agni mematung sebentar karena terpesona.

"Sama siapa?" tanya Agni penasaran.

"Ashilla Zahrantiara" jawab Cakka, membuat Agni tersedak.

"Ag? Lo gak papa kan?" tanya Cakka khawatir. Agni minum sebentar, lalu menarik nafas lega.

"Iya. Shilla maksud lo?!" tanya Agni kaget. Cakka mengangguk, membuat Agni mengubah raut wajahnya menjadi iba.

"Turut berduka ya" ucap Agni tulus. Cakka tersenyum kecut. Fakta bahwa wanita yang dicintainya meninggal 2 tahun yang lalu membuat Cakka... entahlah. Sedih, mungkin? Atau kecewa? Yang jelas sekelebat rasa perih muncul di hatinya.

"Yang berlalu biarkanlah berlalu, biarkanlah semuanya tinggal di kenangan kita. Biarkanlah mereka hidup dalam diri, hati, dan pikiran kita. Jangan membunuh mereka dengan berusaha melupakan mereka..." ucap Agni tiba-tiba, membuat Cakka tertegun dan menengok. Pandangan mereka pun bertemu. "...dan terimalah bahwa mereka telah pergi" sambung Agni tanpa mengalihkan pandangan. Selama beberapa detik mereka masih dalam posisi yang sama, tenggelam dalam pandangan satu sama lain yang menenangkan, menyenangkan, dan mententramkan hati. Yang diakhiri Cakka dengan tersenyum kecil.

"Dewasa amet lo. Dapet dari mana kata-katanya?" ledeknya, yang tanpa diduga memicu Agni untuk tersenyum dan menerawang jauh, jauh ke kenangannya bersama Alvin.

"Alvin..." jawabnya lirih. Cakka tertegun sesaat.

"Lo bener-bener cinta ya sama Alvin?" tanya Cakka. Agni menatapnya, lalu tersenyum.

"Menurut lo?" Agni balik bertanya.

"Apa gak ada... kemungkinan buat lo, sedikit aja, untuk melupakan Alvin?" tanya Cakka. Agni berhenti makan sembari berpikir.

"Alvin... orangnya baik. Banget" ucap Agni memulai. "Dia sahabat gue, dan cinta pertama gue" lanjutnya, membuat pipinya memerah.

"Dia selalu ngehibur gue dengan lawakan lucunya..." ucap Agni sembari mengenang kisah-kisah pertemuannya dengan Alvin.

"...selalu menginspirasi gue dengan kata-katanya yang dewasa..." lanjutnya. Cakka mendengarkan dengan saksama. Mendengar setiap patah kata gadis di depannya ini mengenai Alvin, orang yang... entahlah, beruntung?

"...dan memberikan pelajaran bagi gue, yaitu..." Agni membuka matanya yang sempat terpejam dan menatap Cakka tepat di matanya dengan pandangan tajam bercampur memelas, lalu melanjutkan kalimatnya.

"Hidup itu kejam, tapi kamu dapat mengalahkan itu..."

"Jika kamu yakin bahwa kamu dapat melalui itu semua, dan berdiri ketika hidup menjatuhkanmu" sambung Cakka sembari menerawang jauh. Agni menganga. Bagaimana Cakka...?

Cakka berdiri, lalu memeluk Agni dari belakang.

"Ada kalanya wanita harus bertindak tegas..." bisik Cakka. Agni mematung, mendengarkan.

"...ada kalanya sebuah hubungan harus berakhir" sambung Cakka. Agni diam. Ia berpikir, berpikir apa jadinya jika ia kehilangan Alvin.

Apa gue harus nyari pengganti lain?

Atau lebih baik gue sendirian seumur hidup dan jadi perawan tua?

Apa gue...


Agni diam, berhenti berpikir. Lalu ia menatap Cakka yang sedang menatapnya.

"Cak" panggil Agni.

"Hmm?" tanya Cakka.

"Ngapain lo bilang kayak gitu?"

Cakka diam.

"Lo mau gue putusin Alvin?" selidik Agni. Cakka hanya diam membisu.

"CAKKA!!!" teriak Agni.

"IYA GUE MAU LO PUTUSIN ALVIN!!" teriak Cakka, yang langsung membungkam mulutnya sendiri. Agni menganga.

"Apa lo... KYAA!!" belum sempat Agni menyelesaikan kata-katanya, Cakka langsung menggendongnya dan berputar (bukan ala ballerina) ke tengah ruang keluarga Agni yang luas sambil tertawa, mengundang Agni untuk tertawa juga.

CKLEK, pintu depan rumah Agni terbuka. Cakka dan Agni pun menengok, dan Agni pun membelalak.

"Alvin?!" seru Agni. Mendengar itu, Cakka langsung membantu Agni untuk berdiri. Alvin terdiam melihat mereka berdua.

Hening beberapa saat.

Alvin melihat sorot mata Agni sesaat sebelum Agni sadar ia masuk. Ia mengenal pandangan itu, pandangan seseorang yang sedang dilanda cinta. Apakah Agni... jatuh cinta pada pria yang menggendongnya itu? Dan tawanya, tawanya yang begitu manis... tawa yang belum pernah ia lihat selama beberapa tahun terakhir. Dan pria itu pasti mencintai Agni. Ia melihatnya, sorot mata yang dalam dan penuh kasih, penuh cinta. Pria inilah orang yang tepat, yang bisa menggantikannya di hati Agni. Tapi...

Haruskah ia menyerahkan Agni begitu saja?

Haruskah ia menyerah pada penyakit yang menggerogotinya ini?

Haruskah...

Tidak. Tidak, seharusnya ia tidak boleh menyerah sama sekali. Agni adalah miliknya, bukan milik orang lain...

"A, Alvin..." ucap Agni, membuat Alvin tersadar dari lamunannya yang berisi ribuan pertanyaan tentang Cakka dan Agni dan memasang tampang marahnya. BRAKK!! Ia menggebrak meja. Agni terkaget, ia tidak pernah melihat Alvin semarah itu sepanjang ia mengenal Alvin...

"JADI GINI YA?! SEMENTARA GUE KERJA LO MALAH SENENG-SENENG SAMA PRIA LAIN, GITU?! UDAH BERAPA ORANG YANG JADI KORBAN LO?!" teriak Alvin.

"Vi... Vin, ini semua gak seperti yang lo kira..." Agni mencoba untuk menenangkan Alvin, tetapi Alvin sudah terlalu emosi.

"ALESAN!! GUE TAU, LO PASTI NGEDUAIN GUE KAN?! Selama ini gue percaya sama lo Ag, tapi ternyata? LO NGEDUAIN GUE!! KECEWA BERAT GUE SAMA LO AG!!" teriak Alvin.

"Alvin, gue gak bermaksud buat nambah ruwet suasana, tapi biarin gue sama Agni jelasin, ini gak seperti yang lo kira..." ucap Cakka.

"LO DIEM!! GUE GAK BUTUH SARAN DARI COWOK PEREBUT CEWEK ORANG LAIN!!" teriak Alvin. PLAKK!! Sebuah tamparan mendarat di pipinya.

"ALVIN JONATHAN SINDUNATA!! GUE GAK NGEDUAIN LO DAN GAK BAKALAN PERNAH!!" teriak Agni yang tidak bisa menahan emosinya.

"TERUS APA YANG GUE LIAT TADI, HAH?!"

"GUE CUMA MAIN-MAIN SAMA CAKKA!! DIA TUH NEMENIN GUE SELAMA LO GAK ADA! KITA JUGA GAK BAKALAN KETEMU KALAU LO GAK TERLALU SIBUK SAMA PEKERJAAN LO ITU!!" teriak Agni.

"GUE KERJA BUAT MAKAN!!" balas Alvin.

"LO UDAH PUNYA BANYAK TABUNGAN!!" teriak Agni.

"UDAHLAH!!" teriak Cakka, membuat Agni dan Alvin menengok.

"Gak usah debat! Kalian ini kayak anak kecil aja. Vin! Gue sama Agni tuh gak ada maksud apa-apa, gue cuma mau nganterin bento malem-malem gini. Sebenernya mau besok, tapi dianya yang maksa! Ya udah gue ke sini, di suruh masuk sama Agni soalnya. Terus kita main-main kayak dua anak kecil, dan tiba-tiba lo dateng dan nuduh kita," ucap Cakka panjang lebar, lalu berhenti sebentar untuk menarik nafas.

"Udah jelas kan?! Makanya jangan negative thinking dulu dong!!" teriak Cakka. Alvin diam.

"Nah, apa kata Cakka tuh bener banget" ucap Agni sambil menepuk bahu Alvin perlahan. Alvin masih diam. Semuanya berputar di pikirannya—Cakka, Agni, penyakitnya, tatapan penuh cinta antara Cakka dan Agni...

"Gue gak percaya" ucap Alvin pelan, membuat mata Agni membelalak.

"Ag, gue pengen... kita putus" ucap Alvin, pelan. Agni membelalakkan mata semakin lebar.

"Kita udah gak cocok... lagian lo udah punya Cakka kan? Dia pasti bisa jagain lo" ucap Alvin tulus.

"Ta, tapi lo baru aja..." Agni menunjuk arah kanan, arah Cakka. Mengingatkan Alvin bahwa mereka baru saja berantem. Alvin tertawa lalu mengacak-acak rambut Agni.

"Gue pergi dulu ya" ucap Alvin untuk yang terakhir kali. Ia pun membetulkan letak tas ranselnya yang ia pakai di sebelah bahu, lalu berjalan ke arah pintu. Ia berbalik sebentar untuk menyampaikan pesan terakhirnya.

"Cak, tolong jagain Agni ya..." ucapnya, lalu pergi.

"Vin! Tunggu, lo mau kemana?!" teriak Agni. Alvin berbalik kemudian tersenyum.

"Ke sebuah tempat yang tenang, ketika kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun" ucap Alvin. Agni mematung. Mungkinkah tempat itu adalah..?

Tidak. Tidak mungkin, pikir Agni yakin.

Sementara Alvin melangkah, Agni masih tak habis pikir dengan kenapa Alvin pergi. Terutama dengan perubahan emosi Alvin yang begitu cepat...

detik itu juga, Agni tau bahwa ada esuatu yang salah.


+++


akhirnya jadi juga. Maaf yaaa kalau gak panjang atau jelek atau gak nyambung atau gimana. Penuis udah ngantuk... =_=http://www.blogger.com/img/blank.gif

Khusus fb : saya ngetagnya besokk... saya mau tidur dulu ya, byee!!

Oya, pada nyadar gak sih di part 2? Di situ ada kode tersembunyi looohh... yang bisa jawab saya promote di twitter sebanyak 10 X!!

terima kasih sudah mau membaca!!

Any critics?

-penulis- 


NEXT PART