(Part 1)
Gabriel menatap gadis di depannya dengan tatapan meledek. Sivia—gadis di depannya—hanya cemberut sambil kembali mengulek sambel dengan kesal. Gak lagi deh taruhan sama Iel, rutuknya dalam hati. Gini kan jadinya…
“Vi” panggil Gabriel, membuat Sivia menoleh dengan spontan.
“Apa?!” sahutnya sewot.
“Hehe” ucap Gabriel sambil nyengir. Sivia menggerutu.
“Gak penting” komentarnya dengan sewot, membuat cengiran Gabriel melebar. Tak ada yang lebih efektif untuk membuatnya nyengir dan tersenyum daripada berhasil membuat Sivia kesal. Sahabatnya dari MOS itu memang gampang-gampang susah kalau mau dikerjain. Namanya juga anak lugu, jadi harus dipikirkan matang-matang kalau mau bikin di kesel, atau Sivia tidak akan cemberut dan sewot seperti ini. Satu hal yang Gabriel tau akan membuat Sivia kesal adalah hal yang simple, tapi resikonya besar. Taruhan. Apalagi kalau ekstrem. Pasti Sivia dengan semangat nerima, kalau menang dia girang dan kalau kalah dia cemberut bercampur kesal seperti ini.
Seperti hari ini. rasanya Gabriel ingin mencium puncak kepala botak pak Mosh, guru fisikanya yang, walaupun kejamnya minta ampun, memberinya nilai 90 di ulangan super sulit andalannya. Lain halnya dengan Sivia yang ingin mencekik guru killer itu karena memberinya nilai dengan selisih 1 di bawah Gabriel, 89. Pasalnya, menurut taruhan yang dilakukan pemuda-pemudi itu 2 hari yang lalu—hari di mana mereka mengerjakan soal-soal super sulit itu—membuat Sivia, sebagai pihak yang kalah, harus memasak. Kegiatan yang paling dibencinya. Padahal Sivia sudah mewanti-wanti saat ia akan melihat rumah Gabriel yang tidak pernah didatangi selama setahun mereka bersahabat. Malangnya, yang ia dapat malah tugas untuk memasak satu set menu lengkap : nasi, sayur sop, perkedel, dan sambal super pedas, menu kesukaan Gabriel. Di rumahnya sendiri. Sivia mendesah pasrah.
“Tuh!” katanya 30 menit kemudian, dengan kesal menaruh piring berisi nasi putih di depan Gabriel. Pria itu terkekeh dan mengambil lauk, lalu mulai makan di depan Sivia yang cemberut di depannya. Gabriel tertawa sampai nasi yang ia makan hampir muncrat. Rekor, Sivia terus cemberut sampai sekarang. Gabriel tersenyum-senyum sendiri. Tidak salah ia memasang taruhan yang tinggi.
“Sori Siv, namanya juga taruhan. Ada yang kalah ada juga yang menang” ucap Gabriel seraya mengusap-usap perutnya yang kenyang. Sivia tersenyum masam. Ia benci diingatkan akan hal yang ia sendiri sudah tau. Anak kecil juga tau, pikir Sivia kesal. Gabriel tertawa seperti bisa membaca pikiran Sivia. Ia mengacak-acak rambut gadis itu.
“Tenang aja, ada waktunya kok lo ngeliat rumah gue” hibur cowok berkaca mata frameless itu.
“Oya? Kapan?!” tanya cewek manis berambut lurus itu dengan nada riang. Gadis itu memang lugu, cepat merubah emosinya dari yang seperti awan mendung menjadi langit paling cerah. Gabriel tersenyum lebar.
“Ntar aja, pas duah lulus kuliah!” jawab Gabriel setengah berteriak. Sivia melotot ke arah Gabriel dan menoyolnya. Gabriel tertawa.
***
2 manusia aneh bin ajaib itu memang super duper akrab sejak pertama kali mereka bertemu dengan cara yang bisa dibilang juga aneh.
Pertemuan mereka yang pertama kalinya itu terjadi saat mereka diMOS sama kakak-kakak OSIS plus panitia MOS a.k.a kakak kelas mereka yang sangar. Dan mereka sebenarnya harus berterima kasih terhadap kakak-kakak panitia MOS karena telah mempertemukan mereka, walau dengan cara yang… yah, sangat kejam. Bercanda, gak segitu kejam kok. Cuma hasil iseng kakak-kakak BN penjaga toilet yang menukar tanda ‘cewek’ dan ‘cowok’ yang menghiasi pintu toilet lantai 2, toilet terdekat bagi Gabriel yang sedang kebelet pipis. Dan, setelah cowok bertubuh kurus itu masuk ke toilet berhiaskan tanda ‘cowok’—yang sebenarnya toilet cewek—kakak-kakak kejam itu tanda yang menghiasi pintu pun ditukar lagi. Kebetulan, Sivia sedang berada di dalam salah satu bilik toilet. Kebelet pipis juga, karena dipaksa minum air putih sebanyak 1,5 L sambil berdiri.
Tentu saja Sivia kaget saat menemukan seorang pria dengan dandanan hancur sesuai deskripsi kakak-kakak panitia MOS sedang mencuci tangan di salah satu wastafel tepat di depan bilik toilet yang baru saja dipakainya. Gabriel yang melirik kaca pun langsung shock begitu melihat pantulan bayangan Sicia yang sedang menganga. Gabriel berbalik dengan cepat, memastikan bahwa bayangan gadis yang dipantulkan kaca itu memang ada. Sivia menganga lebih lebar, bertambah kaget karena pria yang barusan berbalik itu beneran ada, bukan sebuah halunisasi belaka. Gabriel melotot kaget.
“HUWAAAA!!” teriaknya spontan.
“KYAAAAAAAAAAAA!!!!!” balas Sivia dengan teriakannya yang mencapai nada A tinggi di oktaf terakhir yang ada di piano. Kalau soal teriakan melengking, cewek yang masuk tim saman di SMP itu memang jago. Buktinya, teriakan tadi sampai terdengar ke seantaro sekolah, disusul oleh tawa terbahak-bahak yang berasal dari luar, tepatnya dari kedua kakak BN penjaga toilet yang iseng itu. Tawa itu segera berhenti begitu suara derap langkah kaki terdengar menggema ke lorong terdekat. Gabriel panik, antara khawatir dirinya akan dihukum atau malah gadis itu yang dihukum, karena sejujurnya ia sendiri juga tidak tau siapa diantara mereka yang salah masuk toilet. Ia pun menatap cemas ke arah Sivia yang berlari menuju pintu keluar toilet. Gabriel menggigit bibir, berharap cemas ini toilet cowok, namun merasa agak bersalah pada Sivia. Yah, kasian juga kan kalau cewek dihukum…
Seperti ada lampu yang menyala terang di atas kepalanya, ia pun memilih jalan tengah : berharap bahwa toilet itu toilet campuran. Yah, walaupun ia tau itu tidak mungkin. Jika memang iya, untuk apa tanda cewek dan cowok itu dipajang di 2 pintu?
Baru saja ide inisiatif Gabriel untuk mencegah Sivia membuka pintu muncul, gadis manis itu sudah membuka pintu, menampakkan pemilik suara langkah kaki yang menggema di koridor tadi. Sivia makin shock karena takut.
“Ada apa?” tanya cewek yang menatap gadis manis yang ‘membukakan’ pintu untuknya. Gadis itu—yang membukakan pintu—menunduk dengan takut-takut. Kakak kelasnya itu memang sangar.
“Jawab gue!!” teriak Angel, sang kakak kelas. Sivia menundukkan kepala makin dalam, lalu menunjuk ke arah Gabriel yang sedang berdiri di belakang tiang sapu. Niatnya sih untuk bersembunyi, tapi karena besar tiang sapu sama badannya beda jauh, Angel dan Sivia tidak bisa tertipu. Badan yang dibalut seragam SMA itu masih kelihatan, walaupun wajah cowok hitam manis itu tertutupi oleh dua telapak tangan hitam. Angel langsung melotot.
“Lo! Lo ngapain di sini?!” bentak Angel ke arah Gabriel yang tidak menyahut karena masih bersembunyi. Angel mendecak kesal dan berjalan ke arahnya, lalu membanting sapu yang menutupi sebagian kecil badan cowok itu, lalu dengan paksa ia menurunkan tangan Gabriel.
“Jawab pertanyaan gue!!” teriaknya. Gabriel tersentak kaget—sebagian kaget karena persembunyiannya gagal, sebagian lagi kaget karena, yah… siapa yang enggak tersentak begitu kalau ada kakak kelas galak yang membentak di depan wajahnya?—dan menunduk takut-takut.
“Kkke, kebelet pipis, kak…” ucap Gabriel pelan.
“Iya, gue tau! Ngapain lo pipis di toilet cewek, toilet cowok kan masih kosong melompong!” teriak Angel.
“Loh? Bukannya ini toilet cowok, kak?” tanya Gabriel setengah bingung. Angel langsung melotot sampai mata hampir keluar.
“INI TOILET CEWEK, DODOL!!” teriak Angel.
“Loh? Perasaan ini toilet cowok, deh…” ucap Gabriel sembari berjalan menuju pintu keluar untuk memastikan. Ia menengok ke depan pintu dan terdiam, kaget karena tanda yang menghiasi pintu tersebut bergambar stickman memakai rok. Stickwoman. Penanda toilet cewek. Gabriel langsung shock. Seingatnya tanda tersebut bergambar stickman, hanya stickman. Tidak pakai rok segala. Tapi ini? apa gerangan yang terjadi?? Apakah stickman itu memakai rok saat ia pipis tadi?!
“Kenapa diem?” tanya Angel dari belakang cowok hitam manis itu, membuat cowok itu terlonjak kaget.
“Eungg..” ucap Gabriel, dengan ragu-ragu berbalik ke arah kakak yang mempunyai rambut hitam panjang yang di-shaggy itu. “Hehehe…” lanjutnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kenapa kepala lo? Kegatelan?!” tanya Angel sambil membentak. Gabriel terdiam.
“Asal lo tau, gue gak suka cowok kegatelan kayak lo!” bentak Angel lagi. Gabriel hanya tertunduk, pasrah akan nasibnya. Ia pernah melihat temannya yang kena marah Angel. Hasilnya? Temannya itu langsung pindah sekolah karena takut sama Angel dan malu abis sama angkatannya. Gabriel menelan ludah.
“Tunggu apa lagi?! Lari ke bawah, ke lapangan hijau, terus elo lari 20 keliling! Abis itu lo scotjump sambil ngelilingin lapangan 5 kali, terus push up-sit up-back up 100 kali masing-masing. Abis itu jalan jongkok ke atas, terus duduk sampe gue panggil ke depan!” teriak Angel. Wajah Gabriel memucat.
“Heh, lo mau nunggu sampe kapan?! Cepet lari!!” teriak Angel. Gabirel tersentak kaget.
“I, iya kak…” ucapnya pasrah sembari segera berjalan lesu ke bawah.
“Enak banget lo jalan! LARI!!” teriak Angel. Gabriel langsung berlari secepat yang ia mampu ke bawah. Bukan karena disuruh doang, tapi emang pengen kabur dari Angel.
“Cakka! Awasin dia!” perintah Angel terhadap cowok berkulit kuning langsat yang menjabat sebagai BN di kabinet OSIS angkatannya. Cowok itu nyengir ke Angel, lalu berdiri dan ikut berlari santai ke bawah. Ia memang menikmati saat-saat menghukum adek-adek MOS, terlebih lagi hukuman kejam seperti ini. Angel hanya tersenyum puas, lalu berbalik dan menghadap Sivia.
“Dan lo, lo nyadar gak sih kalau lo udah mengganggu kegiatan belajar-mengajar di sekolah ini dengan teriakan melengking lo tadi?!”bentak Angel. Sivia menunduk dengan takut.
“Ma, maaf kak…” ucapnya dengan takut-takut.
“Jangan minta maaf ke gue, minta maaf ke seluruh orang di gedung ini!” bentak Angel dengan nada memerintah.
“Haahh??” tanya Sivia spontan, yang langsung disambut dengan pelototan Angel. Sivia menunduk.
“I, iya kak...” ucap Sivia dengan nada pasrah.
“Well, tunggu apa lagi?! Lari!! Minta maaf sama semuanya!” teriak Angel.
“Iya kak!” seru Sivia, lalu berlari sekencang-kencangnya menuju kelas terdekat.
“Yo, awasin dia” perintah Angel. Rio, BN satu lagi, langsung mengangguk ke arah Angel yang menjabat sebagai JBN dan menurutinya. Angel tersenyum puas, lalu berjalan dengan hati berbunga-bunga menuju aula serbaguna tempat peserta MOS berkumpul untuk diberikan materi, meninggalkan 2 peserta MOS yang sedang tersiksa karena dihukum dengan begitu kejamnya.
***
Entah sejak kapan kedua sahabat itu dijauhi oleh murid-murid lain. Padahal, mereka memiliki wajah yang bisa dibilang cantik dan ganteng. Pernah ada seorang kakak kelas bernama Alvin—salah satu cowok paling kece di sekolah—naksir sama Sivia. Ia pun mendekati Sivia yang waktu itu sedang membaca buku sejarah. Walau agak aneh, Alvin tidak terlalu memperhitungkan hal itu. Wajah Sivia terlalu manis untuk membuatnya ilfeel beneran. Lagian itu kan hanya masalah buku bacaan.
“Hei” sapa Alvin. Sivia mengangkat wajah, lalu mengernyitkan kening melihat siapa yang memanggilnya.
“Kak Alvin?” tanyanya sembari menutup bukunya. Alvin tersenyum lebar.
“Lagi ngapain?” tanyanya.
“Ngomong sama kakak, kan?” tanya Sivia balik. Alvin tertawa lepas, membuat gadis lugu di depannya mengernyit bingung.
“Kenapa kakak ketawa?” tanya Sivia, mengeluarkan sifat lugunya.
“Gak kenapa-napa, kok” jawab Alvin samar. Sivia mengulum senyum, agak kesal karena tidak diberi tau.
“Omong-omong kakakngapain ke sini?” tanya Sivia to-the-point.
“Emangnya kenapa? Gue gak boleh duduk diam di sini dan ngobrol sama lo?” tanya Alvin balik. Sivia tersenyum, tidak tau harus menjawab apa. Inginnya sih menjawab ‘tidak’, tapi kedepannya gak enak lagi…
“Omong-omong minggu ini lo ada acara?” tanya Alvin langsung.
“Eungg… gak ada kok kak. Emangnya kenapa?” tanya Sivia. Alvin tersenyum senang.
“Jalan, yuk!” ajaknya. Sivia terperanjat.
“Haaahhh??” tanggapnya. Alvin mengerutkan kening tanda bingung. Tidak biasanya ia mendapat reaksi seperti ini dari seorang cewek.
“Kenapa?” tanyanya langsung. Sivia nyengir, dalam hati merutuki kenapa ia bisa bereaksi seperti itu.
“Eungg… gak apa-apa kok kak, cuma kaget aja” ucap Sivia. Alvin tersenyum.
“Gimana? Mau gak?” tanya Alvin lagi. Sivia tersenyum miring, menimbang-nimbang dalam hati. Bingung harus menjawab apa. Ditolak kan gak enak, tapi kalau diterima sebenernya kan gak mau…
“Eunngg, emangnya bakalan kemana dan ngapain, kak?” tanya Sivia, mengulur waktu untuk menjawab sekaligus mencari lebih banyak alasan untuk menjawab.
“Ya… kamu maunya kemana? Ke mall aja yuk, nonton di bioskop, terus makan, terus main. Yang gitu-gitu aja” jawab Alvin seadanya.
“Yah, kak… jangan nonton bioskop kak, nonton wayang aja… kan bagus tuh, selain buat hiburan, bisa juga menambah ilmu sejarah! Kakak tau gak, kalau wayang itu dipakai untuk menyebarkan islam di Indonesia jaman dahulu kala? Terus kan wayang itu udah berkembang kak, ceritanya banyak, jenisnya juga banyak. Contohnya wayang kulit, terus ada lagi wayang orang, yang kayak di OVJ itu loh! Terus…” dan mengalirlah penjelasan tentang wayang yang super lengkap dari mulut Sivia. Alvin terdiam, menatap Sivia dengan wajah datar. Mendengarkan dengan menerapkan peribahasa ‘masuk kuping kiri keluar kuping kanan’.
“Eunngg… Siv, kamu suka nonton wayang, ya?” tanya Alvin hati-hati, memotong penjelasan Sivia tentang bagaimana cara membuat wayang. Berharap Sivia tidak menjawab ‘ya’, berharap Sivia hanya bercanda. Tidak, tidak mungkin cewek berwajah manis yang ia taksir itu menyukai wayang. Bisa jatuh nanti pamornya…
“Suka banget!” ucap Sivia dengan semangat. Alvin langsung ilfeel.
Berbeda dengan Sivia yang sempet dideketin sama cowok-cowok keren seantaro sekolah sebelum pada ilfeel semua, Gabriel harus gigit bantal dan menangis tersedu-sedu karena semua cewek di sekolah, lupakan yang cantik, populer, tajir, atau manis, yang biasa-biasa saja atau bahkan yang jelek sekalipun semuanya ilfeel duluan lantaran pengalaman pahit yang dirasakan Gabriel saat MOS. Hanya karena satu keisengan yang dilakukan oleh kakak-kakak BN yang kurang manis waktu itu, belum lagi hukuman Angel. Kebayang kan, seberapa bencinya Gabriel terhadap mereka bertiga?
Gabriel mendengus kesal mengingat nama Angel. Bagaimana tidak? Ia, yang notabene harus menjalani hukuman super berat harus pasrah saat dipanggil untuk maju ke depan sesaat saat evaluasi dilaksanakan. Padahal belum ada semenit ia masuk dan duduk di dalam aula serbaguna itu. Dengan ogah-ogahan ia pun berjalan ke depan dan berdiri di samping Angel dan Debo, sang ketum OSIS dengan wajah ditekuk. Dan… jeng-jeng-jeng, tanpa disagka-sangka dibeberkanlah semuanya—well, minus kalau itu hanya sebuah prank dari kakak-kakak BN tercinta—kejadian di toilet siang itu! Gabriel malu setengah mati, apalagi ia harus menerima teriakan-teriakan yang menghinanya dan tatapan-tatapan benci bercampur jijik dari teman-teman seangkatannya (tentu saja minus Sivia yang masih menjalani hukuman-minta-maaf-ke-seluruh-penghuni-sekolah). Belum lagi reaksi kakak-kakak kelas yang super lebay, sampai menamparnya dan menonjoknya segala.
Sejak saat itu, Gabriel tidak mau lagi memasuki toilet sekolah, tak peduli seberapa besar ia kebelet.
Dengusan kesal Gabriel berubah menjadi senyuman—persis seperti senyuman yang kau lihat sewaktu melihat orang gila senyam-senyum di jalanan—saat mengingat nama itu. Sivia. Pikirannya pun melayang pada saat pertemuan kedua sekaligus perkenalan antara dirinya dan Sivia. Kenangan yang terhitung paling manis bagi Gabriel.
***
Pertemuan kedua antara Gabriel dan Sivia diawali dengan Gabriel yang mendapat hukuman terselubung. Karena saat evaluasi wajahnya ditampari dan ditonjok di sana-sini, wajahnya pun diwarnai dengan warna merah bekas tamparan dan biru karena memar-memar dan dihiasi dengan bentuk cap tangan merah di kedua belah pipinya. Alhasil ia pun disuruh ke UKS untuk menyembuhkan lukanya dan meringis karena tidak ada satu orang pun yang ingin menemaninya, terlalu jijik untuk berbaik hati padanya. Dan seolah itu belum cukup, ia harus mengelilingi sekolah dengan wajah cemberut untuk mencari pantry karena di UKS tidak ada persediaan es batu untuk mengompres wajahnya dan guru UKS terlalu malas untuk mengambilnya. Belum lagi ia tidak tau letak ruangan kecil itu lantaran buku panduan sekolahnya—yang seharusnya menjadi malaikat baginya karena di dalamnya ada denah sekolah—disita. Dasar kak Angel, kejam banget kalau ngehukum!
Gabriel mendesah pasrah sambil berjalan turun ke bawah, berharap pantry berada di lantai bawah dan tepat di sebelah ruang BK, persis sama seperti letak pantry di SMPnya dulu. Ia mempercepat langkahnya, ingin cepat-cepat mengambil es batu, balik ke UKS, lalu pulang. Sesederhana itu. Yah, kalau ia masih memegang buku panduan sekolah itu.
Mata Gabriel menangkap bayangan seorang gadis yang sedang berkeliaran di dekatnya. Dengan segunung perasaan lega ia pun mendekati sosok gadis tersebut dengan niat bertanya letak pantry di mana. Yah, walaupun gadis itu berdandan hancur yang sangat seragam dengan peserta MOS, setidaknya ia punya denah sekolah…
“Hei” sapa Gabriel. Gadis itu menoleh, membuat kedua pasang mata yang saling bertatapan—milik Gabriel dan gadis itu—membelalak lebar.
“Lo…” ucap kedua orang itu bersamaan. “Lo yang ada di toilet, kan?!”
“Ngapain lo di sini?!”bentak Sivia, gadis yang tadi dihampiri oleh Gabriel. Gabriel meringis. Bertambah lagi satu orang yang membencinya. Tidak, sepertinya cewek itu yang pertama jijik padanya. Bagaimanapun, gadis itulah yang pertama kali melihatnya di dalam toilet…
Ohya, tidak semua cewek berada di toilet waktu itu. Hanya dia.
“Eunngg… gue minta maaf soal yang waktu itu, oke? Gue cuma dikerjain sama kakak-kakak BN itu kayaknya. Soalnya gue berani sumpah waktu itu sebelum masuk gue sempet merhatiin dua gambar itu. Gue gak mau kejadian kakak kelas gue salah masuk toilet pas gue kemping itu kejadian. Dan ternyata bener. Sumpah siapa pun nama lo, gue bener-bener minta maaf” ucap Gabriel panjang lebar. Gadis itu terdiam.
“Plis jangan marah ke gue, gue udah cukup dibenci sama seangkatan. Jangan sampe elo juga, karena kalau iya hidup gue mengenaskan dong…” sambung Gabriel tanpa benar-benar memikirkan apa yang dikatakannya, membuat akhir kalimatnya agak jayus. Sivia menatapnya tajam, lalu mukanya berubah mimik menjadi kaget.
“Muka lo kenapa?!” teriak Sivia histeris. Gabriel tertegun. Agaknya ia penasaran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh gadis yang sekarang berjalan mendekat dan mengamati wajahnya yang belang-belang itu. Ia tidak percaya gadis itu telah mengatakannya.
Gadis. Itu. Mengkhawatirkannya.
Butuh waktu lama bagi Gabriel untuk mencernanya.
Dari semua reaksi, dari semua caci maki yang bisa dikatakan oleh gadis itu, gadis itu malah mengkhawatirkannya. Yah, maaf saja, tapi itu agak tidak wajar. Bagaimana tidak? Jika Gabriel bertukar posisi dengan gadis itu, cowok itu yakin 100% ia akan memarahi dirinya, baru menolongnya. Itu pun hanya memberikan buku petunjuk sekolah, tidak sampai mengantarkannya. Dengan sinis. Setelah itu ia tidak akan berhubungan dengannya. Selamanya. Dan ini? Dunia benar-benar sudah kacau.
“Eunngg, justru soal ini gue samperin elo,”—Gabriel menjauhkan Sivia yang membuatnya agak tidak nyaman dengan melihat wajah amburadulnya terlalu dekat—“gue lagi nyari pantry buat minta es batu. Lo tau tempatnya di mana?” tanyanya. Sivia mengangguk pelan.
“Kayaknya tadi gue ngelewatin. Yuk, seinget gue tempatnya di atas” jawab Sivia, lalu menggandeng tangan Gabriel dan menariknya menuju tangga terdekat. Gabriel terkesiap dan langsung melepaskannya. Sivia berbalik ke arahnya dan mengangkat alis, meminta penjelasan.
“Lo gak usah nganter gue, gue minta buku petunjuk lo aja. Kan ada denahnya, kasian lo besok dihukum gara-gara gak ikut apel sore” ucap Gabriel setelah beberapa saat terdiam. Ia sendiri juga kaget karena melepaskan pegangan tangan dari gadis semanis Sivia. Entahlah, hanya saja… sepertinya setruman yang membuat degup jantungnya langsung naik drastis. Ia menunduk, agak malu. Sivia tersenyum.
“Enggak apa-apa. Sama aja kok, gue juga bakalan dihukum ini gara-gara telat apel. Mending dihukumnya besok, udah capek nih soalnya. Biar bisa istirahat. Lagian besok gak nanggung malu sendirian kok, kan ada temen hehe” ujar Sivia lembut. Gabriel tertegun sesaat, lalu tiba-tiba tersenyum.
“Oke deh. Yuk” ucap Gabriel, lalu mengikuti Sivia yang memandunya ke pantry.
***
“Thanks Siv” ucap Gabriel sembari menerima sekantung es batu yang didapatkan Sivia. Sivia mengangguk dan tersenyum.
“Sini, gue kompresin. UKS udah tutup, udah jam pulang soalnya. Pasti si guru pemales itu udah pulang. Lagian UKS jam segini udah jadi UKS mandiri, gak ada bantuan guru” ujar Sivia, lalu menarik Gabriel ke UKS. Gabriel hanya bisa pasrah ditarik-tarik karena dia tidak bisa melepaskan tangan Sivia yang menarik tangannya karena tangannya yang satu lagi sibuk memegangi kantung es dan tangan Sivia mencengkramnya terlalu kuat sehingga tidak bisa dilepaskan dengan berkelit. Tidak tau harus berbuat apa, ia pun mempercepat langkahnya, termotivasi oleh tangannya sudah membeku memegangi kantung es.
“Siv, cepetan… tangan gue beku nih” keluh Gabriel.
“Iya iya. Sabar dikit kek, tinggal belok dikit… nah! Tuh, nyampe kan? Makanya sabar” sahut Sivia sewot.
“Ya lo enak tinggal narik-narik gue, lah gue? Udah sakit ditarik-tarik, tangan gue beku lagi!” ucap Gabriel sembari memasuki ruangan UKS. Sivia yang sudah sampai dari tadi tertawa kejam sambil menarik dua kursi ke tengah ruangan. Gabriel cemberut dan menaruh kantung es di meja. Sivia tertawa semakin keras. Gabriel membanting dirinya di kursi, lalu kesakitan sendiri karena kursi keras itu beradu dengan tulang ekornya. Gabriel meringis kesakitan. Sivia tertawa terbahak-bahak.
“Sabar ya Yel, idup lo emang ribet” nasehat Sivia di sela-sela tawanya, membuat Gabriel makin cemberut. Sivia terkekeh, lalu meraih kantung es dan duduk di kursi samping Gabriel.
“Udah, stop ah cemberutnya. Sini gue kompres” ucap Sivia, mendekat ke arah Gabriel dan dengan hati-hati mengompres wajah pria itu. Gabriel hanya bisa diam dan mengepalkan tangannya kuat-kuat lantaran Sivia mengompresnya dengan cekatan. Saking cekatannya es-es batu yang dingin itu serasa menusuk wajahnya karena ditekan terlalu kuat oleh gadis manis itu.
“Woi, woi Siv! Pelanan dikit kek! Sakit nih yang di sini…” keluh Gabriel setelah beberapa lama.
“Ya sabarlah Yel, ini sengaja gue tusuk biar cepet sembuh” sahut Sivia, tetap menusuki Gabriel dengan es batu itu. Yah, kali ini lebih keras.
“Au, auu Siv pelanan dikit!!” teriak Gabriel sembari menjauhkan tangan putih Sivia yang sedang mengompres wajahnya, mengakibatkan warna-warni di wajahnya makin jelas terlihat. Entah karena pengaruh basah yang disebabkan oleh es atau memang lebamnya makin parah karena ditusuk-tusuk.
“Eh, kok bau pedes gini ya? Kayak bau… balsem?! LO APAIN MUKA GUE, SIIVV??!!” teriak Gabriel histeris.
“Ya lo tenang dikit kek, kan udah gue bilang, gue ngelakuin ini biar lo cepet sembuh kok” ucap Sivia tenang, lalu mendekatkan kantung es itu ke wajah Gabriel. Gabriel langsung menepisnya.
“Jawab pertanyaan gue” ucapnya. Sivia mendesah.
“Oke. Sebenernya, gue itu nerapin resep nenek gue. Nenek gue itu jago ngeracik obat-obatan, jadi gue dikasih buku resepnya. Nih” ucap Sivia sembari mengeluarkan sebuah buku saku kecil dari kantung rok abu-abunya dan menyodorkannya pada Gabriel. Gabriel menerimanya, lalu membuka halaman daftar isi. Matanya menelusuri tulisan-tulisan kecil itu dan membuka halaman 8, halaman yang menurut daftar isi tertera resep obat menghilangkan cap tangan dan lebam. Gabriel membacanya dengan hati-hati, lalu matanya melotot.
“APAAN NIH?!” tanyanya shock.
“Sekantung es batu, campur dengan balsem cap miyu miyu 24 gram, trombopop 30 gram, minyak kayu putih 3 sendok makan, minyak tawon 3 sendok makan, dan LUDAHI 3 KALI?! LO GILA SIV!!” teriak Gabriel, lalu segera berlari menuju toilet untuk membasuh mukanya. Sivia tertawa. Gabriel pun kembali dengan muka cemberut.
“Gabriel, gue gak ngeludahin itu juga, kali… gue juga jijik. Lagian itu ludah juga cuma buat iseng kata nenek gue, biar pada gak berani nyolong buku itu. Tapi agak repot juga sih yakinin orang-orang yang diobatin” ucap Sivia. Gabriel cemberut. Sivia tertawa dan mengacak-acak rambutnya.
“Udah, yakin aja kalau ramuan itu gak gue ludahin dan besok muka lo bakalan kembali mulus. Gak mulus-mulus amet sih, paling cap tangannya doang yang ilang dan lebamnya bakalan mudar dikit. Yah, setidaknya itu sih yang terjadi sama bokap gue pas kejedot pintu plus kejatohan buku plus dilempar buku sama gue. Hehe” hibur Sivia. Gabriel mendesah.
“Ya udah. Gue pegang janji lo. Awas aja ya kalau cap-cap jelek ini gak ilang, gue ludahin muka lo!” ancam Gabriel.
“Buset dah nyante bang… kejem amet ngancemnya. Iya iya ah! Gak percayaan banget jadi cowok” sahut Sivia sewot. Gabriel terkekeh.
“Maap bu Sivia…” ucapnya. Sivia mengangguk dan tersenyum. Gabriel membalas senyum manis gadis itu.
“Well, gue pulang dulu ya. Udah selesai kan ngompresnya?” tanya Gabriel sembari berdiri dan meraih tas ranselnya, dalam hati bersyukur ia membawa tas itu. Ia paling benci jika harus mengganggu rapat evaluasi OSIS di aula serbaguna hanya untuk mengambil tas.
“Yel…” panggil Sivia. Gabriel menoleh, menemukan gadis itu sedang menoleh ke arahnya. Pintu yang sedang dibukanya terpaksa digantung, hanya menekan ganggang pintu. Mendorong pintu putih itu agar terbuka adalah langkah selanjutnya dalam misi membuka pintu.
“Sampai ketemu besok” ucap Sivia lembut, senyuman manis mengembang di wajahnya. Gabriel terpaku. Desiran-desiran itu kembali datang. Ia seolah tenggelam dalam ketenangan, rasa teduh yang ia dapatkan ketika menatap kedua bola mata indah milik gadis yang duduk tak jauh dari tempat ia berdiri.
“Yel? Lo baik-baik aja?” tanya Sivia, membuat Gabriel tersentak dan tersadar. Ia menatap Sivia, membuat jantungnya tersiksa karena kerja ekstra yang timbul dari reaksi jatuh cinta.
“Eh? Iya, gue baik-baik aja kok. Kenapa emangnya?” tanya Gabriel balik. Sivia menunjuk pipinya.
“Pipi lo… tambah merah. Yakin nih gak apa-apa?” tanya Sivia lagi. Spontan, Gabriel menyentuh pipinya yang seharusnya dingin karena pengaruh kegiatan dikompres tadi. Tapi kok… pipinya hangat?
“Eunngg, gak papa kok. Gue… gue pulang dulu ya” pamit Gabriel, lalu membuka pintu sebelum Sivia bisa membuatnya lebih malu lagi karena tanda-tanda sialan ini. Gabriel mempercepat langkahnya, agak stress karena otaknya dipaksa untuk mencari tau apa yang sedang terjadi. Ia menghentikan langkah, lalu mengangkat alisnya. Agak tidak percaya dengan penjelasan yang baru saja otaknya berikan.
Masa… masa sih dia suka sama Sivia?
+++
HAAAIII SAYA LAGI SENENG LOH!! PART 1 NYA SELESAAAIII!!
oke. Saya minta maaf karena minggu kemaren gak ngepost sama sekali, tapi itu gak berarti minggu ini saya bakalan ngepost 4 kali, ya-_________-“ tetep 2 kali. Kalau 4 kali… yah, terpaksa GBLnya saya pecah jadi 3 part. Jadi deh 4 kali, hehehe…
Oke. Jadi ini cerita udah jadi part 1nya. Sebenernya ini hasil copas saya dari buku notes saya sendiri, dan saya udah netapin alurnya, jadi maaf ya kalau gak sesuai sama keinginan kalian…
comments and likes is welcome any time here, dan saya harap lebih dari 10, 20 mungkin? Hehehe…
Kalau ada yang nanya couple, saya bocorin deh. Couplenya siviel, tokoh utamanya juga mereka berdua. Hehe. Mungkin ada sekuelnya, tergantung dari tingkat kemalesan saya setelah menyelesaikan mini cerbung ini.
Oya, mungkin cerbung ini agak kocak ya? Eh garing. Jayus. Tapi kalau emang dianggep kocak, jangan harap sampai akhir kocak, ya… saya gak mau janji lagi kalau ini cerbung kocak gitu. Mungkin ada beberapa scene yang bisa bikin kalian senyam-senyum sendiri—antara jayus atau kocak—tapi konfliknya agak serius. Hehe.
Satu lagi, mungkin ini bukan mini cerbung, deh… mengingat alurnya yang agak kompleks.
Makasih yaa udah berbaik hati meluangkan waktu untuk membaca, it means a lot to me. Ih saya sok inggris. Maaf yaa kalau ada salah, salah ketik, atau apa pun… saya sayang kalian para pembaca!! Hehe.
Any critics?
-penulis-
Sabtu, 30 Juli 2011
On One Condition...
Label:
cerbung,
ononecondition
Selasa, 12 Juli 2011
Memories (Past)
“Don’t run away from your past…”
***
Gadis cantik berbalut rok merah muda bercorak bunga-bunga dan baju merah marun itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia berhenti melangkah dan dengan kesal melipat tangan di depan dada. Rambut hitam bergelombangnya berkibar diterpa angin, namun ia tidak peduli. Ia melirik jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya. Sudah 2 jam ia menunggu di sini, bahkan mencari orang yang memintanya untuk menjemput dirinya di sini. Membenarkan bando pink yang dipakainya, ia mendecakkan lidah. Hatinya kesal.
“Viinn!! Lo di mana sih? Jangan ngerepotin gue deh. Gak lucu” teriaknya putus asa, tidak memedulikan tatapan orang-orang yang mengarah padanya.
“Alvin Jonathan Sindhunataa!! Gue nyerah. Keluar dong. Gue udah nunggu 2 jam…” pintanya kepada pria berkulit putih yang terus menghantui pikirannya selama 2 jam terakhir. Yah, walaupun ia sendiri tidak tau pria tersebut hilang ke mana…
Shilla—nama gadis itu—menghela nafas. Ia paham akan sifat adik tirinya yang suka terlambat. Tapi terlambat 2 jam? Itu sama sekali di luar kebiasaan. Mendecak kesal, ia pun kembali mencari adik tirinya yang berandalan itu.
***
BUGH!!
Shilla terkejut mendengar suara keras yang berasal dari gang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Memberanikan diri, ia pun mengintip ke dalam gang tersebut. Matanya membelalak seiring ia melihat adik tirinya di sana, sedang dipukuli oleh pria berjas putih. Bahkan, dalam jarak sekitar 3 meter dari tempat Alvin jatuh terduduk, ia dapat melihat pipi putih pria tersebut dihiasi oleh lebam biru.
Rasa kesal pun menghampiri Shilla. Ia pun segera masuk ke dalam gang tersebut dan mendorong pria berjas putih itu agar menjauh dari adik tirinya. Ia berjongkok, lalu memeriksa luka yang diderita Alvin.
“Hmm. Mampus lo, memar-memar gini. Ngebuat gue nunggu 2 jam sih” ucap Shilla. Alvin meliriknya kesal, lalu menatap pria berjas putih yang terpaku melihat Shilla.
“Udah. Berdiri gih. Kita pulang” perintah Shilla, menarik Alvin untuk berdiri. Alvin pun berdiri dengan lemah, tenaganya terkuras habis. Shilla pun memapahnya perlahan. Ia menoleh ke arah pria berjas putih yang ingin memukul Alvin lagi.
“Udah cukup. Gak liat lo dia udah lemes gini. Jalan aja mesti dipapah. Pengecut, beraninya sama yang lebih muda. Next time, deal with your own size” ucap Shilla tajam. Pria itu mendengus.
“Cewek gak usah ikut campur” balasnya. Shilla melirik ke arahnya.
“Gue bukan sembarang cewek. Gue kakaknya” sahut Shilla, menekankan setiap kata. Pria itu membuang muka.
“Kakak? Gue kira ceweknya. Pantesan, gue juga heran kenapa cewek secantik lo bisa jalan sama cowok sebrengsek dia” sindir pria itu halus.
“Oh ya? Gue juga heran kenapa cowok yang lebih brengsek daripada adek gue bisa ngehajar adek gue” balas Shilla.
“Kak…” panggil Alvin pelan. Shilla menoleh ke arahnya.
“Ya?” tanyanya. Alvin menggeleng.
“It’s not worth it” ucapnya. Shilla mengangkat bahu, lalu berjalan memapah Alvin.
“Eh, tunggu dulu. Mau ke mana lo?” tanya pria berjas putih itu.
“Pulang” jawab Alvin dan Shilla berbarengan.
“Gak bisa. Urusan gue sama lo belom selesai, Nyet” larang pria itu.
“Menurut gue udah” ucap Alvin. Pria itu diliputi rasa kesal kembali. Ia pun mengacungkan tinjunya.
“Udah cukup, Mas Adil!!” seru Shilla. Alvin menoleh ke arah kakaknya, memberi tatapan pertanyaan. Shilla mengacuhkannya. Pria tersebut diam, terkejut. Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Matanya memerhatikan Shilla. Lalu matanya membelalak.
“Gak mungkin. Miss Alphabet?” tanya pria itu dengan terkejut. Shilla membuang muka dengan marah. Sedangkan Alvin hanya bisa menatap mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya.
“Kita bicara di rumah” ucap Shilla, lalu memapah Alvin ke dalam mobil. Pria tersebut hanya mengikuti dari belakang dengan sepeda bututnya.
***
Shilla menyesap tehnya, tidak memedulikan kedua pria yang ada di hadapannya. Ia melirik Alvin, lalu melirik pria yang tadi memukul adik tirinya. Ia menaruh cangkir teh porselennya. Tangannya mulai mengambil kue scone yang terhidang di meja. Kedua pria di hadapannya hanya terdiam melihatnya memakan kue tersebut.
“Kak” panggil Alvin. Shilla menoleh ke arah Alvin.
“Dia siapanya kakak?” tanyanya sembari menunjuk ke arah pria berjas putih. Shilla mengunyah scone-nya dan menelannya.
“Justru kakak yang harusnya nanya, dia siapanya kamu? Ngapain coba dia mukulin kamu?” tanya Shilla setengah membentak. Alvin menatap pria berjas putih tersebut, menandakan bahwa ia yang harus menjawab. Pria tersebut mengangkat bahu.
“Dia nyakitin adek gue” ucapnya singkat. Alvin langsung meliriknya tajam selama sedetik.
“Nyakitin?! Nyakitin gimana? Orang gue sayang setengah mati sama dia! Gak mungkinlah gue nyakitin dia!!” teriak Alvin mulai emosi. Pria tersebut melirik tajam ke arahnya.
“Terus apa yang dia liat, hah? Dia tuh ngeliat lo lagi jalan-jalan ketawa berduaan sama cewek lain! Mana itu sahabatnya, lagi!” teriak pria tersebut, mulai berdiri.
“Bentar lagi dia tuh ulang tahun!! Gue pengen nyari hadiah yang pas buat dia, karena gue gak tau selera cewek ya gue minta bantuan sahabatnya!” teriak Alvin emosi. Shilla pun berdiri dan mendudukkan mereka berdua kembali.
“Jangan berantem di sini. Ini rumah, bukan ring tinju” ucapnya, menekankan setiap kata. Kedua pria tersebut pun diam dan saling membuang muka. Shilla melihat jam tangannya.
“Oke. Gue udah ada janji sama temen gue. Pergi dulu ya” pamit Shilla. Ia berdiri dan merapikan roknya. Ia berjalan dan berteriak memanggil pelayannya.
“Ya, nona?” tanya pelayannya. Shilla menunjuk ke arah pria berjas putih tersebut.
“Panggil supir. Anterin dia pulang. Pake Accord aja” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk.
“Baik, nona” sahutnya penuh hormat.
“Terus siapin mobil mercy silver. Saya mau nyetir. Cepet ya” tambah Shilla. Pelayan tersebut mengangguk kembali.
“Oke. Itu aja. Cepet ya” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk dan membungkuk hormat.
“Baik, nona” ucapnya. Shilla mengangguk. Pelayan tersebut pun pergi.
“Vin” panggil Shilla. Alvin menoleh.
“Baik-baik ya. Jangan berantem lagi” ucap Shilla. Alvin mengangguk. Shilla menoleh ke arah pria berjas putih.
“Lo juga, jangan berantem sama dia. Minta maaf gih, kan lo yang salah” ucap Shilla dingin.
“Iya, Miss Alphabet” sahut pria itu. Shilla menatapnya tajam.
“Nama gue Shilla. Panggil gue dengan nama gue yang sesungguhnya” ucap Shilla. Pria itu menggeleng.
“Dulu gue manggil lo gitu. Dan sekarang gue juga bakal manggil lo gitu” kata pria tersebut, tersenyum menantang. Shilla memutar bola matanya.
“Terserahlah” ucapnya, lalu melangkahkan flat shoes merahnya ke arah pintu keluar. Pria tersebut bersandar ke sofa yang didudukinya, tersenyum senang. Ia menoleh ke arah Alvin yang duduk di sampingnya.
“Sori ya” ucapnya. Alvin menoleh.
“Hah?” tanyanya. Pria itu mengangkat bahu.
“Gue udah salah paham” jelasnya. Alvin mengangguk pelan.
“Gak papa. Cuma salah paham ini” ucapnya. Pria itu tersenyum.
“Nanti gue jelasin ke Ify” katanya. Alvin menatapnya, lalu mengangguk.
“Thanks” ucapnya. Pria di sampingnya mengangguk.
“No problem” balasnya.
“Oya kak” panggil Alvin.
“Hmm?” tanya pria tersebut.
“Kenapa lo manggil kakak gue ‘Miss Alphabet’? Perasaan kakak gue malah gak bisa bahasa deh. Dapet 5 mulu” ucap Alvin. Pria itu tersenyum miring, lalu duduk tegak.
“Alfabet itu kan dimulai dari huruf A dan diakhiri dengan huruf Z, dan namanya kan Ashilla Zahrantiara. Inisialnya AZ. Miss Alphabet” jelasnya. Alvin mengangkat alis.
“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.
“Konyol, ya?” tanyanya. Alvin mengangkat bahu.
“Entahlah” ucapnya. Pria tersebut tersenyum.
“Kalau Mas Adil?” tanya Alvin. Pra tersebut mengangkat alis, lalu merogoh kantungnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pulpen, lalu menulisinya. Ia memberikannya kepada Alvin. Alvin membacanya, lalu mengangkat alis.
“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.
“Oke. Udah waktunya gue pulang” ucap pria tersebut sembari bangkit berdiri. Alvin mengangguk.
“Daahh kak, sampein salam gue ke Ify” ucap Alvin. Pria itu tersenyum kecil.
“Iyaa. Gue pulang dulu ya. Dadah” ucapnya. Alvin mengangguk.
“Daahh” ucapnya. Matanya melihat punggung pria tersebut, yang langsung menghilang seiring dengan pintu keluar yang barusan dilewatinya ditutup. Alvin menghela nafas, lalu melihat kertas yang tadi diberikan oleh pria itu. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca kata per kata yang ada di sana. Heran karena pria yang notabene adalah kakak dari pacarnya bisa membuat kode-kode konyol seperti ini. Ia menghela nafas sembari tersenyum kecil.
“Kak Rio, kak Rio…” ucapnya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membaca deretan huruf-huruf yang terukir di kertas itu.
‘MArio Stevano ADItya haLing’
***
“Miss Alphabeetttt!!” teriak Rio kepada Shilla yang sedang berjalan memeluk buku di koridor. Shilla menoleh, lalu segera membuang muka. Berpura-pura tidak mengenal Rio dan tidak merasa terpanggil.
“Miss Alphabet! Duuhh, miss! Miss Alphabet!!” teriak Rio, mengejar Shilla. Shilla mempercepat langkahnya. Rio mengikutinya, lalu menarik tangannya.
“Hei, miss Alphabet!” ucapnya. Shilla memutar bola matanya lalu menatap Rio.
“Mau apa lo?” tanyanya sinis. Rio mengangkat alis.
“Pengen jalan bareng” jawab Rio. Shilla mendesah malas lalu melepaskan tangannya dan memeluk bukunya kembali setelah membenarkan bando kuningnya.
“Ya udah, jalan aja. Gak usah narik tangan gue” ucap Shilla. Rio mengangguk lalu mulai berjalan di sebelah Shilla. Hening beberapa saat.
“Shill, gak nyangka ya ternyata lo juga kuliah di sini” ucap Rio. Shilla meliriknya, lalu mengangguk.
“Hmm” gumamnya. Rio tersenyum, melihat sebuah poster bergambar sepeda.
“Inget gak yang waktu kita naik sepeda bareng-bareng?” tanya Rio. Shilla menghentikan langkahnya, lalu menatap Rio tajam.
“Gak usah ingetin gue” ucapnya sinis. Rio mengernyitkan kening.
“Lo tuh kenapa sih? Emang gue salah apa?” tanya Rio.
“Gue gak mau inget” ucap Shilla singkat.
“Kenapa?” tanya Rio.
“Kenapa apanya?”
“Kenapa lo gak mau inget kenangan-kenangan kita?” tanya Rio, lebih jelas.
“Karena itu cuma bisa ngingetin gue ke kenangan yang jauh lebih buruk” ucap Shilla, lalu segera berjalan meninggalkan Rio yang hanya menatap bagian belakang sweater merah dan rok kuning yang dipakai oleh Shilla. Rio menghela nafas. Shilla benar-benar sudah berubah…
***
Hari demi hari berlalu. Seluruh murid dan guru di universitas yang Shilla dan Rio tempati sudah terbiasa akan pertunjukan kecil yang Shilla dan Rio lakukan. Rio akan berteriak-teriak memanggil Shilla, Shilla menanggapi dengan dingin, mereka mengobrol sebentar, dan saat Rio menyinggung satu hal saja tentang masa lalu mereka, Shilla pergi. Siklus itu terjadi setiap hari sampai yang lain bosan melihatnya.
“Miss Alphabet” panggil Rio di ambang pintu kelas Ekonomi. Shilla menoleh, lalu mempercepat merapikan buku. Ia pun berjalan ke arah Rio sembari memeluk beberapa buku tebal.
“Rio” ucapnya. Rio tersenyum manis, yang dibalas oleh Shilla dengan senyuman tipis.
“Jadi ke Blue Coal Café?” tanya Rio. Shilla mengangguk. Rio pun merangkulnya pelan dan membimbingnya menuju sebuah mobil silver yang terparkir di parkiran kampus.
***
Shilla membuka sebuah pintu kaca, membuat sebuah lonceng kecil yang dipasang di atas pintu tersebut berbunyi. Rok panjang bermotif polkadot yang dipakainya pun bergerak-gerak sesuai langkah kaki yang diambilnya untuk menuju sebuah meja bulat putih, diikuti oleh dentuman sepatu sneakers hitam yang dilengkapi dengan tali sepatu putih dibelakangnya.
Mereka berdua berjalan menyusuri lantai kaca yang memperlihatkan keindahan aquarium di bawahnya, merasakan waktu yang seolah melambat. Entah karena apa, rasa sesak mendominasi saluran pernafasan mereka, menandakan firasat-akan-terjadi-sesuatu-yang-buruk mendatangi mereka. Shilla menarik nafas dalam-dalam. Ia datang ke sini dengan satu tujuan, dan ia akan melakukannya. Apa pun yang terjadi. Rio tidak tau apa yang telah ia lakukan, dan ia harus mengakhirinya. Harus.
Beberapa menit kemudian—yang terasa seperti satu jam—mereka berdua sampai di meja putih tersebut. Rio—yang memang sudah terbiasa—menarik kursi untuk Shilla. Shilla hanya mengehela nafas dan duduk. Terbayang di benaknya seorang anak lelaki berumur 7 tahun menarik kursi mungil untuk seorang perempuan cantik yang sebaya dengannya. Sebuah flashback kecil bagi masa lalu indah mereka berdua. Shilla menutup matanya dan menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya. Berusaha menahan air matanya agar tidak turun dan menelusuri pipinya.
“Miss Alphabet…” panggil Rio pelan, yang tak diacuhkan Shilla. Gadis itu hanya mengambil buku menu dan mulai membolak-balik halamannya, memilah sesuatu untuk dipesan. Rio mendesah dan mengikuti Shilla.
Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiri mereka berdua.
“Selamat siang, saya Sivia Azizah dan saya akan menjadi pelayan kalian hari ini. Anda mau pesan apa?” tanya pelayan tersebut dengan ramah, dilengkapi dengan senyum manisnya. Rio membalas senyumnya. Shilla hanya tersenyum tipis.
“Saya pesan hot cappuchinno dan strawberry cheese cake” ucap Shilla.
“Saya hot chocolate dan oreo cheese cake” timpal Rio.
“Baik, saya ulangi pesanannya, ya? Untuk makanannya ada satu strawberry cheese cake dan oreo cheese cake, dan untuk minumannya satu hot cappuchinno dan satu hot chocolate” ulang pelayan tersebut. Shilla dan Rio kompak mengangguk.
“Baiklah, ada tambahan lain? Appetizer, mungkin?” tanya pelayan itu. Shilla dan Rio menggeleng. Pelayan tersebut mengucapkan beberapa kata lagi dan meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.
“Miss Alphabet…” panggil Rio sekali lagi. Shilla menoleh.
“Permisi, pesanannya” ucap Sivia sembari memegang sebuah baki berisi pesanan mereka. Shilla pun mengalihkan pandangannya kepada Sivia.
“Ya” ucapnya. Sivia pun meletakkan 2 buah piring dan 2 buah cangkir di hadapan mereka dan pergi melayani meja lain. Tanpa basa-basi Shilla langsung mengambil garpu kecil dan memakan sebuah kue yang berada di hadapannya. Rio lebih memilih untuk meminum hot chocolatenya terlebih dahulu. Mereka makan dalam diam, tidak ada yang berbicara. Suara-suara seperti dentuman sepatu, dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring atau cangkir, dan percakapan orang lain terdengar samar di telinga mereka, tertutup oleh suara pikiran masing-masing dari mereka.
Jantung mereka berdebar kencang. Tidak ada kontak mata sama sekali di antara mereka, hanya wajah Shilla yang terus menunduk dan wajah Rio yang terus menatap pemandangan di sekelilingnya kecuali wajah yang ada di hadapannya. Firasat buruk itu terus menghantui mereka, seolah memperingati bahwa waktu mereka akan segera berakhir…
***
Shilla meletakkan garpunya di atas piring hitam kecil yang kosong di hadapannya. Ia mengangkat cangkir hitam berisi cappuchinno pesanannya dan mulai meminumnya. Dengan ragu, Rio yang menunduk mulai menegakkan kepalanya dan menatap Shilla tepat di matanya.
“Miss Alphabet…” panggilnya.
“Panggil gue Shilla” ucap Shilla cepat, memotong ucapan Rio. Rio menatap cangkir hitam di hadapannya, menata kata-kata yang akan di ucapkannya.
“Shill…” panggil Rio. Shilla menoleh ke arahnya. Nafasnya semakin sesak, sehingga ia harus memusatkan tenaga hanya untuk bernafas. Rio menelan ludah.
“Lo… ngapain ngajak gue ke sini? Katanya mau bicara?” tanya Rio. Shilla meniupi permukaan cairan cappuchino di dalam cangkir yang dipegangnya seolah itu masih panas dan mengeluarkan asap seperti yang terjadi 10 menit lalu. Pikirannya sibuk menata kata-kata yang akan dikeluarkannya. Ia meniup semakin keras. Lidahnya kelu. Ia membuka mulut, seakan ingin berbicara, namun ia kembali meniupi permukaan cappuchino-nya. Jantungnya berdebar semakin keras, seolah tidak ingin mengatakan apa yang ingin ia katakan. Keringatnya bercucuran, bibir dan tangannya bergetar.
“Shill…” panggil Rio lagi. Shilla mengangkat kepalanya pelan-pelan, menatap pria di depannya. Ia menutup mata, menarik nafas dalam-dalam, lalu membuka matanya sembari menghembuskan nafasnya lewat mulut. Ia menaruh cangkirnya.
“Yo…” panggil Shilla dengan suara tercekat. Rio menoleh ke arahnya.
“Gue minta lo jauhin gue dan bersikap seolah lo gak kenal gue” ucap Shilla dengan cepat sembari menutup mata, takut akan reaksi Rio.
Hening beberapa saat.
Shilla—yang masih menutup mata—membuka matanya pelan-pelan, penasaran karena tidak ada jawaban. Rasa terkejut menyelimutinya ketika ia melihat Rio juga menutup matanya, menahan amarahnya keluar seperti gunung merapi yang siap meletus.
“Kenapa?” tanya Rio dengan nada amarah tertahan. Shilla membuang muka, tiba-tiba saja keberanian untuk melawan muncul dalam dirinya yang sedari tadi ketakutan.
“Karena lo ingetin gue sama masa lalu gue. Masa lalu yang pengen gue hancurin” ucap Shilla. Rio membuka matanya.
“Oh ya? Jadi karena itu lo bersikap judes sama gue?” tanya Rio. Shilla meliriknya tajam.
“Ngaca dulu kalau ngomong” ucap Shilla pedas. Rio menatapnya tajam.
“Lo udah berubah” kata Rio. Shilla tersenyum sinis.
“Nyadar juga lo. Ternyata lo gak sebodoh yang gue kira” Shilla berucap tajam dengan nada sinis. Rio diam, menunggu Shilla melanjutkan.
“Gue emang udah banyak berubah. Gue udah bukan gadis kecil pemimpi yang pengen jadi princess lagi, gue udah jadi cewek dewasa yang pengen jadi pengusaha sukses. Gue udah gak pernah ngekhayal jadi tokoh utama dalam sebuah dongeng di setiap langkah yang gue ambil, sekarang yang terjadi gue malah tenggelam dalam logika dan matematik. Gue udah berubah banyak Yo, gue udah bukan cewek yang suka dipanggil Miss Alphabet dan suka manggil lo Mas Adil lagi. Gue bukan gue yang dulu lagi” ucap Shilla. Rio tersenyum geli.
“Lucu banget Shill, lucu banget. Bukannya lo yang berharap gue gak bakalan berubah dan pengen kita terus kayak gitu? Kenapa malah lo yang berubah?” desak Rio. Shilla melipat tangan di depan dada.
“You have to stop living in the past” ucap Shilla.
“Lo juga gak bisa terus-terusan lari dari masa lalu lo dan berubah total, Shill! Lo nyadar gak sih, dengan begitu lo tuh udah berubah jadi pribadi yang dingin, pribadi yang gue tau lo gak mau!” seru Rio, berdiri dari kursinya. Shilla pun berdiri dengan kasar.
“Lo yang mesti nerima kenyataan kalau gue udah berubah! And as I said before, you have to stop living in the past” balas Shilla tak kalah keras, menarik perhatian beberapa pengunjung dan petugas di Blue Coal Café.
“Shill, gue bisa terima kalau soal lo berubah, yang gue gak bisa terima adalah kenyataan kalau elo tuh udah gak mau sahabatan sama gue karena alasan yang gak jelas, lo gak mau inget-inget masa lalu lo lagi. Itu yang gue gak bisa terima”
“Alesan aja lo” teriak Shilla.
“Oya? Lo pikir siapa sih yang alesan doang? Lo kali! Gue tau, lo itu tuh berubah karena lo gak mau inget satu kenangan buruk di otak lo. Satu Shill, satu! Dan lo tau berapa banyak kenangan kita? Ribuan. Beribu-ribu kenangan dan lo malah inget satu kenangan sialan itu. Lo harus lupain itu!” Rio balas berteriak, tidak sadar tubuhnya berdiri dan tangannya sibuk menunjuk-nunjuk Shilla, membuat Shilla makin merasa bersalah. Shilla menggigit bibir. Hal terakhir yang diinginkannya adalah membiarkan Rio melihatnya menangis. Rio, yang merasa telah menjadi monster yang menyakiti hati seorang perempuan tak bersalah, terdiam dan memandangi pemandangan di depannya. Shilla yang ketakutan. Satu lagi ekspresi yang mengejutkannya karena ia memang tidak pernah melihatnya.
“Shill, bibir lo berdarah…” ujar Rio sembari mengulurkan tangan untuk memegang wajah gadis di depannya dan melihat luka itu lebih dekat. Melihat aksi Rio, wajah Shilla memucat. Ekspresi ketakutan yang sedari tadi keluar kini makin terlihat jelas di wajahnya. Ia bahkan sempat bergeser menjauh. Rio yang tak kalah kaget pun menarik kembali tangannya dan menatap Shilla dengan ekspresi shock. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia bisa menjadi seorang monster bagi gadis cantik di depannya.
“Maaf Shill, aku gak bermaksud…”
“A, aku mau pulang” ucap Shilla, memotong ucapan Rio lalu bergegas mengambil tasnya dan buru-buru berjalan, tidak mempedulikan belasan pasang mata yang memperhatikannya dengan sorot penasaran. Tiba-tiba langkahnya berhenti, lalu ia berbalik. Menimbulkan secercah harapan dalam hati Rio. Harapan bahwa Shilla akan memaafkannya…
Namun nyatanya Shilla hanya meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan pergi. Rio merosot di kursinya. Ternyata Shilla hanya kembali untuk membayar pesanannya. Dengan lemas ia pun kembali duduk tegak dan memanggil pelayan untuk meminta bon. Setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas lembaran-lembaran uang Shilla, ia pun beranjak pergi. Meninggalkan tempat yang, ternyata, menambah satu kenangan buruk di pikirannya. Kenangan yang akan sangat ia benci.
***
Rio melirik spidometer mobil yang sedang ia kendarai. Jarumnya tengah bergerak menuju angka 100, walaupun ia sendiri tau bahwa jalan yang sedang ia lewati bukanlah jalan tol, melainkan jalan kecil yang terbuat dari tanah menuju sebuah bukit. Karena radio dimatikan, telinga Rio pun dapat mendengar suara percikan tanah yang menyembur seiring ban mobilnya melewati tempat itu. Meski ia tau mobilnya kotor, ia tidak mau ambil pusing. Lagipula, bukit inilah yang akan menjadi penenangnya, bukan begitu?
Setelah memarkir mobilnya di tempat yang aman, Rio keluar dari mobil dan menutup pintu, lalu mengunci mobilnya. Ia pun mulai berjalan ke arah puncak bukit itu, bukit yang menjadi bagian kenangan antara dirinya dan Shilla. Bukit dimana mereka bermain saat mereka tengah menghabiskan liburan bersama di Jakarta, meninggalkan rumah mereka di Bandung selama seminggu.
Sesampainya di puncak bukit, yang pertama kali dilakukan Rio hanyalah menghela nafas sambil duduk di kursi kayu panjang yang dulu ayahnya dan ayah Shilla buat. Rio mengusap-usap kursi itu. Sepertinya itu salah satu kenangan terindahnya,mengganggu mereka berdua membuat kursi kokoh yang kini berdiri dengan megahnya di tengah-tengah rumput hijau nan gemuk dan semak-semak rimbun. Juga pepohonan indah yang selalu dijadikan pengganti tembok untuk menjalankan permainan favoritnya dan Shilla, petak umpet. Rio hanya tersenyum miris mengenangnya.
Tiba-tiba Rio mendengar suara tangis. Suara tangis yang sudah familier di telinganya, walaupun samar-samar Rio agak melupakan tangisan itu. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja… dulu, sewaktu ia dan Shilla masih bersahabat, Shilla hanya menangis sebanyak 2 kali di depannya. Ini yang ketiga… kalau tebakannya bener.
“Shilla?” panggil Rio memastikan. Suara tangis yang berasal di balik pohon oak itu berhenti, walaupun hanya tinggal beberapa segukkan yang sangat mirip cegukan. Rio tersenyum geli. Kalau dulu, Rio pasti sudah tertawa terbahak-bahak dan meledek cegukan Shilla. Sekarang situasinya berbeda. Shilla tidak lagi menangis karena boneka yang rusak atau kakinya yang sakit karena jatuh terluka. Alasan yang paling masuk akal adalah karena dirinya. Lagipula, Rio tidak yakin itu Shilla. Yah, 49-51 persen lah…
“Shill?” panggil Rio lagi sembari berjalan mendekat ke arah balik pohon oak. Ia menjulurkan kepala untuk mengintip siapa yang menimbulkan suara tangisan itu. Dan ia menemukannya. Seorang gadis yang sedang membenamkan wajah ke lutut yang sedang di peluknya. Rio memang tidak bisa mengenali wajahnya, namun bando, rambut, sweater dan rok yang dipakai gadis itu sudah cukup untuk meyakinkan Rio bahwa gadis tersebut adalah Shilla. Rio pun memilih untuk duduk bersila di sebelah Shilla, membiarkan angin sejuk mengibarkan rambut hitamnya itu.
“Masih inget bukit ini?” tanya Rio tiba-tiba. Ia melirik Shilla yang masih berada di posisi semula, berlagak tidak mendengar. Rio menarik nafas.
“Kita sering main petak umpet di sini, remember? Yah, walau cuma seminggu sih… tapi tetep aja kehitung” sambung Rio, terus menceloteh tanpa memerhatikan Shilla yang sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tau.
“Dulu kita suka main petak umpet di sini, yang jadi ngitung di sini”—Rio menepuk pohon oak yang besar namun tua itu pelan. “Terus kita duduk di sana, berduaan. Ngenang masa lalu dan menebak masa depan. Masih samakah? Ternyata tidak” ucap Rio, matanya memandang sayu kursi kayu yang dibuat oleh ayahnya dan ayah Shilla di masa lalu.
“Kamu tau? Aku tau kamu udah berubah, tetapi aku tetap mengejarmu dan mengingatkanmu karena aku tau kamu belum berubah sebanyak itu” ucap Rio lagi, mulai memakai aku-kamu seperti saat ia dan Shilla kecil bersahabat dulu.
“Belum berubah sebanyak itu seperti apa?” tanya suara lembut nan serak di sebelah Rio. Rio terkejut dan menoleh, lalu menemukan wajah skeptis Shilla yang sedang menatap kosong ke depan. Rio tersenyum kepadanya, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Shilla.
“Memangnya aku belum berubah banyak?” tanya Shilla lagi setelah hening beberapa saat. Rio menghela nafas.
“Kamu udah berubah banyak. Tapi kamu belum berubah total” jawab Rio. Shilla tersenyum miring, masih menatap rerumputan di depan kakinya.
“Kamu tau? Semenjak aku melihatmu, aku tau ada yang berubah. Tapi kamu masih menyimpan kenangan-kenangan kita. Seperti… pakaianmu” ucap Rio, membuat Shilla langsung melihat ke arah kain yang membalut dirinya. Rio tertawa.
“Kamu selalu mau jadi princess, dan inget gak waktu aku nanya kenapa kamu selalu pake rok dulu? Kamu jawab, ‘karena princess selalu pakai rok’ dengan lugu” urai Rio, menimbulkan semburat merah di pipi Shilla karena malu. “Dan bando itu. Dulu kamu sempet janji sama aku kalau kamu bakalan pake bando terus, hanya karena aku bilang kamu cantik pake bando. Yah, emang dasarnya dulu aku sering ngeledek kamu jelek sih ya…”
“Terus cara belajar kamu. Kamu masih tetep tekun seperti dulu. Seperti gadis kelas 1 SD yang ingin mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran” ujar Rio, menimbulkan senyum di wajah manis Shilla.
“Kamu juga masih mau ke sini, ke bukit ini. Bukannya ini justru malah mengingatkan kamu ke kenangan-kenangan masa lalu kamu?” tanya Rio.
“Dan yang bikin aku yakin kalau kamu gak mau ngelupain masa lalu kamu adalah… cita-cita barumu yang kaukatakan sendiri” ucap Rio. Shilla menatapnya bingung.
“Kamu sendiri kan yang bilang, kamu mau jadi pengusaha sukses? Bukannya itu pekerjaan ayahmu?” tanya Rio. DEG, jantung Shilla terasa seperti berhenti berdegup selama beberapa saat. Ia kembali menunduk, menatap rerumputan. Berusaha membendung air matanya agar tidak mengalir. Kenangan itu datang lagi. Rio menghela nafas.
“Cepat atau lambat, kamu juga harus berani mengakui bahwa papa-mamamu sudah bercerai…” desah Rio pelan, tetapi cukup keras untuk didengar Shilla. Dan bayangan itu muncul lagi. Bayangan ketika orang tuanya bertengkar di hadapan dirinya yang masih berumur 7 tahun. Bayangan ketika Shilla kecil memakai pakaian rapi dan duduk di kursi pengadilan, menghadiri acara perceraian orang tuanya sendiri. Shilla kecil yang harus berpisah dari ibunya. Shilla yang sampai sekarang masih tidak percaya semuanya. Dulu, semuanya begitu indah. Ia, papa, mama. Bertiga. Membentuk sebuah harmoni yang manis. Harmoni yang sekarang rusak dan tidak bisa diperbaiki. Harmoni yang bagitu penting bagi Shilla. Dan ia kehilangan harmoni itu. Di saat ia masih berumur 7 tahun.
“Shill…” panggil Rio, kaget karena butir demi butir air mata jatuh dari mata Shilla, perlahan-lahan turun dan membuat sebuah jejak panjang di pipinya. Rio mengulurkan tangan, menghapus jejak itu.
“Rioooo…” teriak Shilla lalu memeluk Rio, menjadikannya sandaran untuk menangis. Rio yang semula kaget pun membalas pelukan Shilla dan mengelus-elus kepalanya. Ia baru tau, ternyata di balik wajah manis Shilla terdapat seseorang yang menangis dengan begitu menyedihkan. Tidak seperti gadis-gadis cantik di sinetron yang menangis dengan akting menyedihkan dan diam, Shilla malah meraung-raung sembari berteriak-teriak. Untuk di sini bukit sepi, coba kalau mall? Rio mungkin sudah ditangkap satpam karena dikiran macam-macam sama anak perempuan. Huh.
Beberapa menit kemudian, tangis Shilla pun mereda, diganti dengan cegukan khas Shilla sejak kecil. Rio tertawa terbahak-bahak.
“Cegukan tuh bu…” godanya. Shilla merenggut kesal dan menoyol kepala Rio. Rio tertawa. Shilla memilih untuk bangkit dan memetik bunga daisy yang mekar dengan indahnya beberapa meter dekat tempatnya duduk tadi.
“Shill…” panggil Rio setelah sesi tawanya berhenti.
“Hm?” tanya Shilla yang kini mencium aroma bunga daisy yang baru saja di petiknya.
“Masih inget janji kita yang di sana kan?” tanya Rio, menunjuk ke arah bangku kayu antik buatan ayahnya dan ayah Shilla. Shilla yang sedang memetik 2 tangkai bunga dandelion pun menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Rio. Wajahnya tersenyum.
“Masih” ucapnya, berjalan ke arah Rio. Rio balas tersenyum.
“Kamu gak bakal ngelanggar itu, kan?” tanya Rio, yang disambut anggukan mantap dari gadis manis itu. Rio tersenyum lega, lalu bersandar ke pohon oak besar di belakangnya.
“Makasih” ucap Shilla tiba-tiba. Rio menoleh dan mengernyitkan dahi tanda bingung.
“Buat apa?” tanyanya.
“Buat mau jadi sandaranku. Buat semuanya” jawab Shilla. Rio tertawa.
“For you, I’ll do anything, my best friend…” ucap Rio. Kini gantian Shilla yang tertawa.
“Tapi…” ucap Shilla, “aku masih takut nangis inget itu” ungkap Shilla jujur. Rio tersenyum.
“Tenang aja. Kalau kamu inget kenangan burukmu itu, lawan dengan sejuta kenangan manis. Mungkin kenangan buruk kamu emang bisa ngalahin kenangan manis, karena emang kamu ngadepinnya satu-satu. One on one. Coba kamu satuin kenangan manis kamu, terus lawan satu kenangan buruk kamu itu. Pasti menang deh. Bersatu kita menang, bercerai kita kalah!” nasihat Rio, menyertakan semangat tinggi ketika menyerukan kalimat terakhir. Shilla tertawa.
“Main keroyokan itu kan tidak baik…” komentar Shilla, menimbulkan tawa dari pria yang memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans itu. Dan dari dirinya juga.
“Keroyokan atau bukan sih masalah sudut pandang Shill, anggep aja itu bersatu. Lagian kan kadang-kadang keroyokan itu perlu, asal gak berlebihan sampe bikin babak belur orang yang emang udah babak belur” ucap Rio. Shilla tertawa. Rio hanya tersenyum kecil, lalu melirik bunga daisy yang dipegang Shilla. Menyadari kalau bunga itu ada di genggaman Shilla.
“Sini” ucap Rio, mengambil bunga tersebut dari tangan Shilla dan menyelipkannya ke telinga Shilla, membuat senyum gadis tersebut merekah. Setelah puas dengan hasil selipannya, Rio mengambil salah satu bunga dandelion dan tersenyum nakal.
“Lomba niup dandelion yuk, mana yang paling cepet nerbangin semua anak-anak dandelionnya” ajak Rio. Shilla nyengir. Salah satu permainan favoritnya dulu.
“Yuk” sahutnya. Mereka pun memegang dandelion itu dan memposisikannya di depan mulut.
“1… 2… 3!” hitung mereka, lalu meniup bunga itu sekencang-kencangnya, lalu tertawa karena sejujurnya mereka tidak tau siapa pemenangnya. Mereka terlalu sibuk untuk meniup. Tapi tidak apalah. Karena bagi mereka berdua, mendapatkan sahabat mereka kembali sudah membuat mereka merasa seperti seorang pemenang…
***
“Mas Adiillll!!” jerit seorang gadis kecil, mengejar seorang laki-laki yang sudah berlari duluan. Laki-laki cilik itu tertawa, puas karena niat isengnya merebut boneka kesayangan gadis itu berhasil membuat gadis itu terganggu. Mereka akhirnya berkejar-kejaran sampai capek dan beristirahat di sebuah bangku kayu. Bangku yang dibuat oleh ayah mereka.
“Mas Adil maaahhh!! Balikin bonekakuuuu!!” teriak gadis itu menggema ke seluruh bukit.Laki-laki cilik itu tertawa dan melempar boneka kelinci putih itu ke sang gadis cilik, yang menangkapnya dengan tangkas. Senyum menghiasi wajahnya seraya ia memeluk boneka tersebut. Rio tertawa lagi, walau masih penasaran mengapa gadis masih bisa menjerti sekeras itu padahal kejar-kejaran mereka yang menguras tenaga luar dalam itu baru selesai sekitar semenit yang lalu.
“Mas adil…” panggil gadis cilik itu perlahan. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum ramah.
“Hmm?” tanyanya. Gadis itu menunduk sebentar, mengelus-elus boneka kelinci putihnya dengan gugup.
“Kita… kita bakalan sahabatan selamanya, kan?” tanya gadis itu, kekhawatiran mendominasi sinar matanya. Laki-laki yang duduk di sampingnya bisa melihatnya. Tersenyum, laki-laki itu mengacak-acak rambut sahabatnya itu.
“Pasti. Aku gak akan maafin diri aku kalau sampe enggak” jawab laki-laki cilik dengan mantap, menimbulkan senyum bahagia di wajah gadis itu.
“Janji?” tanya gadis itu, mengulurkan jari kelingkingnya. Setengah mati berharap akan ada jari kelingking yang mengait dengan jari kelingking tersebut.
“Janji” jawab laki-laki cilik, dengan semangat berkobar ia kaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking yang terulur padanya. Gadis itu tersenyum lebar, yang dibalas dengan senyuman hangat dari sang laki-laki.
+++
Sip deh. Akhirnya selesai juga-_-“
gimana? Bagus gak? Aneh ya? Emang nih…
Omong-omong ini cerpen panjang banget ya? Sampe pengen saya bagi 2… he-eh. Gak penting bye.
Eh eh, saya kan mau bikin cerpen nih, tapi couplenya agak-agak aneh gitu. Oke aneh banget. Couplenya Shilla-Daud. Ada yang mau baca gak? Kalau mau sabar dulu ya, soalnya saya kebelet pengen bikin cerita Siviel. He-eh. Saya emang plin-plan… -_-V
Makasih yaaa yang udah mau baca dan nyempetin diri buat komen, saya seneeeennnggg banget kalau ada. Aaaaa makasih bangeeettt!!
Any critics?
-Penulis-
***
Gadis cantik berbalut rok merah muda bercorak bunga-bunga dan baju merah marun itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia berhenti melangkah dan dengan kesal melipat tangan di depan dada. Rambut hitam bergelombangnya berkibar diterpa angin, namun ia tidak peduli. Ia melirik jam tangan putih yang melingkar di tangan kirinya. Sudah 2 jam ia menunggu di sini, bahkan mencari orang yang memintanya untuk menjemput dirinya di sini. Membenarkan bando pink yang dipakainya, ia mendecakkan lidah. Hatinya kesal.
“Viinn!! Lo di mana sih? Jangan ngerepotin gue deh. Gak lucu” teriaknya putus asa, tidak memedulikan tatapan orang-orang yang mengarah padanya.
“Alvin Jonathan Sindhunataa!! Gue nyerah. Keluar dong. Gue udah nunggu 2 jam…” pintanya kepada pria berkulit putih yang terus menghantui pikirannya selama 2 jam terakhir. Yah, walaupun ia sendiri tidak tau pria tersebut hilang ke mana…
Shilla—nama gadis itu—menghela nafas. Ia paham akan sifat adik tirinya yang suka terlambat. Tapi terlambat 2 jam? Itu sama sekali di luar kebiasaan. Mendecak kesal, ia pun kembali mencari adik tirinya yang berandalan itu.
***
BUGH!!
Shilla terkejut mendengar suara keras yang berasal dari gang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Memberanikan diri, ia pun mengintip ke dalam gang tersebut. Matanya membelalak seiring ia melihat adik tirinya di sana, sedang dipukuli oleh pria berjas putih. Bahkan, dalam jarak sekitar 3 meter dari tempat Alvin jatuh terduduk, ia dapat melihat pipi putih pria tersebut dihiasi oleh lebam biru.
Rasa kesal pun menghampiri Shilla. Ia pun segera masuk ke dalam gang tersebut dan mendorong pria berjas putih itu agar menjauh dari adik tirinya. Ia berjongkok, lalu memeriksa luka yang diderita Alvin.
“Hmm. Mampus lo, memar-memar gini. Ngebuat gue nunggu 2 jam sih” ucap Shilla. Alvin meliriknya kesal, lalu menatap pria berjas putih yang terpaku melihat Shilla.
“Udah. Berdiri gih. Kita pulang” perintah Shilla, menarik Alvin untuk berdiri. Alvin pun berdiri dengan lemah, tenaganya terkuras habis. Shilla pun memapahnya perlahan. Ia menoleh ke arah pria berjas putih yang ingin memukul Alvin lagi.
“Udah cukup. Gak liat lo dia udah lemes gini. Jalan aja mesti dipapah. Pengecut, beraninya sama yang lebih muda. Next time, deal with your own size” ucap Shilla tajam. Pria itu mendengus.
“Cewek gak usah ikut campur” balasnya. Shilla melirik ke arahnya.
“Gue bukan sembarang cewek. Gue kakaknya” sahut Shilla, menekankan setiap kata. Pria itu membuang muka.
“Kakak? Gue kira ceweknya. Pantesan, gue juga heran kenapa cewek secantik lo bisa jalan sama cowok sebrengsek dia” sindir pria itu halus.
“Oh ya? Gue juga heran kenapa cowok yang lebih brengsek daripada adek gue bisa ngehajar adek gue” balas Shilla.
“Kak…” panggil Alvin pelan. Shilla menoleh ke arahnya.
“Ya?” tanyanya. Alvin menggeleng.
“It’s not worth it” ucapnya. Shilla mengangkat bahu, lalu berjalan memapah Alvin.
“Eh, tunggu dulu. Mau ke mana lo?” tanya pria berjas putih itu.
“Pulang” jawab Alvin dan Shilla berbarengan.
“Gak bisa. Urusan gue sama lo belom selesai, Nyet” larang pria itu.
“Menurut gue udah” ucap Alvin. Pria itu diliputi rasa kesal kembali. Ia pun mengacungkan tinjunya.
“Udah cukup, Mas Adil!!” seru Shilla. Alvin menoleh ke arah kakaknya, memberi tatapan pertanyaan. Shilla mengacuhkannya. Pria tersebut diam, terkejut. Di dunia ini, hanya ada satu orang yang memanggilnya dengan nama itu. Matanya memerhatikan Shilla. Lalu matanya membelalak.
“Gak mungkin. Miss Alphabet?” tanya pria itu dengan terkejut. Shilla membuang muka dengan marah. Sedangkan Alvin hanya bisa menatap mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya.
“Kita bicara di rumah” ucap Shilla, lalu memapah Alvin ke dalam mobil. Pria tersebut hanya mengikuti dari belakang dengan sepeda bututnya.
***
Shilla menyesap tehnya, tidak memedulikan kedua pria yang ada di hadapannya. Ia melirik Alvin, lalu melirik pria yang tadi memukul adik tirinya. Ia menaruh cangkir teh porselennya. Tangannya mulai mengambil kue scone yang terhidang di meja. Kedua pria di hadapannya hanya terdiam melihatnya memakan kue tersebut.
“Kak” panggil Alvin. Shilla menoleh ke arah Alvin.
“Dia siapanya kakak?” tanyanya sembari menunjuk ke arah pria berjas putih. Shilla mengunyah scone-nya dan menelannya.
“Justru kakak yang harusnya nanya, dia siapanya kamu? Ngapain coba dia mukulin kamu?” tanya Shilla setengah membentak. Alvin menatap pria berjas putih tersebut, menandakan bahwa ia yang harus menjawab. Pria tersebut mengangkat bahu.
“Dia nyakitin adek gue” ucapnya singkat. Alvin langsung meliriknya tajam selama sedetik.
“Nyakitin?! Nyakitin gimana? Orang gue sayang setengah mati sama dia! Gak mungkinlah gue nyakitin dia!!” teriak Alvin mulai emosi. Pria tersebut melirik tajam ke arahnya.
“Terus apa yang dia liat, hah? Dia tuh ngeliat lo lagi jalan-jalan ketawa berduaan sama cewek lain! Mana itu sahabatnya, lagi!” teriak pria tersebut, mulai berdiri.
“Bentar lagi dia tuh ulang tahun!! Gue pengen nyari hadiah yang pas buat dia, karena gue gak tau selera cewek ya gue minta bantuan sahabatnya!” teriak Alvin emosi. Shilla pun berdiri dan mendudukkan mereka berdua kembali.
“Jangan berantem di sini. Ini rumah, bukan ring tinju” ucapnya, menekankan setiap kata. Kedua pria tersebut pun diam dan saling membuang muka. Shilla melihat jam tangannya.
“Oke. Gue udah ada janji sama temen gue. Pergi dulu ya” pamit Shilla. Ia berdiri dan merapikan roknya. Ia berjalan dan berteriak memanggil pelayannya.
“Ya, nona?” tanya pelayannya. Shilla menunjuk ke arah pria berjas putih tersebut.
“Panggil supir. Anterin dia pulang. Pake Accord aja” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk.
“Baik, nona” sahutnya penuh hormat.
“Terus siapin mobil mercy silver. Saya mau nyetir. Cepet ya” tambah Shilla. Pelayan tersebut mengangguk kembali.
“Oke. Itu aja. Cepet ya” ucapnya. Pelayan tersebut mengangguk dan membungkuk hormat.
“Baik, nona” ucapnya. Shilla mengangguk. Pelayan tersebut pun pergi.
“Vin” panggil Shilla. Alvin menoleh.
“Baik-baik ya. Jangan berantem lagi” ucap Shilla. Alvin mengangguk. Shilla menoleh ke arah pria berjas putih.
“Lo juga, jangan berantem sama dia. Minta maaf gih, kan lo yang salah” ucap Shilla dingin.
“Iya, Miss Alphabet” sahut pria itu. Shilla menatapnya tajam.
“Nama gue Shilla. Panggil gue dengan nama gue yang sesungguhnya” ucap Shilla. Pria itu menggeleng.
“Dulu gue manggil lo gitu. Dan sekarang gue juga bakal manggil lo gitu” kata pria tersebut, tersenyum menantang. Shilla memutar bola matanya.
“Terserahlah” ucapnya, lalu melangkahkan flat shoes merahnya ke arah pintu keluar. Pria tersebut bersandar ke sofa yang didudukinya, tersenyum senang. Ia menoleh ke arah Alvin yang duduk di sampingnya.
“Sori ya” ucapnya. Alvin menoleh.
“Hah?” tanyanya. Pria itu mengangkat bahu.
“Gue udah salah paham” jelasnya. Alvin mengangguk pelan.
“Gak papa. Cuma salah paham ini” ucapnya. Pria itu tersenyum.
“Nanti gue jelasin ke Ify” katanya. Alvin menatapnya, lalu mengangguk.
“Thanks” ucapnya. Pria di sampingnya mengangguk.
“No problem” balasnya.
“Oya kak” panggil Alvin.
“Hmm?” tanya pria tersebut.
“Kenapa lo manggil kakak gue ‘Miss Alphabet’? Perasaan kakak gue malah gak bisa bahasa deh. Dapet 5 mulu” ucap Alvin. Pria itu tersenyum miring, lalu duduk tegak.
“Alfabet itu kan dimulai dari huruf A dan diakhiri dengan huruf Z, dan namanya kan Ashilla Zahrantiara. Inisialnya AZ. Miss Alphabet” jelasnya. Alvin mengangkat alis.
“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.
“Konyol, ya?” tanyanya. Alvin mengangkat bahu.
“Entahlah” ucapnya. Pria tersebut tersenyum.
“Kalau Mas Adil?” tanya Alvin. Pra tersebut mengangkat alis, lalu merogoh kantungnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dan sebuah pulpen, lalu menulisinya. Ia memberikannya kepada Alvin. Alvin membacanya, lalu mengangkat alis.
“Wow” ucapnya. Pria tersebut terkekeh.
“Oke. Udah waktunya gue pulang” ucap pria tersebut sembari bangkit berdiri. Alvin mengangguk.
“Daahh kak, sampein salam gue ke Ify” ucap Alvin. Pria itu tersenyum kecil.
“Iyaa. Gue pulang dulu ya. Dadah” ucapnya. Alvin mengangguk.
“Daahh” ucapnya. Matanya melihat punggung pria tersebut, yang langsung menghilang seiring dengan pintu keluar yang barusan dilewatinya ditutup. Alvin menghela nafas, lalu melihat kertas yang tadi diberikan oleh pria itu. Matanya bergerak dari kiri ke kanan, membaca kata per kata yang ada di sana. Heran karena pria yang notabene adalah kakak dari pacarnya bisa membuat kode-kode konyol seperti ini. Ia menghela nafas sembari tersenyum kecil.
“Kak Rio, kak Rio…” ucapnya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia membaca deretan huruf-huruf yang terukir di kertas itu.
‘MArio Stevano ADItya haLing’
***
“Miss Alphabeetttt!!” teriak Rio kepada Shilla yang sedang berjalan memeluk buku di koridor. Shilla menoleh, lalu segera membuang muka. Berpura-pura tidak mengenal Rio dan tidak merasa terpanggil.
“Miss Alphabet! Duuhh, miss! Miss Alphabet!!” teriak Rio, mengejar Shilla. Shilla mempercepat langkahnya. Rio mengikutinya, lalu menarik tangannya.
“Hei, miss Alphabet!” ucapnya. Shilla memutar bola matanya lalu menatap Rio.
“Mau apa lo?” tanyanya sinis. Rio mengangkat alis.
“Pengen jalan bareng” jawab Rio. Shilla mendesah malas lalu melepaskan tangannya dan memeluk bukunya kembali setelah membenarkan bando kuningnya.
“Ya udah, jalan aja. Gak usah narik tangan gue” ucap Shilla. Rio mengangguk lalu mulai berjalan di sebelah Shilla. Hening beberapa saat.
“Shill, gak nyangka ya ternyata lo juga kuliah di sini” ucap Rio. Shilla meliriknya, lalu mengangguk.
“Hmm” gumamnya. Rio tersenyum, melihat sebuah poster bergambar sepeda.
“Inget gak yang waktu kita naik sepeda bareng-bareng?” tanya Rio. Shilla menghentikan langkahnya, lalu menatap Rio tajam.
“Gak usah ingetin gue” ucapnya sinis. Rio mengernyitkan kening.
“Lo tuh kenapa sih? Emang gue salah apa?” tanya Rio.
“Gue gak mau inget” ucap Shilla singkat.
“Kenapa?” tanya Rio.
“Kenapa apanya?”
“Kenapa lo gak mau inget kenangan-kenangan kita?” tanya Rio, lebih jelas.
“Karena itu cuma bisa ngingetin gue ke kenangan yang jauh lebih buruk” ucap Shilla, lalu segera berjalan meninggalkan Rio yang hanya menatap bagian belakang sweater merah dan rok kuning yang dipakai oleh Shilla. Rio menghela nafas. Shilla benar-benar sudah berubah…
***
Hari demi hari berlalu. Seluruh murid dan guru di universitas yang Shilla dan Rio tempati sudah terbiasa akan pertunjukan kecil yang Shilla dan Rio lakukan. Rio akan berteriak-teriak memanggil Shilla, Shilla menanggapi dengan dingin, mereka mengobrol sebentar, dan saat Rio menyinggung satu hal saja tentang masa lalu mereka, Shilla pergi. Siklus itu terjadi setiap hari sampai yang lain bosan melihatnya.
“Miss Alphabet” panggil Rio di ambang pintu kelas Ekonomi. Shilla menoleh, lalu mempercepat merapikan buku. Ia pun berjalan ke arah Rio sembari memeluk beberapa buku tebal.
“Rio” ucapnya. Rio tersenyum manis, yang dibalas oleh Shilla dengan senyuman tipis.
“Jadi ke Blue Coal Café?” tanya Rio. Shilla mengangguk. Rio pun merangkulnya pelan dan membimbingnya menuju sebuah mobil silver yang terparkir di parkiran kampus.
***
Shilla membuka sebuah pintu kaca, membuat sebuah lonceng kecil yang dipasang di atas pintu tersebut berbunyi. Rok panjang bermotif polkadot yang dipakainya pun bergerak-gerak sesuai langkah kaki yang diambilnya untuk menuju sebuah meja bulat putih, diikuti oleh dentuman sepatu sneakers hitam yang dilengkapi dengan tali sepatu putih dibelakangnya.
Mereka berdua berjalan menyusuri lantai kaca yang memperlihatkan keindahan aquarium di bawahnya, merasakan waktu yang seolah melambat. Entah karena apa, rasa sesak mendominasi saluran pernafasan mereka, menandakan firasat-akan-terjadi-sesuatu-yang-buruk mendatangi mereka. Shilla menarik nafas dalam-dalam. Ia datang ke sini dengan satu tujuan, dan ia akan melakukannya. Apa pun yang terjadi. Rio tidak tau apa yang telah ia lakukan, dan ia harus mengakhirinya. Harus.
Beberapa menit kemudian—yang terasa seperti satu jam—mereka berdua sampai di meja putih tersebut. Rio—yang memang sudah terbiasa—menarik kursi untuk Shilla. Shilla hanya mengehela nafas dan duduk. Terbayang di benaknya seorang anak lelaki berumur 7 tahun menarik kursi mungil untuk seorang perempuan cantik yang sebaya dengannya. Sebuah flashback kecil bagi masa lalu indah mereka berdua. Shilla menutup matanya dan menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayangan itu dari benaknya. Berusaha menahan air matanya agar tidak turun dan menelusuri pipinya.
“Miss Alphabet…” panggil Rio pelan, yang tak diacuhkan Shilla. Gadis itu hanya mengambil buku menu dan mulai membolak-balik halamannya, memilah sesuatu untuk dipesan. Rio mendesah dan mengikuti Shilla.
Tak lama kemudian seorang pelayan menghampiri mereka berdua.
“Selamat siang, saya Sivia Azizah dan saya akan menjadi pelayan kalian hari ini. Anda mau pesan apa?” tanya pelayan tersebut dengan ramah, dilengkapi dengan senyum manisnya. Rio membalas senyumnya. Shilla hanya tersenyum tipis.
“Saya pesan hot cappuchinno dan strawberry cheese cake” ucap Shilla.
“Saya hot chocolate dan oreo cheese cake” timpal Rio.
“Baik, saya ulangi pesanannya, ya? Untuk makanannya ada satu strawberry cheese cake dan oreo cheese cake, dan untuk minumannya satu hot cappuchinno dan satu hot chocolate” ulang pelayan tersebut. Shilla dan Rio kompak mengangguk.
“Baiklah, ada tambahan lain? Appetizer, mungkin?” tanya pelayan itu. Shilla dan Rio menggeleng. Pelayan tersebut mengucapkan beberapa kata lagi dan meninggalkan mereka berdua dalam keheningan.
“Miss Alphabet…” panggil Rio sekali lagi. Shilla menoleh.
“Permisi, pesanannya” ucap Sivia sembari memegang sebuah baki berisi pesanan mereka. Shilla pun mengalihkan pandangannya kepada Sivia.
“Ya” ucapnya. Sivia pun meletakkan 2 buah piring dan 2 buah cangkir di hadapan mereka dan pergi melayani meja lain. Tanpa basa-basi Shilla langsung mengambil garpu kecil dan memakan sebuah kue yang berada di hadapannya. Rio lebih memilih untuk meminum hot chocolatenya terlebih dahulu. Mereka makan dalam diam, tidak ada yang berbicara. Suara-suara seperti dentuman sepatu, dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring atau cangkir, dan percakapan orang lain terdengar samar di telinga mereka, tertutup oleh suara pikiran masing-masing dari mereka.
Jantung mereka berdebar kencang. Tidak ada kontak mata sama sekali di antara mereka, hanya wajah Shilla yang terus menunduk dan wajah Rio yang terus menatap pemandangan di sekelilingnya kecuali wajah yang ada di hadapannya. Firasat buruk itu terus menghantui mereka, seolah memperingati bahwa waktu mereka akan segera berakhir…
***
Shilla meletakkan garpunya di atas piring hitam kecil yang kosong di hadapannya. Ia mengangkat cangkir hitam berisi cappuchinno pesanannya dan mulai meminumnya. Dengan ragu, Rio yang menunduk mulai menegakkan kepalanya dan menatap Shilla tepat di matanya.
“Miss Alphabet…” panggilnya.
“Panggil gue Shilla” ucap Shilla cepat, memotong ucapan Rio. Rio menatap cangkir hitam di hadapannya, menata kata-kata yang akan di ucapkannya.
“Shill…” panggil Rio. Shilla menoleh ke arahnya. Nafasnya semakin sesak, sehingga ia harus memusatkan tenaga hanya untuk bernafas. Rio menelan ludah.
“Lo… ngapain ngajak gue ke sini? Katanya mau bicara?” tanya Rio. Shilla meniupi permukaan cairan cappuchino di dalam cangkir yang dipegangnya seolah itu masih panas dan mengeluarkan asap seperti yang terjadi 10 menit lalu. Pikirannya sibuk menata kata-kata yang akan dikeluarkannya. Ia meniup semakin keras. Lidahnya kelu. Ia membuka mulut, seakan ingin berbicara, namun ia kembali meniupi permukaan cappuchino-nya. Jantungnya berdebar semakin keras, seolah tidak ingin mengatakan apa yang ingin ia katakan. Keringatnya bercucuran, bibir dan tangannya bergetar.
“Shill…” panggil Rio lagi. Shilla mengangkat kepalanya pelan-pelan, menatap pria di depannya. Ia menutup mata, menarik nafas dalam-dalam, lalu membuka matanya sembari menghembuskan nafasnya lewat mulut. Ia menaruh cangkirnya.
“Yo…” panggil Shilla dengan suara tercekat. Rio menoleh ke arahnya.
“Gue minta lo jauhin gue dan bersikap seolah lo gak kenal gue” ucap Shilla dengan cepat sembari menutup mata, takut akan reaksi Rio.
Hening beberapa saat.
Shilla—yang masih menutup mata—membuka matanya pelan-pelan, penasaran karena tidak ada jawaban. Rasa terkejut menyelimutinya ketika ia melihat Rio juga menutup matanya, menahan amarahnya keluar seperti gunung merapi yang siap meletus.
“Kenapa?” tanya Rio dengan nada amarah tertahan. Shilla membuang muka, tiba-tiba saja keberanian untuk melawan muncul dalam dirinya yang sedari tadi ketakutan.
“Karena lo ingetin gue sama masa lalu gue. Masa lalu yang pengen gue hancurin” ucap Shilla. Rio membuka matanya.
“Oh ya? Jadi karena itu lo bersikap judes sama gue?” tanya Rio. Shilla meliriknya tajam.
“Ngaca dulu kalau ngomong” ucap Shilla pedas. Rio menatapnya tajam.
“Lo udah berubah” kata Rio. Shilla tersenyum sinis.
“Nyadar juga lo. Ternyata lo gak sebodoh yang gue kira” Shilla berucap tajam dengan nada sinis. Rio diam, menunggu Shilla melanjutkan.
“Gue emang udah banyak berubah. Gue udah bukan gadis kecil pemimpi yang pengen jadi princess lagi, gue udah jadi cewek dewasa yang pengen jadi pengusaha sukses. Gue udah gak pernah ngekhayal jadi tokoh utama dalam sebuah dongeng di setiap langkah yang gue ambil, sekarang yang terjadi gue malah tenggelam dalam logika dan matematik. Gue udah berubah banyak Yo, gue udah bukan cewek yang suka dipanggil Miss Alphabet dan suka manggil lo Mas Adil lagi. Gue bukan gue yang dulu lagi” ucap Shilla. Rio tersenyum geli.
“Lucu banget Shill, lucu banget. Bukannya lo yang berharap gue gak bakalan berubah dan pengen kita terus kayak gitu? Kenapa malah lo yang berubah?” desak Rio. Shilla melipat tangan di depan dada.
“You have to stop living in the past” ucap Shilla.
“Lo juga gak bisa terus-terusan lari dari masa lalu lo dan berubah total, Shill! Lo nyadar gak sih, dengan begitu lo tuh udah berubah jadi pribadi yang dingin, pribadi yang gue tau lo gak mau!” seru Rio, berdiri dari kursinya. Shilla pun berdiri dengan kasar.
“Lo yang mesti nerima kenyataan kalau gue udah berubah! And as I said before, you have to stop living in the past” balas Shilla tak kalah keras, menarik perhatian beberapa pengunjung dan petugas di Blue Coal Café.
“Shill, gue bisa terima kalau soal lo berubah, yang gue gak bisa terima adalah kenyataan kalau elo tuh udah gak mau sahabatan sama gue karena alasan yang gak jelas, lo gak mau inget-inget masa lalu lo lagi. Itu yang gue gak bisa terima”
“Alesan aja lo” teriak Shilla.
“Oya? Lo pikir siapa sih yang alesan doang? Lo kali! Gue tau, lo itu tuh berubah karena lo gak mau inget satu kenangan buruk di otak lo. Satu Shill, satu! Dan lo tau berapa banyak kenangan kita? Ribuan. Beribu-ribu kenangan dan lo malah inget satu kenangan sialan itu. Lo harus lupain itu!” Rio balas berteriak, tidak sadar tubuhnya berdiri dan tangannya sibuk menunjuk-nunjuk Shilla, membuat Shilla makin merasa bersalah. Shilla menggigit bibir. Hal terakhir yang diinginkannya adalah membiarkan Rio melihatnya menangis. Rio, yang merasa telah menjadi monster yang menyakiti hati seorang perempuan tak bersalah, terdiam dan memandangi pemandangan di depannya. Shilla yang ketakutan. Satu lagi ekspresi yang mengejutkannya karena ia memang tidak pernah melihatnya.
“Shill, bibir lo berdarah…” ujar Rio sembari mengulurkan tangan untuk memegang wajah gadis di depannya dan melihat luka itu lebih dekat. Melihat aksi Rio, wajah Shilla memucat. Ekspresi ketakutan yang sedari tadi keluar kini makin terlihat jelas di wajahnya. Ia bahkan sempat bergeser menjauh. Rio yang tak kalah kaget pun menarik kembali tangannya dan menatap Shilla dengan ekspresi shock. Ia tidak pernah menyangka bahwa ia bisa menjadi seorang monster bagi gadis cantik di depannya.
“Maaf Shill, aku gak bermaksud…”
“A, aku mau pulang” ucap Shilla, memotong ucapan Rio lalu bergegas mengambil tasnya dan buru-buru berjalan, tidak mempedulikan belasan pasang mata yang memperhatikannya dengan sorot penasaran. Tiba-tiba langkahnya berhenti, lalu ia berbalik. Menimbulkan secercah harapan dalam hati Rio. Harapan bahwa Shilla akan memaafkannya…
Namun nyatanya Shilla hanya meletakkan beberapa lembar uang di atas meja dan pergi. Rio merosot di kursinya. Ternyata Shilla hanya kembali untuk membayar pesanannya. Dengan lemas ia pun kembali duduk tegak dan memanggil pelayan untuk meminta bon. Setelah meletakkan beberapa lembar uang di atas lembaran-lembaran uang Shilla, ia pun beranjak pergi. Meninggalkan tempat yang, ternyata, menambah satu kenangan buruk di pikirannya. Kenangan yang akan sangat ia benci.
***
Rio melirik spidometer mobil yang sedang ia kendarai. Jarumnya tengah bergerak menuju angka 100, walaupun ia sendiri tau bahwa jalan yang sedang ia lewati bukanlah jalan tol, melainkan jalan kecil yang terbuat dari tanah menuju sebuah bukit. Karena radio dimatikan, telinga Rio pun dapat mendengar suara percikan tanah yang menyembur seiring ban mobilnya melewati tempat itu. Meski ia tau mobilnya kotor, ia tidak mau ambil pusing. Lagipula, bukit inilah yang akan menjadi penenangnya, bukan begitu?
Setelah memarkir mobilnya di tempat yang aman, Rio keluar dari mobil dan menutup pintu, lalu mengunci mobilnya. Ia pun mulai berjalan ke arah puncak bukit itu, bukit yang menjadi bagian kenangan antara dirinya dan Shilla. Bukit dimana mereka bermain saat mereka tengah menghabiskan liburan bersama di Jakarta, meninggalkan rumah mereka di Bandung selama seminggu.
Sesampainya di puncak bukit, yang pertama kali dilakukan Rio hanyalah menghela nafas sambil duduk di kursi kayu panjang yang dulu ayahnya dan ayah Shilla buat. Rio mengusap-usap kursi itu. Sepertinya itu salah satu kenangan terindahnya,mengganggu mereka berdua membuat kursi kokoh yang kini berdiri dengan megahnya di tengah-tengah rumput hijau nan gemuk dan semak-semak rimbun. Juga pepohonan indah yang selalu dijadikan pengganti tembok untuk menjalankan permainan favoritnya dan Shilla, petak umpet. Rio hanya tersenyum miris mengenangnya.
Tiba-tiba Rio mendengar suara tangis. Suara tangis yang sudah familier di telinganya, walaupun samar-samar Rio agak melupakan tangisan itu. Bukan kenapa-kenapa, hanya saja… dulu, sewaktu ia dan Shilla masih bersahabat, Shilla hanya menangis sebanyak 2 kali di depannya. Ini yang ketiga… kalau tebakannya bener.
“Shilla?” panggil Rio memastikan. Suara tangis yang berasal di balik pohon oak itu berhenti, walaupun hanya tinggal beberapa segukkan yang sangat mirip cegukan. Rio tersenyum geli. Kalau dulu, Rio pasti sudah tertawa terbahak-bahak dan meledek cegukan Shilla. Sekarang situasinya berbeda. Shilla tidak lagi menangis karena boneka yang rusak atau kakinya yang sakit karena jatuh terluka. Alasan yang paling masuk akal adalah karena dirinya. Lagipula, Rio tidak yakin itu Shilla. Yah, 49-51 persen lah…
“Shill?” panggil Rio lagi sembari berjalan mendekat ke arah balik pohon oak. Ia menjulurkan kepala untuk mengintip siapa yang menimbulkan suara tangisan itu. Dan ia menemukannya. Seorang gadis yang sedang membenamkan wajah ke lutut yang sedang di peluknya. Rio memang tidak bisa mengenali wajahnya, namun bando, rambut, sweater dan rok yang dipakai gadis itu sudah cukup untuk meyakinkan Rio bahwa gadis tersebut adalah Shilla. Rio pun memilih untuk duduk bersila di sebelah Shilla, membiarkan angin sejuk mengibarkan rambut hitamnya itu.
“Masih inget bukit ini?” tanya Rio tiba-tiba. Ia melirik Shilla yang masih berada di posisi semula, berlagak tidak mendengar. Rio menarik nafas.
“Kita sering main petak umpet di sini, remember? Yah, walau cuma seminggu sih… tapi tetep aja kehitung” sambung Rio, terus menceloteh tanpa memerhatikan Shilla yang sama sekali tidak peduli dan tidak ingin tau.
“Dulu kita suka main petak umpet di sini, yang jadi ngitung di sini”—Rio menepuk pohon oak yang besar namun tua itu pelan. “Terus kita duduk di sana, berduaan. Ngenang masa lalu dan menebak masa depan. Masih samakah? Ternyata tidak” ucap Rio, matanya memandang sayu kursi kayu yang dibuat oleh ayahnya dan ayah Shilla di masa lalu.
“Kamu tau? Aku tau kamu udah berubah, tetapi aku tetap mengejarmu dan mengingatkanmu karena aku tau kamu belum berubah sebanyak itu” ucap Rio lagi, mulai memakai aku-kamu seperti saat ia dan Shilla kecil bersahabat dulu.
“Belum berubah sebanyak itu seperti apa?” tanya suara lembut nan serak di sebelah Rio. Rio terkejut dan menoleh, lalu menemukan wajah skeptis Shilla yang sedang menatap kosong ke depan. Rio tersenyum kepadanya, yang dibalas dengan senyuman tipis oleh Shilla.
“Memangnya aku belum berubah banyak?” tanya Shilla lagi setelah hening beberapa saat. Rio menghela nafas.
“Kamu udah berubah banyak. Tapi kamu belum berubah total” jawab Rio. Shilla tersenyum miring, masih menatap rerumputan di depan kakinya.
“Kamu tau? Semenjak aku melihatmu, aku tau ada yang berubah. Tapi kamu masih menyimpan kenangan-kenangan kita. Seperti… pakaianmu” ucap Rio, membuat Shilla langsung melihat ke arah kain yang membalut dirinya. Rio tertawa.
“Kamu selalu mau jadi princess, dan inget gak waktu aku nanya kenapa kamu selalu pake rok dulu? Kamu jawab, ‘karena princess selalu pakai rok’ dengan lugu” urai Rio, menimbulkan semburat merah di pipi Shilla karena malu. “Dan bando itu. Dulu kamu sempet janji sama aku kalau kamu bakalan pake bando terus, hanya karena aku bilang kamu cantik pake bando. Yah, emang dasarnya dulu aku sering ngeledek kamu jelek sih ya…”
“Terus cara belajar kamu. Kamu masih tetep tekun seperti dulu. Seperti gadis kelas 1 SD yang ingin mendapatkan nilai tertinggi di setiap mata pelajaran” ujar Rio, menimbulkan senyum di wajah manis Shilla.
“Kamu juga masih mau ke sini, ke bukit ini. Bukannya ini justru malah mengingatkan kamu ke kenangan-kenangan masa lalu kamu?” tanya Rio.
“Dan yang bikin aku yakin kalau kamu gak mau ngelupain masa lalu kamu adalah… cita-cita barumu yang kaukatakan sendiri” ucap Rio. Shilla menatapnya bingung.
“Kamu sendiri kan yang bilang, kamu mau jadi pengusaha sukses? Bukannya itu pekerjaan ayahmu?” tanya Rio. DEG, jantung Shilla terasa seperti berhenti berdegup selama beberapa saat. Ia kembali menunduk, menatap rerumputan. Berusaha membendung air matanya agar tidak mengalir. Kenangan itu datang lagi. Rio menghela nafas.
“Cepat atau lambat, kamu juga harus berani mengakui bahwa papa-mamamu sudah bercerai…” desah Rio pelan, tetapi cukup keras untuk didengar Shilla. Dan bayangan itu muncul lagi. Bayangan ketika orang tuanya bertengkar di hadapan dirinya yang masih berumur 7 tahun. Bayangan ketika Shilla kecil memakai pakaian rapi dan duduk di kursi pengadilan, menghadiri acara perceraian orang tuanya sendiri. Shilla kecil yang harus berpisah dari ibunya. Shilla yang sampai sekarang masih tidak percaya semuanya. Dulu, semuanya begitu indah. Ia, papa, mama. Bertiga. Membentuk sebuah harmoni yang manis. Harmoni yang sekarang rusak dan tidak bisa diperbaiki. Harmoni yang bagitu penting bagi Shilla. Dan ia kehilangan harmoni itu. Di saat ia masih berumur 7 tahun.
“Shill…” panggil Rio, kaget karena butir demi butir air mata jatuh dari mata Shilla, perlahan-lahan turun dan membuat sebuah jejak panjang di pipinya. Rio mengulurkan tangan, menghapus jejak itu.
“Rioooo…” teriak Shilla lalu memeluk Rio, menjadikannya sandaran untuk menangis. Rio yang semula kaget pun membalas pelukan Shilla dan mengelus-elus kepalanya. Ia baru tau, ternyata di balik wajah manis Shilla terdapat seseorang yang menangis dengan begitu menyedihkan. Tidak seperti gadis-gadis cantik di sinetron yang menangis dengan akting menyedihkan dan diam, Shilla malah meraung-raung sembari berteriak-teriak. Untuk di sini bukit sepi, coba kalau mall? Rio mungkin sudah ditangkap satpam karena dikiran macam-macam sama anak perempuan. Huh.
Beberapa menit kemudian, tangis Shilla pun mereda, diganti dengan cegukan khas Shilla sejak kecil. Rio tertawa terbahak-bahak.
“Cegukan tuh bu…” godanya. Shilla merenggut kesal dan menoyol kepala Rio. Rio tertawa. Shilla memilih untuk bangkit dan memetik bunga daisy yang mekar dengan indahnya beberapa meter dekat tempatnya duduk tadi.
“Shill…” panggil Rio setelah sesi tawanya berhenti.
“Hm?” tanya Shilla yang kini mencium aroma bunga daisy yang baru saja di petiknya.
“Masih inget janji kita yang di sana kan?” tanya Rio, menunjuk ke arah bangku kayu antik buatan ayahnya dan ayah Shilla. Shilla yang sedang memetik 2 tangkai bunga dandelion pun menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Rio. Wajahnya tersenyum.
“Masih” ucapnya, berjalan ke arah Rio. Rio balas tersenyum.
“Kamu gak bakal ngelanggar itu, kan?” tanya Rio, yang disambut anggukan mantap dari gadis manis itu. Rio tersenyum lega, lalu bersandar ke pohon oak besar di belakangnya.
“Makasih” ucap Shilla tiba-tiba. Rio menoleh dan mengernyitkan dahi tanda bingung.
“Buat apa?” tanyanya.
“Buat mau jadi sandaranku. Buat semuanya” jawab Shilla. Rio tertawa.
“For you, I’ll do anything, my best friend…” ucap Rio. Kini gantian Shilla yang tertawa.
“Tapi…” ucap Shilla, “aku masih takut nangis inget itu” ungkap Shilla jujur. Rio tersenyum.
“Tenang aja. Kalau kamu inget kenangan burukmu itu, lawan dengan sejuta kenangan manis. Mungkin kenangan buruk kamu emang bisa ngalahin kenangan manis, karena emang kamu ngadepinnya satu-satu. One on one. Coba kamu satuin kenangan manis kamu, terus lawan satu kenangan buruk kamu itu. Pasti menang deh. Bersatu kita menang, bercerai kita kalah!” nasihat Rio, menyertakan semangat tinggi ketika menyerukan kalimat terakhir. Shilla tertawa.
“Main keroyokan itu kan tidak baik…” komentar Shilla, menimbulkan tawa dari pria yang memakai kemeja kotak-kotak dan celana jeans itu. Dan dari dirinya juga.
“Keroyokan atau bukan sih masalah sudut pandang Shill, anggep aja itu bersatu. Lagian kan kadang-kadang keroyokan itu perlu, asal gak berlebihan sampe bikin babak belur orang yang emang udah babak belur” ucap Rio. Shilla tertawa. Rio hanya tersenyum kecil, lalu melirik bunga daisy yang dipegang Shilla. Menyadari kalau bunga itu ada di genggaman Shilla.
“Sini” ucap Rio, mengambil bunga tersebut dari tangan Shilla dan menyelipkannya ke telinga Shilla, membuat senyum gadis tersebut merekah. Setelah puas dengan hasil selipannya, Rio mengambil salah satu bunga dandelion dan tersenyum nakal.
“Lomba niup dandelion yuk, mana yang paling cepet nerbangin semua anak-anak dandelionnya” ajak Rio. Shilla nyengir. Salah satu permainan favoritnya dulu.
“Yuk” sahutnya. Mereka pun memegang dandelion itu dan memposisikannya di depan mulut.
“1… 2… 3!” hitung mereka, lalu meniup bunga itu sekencang-kencangnya, lalu tertawa karena sejujurnya mereka tidak tau siapa pemenangnya. Mereka terlalu sibuk untuk meniup. Tapi tidak apalah. Karena bagi mereka berdua, mendapatkan sahabat mereka kembali sudah membuat mereka merasa seperti seorang pemenang…
***
“Mas Adiillll!!” jerit seorang gadis kecil, mengejar seorang laki-laki yang sudah berlari duluan. Laki-laki cilik itu tertawa, puas karena niat isengnya merebut boneka kesayangan gadis itu berhasil membuat gadis itu terganggu. Mereka akhirnya berkejar-kejaran sampai capek dan beristirahat di sebuah bangku kayu. Bangku yang dibuat oleh ayah mereka.
“Mas Adil maaahhh!! Balikin bonekakuuuu!!” teriak gadis itu menggema ke seluruh bukit.Laki-laki cilik itu tertawa dan melempar boneka kelinci putih itu ke sang gadis cilik, yang menangkapnya dengan tangkas. Senyum menghiasi wajahnya seraya ia memeluk boneka tersebut. Rio tertawa lagi, walau masih penasaran mengapa gadis masih bisa menjerti sekeras itu padahal kejar-kejaran mereka yang menguras tenaga luar dalam itu baru selesai sekitar semenit yang lalu.
“Mas adil…” panggil gadis cilik itu perlahan. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum ramah.
“Hmm?” tanyanya. Gadis itu menunduk sebentar, mengelus-elus boneka kelinci putihnya dengan gugup.
“Kita… kita bakalan sahabatan selamanya, kan?” tanya gadis itu, kekhawatiran mendominasi sinar matanya. Laki-laki yang duduk di sampingnya bisa melihatnya. Tersenyum, laki-laki itu mengacak-acak rambut sahabatnya itu.
“Pasti. Aku gak akan maafin diri aku kalau sampe enggak” jawab laki-laki cilik dengan mantap, menimbulkan senyum bahagia di wajah gadis itu.
“Janji?” tanya gadis itu, mengulurkan jari kelingkingnya. Setengah mati berharap akan ada jari kelingking yang mengait dengan jari kelingking tersebut.
“Janji” jawab laki-laki cilik, dengan semangat berkobar ia kaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking yang terulur padanya. Gadis itu tersenyum lebar, yang dibalas dengan senyuman hangat dari sang laki-laki.
+++
Sip deh. Akhirnya selesai juga-_-“
gimana? Bagus gak? Aneh ya? Emang nih…
Omong-omong ini cerpen panjang banget ya? Sampe pengen saya bagi 2… he-eh. Gak penting bye.
Eh eh, saya kan mau bikin cerpen nih, tapi couplenya agak-agak aneh gitu. Oke aneh banget. Couplenya Shilla-Daud. Ada yang mau baca gak? Kalau mau sabar dulu ya, soalnya saya kebelet pengen bikin cerita Siviel. He-eh. Saya emang plin-plan… -_-V
Makasih yaaa yang udah mau baca dan nyempetin diri buat komen, saya seneeeennnggg banget kalau ada. Aaaaa makasih bangeeettt!!
Any critics?
-Penulis-
Langganan:
Postingan (Atom)